Anda di halaman 1dari 4

UNDANG UNDANG ITE

Putri Dinda Gunawan


Putridinda19@gmail.com
1.PENDAHULUAN
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE) atau Undang-undang nomor 11
tahun 2008 adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi
informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia
maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia
dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik
yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia
dan merugikan kepentingan Indonesia.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan


hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun
pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi
kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan
masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti
elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.

Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua
institusi pendidikan yakni Universitas Padjadjaran(Unpad) dan Universitas Indonesia(UI). Tim
Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama
dengan para pakar di Institut Teknologi Bandung yang kemudian menamai naskah akademisnya
dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah
akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.

Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang
dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono),
sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana
disahkan oleh DPR.

Dalam perjalanannya, poin no. 1-7 dijadikan satu peraturan pemerintah, dan juga sudah disahkan yaitu
Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik ('PP
PSTE'). Peraturan Pemerintah ini disusun sejak pertengahan tahun 2008 dan disampaikan ke
Kemkumham awal tahun 2010. Kemudian dilakukan harmonisasi pertama, dan Menkumham
menyerahkan hasilnya ke Menkominfo pada 30 April 2012. Menkominfo menyerahkan Naskah Akhir RPP
ini ke Presiden pada 6 Juli 2012 dan ditetapkan menjadi PP 82 tahun 2012 pada 15 Oktober 2012. PP ini
mengatur sistem elektronik untuk pelayanan publik dan nonpelayanan publik, sanksi administratif,
tanggungjawab pidana serta perdata penyelenggara, sertifikasi, kontrak, dan tanda tangan elektronis,
serta penawaran produk melalui sistem elektronik.

2.ISI

Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karenanya semua warga negara yang tinggal di
wilayah Indonesia harus patuh dan tunduk terhadap hukum yang telah ditetapkan.

Undang-undang atau peraturan lainnya dibentuk berdasarkan situasi dan kondisi yang sedang terjadi
dalam masyarakat, sehingga menjadi landasan yuridis bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.
Adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No. 1 1 Tahun 2008 menjadi bukti bahwa
Negara menjamin keamanan dan melindungi siapa saja warga negaranya yang beraktifitas dalam dunia
teknologi.
Dengan adanya undang-undang ITE melindungi orang pribadi maupun lembaga daari beberapa
permasalahan yang belum pernah di atur sebelumnya seperti:

Perdagangan Elektronis

Terbaru, Pemerintah sedang menggodok dasar hukum untuk perdagangan elektronis atau e-
Commerce. Meskipun bukan amanat UU ITE, tetapi ini merupakan amanat UU Perdagangan
(pasal 66 ayat 4) dan mengacu kepada UU ITE dan UU Perlindungan Konsumen[6]. Selain itu
memang perkembangan e-Commerce yang tumbuh cepat membutuhkan dasar hukum dan
melindungi konsumen, produsen dan para pemain e-Commerce. Pembuatan RPP tersebut
diharmonisasi oleh kementerian terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika,
Kementerian Hukum dan HAM, Bank Indonesia serta Kementerian Perdagangan. Akan tetapi,
meskipun naskah akademik RPP sudah beredar sejak tahun 2011[7], pengesahannya molor dan
tidak ada perkembangan hingga terdengar kembali pasca boomingnya e-Commerce diawal tahun
2015 dimana Presiden dan Menteri sudah berganti. Menteri Kominfo Rudiantara menjanjikan
Blueprint e-Commerce untuk meningkatkan pertumbuhan e-Commerce dan akan bersama
Menteri Perdagangan untuk merumuskan aturan e-Commerce[8]

Gugatan ke Mahkamah Konstitusi


Pencemaran Nama Baik

Pasal Pencemaran nama baik paling sering digugat ke MK. Terdapat dua kasus diawal UU ITE,
yaitu PUTUSAN Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009. Dalam putusan
tersebut, MK menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang
diatur dalam KUHP (penghinaan offline) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan
pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan online) karena ada unsur “di
muka umum”. Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan”
dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan
dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan”
sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan
khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan”
dan/atau “membuat dapat diakses”.[9]

Penghinaan SARA

Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak permohonan Judicial Review (uji materi) yang
diajukan oleh pengacara Farhat Abbas. Farhat melakukan permohonan uji materi terhadap UU
No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena terkena Pasal 28 ayat (2)
gara-gara membuat pernyataan di media sosial twitter yang mengandung unsur penghinaan
terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terhadap Wakil Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Farhat dilaporkan ke Polda Metro tanggal 10 Januari 2013
oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. "MK menilai penyebaran informasi yang dilakukan
dengan maksud menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan bertentangan dengan jaminan
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan individu. Dan bertentangan pula dengan
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum," jelas Arief, Hakim Konstitusi. Polisi akhirnya tidak meneruskan laporan kasus ini
karena laporan telah dicabut dan Farhat telah berdamai.[10]

Tata Cara Intersepsi

Terkait RPP Penyadapan, Meskipun Mahkamah Agung menganggap hal itu sah karena tidak
bertentangan dengan UU[11], Mahkamah Kostitusi mengabulkan uji materi pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dengan begitu, Rancangan Peraturan Pemerintah Penyadapan, yang mengacu pada pasal itu,
tidak bisa disahkan. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis
Konstitusi Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 24
Februari 2011. Majelis menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam
pertimbangannya, majelis berpendapat, penyadapan harus diatur oleh Undang-Undang.[12]

Bukti Elektronis

Terbaru, dalam skandal "Papa Minta Saham" tahun atau Kasus PT Freeport Indonesia 2015
membuat Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto mengajukan permohonan uji
materi atas Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang Undang
KPK. “Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44
huruf b UU ITE,” ujar kuasa hukum Novanto, Syaefullah Hamid, di Gedung Mahkamah
Konstitusi Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (25 Februari 2016). Adapun dua ketentuan
tersebut mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti
dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa
dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK terkait alat bukti elektronik yang
sah. Novanto menilai bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas mengatur
tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan
perekaman.[13] "Perekaman yang dilakukan secara tidak sah (ilegal) atau tanpa izin orang yang
berbicara dalam rekaman, atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak yang terlibat
dalam pembicaraan secara jelas melanggar hak privasi dari orang yang pembicaraanya direkam,"
kata dia. Sehingga, bukti rekaman itu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena diperoleh
secara ilegal. Majelis hakim Ketua MK Arief Hidayat pun memberikan saran perbaikan
permohonan, sebab tidak ada kedudukan hukum pemohon sebagai anggota DPR.[14]

Anda mungkin juga menyukai