DISUSUN OLEH :
Kelompok 9
BANDA ACEH
2021
1
https://aptika.kominfo.go.id/2019/08/undang-undang-ite/, diakses pada Minggu 10 Oktober 2021
Setelah membahas hal yang mendasari atau penyebab yang mendasari
sehingga terciptanya UU ITE sekarang kami akan membahas apa sih UU ITE itu?
UU ITE merupakan undang-undang yang dibuat untuk mengatur segala sesuatu yang
menyangkut dengan informasi elektronik dan transaksi elektronik serta hal-hal yang
berlaku di dunia cyber(internet). Informasi elektroni sendiri dapat kita beri pengertian
sebagai suatu atau kumpulan dari data elektronik yang tidak ada batasan tertentu
dalam penerapannya sementara itu transaksi elektronik dapat kita artikan sebagai
suatu kegiatan hukum yang diperbuat dengan menggunakan komputer, jaringan
komputer dan alat elektronik lainnya yang bisa mengsupport hal tersebut untuk
diperbuat. Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elekronik(Undang-undang No.
11 Tahun 2008) sendiri disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) pada tanggal
25 Maret 2008 dan setelahnya pada tanggal 21 April 2008 RUU ITE resmi berjalan
dan disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian Undang-undang
tersebut diperbaharui dengan Undang-undang N0. 19 Tahun 2016 dan resmi disahkan
pada 27 Oktober 2016 setelah direvisi tepat pada tanggal 25 November 2016 undang-
undang tersebut ditanda-tangani oleh Presiden Jokowi dan resmi berjalan pada hari
tersebut.
Seperti demikian kira-kira penjelasan kami mengenai apa itu UU ITE,
berikutnya sedikit kami jelaskan untuk apa UU ITE ini dibuat, UU ITE sendiri dibuat
untuk menghadapi permasalahan yang terjadi mengenai cara penyampaian informasi,
komunikasi, dan transaksi yang dilakukan secara elektronik dan membatasi
masyarakat dalam penggunaan hal tersebut yang berkaitan dengan kejahatan cyber
atau hal-hal yang berbau kejahatan cyber lainnya. UU ITE sendiri dipakai sebagai
hukum cyber diindonesia yang mengatur semua hal dalam internet dan juga mengatur
tentang hukuman bagi pelaku kejahatan cyber, tidak hanya itu cyber law ini juga
mengatur tentang hak setiap orang sebagai penegasan dimana maksudnya adalah bagi
orang yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Pemerintah sendiri menganggap UU ITE sebagai perlindungan umum yang diberikan
kepada setiap orang selain itu tujuan lain dari cyber law ini adalah untu
penanggulangan aksi pencucian uang dan juga terorisme dalam dunia cyber.
Untuk hal ini usaha pemerintah untuk menjamin keamanan cyber negara patut
diapresisasi tapi dalam pelaksanaannya masih sangat kurang dan banyak kecaman dari
pihak-pihak tertentu pengguna internet bahkan banyak orang menganggap UU ITE
sudah sangat melenceng dari tujuan awal dibuatnya undang-undang ini.2
2. Hukum UU ITE
Landasan hukum yang mengatur teknologi informasi adalah Undang-undang
No. 11 Tahun 2008 dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 yang menjadi
cyberlaw pertama diindonesia. Salah satu yang menjadi pertimbangan lahirnya UU
ITE adalah untuk mendukung perkembangan teknologi informasi dengan mematuhi
hukun dan aturan yang ada sehingga dapat dimanfaatkan secara aman untuk
2
Wahyu Agus Winarno, “Sebuah Kajuan Pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik(UU ITE)”,
Vol. X, No. 1, 43-44, 2011.
mencegah penyalahgunaan dengan berdasarkan norma-norma agama serta adat dan
kehidupan sosial yang ada dimasyarakat indonesia. UU ITE merupakan suatu aturan
yang diperlukan untuk menjadi dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan
transaksi elektronik.
Pemikiran-pemikiran tersebut membuktikan UU ITE ini dibuat untuk
mengupayakan pencegahan pengembangan terhadap teknologi informasi dilakukan
menggunakan dengan cara yang tidak aman dan merugikan orang lain, poin utamanya
terdapat pada pertimbangan pembuatannya dengan mengikuti norma-norma agama
serta adat dan juga kehidupan sosial yang ada dimasyrakat tetapi sepertu yang telah
disebutkan diatas mengenai penerapannya masih sangat jauh dari harapan politik
hukum.
Landasan dasar hukum yang tepat bagi negara penganut civil law seperti
indonesia yaitu asas dari legalitas yang merupakan landasan awal sebagai sebuah
konsep pemastian hukum yang akan dibuat, hukum dibuat sesuai dengan proses
pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari sehingga implementasinya jelas, beraturan,
tetap, dan pasti dilaksanakan sesuai dengan yang sudah dibuat dan tidak mudah untuk
dipermainkan oleh keadaan yang sifatnya subjektif didalam masyarakat sedangkan
pada undang-undang ITE malah banyak terdapat ambigu yang tidak dapat memenuhi
kepastian dari hukum ini sehingga banyak terjadi perdebatan mengenai kelayakan dari
undang-undang ITE ini, dimana banyak ahli hukum yang ragu akan hal tersebut yang
menyebabkan kelayakan dari UU ITE dipertanyakan sehingga Undang-undang ini
sendiri sudah beberapa kali mengalami perubahan tetapi tetap saja tidak bisa dipegang
100% oleh masyarakat malah ada yang menyalahgunakan undang-undang ini untuk
kepentingan pribadi sebagaimana akan kami jelaskan nantinya pada beberapa kasus
yang telah kami analisis yang dimana menurut kami pribadi semakin banyak
pertanyaan yang muncul mengenai kelayakan dari UU ITE ini dan bagaimana
penerapannya dalam kehidupan masyarakat.3
UU ITE sendiri sudah 7 kali digugat di mahkamah konstitusi(MK), gugatan
yang dilayangkan biasanya mengenai kebebasan dalam berpendapat yang selalu
ditolak, berdasarkan jurnal yang kami baca setidaknya gugatan terhadap pasal
penyadapan pada tahun 2010 yang pernah dikabulkan alasan mahkamah konstitusi
menolak hal ini adalah dengan mengingat betapa pentingnya UU ini sebagai
contohnya kami mengambil bahwa kemungkinan mahkamah konstitusi berpendapat
bawa tanpa UU ini orang bebas untuk menghina orang lain baik itu publik figure,
pejabat bahkan presiden sekalipun.
Berdasarkan revisi UU ITE pada tahun 2016 ditegaskan kembali bahwa hal ini
untuk menjamin dan menghormati atas hak freedom(kebebasan) orang lain, revisi ini
masih diragukan karena tidak merubah secara pasti sedangkan hal ini menurut kami
permasalahannya sebenarnya terletak pada aturan norma dan kriminalisasi,
kriminalisasi sendiri dapat diartikan sebagai suatu tindak kejahatan yang menjadi
3
Atikah Mardhiya Rohmy, Teguh Suratman, Arini Indah Nihayaty , Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, “UU
ITE Dalam Perspektif Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi”, Vol. 7, No. 2, 315-316, Agustus
2021.
suatu tindak pidana. Didalam UU ITE sendiri pada saat pembuatannya ada terkandung
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) dari pasal 310 sampai 321 yang isinya
tentang pencemaran nama baik yang dimasukkan kedalam UU ITE pasal 27 dan 28 di
UU No. 19 tahun 2016, dalam hal ini membuktikan bahwa penyebarannya bisa
dilakukan dengan mudah menggunakan media sosial sehingga bisa menjadi suatu
pembuktian dari pihak pemerintah.
Persoalan lainnya yang ada yaitu kelayakan dari Pasal27 hingga 29 UU ITE
dalam bab cyber crime yang dimana pada pasal tersebut terdapat beberapa penafsiran
hukum sehingga tidak adanya kepastian hukum sehingga disebut sebagai hukum
karet.4
Pada 27 Oktober 2016 rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008. Pasal yang diubah adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28
ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3).
Berikut rincian pada Undang-Undang tentang Informatika dan Transaksi
Elektronik tersebut:
Menghindari multitafsir ketentuan larangan mendistribusikan,
mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
bermuatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 Ayat
(3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:
a. Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik”;
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum; dan
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan
pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disampaikan
kepada DPR RI sebelum disahkan. UU ITE diundangkan pada 21 April 2008 dan
menjadi cyber law pertama di Indonesia.
Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
1. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari
paling banyak Rp1 miliar menjadi paling banyak Rp750 juta;
2. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau
menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp2 miliar menjadi paling
banyak Rp750 juta.
Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan
sebagai berikut:
1. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata
cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang
Undang;
4
https://infopublik.id/kategori/sorot-politik-hukum/514132/kaji-ulang-uu-ite-dengan-pendekatan-keadilan
restoratif# , diakses pada Senin 11 Oktober 2021
2. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai
keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti
hokum yang sah.
Melakukan sinkronisasi ketentuan hokum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan
ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
1. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua
Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP;
2. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan
Negeri setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan
KUHAP.
Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
1. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana
teknologi informasi;
2. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak
pidana teknologi informasi.
Menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk
dilupakan” pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
1. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang
tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang
bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan;
2. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan
Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
6
https://aptika.kominfo.go.id/2019/08/undang-undang-ite/ ,diakses pada Rabu 13 Oktober 2021
7
Mastur, Jurnal Kosmik Hukum, “IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAI TINDAK PIDANA NON KONVENSIONAL”, Vol. 16, No. 2, 157-
4. Analisis Kasus
a. Kasus 1
Kronologi Kasus
Kasus yang terjadi pada awal tahun 2018, di Universitas Sumatra Utara (USU). Kasus
yang menimpa seorang mahasiswi FISIP. Mawar (nama samaran), awal kejadian pada saat
sang mahasiswi, meminta perbaikan nilai salah satu mata kuliah yang diampu oleh HS (inisial
oknum dosen). HS menerima permintaan Mawar, tapi dengan syarat, Mawar harus pergi ke
lokasi penelitian. Pada tanggal 3 Februari 2018, kasusnya pun terjadi. Sebenarnya, Mawar
menaruh curiga, dia sempat mencari informasi apakah dosen tersebut. pernah atau tidak untuk
mengajak mahasiswanya kelokasi penelitian, menurut informasi dari kakak-kakak
angkatannya, mereka mengatakan bahwa dosen itu memang beberapa kali pernah mengajak
mahasiswanya ke lokasi penelitian.
Dalam perjalanan menuju lokasi penelitian, ketika jalanan sepi, HS malakukan hal
yang sangat tidak pantas atas Mawar, HS meraba tubuhnya.Namun kita berpikir akan
bagaimana reaski Mawar saat itu, apa tindakan yang akan dia lakukan untuk membela dirinya
tersebut. Dia takut akan disakiti jika dia melawannya secara frontal, dia hanya berlindung
saja dengan menutupi badannya dengan jaket dan juga tas. Didalam keaadan yang sangat
terdesak seperti itu dia kemudian meminta pertolongan kepada beberapa orang temannya
melalui pesan dari ponselnya. Dengan sangat terdesak, dia hanya mengirimkan sebuah pesan
singkat yang berisikan "Tolong aku". Temannya pun kemudian melakukan panggilan video,
Mawar tidak berani untuk mengangkat. Tindakan keji itu terus-menerus dilakukan SH pada
Mawar dalam perjalanan menuju lokasi penelitian.
8
https://medanheadlines.com/2019/06/18/kasus-cabul-oknum-dosen-usu-rektorat-mengaku-tak-tahu-
kronologis-sebenarnya/, diakses pada Kamis 14 Oktober 2021.
Rektorat Mengaku Tidak Mengetahui Kronologis Yang Sebenarnya
Meski begitu banyak beredar di pemberitaan, pihak dari Rektorat USU justru malah mengaku
bahwa mereka tidak mengetahui kronologis yang sebenarnya.
Begini kata Wakil Rektor I Bidang Akademi dan Kemahasiswaan, "Kami (rektorat)
enggak tau apa-apa. Dekan saat bulan Mei baru nelpon saya ada kasus ini. Lho Saya gak tau
kasus ini saya bilang. Karena kasus sebenarnya sudah bisa diselesaikan di tingkat Fakultas,
Rosmayati, USU, Selasa, 18 Juni 2019. Rosmayati menjelaskan bahwa kasus yang terjadi
pada 2018 tersebut sudah ditangani oleh pihak program studi Sosiologi,dan juga Dekanat dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Prodi mengatakan telah melakukan investigasi
terhadap korban dan juga pelaku (HS), hasilnya adalah, pelaku mengakui bahwa dia memang
bernit mealkukan percobaan pelecehan seksual tersbut.
Rosmayati juga mengatakan bahwa dirinya lebih dahulu tahu tentang kasus ini saat
lembaga pendamping dari korban memberikan surat pertemuan langsung dengan USU.
Pertemuan salah satunya yaitu pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 18 juni 2019.
Pertemuan tersebut berakhir tanpa titik temu karena sebab pihak Rektorat belum mengetahui
kronologi kasus. maka hasilnya adalah tidak ada apapun kejelasan apa yang diputuskan pada
pertemuan tersebut, pertemuan hari itu tidak menghasilkan apapun.
HS ini tidak mengakui bahwa dia telah melakukan tindakan pelecehan tersebut,
pengakuan HS tidak sampai kesitu, dia hanya mengaku bahwa dia mempunyai niat untuk
melakukannya. Dan HS juga menambahkan seperti ini, HS katakan bahwa saat iya ingin
melakukan percobaan tersebut, korban langsung minta turun dari mobil.
Rosmayati juga mempertanyakan sikap dari korban yang melaporkan kasus yang
dihadapinya ke lembaga lain. yang padahal menurut korban yang sebelumnya, dirinya hanya
merasa tertekan jika dia harus melapor kembali ke pihak kampus. Sebabnya laporan yang
sebelumnya diberikan korban ke pihak program studinya, tidak memberikan tanggapan
apapun, yang ada malah menganggap remeh. Rosmayati bilang, "Kenapa si Mahasiswa tidak
melapornya ke kita, tapi ke LSM (melapor). Kenapa takut, kita kan orangtuanya. Yang saya
takutkan, ketakutan itu dalam arti yang lain nanti".
Rosmayati juga meminta agar pemberitaan yang dilakukan di media terkait dengan
kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh HS tidak berdasarkan dengan indikasi,
dengan alasan yang dikatakan Rosmayati adalah ketidaktahuan rektorat atas kasus yang
terjadi, Rosmayati juga mengatakan "Tolong dibuat beritanya jangan ada indikasi-indikasi
yang lain ya. Kami di tingkat universitas belum tahu apa-apa".9
Etika Dosen-Mahasiswa
Kita semua tahu bahwa Institusi Pendidikan Tinggi memiliki pedoman etika
hubungan antara dosen dengan mahasiswa, hal itu untuk melindungi dosen dan mahasiswa
dari hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu fungsi dari etika dosen-mahasiswa adalah
katakan saja seperti pada kasus ini yaitu untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual dalam
ruang lingkup dosen-mahasiswa. Salah satu wujud dari etika dosen-mahasiswa adalah
haruslah dilaksanakan pertemuan pribadi antara dosen dan mahasiswa, dilakukan di ruang
publik yang aman. Harus memiliki jarak antarpribadi yang akan memisahkan antara dosen
dan mahasiswa. Seperti contoh, dosen dan mahasiswa (yang berbeda jenis kelamin) tidak
dibenerkan dalam situasi normal berduaan, seperti berboncengan di sepeda motor, berduaan
dalam satu mobil, ataupun berduaan diruangan yang tertutup juga di ruangan publik yang
tidak aman. Hal seperti demikian perlu dibuat dan dilaksanakan kepada seluruh dosen dan
mahasiswa untuk kebaikan mereka sendiri. Kita tahu, ketika ada dua orang yang berbeda
jenis kelamin hanya berduaan saja dalam situasi tertentu seperti, jauh dari keramaian,
diruangan yang tertutup, ataupun pada satu kendaraan yang sama, potensi pelecehan seksual
kemungkinannya sangat besar akan terjadi.
Bahkan orang-orang yang taat pada agama pun tetap saja rentan akan godaan bila
sedang berduaan saja dalam situasi-situasi tertentu. Ada juga cara yang lain yang bisa
digunakan adalah jika komunikasi antara dosen dan mahasiswa, dalam situasi normal, hanya
diperbolehkan berkomunikasi melalui komunikasi internal dari universitas, bukan telepon,
email pribadi ataupun semacamnya.
Apakah semua universitas di Indonesia mempunyai pedoman etika antara dosen dan
mahasiswa?,
ada aturan seperti ini,"dosen wajib taat pada hukum", "dosen harus menjunjung tinggi visi-
misi dari universitas",
9
https://news.detik.com/berita/d-5354164/viral-dosen-usu-salah-sangka-dan-terharu-perjuangan-mahasiswi-
yatim-piatu, diakses Kamis 14 Oktober 2021.
tetapi untuk aturan semacam itu terlalu umum. Mungkin akan lebih baik jika universitas-
universitas membuat sistem dan pedoman yang lebih terperinci dan juga praktis, misalnya
seperti:
1. Dosen dan mahasiswa jika melakukan komunikasi telepon pribadi sejatinya akan
rentan terjadi pelanggaran etika.
2. Dosen dan mahasiswa yang berbeda jenis kelamin bertemu dan saling berdekatan,
misalnya berada ditempat yang jauh dari keramaian berdua, berboncengan, berduaan
didalam mobil, hal-hal seperti itu kan dikenai pelanggaran etika.
3. Dosen dan mahasiswa saling berkomunikasi dengan bahasa informal, dan
menyerempet tema seksual, biasanya ini karena berkomunikasi dengan nomor telepon
yang privat.10
Menurut hal yang dilakukan oleh dosen atau tenaga pendidik terkait adalah suatu hal
yang salah karena seharusnya ada etika yang harus dijaga antara dosen dengan
mahasiswa/mahasiswinya sesuai dengan aturan dan ketentuan norma yang berlaku didalam
etika seorang tenaga pendidik terhadapa peserta didiknya seperti yang telah disebutkan diatas
seharusnua hubungan antara tenaga pendidik atau dosen dengan peserta didik atau
mahasiswa/i hanya sebatas hubungan didalam pendidikan kalau pun ada hubungan yang
terjadi diluar pendidikan itu masih ada batasan wajarnya, contohnya adalah peserta didik
membantu tenaga pendidik pada saat ada acara dirumahnya itu masih dalam batasan wajar
dan ada orang lain dalam artian mahasiswa/i nya tidak sendiri bersama tenaga pendidik
tersebut sedangkan dalam kasus ini sudah terjadi pelanggaran etika yang dilakukan oleh
tenaga pendidik terhadap peserta didiknya dimana tenaga pendidik hanya mengajak seorang
peserta didiknya dengan dalih untuk melakukan penelitian dan terjadi pula tindakan asusila,
hal ini semakin mencoreng nama baik dari pihak yang terkait dengan tenaga pendidik
tersebut.
Setelah mengetahui hal ini terjadi pihak kampus seperti tidak merespon keluh kesah
dari mahasiswanya itu juga bisa kita katakan pelanggaran kode etik seorang tenaga pendidik
karena yang dimaksud dengan tenaga pendidik tidak hanya yang mengajar tetapi semua orang
yang ada didalam dunia pendidikan bisa kita katakan sebagai tenaga pendidik, dengan tidak
adanya respon yang baik dan malah menyalahkan korban terkait tentu saja lembaga
pendidikan tersebut sudah sangat menciderai kode etik yang ada. Harusnya mereka
mengayomi dan mendukung mahasiswa tetapi ini malah membiarkan begitu saja, bagaiman
perasaan korban jika seperti itu kejadiannya. Seharusnya yang terjadi adalah pelaku diberikan
sanksi oleh pihak terkait baik itu hukuman sosial maupun hukuman moral tetapi dalam kasus
ini tidak dimana pelaku yang seorang tenaga pendidik dibiarkan bebas begitu saja seperti
tidak terjadi hal apapun setidaknya dalam kasus ini lembaga yang terkait merespon apa yang
10
https://www.kompasiana.com/bobby18864/5d0f3782097f3641e424d152/dugaan-pelecehan-seksual-oleh-
dosen-usu-dan-krisis-etika-dosen-mahasiswa?page=1&page_images=1, diakses pada Jumat 15 Oktober 2021.
korban laporkan agar dimasa yang akan datang tidak akan terjadi lagi hal serupa. Dari
beberapa sumber yang telah kami baca bahwa beberapa orang dari pihak terkait bahkan
mempunyai alibi bahwa korbanlah seharusnya yang salah karena lebih dahulu melaporkannya
kepihak lain baru setelah itu melapor ke pihak terkait, sehingga masalah ini semakin berlarut-
larut dan diketahui khalayak ramai. Dan juga pihak terkait meminta media untuk berhenti
menyebarkan berita ini. Menurut kami pribadi pihak media disini tidaklah salah karena
mereka hanya menyampaikan berita yang sudah menjadi pekerjaan mereka dan ditambah
dengan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh tenaga pendidik dari pihak terkait serta
dari alibi-alibi yang diberikan membuat para pihak media semakin ingin lebih untuk
mengusut kasus ini guna menegakkan keadilan bagi korban.
Dari pihak korban sendiri bukannya tidak ada salahnya, seharusnya dia lebih berhati-
hati dalam menerima ajakan dari siapapun apalagi tenaga pendidik atau dosennya sendiri
karena itu melanggar kode etik antara mahasiswa dan tenaga pendidik walaupun dalih dari
dosennya adalah penelitian dan kepentingan dari mahasiswa/i nya untuk penambahan nilai
terkadang hal ini bisa menyebabkan pelanggaran kode etik, beda cerita seandainya sudah ada
persetujuan dari pihak terkait baik itu dari pihak jurusan, fakultas, universitas maupun
lembaga terkait lainnya. Dari pihak korban sendiri dia sudah meminta tolong dengan
temannya tetapi karena permasalahan mental(takut) sehingga tenaga pendidik tersebut berani
untuk melakukan tindakan pelanggaran kode etik dan tindakan asusila tersebut.
Jadi menurut kami disini pelanggaran kode etiklah yang terjadi , yang dilakukan oleh
tenaga pendidik terhadap peserta didiknya serta tindakan asusila karena dari keterangan
korban sempat dipegang-pegang dibagian yang tidak seharusnya dipegang hal itu bisa
menyebabkan penyerahan mental dan jiwa pada seorang peserta didik/mahasiswa/i dengan
adanya kasus seperti ini seharusnya aturan yang ada dilembaga terkait harus semakin
diperketat dan kode etik yang sudah ada tentu saja akan dipertanyakan kegunaannya oleh
karena itu juga pihak terkait harus lebih menjaga dan mengayomi mahasiswa/I nya seperti
yang seharusnya dilakukan oleh tenaga pendidik bukannya malah meninggalkan norma serta
kode etik yang ada hanya untuk melakukan kegiatan yang menguntungkan dirinya sendiri,
hal ini menjadi pelajaran bagi seluruh lembaga pendidikan yang ada diindonesia tentang
bagaimana caranya mereka menjagaagar kode etik ini tetap berlaku dan tidak ada
pelanggaran kode etik sepeti ini lagi kedepannya yang dapat merugikan banyak pihak terlebih
lagi pihak lembaga pendidikan yang terkait , kita sebagai tenaga pendidik harus selalu bisa
memberi contoh yang baik bagi peserta didik sehingga mereka termotivasi untuk belajar
nantinya dan juga bisa saja mereka bercita-cita menjadi tenaga pendidik seperti kita.
b. Kasus 2
Kasus Dosen SM USK
Sosok SM
Kasus
Dosen SM awalnya hanya menyampaikan kritikannya terhadap pihak kampus,
pasal mengenai penerimaan calon pegawai negeri sipil atau CPNS, yang
disampaikan beliau melalui grup whatsapp pada maret 2019 lalu. Hal itu yang
membuat SM terjerat Undang-Undang ITE dengan dugaan
pencemaran nama baik, hingga terancam pidana tiga bulan dipenjara dan juga
denda sebanyak 10 juta Rupiah, karena melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE.
12
https://katadata.co.id/rezzaaji/berita/615ee7604ae50/amnesti-saiful-mahdi-jadi-harapan-baru-penanganan-
kasus-uu-ite dan https://www.merdeka.com/peristiwa/rektor-usk-sebut-kasus-saiful-mahdi-sudah-selesai-
kalau-dari-dulu-minta-maaf.html, diakses pada Sabtu 16 Oktober 2021.
13
https://tirto.id/dosen-unsyiah-saiful-mahdi-divonis-3-bulan-karena-kritik-kampus-ePZb, diakses pada Minggu
17 Oktober 2021
Tanggapan Kami dan Permasalahan Etika dalam kasus ini
Menurut kami pribadi dalam kasus ini kedua pihak tanpa dipungkiri memiliki
kesalahannya masing-masing baik itu dari pihak Dosen SM maupun dari pihak lembaga
terkait, kenapa kami katakan seperti itu ? karena menurut kami cara penyampaian dari Dosen
SM ke lembaga terkait menyalahi etika dari seorang tenaga pendidik walaupun didalam
media sosial sekalipun apakah etis seorang dosen/tenaga pendidik menyampaikan seperti
itu ? menurut kami tidak mau itu didunia nyata maupun didunia maya seorang Dosen/tenaga
pendidik seharusnya bisa menjaga sikapnya dan menyampaikan segala sesuatu dengan baik
dan sopan karena beliau merupakan panutan bagi peserta didiknya, selain itu sikap dari
Dosen SM yang menolak atau membantah terjadinya sidang etik juga sangat kami sayangkan,
karena menurut kami tidak ada salahnya jika mengikuti sidang etik karena itu tidak akan
menjatuhkan martabat dari seorang tenaga pendidik, itu hanya untuk mengingatkan bahwa
ada kode etik tenaga pendidik yang harus dijaga sehingga ada batasan-batasan tertentu yang
membatasi dosen/tenaga pendidik tetapi kami dapat katakan bahwa hal ini tidak bisa
dimasukkan kedalam UU ITE karena yang dilakukan oleh Dosen SM adalah berekpresi dan
memberikan kritik sesuai dengan bukti yang telah dikumpulkannya. Hal ini tidak termasuk
kedalam pencemaran nama baik karena hal yang disinggung/dikritik bersifat subjektif yaitu
lembaga dan tidak mengkritik orang secara langsung menurut kami ini merupakan hal yang
wajar dengan berasaskan pada UUD 1945 tentang kebebasan berekpresi.
Sementara dari pihak oposisi ada salah dan benarnya juga , hal yang benar dari pihak
oposisi adalah mereka menuntut untuk sidang etik dan permintaan maaf secara langsung oleh
Dosen SM melalui aplikasi yang digunakan saat beliau mengkritik pihak terkait, hal itu pula
yang mendasari pihak terkait melakukan penuntutan terhadap Dosen SM apalagi jika dilihat
dari segi UU ITE ada kelonggaran yang menyebabkan pihak terkait dapat melayangkan
gugutan dengan UU ITE sebagai landasannya, disinilah menurut kami yang sedikit salah dari
pihak kampus, seharusnya kritikan seperti ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan tanpa
harus melibatkan pihak pengadilan. Karena hal ini juga UU ITE bisa dianggap sangat mudah
dipermainkan seperti yang sudah kami definisikan diatas.
Seperti yang sudah kami katakan diatas bahwa keduanya memiliki kesalahan masing-
masing, Dosen SM melakukan pelanggaran kode etik tetapi tidak mengakuinya sedang pihak
kampus terlalu cepat dan terkesan mempermainnkan UU ITE dimana hal itu sebenarnya tidak
boleh dilakukan oleh siapapun karena Undang-undang itu adalah hukum mutlak yang ada di
Indonesia dan harus ditaati oleh setiap orang termasuk presiden sekalipun.
Perbandingan kasus
Pada pembahasan ini kami akan membandingkan antara kasus yang pertama yaitu
atas tindakan pelecehan yang dilakukan oleh dosen USU berinisial HS terhadap salah satu
mahasiswinya yaitu Mawar (nama samaran), dengan kasus yang satunya yaitu kasus yang
terjadi terhadap salah satu Dosen Unsyiah berinisial SM. Kasus ini termasuk Fenomena
Gunung Es, kasus yang terlihat kecil dan spele, dan cobalah jika melihatnya hingga ke kali
gunung, itu sangatlah besar.
Diantara kedua kasus tersebut memang memiliki masalah yang sangat berbeda, akan
tetapi keduanya terkait dalam hal yang berhubungan dengan etika, etika antara dosen dengan
mahasiswa juga etika antara dosen dengan sesama dosen. Seperti yang sudah diketahui
bahwa kasus yang pertama yaitu kasus yang dialami oleh Mawar mahasiswi dari Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) merupakan kasus yang sangat serius menurut kami,
pelecehan seksual yang telah dilakukan oleh SM.
Jika menurut di pemberitaan bahwa Mawar memang telah dilecehkan bukan akan
dilecehkan, maknanya berati sudah dilakukan perbuatan tersebut oleh HS. Dan disaat Mawar
dan HS membuat kesaksian akan hal yang sudah terjadi, HS malah mengaku bukan seperti
perkara yang sudah terjadi, HS saat itu mengakui perbuatannya, hanya mempunyai niat untuk
melakukan tindakan pelecehannya terhadap Mawar.
Namun, setelah itu Mawar bergerak untuk melaporkannya ke Rektorat USU langsung,
pihak Rektorat pun tidak menanggapinya dengan baik, mereka malah mengungkapkan bahwa
pihak Rektorat tidak mengetahui dengan jelas akan kronologi kejadian yang terjadi itu. Pihak
Rektorat hanya cuman memberikan sanksi ringan terhadap HS, yaitu HS mendapatkan sanksi
skorsing, dan surat peringatan, surat itu saja pun dibuat dengan asal-asalan bahkan tanpa
stempel resmi Universitas.
Diakhir pun Mawar tetap saja tidak mendapatkan tanggapan yang berarti dari pihak
Universitas terhadap kasus yang terjadi kepadanya. Dengan ini Mawar menuntut keadilan.
Kasus kedua adalah kasusnya salah seorang dosen dari Unsyiah berinisial SM. SM
menyampaikan kritikannya perilah penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). SM
menyampaikan kritikannya ini di grup whatsapp, jika pendapat kami, sebenarnya SM
memberikan kritik tersebut perihal penerimaan CPNS tidak salah, hanya saja tutur kata yang
dipakai SM kurang berkenaan seperti tidak mencerminkan sebagai seorang pendidik.
SM juga awalnya dikenai hukuman pidana penjara selama 3 bulan dan juga
membayar denda sebanyak 10 Juta Rupiah. Tetapi pada kasus ini turut hadir pula peran
Presiden Jokowidodo. Dimana beliau mengabulkan pengajuan yang diajukan SM dan
penasihat hukumnya. Dikabulkannya amnesti untuk SM yang akan meniadakan pidana.
Baberapa kali pernah diadakan pertemuan guna membahas kasus SM ini, SM dimintai
hadir di pertemuan itu untuk memberikan klarifikasi terhadap kasusnya, namun banyak kali
SM selalu menolak untuk ikut hadir pada pertemuan tersebut. Hingga pertemuan yang
diadakan pada tanggal 18 Mei 2019, baru itu untuk pertama kalinya SM hadir di pertemuan
tersebut.
Sebagaimana telah dibahas diatas mengenai etika profesi disetiap kasus yang ada
sekarang kami akan membahas sedikit mengenai etika profesi tenaga pendidik.
1. Pengertian
Etika profesi tenaga pendidik dapat diartikan sebagai kesadaran seorang guru
terhadap nilai-nilai yang telah disepaki, adanya kesediaan seorang guru untuk
berdialog dengan entitas organisasi, etika dijadikan pedoman untuk melakukan
interaksi dengan sesama guru. Etika tersebut bersifat untuk mengikat secara
sosial, moral, dan hukum karena itu menjadi acuan seorang guru didalam
menjalani profesinya didunia pendidikan dan diluar dunia pendidikan.14
14
Desi Eri Kusumaningrum, Raden Bambang Sumarsono, Pengaruh Kepemimpinan Pembelajaran,
Kepemimpinan Perubahan, Kepemimpinan Spiritual, Budaya Sekolah, dan Etika Profesi terhadap Kinerja
Mengajar Guru, (Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang
Jalan Semarang 5 Malang 65145:2020), hlm. 200-201.
- Bergaul, bertegur sapa, bersalaman, bertutur kata dengan sopan, wajar,
simpatik, edukatif, bermakna berdasarkan norma moral yang berlaku baik
itu sesaka tenaga pendidik serta kepada siswa
- Mampu menciptakan, mengembangkan serta mencerminkan hati nurani
yang baik kepada sesama warga sekolah dengan berlandaskan keimanan
kepada Allah SWT.15
16
Rita Mariyana, “ Etika Profesi Guru ”,.
17
Rita Mariyana, “ Etika Profesi Guru ”,.
Penarapan kode etik/ etika profesi khususnya bagi tenaga pendidik
sebagaimana yang telah diatur oleh pihak terkait. Etika profesi ini tidak dapat
diterapkan pada individu karena bisa menjadi pelanggaran hukum tetapi
penerapannya yaitu pada organisasi sehingga tidak dapat dituntut sembarangan
oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kode etik sendiri dalam penerapannya lebih memfokuskan pada
kedisiplinan tergantung profesi yang dijalani, apabila orang yang masuk
kesuatu lembaga khususnya lembaga pendidikan maka etika profesi tersebut
sudah berlaku juga atas dirinya dan harus menjalani profesi tenaga pendidik
ini dengan baik dan tulus serta ikhlas dan apabila melanggar hal tersebut maka
akan dikenakan sanksi sesuai dengan yang sudah diberlakukan didalam
lembaga pendidikan yang ada diindonesia.
KESIMPULAN
UU ITE
19
Kongres Guru ke XVI, 1989 di Jakarta
UU ITE merupakan undang-undang yang dibuat untuk mengatur segala sesuatu yang
menyangkut dengan informasi elektronik dan transaksi elektronik serta hal-hal yang berlaku
di dunia cyber(internet). UU ITE sendiri dibuat untuk menghadapi permasalahan yang terjadi
mengenai cara penyampaian informasi, komunikasi, dan transaksi yang dilakukan secara
elektronik dan membatasi masyarakat dalam penggunaan hal tersebut yang berkaitan dengan
kejahatan cyber atau hal-hal yang berbau kejahatan cyber lainnya. UU ITE sendiri dipakai
sebagai hukum cyber diindonesia yang mengatur semua hal dalam internet dan juga mengatur
tentang hukuman bagi pelaku kejahatan cyber, tidak hanya itu cyber law ini juga mengatur
tentang hak setiap orang sebagai penegasan dimana maksudnya adalah bagi orang yang
dengan sengaja melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik. Salah satu yang menjadi
pertimbangan lahirnya UU ITE adalah untuk mendukung perkembangan teknologi informasi
dengan mematuhi hukun dan aturan yang ada sehingga dapat dimanfaatkan secara aman
untuk mencegah penyalahgunaan dengan berdasarkan norma-norma agama serta adat dan
kehidupan sosial yang ada dimasyarakat indonesia. UU ITE merupakan suatu aturan yang
diperlukan untuk menjadi dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi
elektronik.
UU ITE sendiri sudah 7 kali digugat di mahkamah konstitusi(MK), gugatan yang
dilayangkan biasanya mengenai kebebasan dalam berpendapat yang selalu ditolak,
berdasarkan jurnal yang kami baca setidaknya gugatan terhadap pasal penyadapan pada tahun
2010 yang pernah dikabulkan alasan mahkamah konstitusi menolak hal ini adalah dengan
mengingat betapa pentingnya UU ini sebagai contohnya kami mengambil bahwa
kemungkinan mahkamah konstitusi berpendapat bawa tanpa UU ini orang bebas untuk
menghina orang lain baik itu publik figure, pejabat bahkan presiden sekalipun.
c. Kelemahan UU ITE
- UU ITE sangat membatasi hak untuk berekpresi dan menghambat kreativitas seseorang
dalam dunia cyber hal ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan
berpendapat
- Beberapa dari hal yang bisa kita katakan sebagai Cyber Crime masih terlewat dari UU ITE
serta kurang tegas dan kurang detail terhadap peraturan dalam tingkatan rendah contohnya
adalah masalah spamming dan penjualan data pribadi.
- Banyak pasal yang dianggap karet atau tidak tegas karena pasal tersebut bersifat subjektif,
UU ini juga tidak bisa berdiri sendiri karena ada kaitannya juga dengan UU tentang
Pornografi
d. Kelebihan UU ITE
- UU ITE mempunyai kelebihan yaitu sebagai salah sau yang dapat menjadi rujukan dalam
pengantipasian adanya kemungkinan penyalahgunaan internet yang dapat merugikan
masyrakat luas dengan kata lain UU ITE dapat mengpidana dan menghakimi orang yang
melakukan kejahatan cyber
- UU ITE tidak hanya membahas tentang situs porno tetapi juga membahas bagaimana cara
kita untuk hidup didunia maya dan aturan melakukan transaksi didalamnya
- UU ITE menjadi dasar hukum mengenai alat bukti berupa elekronik yang dapat diterima
dipersidangan
- Dapat menjadi bukti tambahan dalam hukum pidana misalnya seperti yang tercantum dalam
KUHP
- Memperluas cangkupan dalam pemberian bukti hukum seperti yang telah diatur dalam
hukum yang ada diindonesia
- Membatasi gerak kriminalitas dalam dunia cyber
- Menjadi acuan masyarakat dalam bagaimana harus bersikap didunia maya/sosial media
Kita semua tahu bahwa Institusi Pendidikan Tinggi memiliki pedoman etika
hubungan antara dosen dengan mahasiswa, hal itu untuk melindungi dosen dan mahasiswa
dari hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu fungsi dari etika dosen-mahasiswa adalah
katakan saja seperti pada kasus ini yaitu untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual dalam
ruang lingkup dosen-mahasiswa. Salah satu wujud dari etika dosen-mahasiswa adalah
haruslah dilaksanakan pertemuan pribadi antara dosen dan mahasiswa, dilakukan di ruang
publik yang aman. Harus memiliki jarak antarpribadi yang akan memisahkan antara dosen
dan mahasiswa. Seperti contoh, dosen dan mahasiswa (yang berbeda jenis kelamin) tidak
dibenerkan dalam situasi normal berduaan, seperti berboncengan di sepeda motor, berduaan
dalam satu mobil, ataupun berduaan diruangan yang tertutup juga di ruangan publik yang
tidak aman. Hal seperti demikian perlu dibuat dan dilaksanakan kepada seluruh dosen dan
mahasiswa untuk kebaikan mereka sendiri.
Banyak sekali sudah terjadi kesalahan dalam pendidikan terutama dalam hal kode etik, salah
satunya seperti kasus yang ada diatas. Menurut kami pribadi dalam kasus ini kedua pihak
tanpa dipungkiri memiliki kesalahannya masing-masing baik itu dari pihak Dosen SM
maupun dari pihak lembaga terkait, kenapa kami katakan seperti itu ? karena menurut kami
cara penyampaian dari Dosen SM ke lembaga terkait menyalahi etika dari seorang tenaga
pendidik walaupun didalam media sosial sekalipun apakah etis seorang dosen/tenaga
pendidik menyampaikan seperti itu ? menurut kami tidak mau itu didunia nyata maupun
didunia maya seorang Dosen/tenaga pendidik seharusnya bisa menjaga sikapnya dan
menyampaikan segala sesuatu dengan baik dan sopan karena beliau merupakan panutan bagi
peserta didiknya, selain itu sikap dari Dosen SM yang menolak atau membantah terjadinya
sidang etik juga sangat kami sayangkan, karena menurut kami tidak ada salahnya jika
mengikuti sidang etik karena itu tidak akan menjatuhkan martabat dari seorang tenaga
pendidik, itu hanya untuk mengingatkan bahwa ada kode etik tenaga pendidik yang harus
dijaga sehingga ada batasan-batasan tertentu yang membatasi dosen/tenaga pendidik.
Seperti yang sudah kami katakan diatas bahwa keduanya memiliki kesalahan masing-masing,
Dosen SM melakukan pelanggaran kode etik tetapi tidak mengakuinya sedang pihak kampus
terlalu cepat dan terkesan mempermainnkan UU ITE dimana hal itu sebenarnya tidak boleh
dilakukan oleh siapapun karena Undang-undang itu adalah hukum mutlak yang ada di
Indonesia dan harus ditaati oleh setiap orang termasuk presiden sekalipun.
Penarapan kode etik/ etika profesi khususnya bagi tenaga pendidik sebagaimana yang telah
diatur oleh pihak terkait. Etika profesi ini tidak dapat diterapkan pada individu karena bisa
menjadi pelanggaran hukum tetapi penerapannya yaitu pada organisasi sehingga tidak dapat
dituntut sembarangan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dalam hukum yang berlaku secara ini negara berhak ikut campur didalam profesi sehingga
hukum yang ditetapkan dalam suatu profesi bisa dikatakan berat yang akan dilandaskan pada
undang-undang, seperti sanksi apabila melakukan kecurangan terhadap kawan sesama
profesi, melakukan tindakan asusila terhadap peserta didik maka hal ini akan dianggap serius
dan bisa dikatakan sebagai pelanggaran kode etik seorang guru sehingga akan dikenakan
sanksi yang berat.