Anda di halaman 1dari 6

BAMBANG SUTOMO NIM 041947008

Tugas 3

Ditemukan sesosok jenazah, yang berdasarkan rekaman Closed Circuit


Television (CCTV) nampak pelaku pembunuhan tersebut.

Diskusikan:

Apakah rekaman Closed Circuit Television (CCTV) dapat dijadikan sebagai


alat bukti di persidangan dan mempunyai kekuatan pembuktian?, mengingat bahwa
alat bukti dalam hukum acara pidana telah ditentukan secara limitatif pada Pasal 184
KUHAP.

Jawab

Seiring dengan kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi atau IT maka


peranan IT tidak dapat dilepaskan dari berbagai disiplin ilmu. Pun demikian halnya dengan
disiplin ilmu hukum, spesifiknya adalah dalam pembuktian suatu perkara di sidang
pengadilan. Beberapa kali di suatu sidang pengadilan harus menggunakan teknologi
telekonferensi (teleconference) untuk mendengarkan keterangan saksi atau keterangan ahli
yang karena suatu alasan tertentu tidak dapat dihadirkan di sidang pengadilan.
Selain itu, jaksa penuntut umum juga sering kali menggunakan rekaman
kamera CCTV (Closed Circuit Television) sebagai barang/alat bukti atau penunjang alat bukti
dalam pengungkapan suatu perkara di sidang pengadilan.
Pertanyaannya adalah apakah rekaman kamera CCTV dapat digunakan sebagai alat bukti
hukum yang sah atau setidak-tidaknya penunjang alat bukti di sidang pengadilan? Apalagi
jika dikaitkan dengan putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tentang pengujian atas UU No.
11/2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).

Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita harus urai terlebih dahulu satu per satu.

Alat bukti yang sah menurut KUHAP


Dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) disebutkan
bahwa hanya terdapat 5 (lima) alat bukti yang sah, yakni:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.

Alat bukti yang sah menurut UU No. 11/2008 tentang ITE


Pasal 5 dan pasal 44 UU ITE mengatur tentang alat bukti sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia,

This study source was downloaded by 100000856848579 from CourseHero.com on 11-16-2022 13:26:36 GMT -06:00

https://www.coursehero.com/file/154998206/TUGAS-3-Sistem-Hukum-Indonesia-19-BAMBANG-SUTOMO-NIM-041947008docx/
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan
Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 menindaklanjuti


permohonan judicial review UU ITE
Amar Putusan
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1 Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat
bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
1.2 Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum
atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dst.

Dalam Pertimbangan Hukum Pokok Permohonan Putusan MK, dinyatakan bahwa:


UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan seperti
yang ditentukan dalam BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG khususnya Pasal 31 ayat
(1) yang menentukan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain”.
Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU ITE memberi penjelasan apa saja yang termasuk dalam
intersepsi atau penyadapan sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1), yaitu
“Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan,
merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan

This study source was downloaded by 100000856848579 from CourseHero.com on 11-16-2022 13:26:36 GMT -06:00

https://www.coursehero.com/file/154998206/TUGAS-3-Sistem-Hukum-Indonesia-19-BAMBANG-SUTOMO-NIM-041947008docx/
jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau
radio frekuensi.”
Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU ITE dan penjelasannya maka setiap orang dilarang
melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 46 ayat (1) yang menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”;

Penjelasan penulis
Meskipun dalam putusan MK sebanyak dua kali tertulis frase "tindakan penyadapan
(interception) termasuk di dalamnya perekaman" namun penulis tidak menemukan kata
"perekaman" dalam UU ITE. Yang ada hanya frase "rekam cadang elektronik" pada pasal 40
dan kata "merekam" pada penjelasan pasal 31 ayat (1).

Mari kita lihat kembali pasal pasal 31 ayat (2) dan penjelasan pasal 31 ayat (1) UU ITE:
Pasal 31 ayat (2) BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik
Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan
adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

Penjelasan pasal 31 ayat (1)


Yang dimaksud dengan "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk
mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau
mencatat transmisi Informasi Elektronikdan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel,
seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

Jadi menurut pendapat penulis, UU ITE dengan jelas dan tegas menuliskan bahwa yang
dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan (mendengarkan, merekam, dll.)
yang hanya berkaitan dengan transmisi informasi elektronik bukan kegiatan merekam
dalam arti luas. Pasal 31 ayat (2) juga menuliskan frase "intersepsi atas transmisi". Jadi
kegiatan merekam yang dimaksudkan dalam UU ITE, menurut penulis, sebenarnya hanyalah
kegiatan merekam transmisi informasi elektronik, bukan merekam audio atau video secara
langsung (tanpa transmisi informasi elektronik).
Pengertian transmisi informasi elektronik adalah:
Kegiatan menghubungkan antara pengirim dan penerima menggunakan media
transmisi (kabel, nirkabel maupun serat optis) agar dapat dilakukannya pertukaran informasi
elektronik.
Informasi elektronik adalah:
Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk namun tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, EDI (electronic data interchange), surat elektronik (electronic
mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.

This study source was downloaded by 100000856848579 from CourseHero.com on 11-16-2022 13:26:36 GMT -06:00

https://www.coursehero.com/file/154998206/TUGAS-3-Sistem-Hukum-Indonesia-19-BAMBANG-SUTOMO-NIM-041947008docx/
Putusan MK, menurut penulis, telah memperluas makna merekam tidak hanya merekam
transmisi informasi elektronik namun merekam apa pun (termasuk namun tidak terbatas pada
merekam tulisan, suara, gambar, video). Menurut konstitusi kita, MK adalah lembaga yang
memiliki kewenangan menafsirkan Undang-Undang dan berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.

Lantas bagaimana hubungannya dengan rekaman kamera CCTV, yang merupakan informasi
elektronik, yang menurut pasal 5 UU ITE merupakan alat bukti hukum yang sah?
Sesuai keputusan MK informasi elektronik (termasuk rekaman kamera CCTV) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum
lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Artinya, rekaman kamera CCTV bisa menjadi alat bukti yang sah APABILA dilakukan dalam
rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak
hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Permasalahannya adalah apakah yang dimaksudkan dengan frase "atas permintaan" di atas
adalah permintaan pemasangan/perekaman menggunakan CCTV ataukah permintaan hasil
rekaman kamera CCTV. Ini pasti akan menjadi sesuatu yang debatable. Jika yang
dimaksudkan adalah permintaan perekaman/pemasangan kamera CCTV maka seluruh
pemasangan kamera CCTV di mall-mall, supermarket, minimarket, jalan raya, kompleks
perumahan, instansi pemerintahan, mesin ATM, dll. harus atas permintaan kepolisian
dan/atau penegak hukum lainnya jika nantinya akan dijadikan sebagai alat bukti hukum yang
sah di sidang pengadilan. Namun jika yang dimaksudkan adalah permintaan hasil
rekamannya, maka selama dilakukan dalam rangka penegakan hukum dan sesuai prosedur
maka rekaman kamera CCTV dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah di sidang
pengadilan.

Bagaimana menjamin orisinalitas alat bukti rekaman kamera CCTV?


Bedasarkan pasal 6 UU ITE dan penjelasannya:
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang
mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau lisan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di
dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Penjelasan Pasal 6
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas
kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke
dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik,
informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem
Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan
informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.

Menurut penulis, rekaman kamera CCTV yang asli adanya di DVR (Digital Video Recorder),
meskipun saat ini sudah banyak rekaman kamera CCTV yang disimpan di kamera
berupa memory card (micro SD). Namun apa pun medianya jika kita copy-kan ke media lain
(misalnya flash disk atau hard disk laptop) maka data rekaman kamera CCTV yang ada

This study source was downloaded by 100000856848579 from CourseHero.com on 11-16-2022 13:26:36 GMT -06:00

https://www.coursehero.com/file/154998206/TUGAS-3-Sistem-Hukum-Indonesia-19-BAMBANG-SUTOMO-NIM-041947008docx/
di flash disk atau hard disk laptop tersebut merupakan salinannya. Dan sesuai penjelasan
pasal 6 UU ITE, karena Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara
penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari
salinannya, maka dokumen yang asli dan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan,
sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.
Oleh karena itu agar dapat dipertanggungjawabkan di sidang pengadilan, maka proses
pemindahan data asli rekaman kamera CCTV ke salinannya haruslah dilakukan oleh aparat
penegak hukum dan dibuatkan berita acara pengambilan/pemindahan data rekaman ini.
Analoginya adalah legalisasi ijazah hasil foto copy yang menerangkan bahwa salinan sesuai
aslinya dan ditandatangani pejabat berwenang, sehingga keotentikan salinan ijazah tersebut
dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam UU ITE penulis juga tidak menemukan kata "orisinal" atau "orisinalitas", yang ada
hanyalah kata "asli" yakni pada penjelasan pasal 6 di atas.
Kata orisinal atau orisinalitas sering dipertanyakan oleh pakar hukum terkait alat bukti
informasi elektronik, dalam hal ini hasil rekaman kamera CCTV. Apakah orisinal sama
dengan asli? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) orisinal berarti asli, tulen.
Lantas apakah salinan informasi elektronik dapat dikatakan asli/orisinal?
Menurut penulis, kata yang tepat untuk salinan informasi elektronik bukanlah asli/orisinal,
melainkan otentik. Mengapa otentik? Otentik bermakna sah, dapat dipercaya, dapat
dipertanggungjawabkan. Siapa yang berwenang mengesahkan atau menyatakan sah salinan
informasi elektronik (dalam hal ini salinan rekaman kamera CCTV)? Tentu yang berwenang
adalah aparat penegak hukum dan/atau ahli forensik digital yang dibuktikan dengan berita
acara pengambilan/pemindahan data rekaman. Alat bukti ini nanti di uji di pengadilan dan
pada akhirnya hakimlah yang memutuskan apakah alat bukti rekaman kamera CCTV ini
dapat digunakan atau dikesampingkan.

Informasi yang tercantum dalam alat bukti rekaman kamera CCTV harus dapat
diakses, ditampilkan dan dijamin keutuhannya.
Dapat diakses artinya kita harus dapat berinteraksi dengan informasi yang ada dalam
rekaman kamera CCTV tersebut.
Dapat ditampilkan artinya informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV tersebut harus
dapat ditunjukkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan melalui layar monitor komputer,
layar projector, TV, maupun hasil cetakan berupa dokumen.
Dijamin keutuhannya artinya informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV harus
dijaga keutuhan informasinya, dalam artian tidak adanya perubahan, manipulasi, distorsi atau
rekayasa informasi, termasuk namun tidak terbatas pada penyuntingan, penghapusan,
pemotongan, penambahan, pengulangan, pengkompresian data atau informasi. Jika data harus
dianalisis atau dilakukan forensik digital maka harus dilakukan oleh aparat penegak hukum
dan/atau ahli forensik digital serta dilakukan sedemikian rupa tanpa menghilangkan keutuhan
atau kesatuan datanya.

KONKLUSI
Dari pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa selama belum adanya revisi terhadap
UU No. 11/2008 tentang ITE maka rekaman kamera CCTV (yang merupakan salah satu
bentuk informasi elektronik) dapat digunakan sebagai alat bukti hukum yang sah atau
setidak-tidaknya dapat digunakan sebagai penunjang alat bukti di sidang pengadilan
sepanjang pengambilan dan/atau pemindahan hasil rekaman kamera CCTV dilakukan sesuai

This study source was downloaded by 100000856848579 from CourseHero.com on 11-16-2022 13:26:36 GMT -06:00

https://www.coursehero.com/file/154998206/TUGAS-3-Sistem-Hukum-Indonesia-19-BAMBANG-SUTOMO-NIM-041947008docx/
prosedur, dilengkapi berita acara pengambilan/pemindahan, dilakukan oleh pihak yang
berwenang, informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV dapat diakses, ditampilkan,
dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan serta dilakukan dalam rangka penegakan
hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Namun demikian sebagai mana alat bukti lainnya di sidang pengadilan, hakim dapat
melakukan penilaian atas alat bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Hakim dapat
menyatakan suatu alat bukti sah atau tidak, digunakan atau dikesampingkan. Dengan kata
lain, dalam pertimbangan untuk mengambil suatu keputusan, hakim dapat menggunakan
suatu alat bukti atau mengesampingkannya sesuai penilaiannya.

Kesimpulan hakim terkait sahnya rekaman CCTV sebagai alat/barang bukti di pengadilan:

1. Pemasangan kamera CCTV bukanlah sengaja untuk suatu kasus tertentu, namun
CCTV dipasang untuk bisa memantau apa yang terjadi pada suatu tempat umum
seperti kafe, bank, mall, jalan raya, ATM, kantor pemerintah, dll. sehingga CCTV
tidak harus dibuat oleh pejabat yang berwenang.

2. Rekaman CCTV merupakan alat bukti elektronik yang secara yurisprudensi telah
sering digunakan oleh hakim utk mengungkapkan kebenaran fakta dengan melihat
kesesuaian antara rekaman CCTV dengan fakta empiris.

3. Sesuai dengan KUHAP pasal 184 ayat 1, rekaman CCTV dapat dijadikan
sebagai barang bukti perluasan (yang diperkuat juga oleh UU ITE) sehingga
rekaman CCTV dapat dijadikan majelis hakim sebagai petunjuk untuk memastikan
adanya tindak pidana.

Sumber : https://www.kompasiana.com/ins.saputra/57eb8c02af7e611e2ca56f3c/sahkah-
rekaman-kamera-cctv-sebagai-alat-bukti-di-persidangan

This study source was downloaded by 100000856848579 from CourseHero.com on 11-16-2022 13:26:36 GMT -06:00

https://www.coursehero.com/file/154998206/TUGAS-3-Sistem-Hukum-Indonesia-19-BAMBANG-SUTOMO-NIM-041947008docx/
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Anda mungkin juga menyukai