Anda di halaman 1dari 3

REKAMAN DAN DIGITAL FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI PADA PERSIDANGAN

PERDATA

Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
keberadaan alat bukti elektronik telah diatur dan diakui secara sah dalam beberap peraturan
perundang-undangan.

 Undang Undang No.8 Tahun 197 Tentang Dokumen Perusahaan


 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, Undang Undang
Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,
 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Keberadaan jenis alat bukti elektronik diatur pada Pasal 5 ayat (1) UU ITE menegaskan,
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah”. Maka dari ketentuan pasal tersebut maka jenis alat bukti elektronik
dapat dirinci yaitu :

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya


merupakan alat bukti hukum yang sah.
2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang
sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
diatur lain dalam Undang-Undang.

Pasal 5 ayat (4) UU ITE juga menyatakan jika suatu informasi wajiblah memiliki bentuk tulisan
ataupun autentik, Informasi dan atau Data Elektronik dianggap sah jika informasi yang
termaktub bisa dilakukan pengaksesan, ditayangkan, dilakukan penjaminan terhadap
keutuhannya, serta bisa dilakukan pertanggungjawaban sehingga memberi penerangan
terhadap suatu kondisi.
Yurisprudensi Penggunaan alat bukti rekaman pada kasus perdata:

 Alat bukti elektronik berupa rekaman percakapan antara Tergugat dan Penggugat,
karena terjadi perselisihan terkait dengan status sepeda motor yang diambil oleh
Tergugat, akan tetapi tidak dijadikan sebagai alat bukti di persidangan oleh karena
majelis hakim tidak melihat siapa yang bersalah, dengan adanya rekaman tersebut
menunjukkan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sedang berselisih dan
bertengkar. (Putusan Pengadilan Agama Kendal Nomor 2324/Pdt.G/2018/PA.Kdl).
 Dalam putusan tersebut diketahui bahwa hakim menimbang salah satu bukti berupa
rekaman suara telepon dalam perkara perdata agama soal perceraian. Dalam
rekaman telepon yang diperdengarkan di persidangan, rekaman menunjukkan
kedekatan anak yang sangat rindu dengan ayahnya tetapi dilarang bertemu oleh
ibunya (Termohon Kasasi/Penggugat). Alat bukti percakapan rekaman telepon ini
didukung dengan bukti-bukti lainnya seperti keterangan saksi. (Putusan
Mahkamah Agung Nomor 328 K/AG/2011)
 Majelis Hakim dalam putusannya memberikan pertimbangan bahwa atas bukti hasil
print foto, rekaman suara dan video yang tersimpan di sebuah flashdisk yang
diajukan Penggugat dan Tergugat masuk dalam alat bukti eletronik
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE dan atas alat bukti
elektronik tersebut dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di
dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 UU ITE yang mana untuk menjamin terpenuhinya persyaratan yang
dimaksud maka diperlukan digital forensic dan oleh karena atas bukti-bukti tersebut
tidak dilakukan digital forensic maka bukti tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti
dalam perkara ini akan tetapi bukti-bukti tersebut dapat dijadikan pelengkap untuk
memperjelas adanya hubungan dengan alat bukti lainnya yang sah (Putusan
Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor 11/Pdt.G/2020/PN Plw)

 Forensik digital merupakan bidang keilmuan yang dapat membantu pengungkapan


maupun pembuktian tindak pidana merupakan salah satu sarana untuk membantu
penyidik dalam kewenangannya melakukan penyelidikan dan penyidikan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Undangundang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). (Semua pembahasan
mengenai digital forensik mengarah ke kasus pidana dan usaha polisi/jaksa terkait
kasus tersebut)
Pasal 1915 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang berbunyi:

Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari
satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.

Pasal ini menyebutkan adanya kesimpulan hakim, pengetahuan umum, dan menjelaskan
suatu peristiwa. Rekaman digital bisa digunakan untuk mewakili pengetahuan umum
tentang terjadinya peristiwa, Jika ditempat tersebut tidak ditemukan saksi mata. Maka
untuk pengujian alat bukti elektronik harus disertakan rekam aslinya agar bisa digunakan
untuk membandingkan keseluruhan isinya.

Josua Sitompul dalam bukunya Cyber Space, Cybercrimes, Cyberlaw.


Syarat Formil dan Materil Informasi/Dokumen elektronik:
Formil: Bukanlah dokumen yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis
Materiil: Dijamin keontetikan, keutuhan, dan ketersediannya.

KESIMPULAN:

Dapat disimpukan bahwa Informasi dan/atau dokumen elektronik berupa rekaman suara atau
rekaman telepon sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU 1/2024 adalah alat
bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti sesuai dengan hukum acara
perdata. Dan Dari contoh kasus di atas menunjukkan bahwa rekaman telepon hanyalah
sebagai salah satu bukti, tetapi perlu didukung oleh alat bukti lain untuk keperluan pembuktian
di persidangan, misalnya keterangan saksi. Pada akhirnya, hakimlah yang melakukan
penilaian pembuktian berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan di persidangan.

Hakim tidak dapat menolak untuk memberikan pemecahan permasalahan terkait adanya
informasi elektronik, termasuk mengenai alat bukti elektronik. maka jawaban atas
permasalahan hukum hanya bisa diberikan oleh hakim di persidangan. Hakim harus dapat
menemukan hukum/ rechtvinding dengan menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat/
living law, seperti diatur dalam undang-undang bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. (Pasal 10 UU
Kekuasaan Kehakiman)

Anda mungkin juga menyukai