Anda di halaman 1dari 35

KRIMINOLOGI UNTUK

KESEJAHTERAAN RAKYAT
INDONESIA

Muhammad Mustofa

Pidato Pengukuhan Diucapkan pada


Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam bidang
Ilmu Metode dalam Krimlnologi pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
di Balai Sidang Universitas Indonesia
pada Tanggal 21 Januari 2004

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


BismillahirrahmanniiTahim,

Yang terhormat,
Rektor Universitas Indonesia
Dewan Guru Besar Universitas Indonesia
Senat Guru Besar Universitas Indonesia
Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia
Para Wakil Rektor Universitas Indonesia
Dekan dan Para Wakil Dekan HSIP Universitas Indonesia
Para Dekan dan Wakil Dekan di lingkungan Universitas Indonesia
Rekan-rekan pengajar
Para mahasiswa
Sanak saudara dan kerabat
Para undangan yang saya muliakan
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya pertama-


tama untuk menyampaikan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa
Ta'ala, atas nikmat dan rahmat-Nya yang dilimpahkan kepada kita semua,
sehingga kita dapat berkumpul di tempat ini untuk menghadiri upacara
pengukuhan saya sebagai Guru Bdsar dalam bidang Ilmu Metode dalam
Kriminologi pada Universitas Indonesia.
Hadirin yang saya hormati,
Bagi saya, upacara pengukuhan guru besar ini, di samping
merupakan wujud syukur kepada Allah SWT. atas nikmat dan rahmat-
Nya, juga merupakan salah satu bentuk akuntabilitas kepada masyarakat
atas apa saja yang telah saya lakukan dalam menekuni bidang kriminologi
selama ini, sehingga saya dipercaya untuk menduduki jabatan akademik
guru besar. Sebab, saya bisa mempunyai kesempatan untuk menekuni
bidang kriminologi, sebagian besar adalah berkat biaya yang dikeluarkan
oleh masyarakat. Oleh karena itu, dalam pidato ini saya mengambil tema
"Kriminologi untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia" yang akan saya
coba jelaskan berikut ini.
Pembahasan terhadap tema tersebut, akan saya bagi dalam tiga
bagian yaitu:
1. Pengertian kriminologi dan objek penelitian kriminologi.
2. Realitas kriminalitas di Indonesia.
3. Peran kriminologi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


Pengertian Kriminologi dan Objek Penelitian Kriminologi

Hadirin yang saya muliakan,

Sebagian besar orang ketika pertama kali mendengar atau membaca


kata kriminologi cenderung mengaitkan kata tadi dengan pendidikan
hukum, karena kata kriminologi yang di dalamnya mengandung pengertian
kriminal atau kejahatan berhubungan dengan pelanggaran hukum pidana.
Dan ilmu hukum membahas pelanggaran hukum pidana tersebut. Ada
juga orang yang mengaitkan kata kriminologi dengan pekerjaan detektif,
karena detektif bertugas untuk mengungkapkan kejahatan. Hampir tidak
ada orang yang mengaitkan kata kriminologi (ketika pertama kali
mendengar atau membacanya) dengan kesejahteraan rakyat. Persepsi
orang yang mengaitkan kata kriminologi dengan pendidikan hukum pidana
atau dengan pekerjaan detektif tadi tidak sepenuhnya salah, tetapi juga
tidak sepenuhnya benar.
Kata kriminologi {criminology dalam bahasa Inggris, kriminologie
dalam bahasa Belanda) berasal dari dua kata Latin "crimen" dan
"logos". Crimen berarti kejahatan dan logos berarti ilmu. Dengan
demikian secara harfiah kriminologi berarti ilmu pengetahuan ilmiah
tentang kejahatan (bukan ilmu kejahatan/ilmu menjadi penjahat).
Kata kriminologi ini untuk pertama kali dipergunakan pada akhir
abad ke sembilan belas oleh seorang sarjana antropologi berbangsa
Francis yaitu Paul Topinard. Namun demikian pembahasan ilmiah
masalah-masalah yang sekarang menjadi salah satu objek penelitian
kriminologi yaitu pembinaan terpidana penjara telah terbit lebih awal,
misalnya karya-karya Cesare Beccaria (1738-1794), dan Jeremy Bentham
(1748-1832). Kemudian Andre Guerry mempublikasikan analisisnya tentang
penyebaran geografis kejahatan di Francis tahun 1829. Ahli matematika
Belgia Adolphe Quetelet menerbitkan sebuah karya ambisius tentang
penyebaran sosial kejahatan di Francis, Luxemburg, dan Belanda pada
tahun 1835. Selain karya-karya sbsiologis tersebut di atas, Cesare
Lombroso (1835-1909) dan muridnya Enrico Ferri (1856-1928) dengan
mempergunakan metode antropologi ragawi mencoba mengembangkan
teori kriminalitas berdasarkan faktor biologis. Kedua orang ini merupakan
pelopor pendekatan positivis dalam meneliti kejahatan, yaitu memperlakukan
kejahatan sebagai objek penelitian seperti gejala yang dipelajari dalam
ilmu alam {lihat Trasler, 1977: 45-46).
ICriminologi modem yang berkembang sebagai ilmu pengetahuan

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


ilmiah sekarang ini, secara sendiri-sendiri melandaskan diri pada salah
satu cabang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu tertentu, yaitu sosiologi,
psikologi, psikiatri, dan hukum (Trasler, 1977). Kiimlnologi yang melandaskan
diri pada disiplin sosiologi merupakan kriminologi yang dominan dan paling
besar pengaruhnya di antara yang lain. Di Indonesia kriminologi dipelajari
dan dikembangkan oleh Departemen Kriminologi pada FISIP Universitas
Indonesia dengan melandaskan diri pada disiplin sosiologi yang memandang
kejahatan sebagai masalah sosial. Kalau sosiologi mempelajari bekeijanya
masyarakat dalam dimensi ideal masyarakat yang terintegrasi, maka
kriminologi dapat dikatakan mempelajari sisi gelap dari masyarakat (the
dark side of society).
Dengan melandaskan diri pada disiplin sosiologi, maka untuk
mendalami kriminologi memerlukan pengetahuan dasar sosiologi, khususnya
teori-teori dan metode penelitian yang baku dalam sosiologi. Namun
demikian sebagai ilmu pengetahuan ilmiah mandiri, ruang lingkup penelitian
kriminologi, konsep, teori dan metode penelitiannya telah berkembang
secara khusus, tidak serta merta mempergunakan metode penelitian sosial
yang umum.
Bila kita telaah definisi-definisi kriminologi yang telah dibuat oleh
para ahli kriminologi, dapat disimpulkan bahwa yang merupakan objek
penelitian kriminologi meliputi:
a) perumusan sosial pelanggaran hukum, penyimpangan sosial,
kenakalan dan kejahatan;
b) pola-pola tingkah laku dan sebab-musabab teijadinya pola
tingkah laku yang masuk dalam kategori penyimpangan sosial,
pelanggaran hukum, kenakalan dan kejahatan;
c) pola dan peran korban kejahatan bagi munculnya suatu
peristiwa kejahatan, serta kedudukan korban kejahatan dalam
hukum dan masyarakat;
d) reaksi sosial formal, informal, dan nonformal terhadap pelaku
kenakalan, kejahatan, penyimpangan sosial, pelanggaran hukum,
dan korban kejahatan (lihat Bonger, 1970; Sutherland, Cressey,
1974; Taft, England Jr., 1964; Mannheim, 1965; Reckless,
1973; Johnson, 1968; Yablonsky, 1974; Dressier, 1972; Gibbons,
1977; Quinney, 1975; Glaser, 1974; Fox, 1976).

Secara ringkas objek penelitian kriminologi dapat dikatakan meliputi:


kejahatan, pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan reaksi sosial terhadap

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


kejahatan, pelaku kejahatan, dan korban kejahatan.
Berdasarkan objek-objek penelitian tersebut di atas, maka yang
menjadi pilar utama disiplin kriminologi tneliputi: Teori Kriminologi,
Sosiologi Perilaku Menyimpang, Penologi, Sosiologi Hukum, dan Viktimologi
yang didukung oleh Metode Penelitian (dalam) Kriminologi.
Kejahatan, sebagai objek penelitian utama kriminologi diartikan
sebagai pola tingkah laku dalam masyarakat {yang sering terjadi di
masyarakat) yang tidak mengikuti atau tidak sesuai dengan nilai-nilai
dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai dan norma-
norma tersebut tidak hanya yang dirumuskan secara formal dalam hukum
nasional, tetapi juga yang hidup dalam masyarakat walaupun tidak
dicantumkan dalam hukum nasional. Pencantuman suatu tingkah laku
menjadi kategori kejahatan dalam hukum pidana pada dasamya merupakan
proses politik yang dilakukan oleh badan legislatif dan pemerintah.
Dengan demikian pengaruh kepentingan politik dalam perumusan hukum
pidana tersebut akan lebih menonjol dibandingkan kepentingan mewujudkan
aspirasi masyarakat, karena lembaga legislatif yang merupakan lembaga
politik cenderung sarat dengan pergumulan politik antarpartai politik yang
terwakili di dalamnya. Dari uraian di atas, yang ingin ditegaskan adalah
bahwa batasan kejahatan dalam kriminologi merupakan batasan sosial,
atau kejahatan sebagai kategori sosial, dan bukan batasan hukum pidana
yang dibatasi oleh asas legalitas (tergantung pada rumusan hukum).
Dengan kata lain, secara emik kriminologi memperhitungkan konsep
kejahatan menurut kacamata masyarakatnya sendiri dan bukan menurut
kacamata orang luar. Masyarakat akan menyatakan bahwa suatu tingkah
laku disebut sebagai kejahatan apabila tingkah laku tersebut mempunyai
dampak yang merugikan masyarakat. Kerugian masyarakat tersebut dapat
diukur berdasarkan harta benda, tetapi dapat juga diukur berdasarkan
ketidaksesuaiannya dengan standar moral yang dianut masyarakat.
Apabila suatu tingkah laku dari anggota masyarakat dianggap
sangat merugikan dan membahayakan atau dapat mengganggu ketertiban
sosial, karena sering terjadi di masyarakat, maka melalui lembaga
legislatif tingkah laku tersebut akan dicantumkan dalam hukum pidana
sebagai tingkah laku yang dilarang dan kepada pelakunya dikenakan
sanksi pidana. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, tidak semua
tingkah laku yang dianggap merugikan kemudian dicantumkan dalam
hukum pidana sebagai kejahatan. Sebaliknya, ada pula tingkah-tingkah
laku yang oleh masyarakat dianggap sebagai tingkah laku biasa atau

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


tidak merugikan masyarakat, tetapi oleh lembaga legislatif dicantumkan
dalam hukum pidana sebagai tingkah laku yang dilarang. Oleh karena
itu, kriminologi yang melandaskan diri pada sosiologi, tidak membatasi
konsep kejahatan sebagai semata-mata pelanggaran hukum pidana tetapi
keseluruhan tingkah laku yang tidak disukai oleh masyarakat, termasuk
pelanggaran hukum apa saja, yang tidak sesuai dengan standar moral
masyarakat, dan sering terjadi di masyarakat (terpola). Ukuran bahwa
tingkah laku yang tidak disukai masyarakat tersebut merupakan gejala
sosial adalah pada realitas bahwa tingkah laku tersebut sering teqadi
di dalam masyarakat.
Pelanggaran hukum yang diperhatikan dalam kriminologi menjadi
kejahatan sebagai gejala sosial adalah pelanggaran hukum yang tinggi
tingkat kejadiannya di masyarakat, dengan tanpa memperhatikan apakah
masing-masing pelakunya tergolong pelaku penyimpangan primer atau
sekunder. Jadi bila teijadi pelanggaran hukum yang serins, tetapi tingkat
kejadiannya relatif rendah (misalnya, kasus Robot Gedeg dan Sumanto)
tidak menjadi perhatian karena bukan pelanggaran hukum pidana yang
terpola di masyarakat.
Tingkah-tingkah laku yang disebut sebagai kejahatan tersebut
sesungguhnya merupakan himpunan tingkah laku yang beraneka ragam
yang tidak disukai oleh masyarakat, mulai dari menipu, mencuri,
merampok, menganiaya, memperkosa, membunuh (yang pada umumnya
akan dicantumkan sebagai tindakan yang dilarang dalam hukum pidana),
korupsi, white-collar crime, kejahatan korporasi, dan pelanggaran hak-
hak asasi manusia, termasuk tidak mewujudkan kesejahteraan rakyat,
yang secara sosiologis dilihat sebagai tingkah laku yang merugikan
masyarakat, tetapi tidak selalu dicantumkan sebagai tindakan yang
dilarang dalam hukum pidana. Kalaupun bentuk-bentuk kejahatan yang
disebut terakhir ini dikategorikan sebagai pelanggaran hukum pidana,
namun karena sifat merugikan masyarakatnya tidak kasat mata, penindakan
terhadap kejahatan tersebut di mata masyarakat terlihat tidak sungguh-
sungguh dilakukan oleh penegak hukum.
Konsep white-collar crime sendiri adalah konsep sosiologis yang
lebih menekankan aspek ciri pelakunya, yaitu orang yang mempunyai
kedudukan sosial tinggi yang melakukan tindakan yang merugikan melalui
jabatan sah yang disandangnya (Sutherland, 1940). Sebagai konsep
sosiologis, maka white-collar crime tidak akan pemah ditemukan dalam
rumusan hukum pidana manapun. Sementara itu Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 Pasal 1 (6) tentang Hak Asasi Manusia merumuskan

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


bahwa:
"pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja
maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut
Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang ini, dan tidak akan mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku".

Rumusan hukum di atas secara sosiologis dapat ditafsirkan bahwa


pelanggaran hak asasi manusia dan tidak mewujudkan kesejahteraan
rakyat (karena kesejahteraan rakyat juga disebut sebagai hak asasi
manusia), merupakan tindakan yang sangat merugikan masyarakat dan
oleh karenanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam perspektif
sosiologis.
Konsep kejahatan secara sosial mengandung implikasi bahwa
pengertian tersebut menjadi relatif, tergantung kepada bagaimana
masyarakat yang bersangkutan mendefinisikannya. Sebab, bila suatu
masyarakat merumuskan suatu tingkah laku sebagai kejahatan, tidak
berarti bahwa rumusan tadi juga berlaku pada masyarakat lain. Masing-
masing masyarakat mempunyai tolok ukur sendiri dalam merumuskan
suatu tingkah laku sebagai kejahatan. Relativitas konsep kejahatan
menurut masyarakat ini juga akan dipengaruhi oleh dimensi waktu. Pada
suatu periode suatu tingkah laku dapat dirumuskan sebagai kejahatan,
tetapi dalam kurun waktu yang lain tingkah laku tersebut tidak lagi
disebut sebagai kejahatan.
Melihat batasan kejahatan dalam kriminologi yang tampak seolah-
olah tidak tegas batasnya, padahal untuk melakukan penelitian ilmiah perlu
adanya batasan yang tegas, maka timbul persoalan bagaimana metode
penelitian yang dipergunakan mampu memperoleh data yang valid. Atas
dasar itulah, para ahli kriminologi mengembangkan metode penelitian
sendiri, yang pada dasamya berpijak pada metode penelitian sosial, agar
mampu menjaring data objek penelitiannya yang valid serta mampu
mengukur jangkauan tingkat validitas ekstemal dari penelitiannya.
Gejala kejahatan dipelajari dalam kriminologi dengan tujuan untuk
dapat menjelaskan bentuknya, sebab-musabab terjadinya, polanya,
hubungannya dengan masyarakat tempat teijadinya peristiwa kejahatan
tersebut, serta konsep kejahatan yang dianut masyarakat. Tujuan dari

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


penelitian terhadap kejahatan tersebut terutama agar supaya dapat
dirancang upaya-upaya penanggulangannya, dalam bentuk kebijakan publik
yang selaras dengan pemahaman atas gejala kejahatan tersebut. Dengan
demikian sebelum melakukan penelitian tentang gejala kejahatan, terlebih
dahulu harus mempunyai pemahaman yang tepat tentang gejala tersebut.
Hal ini merupakan keharusan ontologis agar peneliti dapat memperoleh
data yang sesuai dengan batasan yang berlaku dalam kriminologi (yang
sosiologis). Peneliti tidak boleh terpaku pada pengertian kejahatan sebagai
pelanggaran hukum pidana saja, karena dalam pengumpulan data tentang
kejahatan sebagai gejala sosial bila dibatasi oleh rumusan hukum pidana,
tidak akan dapat memperoleh data yang valid secara kriminologis.

Penjahat atau pelaku kejahatan sebagai orang yang melakukan


pelanggaran hukum, tindakan kejahatan atau perilaku menyimpang secara
ontologis tidak dapat dipisahkan dari konsep kejahatan dan perilaku
menyimpang yang dirumuskan secara sosiologis. Bagi kriminologi konsep
penjahat berbeda dari konsep hukum. Seseorang disebut sebagai penjahat
atau pelaku penyimpangan bila pola tingkah lakunya merupakan tingkah
laku kejahatan atau penyimpangan.
Dengan demikian, baik pelanggaran hukum maupun perilaku
menyimpang, bila masih dalam kategori penyimpangan primer, tingkah
laku tersebut tidak akan dikategorikan sebagai kejahatan karena tidak
menjadi tingkah laku yang terpola atau berulang-ulang dilakukan oleh
pelakunya, dan bersifat situasional. Sifat tingkah laku situasional artinya
tingkah laku tersebut muncul dalam keadaan yang amat khusus saja,
dan kemungkinan adanya pengulangan tingkah laku kecil saja.
Penyimpangan primer dipelajari dalam rangka mengantisipasi agar supaya
tidak menjadi penyimpangan sekunder.
Selaras dengan uraian di atas, maka yang dikategorikan sebagai
kejahatan adalah tingkah laku pelanggaran hukum atau penyimpangan
sosial yang secara berulang dilakukan oleh pelakunya. la merupakan
tingkah laku yang terpola atau menetap dari pelakunya dan merupakan
ciri menonjol dari pelakunya dan menjadi kategori penyimpangan
sekunder. Sifat tingkah laku menetap, artinya tingkah laku tersebut sudah
menjadi karakter pelakunya dan merupakan pola (pilihan utama) tingkah
laku yang secara berulang-ulang dilakukan.
Perluasan konsep kejahatan dan penjahat dalam kriminologi (dari
semata-mata pelanggaran hukum pidana) yang diuraikan di atas tadi,
dapat dirinci secara lebih sistematis menjadi:

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


• pelanggaran hukum, atau 'kenakalan bila pelakunya rnasih
dikategorikan sebagai anal^
• perilaku menyimpang ' - .
• kejahatan . ^ "
i

Apabila seorang individu melakukan pelanggaran hukum pidana,


betapapun seriusnya sifat pelanggaran'tersebut (misalnya pefnbunuhan),
tetapi bila tingkah laku tersebut bukan merupakah tingkah laku yang
terpola pada individu tersebut, maka secara knminologis tindakan tersebut
dikategorikan sebagai pelangg^an hukum (pidana) saja. Batasan ini
penting dalam rangka merancang program penghukuman dan pembinaan
terhadapnya.
Bentuk-bentuk perilaku menyimpang seperti perjudian, pemabukan,
pelacuran, penyalahgunaan narkotika, homoseksualitas dan lain sebagainya
pada dasamya merupakan tingkah laku yang tidak menghasilkah kerugian
materi pada masyarakat. la menjadi kategori tindakan yang tidak disukai
oleh masyarakat karena bertentangan dengan standar moral masyarakat.
Tidak semua bentuk perilaku menyimpang ini dicantumkan dalam hukum
pidana sebagai tindakan yang dilarang. Dicantumkannya perilaku
menyimpang pada hukum pidana sangat tergantung pada definisi masyarakat
yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, konsep penyimpangan perilaku juga
bersifat relatif dan terkait dengan relativitas budaya. Suatu tindakan oleh
suatu masyarakat disebut sebagai penyimpangan perilaku, pada masyarakat
lain mungkin tidak" dikategorikan sebagai penyimpangan, misalnya perjudian
yang pada budaya tertentu dianggap sebagai hal yang biasa: Secara
lugas, Geiss mengatakan bahwa penyimpangan perilaku bukan urusan
hukum untuk mengatumya. Biarkan masyarakat sendiri yang bereaksi
terhadap tingkah laku tersebut tanpa hams melibatkan pranata sistem
hukum Q^ihat Geiss, 1979). Bagi kriminologi perilaku menyimpang menjadi
relevan dipelajari apabila, pertcuficLj bertentangan dengan moralitas
masyarakat, dan; kedua, mempakan perilaku yang tingkat kejadiannya
tinggi di masyarakat.
Untuk memudahkan pemahaman perbedaan kategori antara
pelanggaran hukum, penyimpangan sosial, dan kejahatan dapat dilihat
pada bagan di bawah ini, bagaimana sifat dari ketiga bentuk tingkah
laku tersebut, apakah situasional atau sudah menetap. Pemisahan antara
tingkah laku situasional atau menetap akan penting artinya bagi usaha
pengendaliannya, yang akan dibahas lebih lanjut dalam uraian tentang
reaksi masyarakat.

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


Pelanggaran hukum (pidana), moral Situasional

Perilaku menyimpang Menetap


Kejahatan Menetap

Reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat. Secara umum


reaksi sosial dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu reaksi
sosial formal dan reaksi sosial nonformal. Seringkali orang memasukkan
kategori reaksi sosial informal sebagai lawan atau pasangan dari reaksi
sosial forjnal. Namlin dari sifat hakikamya, reaksi sosial informal tidak
dapat dilepaskan dari pengertian reaksi sosial formal, yakni reaksi yang
dilakukan oleh pranata formal dalam sistem peradilan pidana tetapi
dilakukan secara tidak formal atau tidak iriengikuti aturan formal yang
berlaku.
Secara definitif pengertian dari reaksi sosial terhadap kejahatan dan
penjahat adalah berbagai macam tindakan yang diambil oleh masyarakat
dalam rangka menanggulangi atau mengendalikan kejahatan, menindak
pelaku kejahatan agar supaya .masyarakat terbebas dari kejahatan dan
pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya. Reaksi sosial formal
adalah tindakan yang diambil oleh masyarakat melalui pembentukan
aturan formal dan pranata formal untuk mengendalikan kejahatan.
Pranata sosial formal yang dibentuk oleh masyarakat dalam rangka
pengendalian kejahatan adalah berbagai pranata dalam sistem peradilan
pidana, mulai dari pranata kepolisian, kejaksaan, badan peradilan, dan
penjara (lembaga pemasyarakatan). Reaksi sosial formal juga dapat
berbentuk kebijakan publik dalam rangka mengurangi dorongan terhadap
orang untuk melakukan pelanggaran hukum atau penyimpangan sosial.
Kebijakan publik tersebut harus diarahkan pada perwujudan kesejahteraan
sosial.
Pranata-pranata pengendalian sosial formal tersebut di atas, dibentuk
berdasarkan sistem hukum dan hukum yang berlaku. Fungsi dan
kewenangan dari masing-masing pranata tersebut, yang juga dikenal
sebagai pranata pengendalian sosial formal, diatur melalui peraturan
perundangan. Namun demikian, dalam pelaksanaan tugasnya setiap
pranata tersebut acapkali tidak mengacu kepada peraturan perundangan
yang berlaku, demi suatu tujuan yang positif. Misalnya apabila ada
seorang anak yang menurut hukum belum dewasa tertangkap polisi

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


karena melakukan pencurian untuk pertama kali, polisi yang menanganinya
tidak memprosesnya secara hukum, dan mengembalikan anak tersebut
kepada orang tuanya. Polisi mengambil tindakan tersebut, yang dikenal
sebagai diskresi polisi, dengan pertimbangan bahwa pelanggaran tersebut
tidak serius dan pelaku masih muda usia, dan demi tujuan untuk mendidik
anak maka kepada anak tersebut cukup diberi peringatan agar tidak
mengulangi perbuatannya. Dalam contoh ini, polisi adalah pranata formal,
tetapi tindakan diskresi tadi merupakan tindakan informal oleh pranata
formal.
Selaras dengan uraian di atas, maka apabila anggota—anggota
masyarakat secara langsung melakukan berbagai tindakan penanggulangan
kejahatan, dengan tidak mengandalkan pada bekerjanya pranata
pengendalian sosial formal, maka tindakan anggota-anggota masyarakat
tersebut merupakan reaksi sosial nonformal. Reaksi nonformal tersebut
terwujud melalui berbagai macam tindakan, misalnya tindakan disiplin
yang dikenakan oleh sekolah terhadap muridnya yang melakukan kenakalan,
pelaksanaan sistem keamanan swakarsa (siskamling), mengupah anggota
Hansip atau anggota Satpam untuk melakukan tugas pengamanan atau
penjagaan. Termasuk dalam pengertian ini adalah tindakan main hakim
sendiri terhadap pelaku kejahatan yang tertangkap oleh warga masyarakat.
Black (1995) dan de la Roche (1996) menyebut tindakan main hakim
sendiri tersebut sebagai self help social control, karena dalam situasi
yang disebutkan sebagai "problematik", kumpulan warga masyarakat yang
membentuk kerumunan akan sulit mengendalikan diri untuk tidak melakukan
kekerasan terhadap pelaku kejahatan yang tertangkap tersebut karena
terdapat pengaruh sugesti massa, dan menunggu kedatangan anggota
polisi untuk menanganinya secara formal dianggap tidak perlu.
Korban kejahatan merupakan objek penelitian kriminologi yang
tidak dapat dipisahkan dari gejala kejahatan. Sebab, hampir dapat
dipastikan bahwa setiap tindakan kejahatan pasti ada korbannya, baik
orang atau pihak lain maupun diri pelaku sendiri.
Meneliti korban kejahatan, seperti halnya meneliti kejahatan dan
pelaku kejahatan, tidak semudah meneliti gejala sosial lain misalnya status
sosial dan status ekonomi, stratifikasi sosial dan sebagainya. Diperlukan
metode yang khas agar dapat diperoleh data yang valid tentang korban
kejahatan tersebut. Korban kejahatan perkosaan misalnya, sangat sulit
dijadikan responden atau narasumber untuk meneliti gejala perkosaan di
masyarakat. Sebab, menjadi korban perkosaan jelas membawa aib pada

10

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


diri sendiri dan tidak akan suka kalau aib tersebut diketahui oleh orang-
orang lain. Belum lagi terdapat stereotipe pada masyarakat yang cen-
derung mengatakan bahwa korban kejahatan perkosaan menjadi korban
karena salah sendiri. la dianggap telah merusak tatanan sosial masyarakat,
atau bahkan dianggap telah merusak kesucian lingkungan tempat tinggalnya
yang harkat dan martabatnya sulit dipuiihkan. Kalau ada data tentang
perkosaan yang dimiliki oleh polisi, data tersebut hanya merupakan
sebagian kecil saja dari peristiwa perkosaan yang sesungguhnya teijadi
di masyarakat. Namun bagaimanapun, kejahatan perkosaan adalah tindakan
yang amat sangat tidak disukai oleh masyarakat, sehingga untuk dapat
menjelaskan gejala tersebut diperlukan metode yang tepat untuk menehtinya.
Dalam hukum atau peraturan perundangan di Indonesia, korban
kejahatan belum memperoleh tempat yang adil. Hampir tidak terdapat
peraturan perundangan yang melindungi kepentingan korban. Kecuali
dalam KUHAP disinggung bahwa korban kejahatan dapat mengajukan
tuntutan ganti rugi kepada pelaku, dan tuntutan tersebut dapat dilakukan
dalam pemeriksaan gabungan dengan pemeriksaan perkara pidananya,
hanya itu tidak lebih. Tidak jelas kapan tuntutan ganti rugi tadi
disampaikan, apakah bersamaan dengan tuntutan hukuman oleh jaksa, dan
oleh siapa tuntutan ganti rugi diajukan. Hukum lain yang menyinggung
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban (dan saksi) kejahatan,
adalah yang berhubungan dengan "pelanggaran hak asasi manusia yang
berat" (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, Pasal 34-35). Undang-
undang inipun, selain cakupannya yang terbatas, perwujudan perlindungan
korban dan saksi pelanggaran hak asasi manusia yang berat tergantung
kepada Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana yang baru
diterbitkan pada tahun 2002, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap
Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Baik undang-
undang maupun peraturan pemerintah yang berhubungan dengan
perlindungan korban dan saksi serta pemberian kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi korban dan saksi pelanggaran hak asasi manusia yang berat
di atas terbit lebih karena adanya tuntutan situasi politik nasional saat
itu, dan adanya tekanan politik intemasional, semenjak lepasnya Timor
Timur dari Indonesia yang diikuti dengan munculnya kerusuhan sosial
di wilayah itu. Dengan demikian, produk-produk hukum tersebut lebih
merupakan political gesture" daripada suatu komitmen yang sungguh-
sungguh untuk melindungi korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.

11

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


Hadirin yang saya hormati,

Setelah saya menguraikan agak panjang lebar tentang objek


penelitian kriminologi, tiba saatnya saya menguraikan bagian kedua dari
rancangan pidato ini yaitu; realitas kriminalitas di Indonesia

Realitas Kriminalitas di Indonesia

Salah satu cara yang klasik dalam kriminologi untuk menguraikan


realitas kriminalitas adalah dengan menganalisis data kriminalitas yang
dimiliki oleh polisi. Kendatipun terdapat kritik yang tajam atas validitas
data statistik kriminal yang dimiliki oleh polisi, karena ia merupakan data
kriminalitas yang diketahui oleh polisi saja (sehingga kriminalitas yang
tidak diketahui polisi tidak tercatat), namun itulah data yang paling
lengkap mengungkapkan berbagai bentuk kriminalitas di masyarakat.
Dengan tanpa berpretensi bahwa data statistik milik polisi tersebut
merupakan data keseluruhan kriminalitas yang teijadi di masyarakat, kita
masih dapat menganalisisnya secara ilmiah, dengan memperlakukannya
serupa dengan sampel populasi saja.
Catatan akhir tahun Polri, yang disampaikan oleh Kapolri di
hadapan media massa pada tanggal 30 Desember 2003 lalu, menunjukkan
hal-hal menarik yang perlu mendapat perhatian. Pada kelompok kejahatan
konvensional, yakni yang tercantum dalam KUHP terdapat 4 bentuk
kejahatan yang menonjol dibandingkan tahun 2002 yaitu: penculikan
meningkat 55,25%; perkosaan naik 23,5%; penganiayaan berat naik
10,7%; dan pembunuhan naik 2,5% (Kompas Cyber Media, 12/30/03).
Dalam kelompok kejahatan konvensional ini, informasi tambahan yang
diperoleh dari Wakil Kepala Badan Humas Polri (Brigjen. Pol. Soenarko
D.A.) adalah bahwa kejahatan pencurian dengan kekerasan dan pencurian
kendaraan bermotor menurun.
Data tersebut menunjukkan sesuatu yang khas. Biasanya kenaikan
tingkat kejahatan konvensional akan didominasi oleh kejahatan terhadap
harta benda. Namun data Polri tahun 2003 justru menunjukkan hal yang
berbeda. Kejahatan terhadap orang (penculikan, perkosaan, penganiayaan,
dan pembunuhan) tersebut, yang juga dapat dikategorikan sebagai
kejahatan kekerasan justru meningkat dibandingkan kejahatan terhadap
harta benda. Bila dicari penjelasannya, maka kita harus menganalisisnya
berdasarkan bekerjanya masyarakat. Penggunaan kekerasan dalam rangka
mencapai tujuan, semenjak era reformasi tampaknya menjadi lazim

12

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


dilakukan. Ini beraiti pada tingkat masyarakat terdapat degradasi pengakuan
hak dan maitabat orang lain. Dugaan ini diperkuat oleh masih seringnya
teijadi konflik sosial di berbagai daerah, kendatipun intensitasnya menurun.
Demikian pula dengan kejadian pemboman (terorisme) yang kendatipun
frekuensinya menurun (turun 22,8%), namun peristiwa tersebut masih
merupakan salah satu bentuk ancaman terhadap keamanan yang nyata.
Dengan kata lain terdapat semacam pembenaran oleh masyarakat dalam
penggunaan kekerasan demi mencapai tujuan. Sementara itu naiknya
angka perkosaan dapat diduga dipengaruhi oleh ciri korbannya yaitu
kemungkinan besar masih berusia belia, sehingga orang tuanyalah yang
kemudian melaporkan peristiwa tersebut kepada polisi. Sebab, korban
perkosaan yang sudah dewasa, sebagaimana disinggung di muka, cendemng
tidak melaporkan aib yang dideritanya tersebut kepada polisi.
Kriminalitas konvensional terwujud dalam bentuk-bentuk kejahatan
yang kasat mata, dengan kerugian harta benda yang tinggi akan mudah
membuat warga masyarakat merasa terancam terhadap kejahatan, suatu
kondisi yang disebut sebagai "fear of crime" Kriminalitas nonkonvensional
seperti korupsi, kejahatan oleh korporasi, kejahatan terhadap konsumen,
pencemaran lingkungan, pelanggaran dan pengabaian hak asasi manusia
yang dalam kriminologi masuk dalam ruang lingkup white-collar crime
merupakan bentuk-bentuk tindakan yang sesungguhnya jauh lebih merugikan
masyarakat dibandingkan kejahatan konvensional. Namun demikian tingkat
keprihatinan masyarakat terhadap gejala kejahatan jenis ini, karena tidak
kasat mata, relatif tidak setinggi dibandingkan keprihatinan terhadap
kejahatan konvensional.
Sebagai contoh dapat disebut kejahatan dalam bentuk korupsi
(KKN) telah menjalar dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat,
misalnya dalam btdang hukum dan penegakan hukum, bidang politik,
bidang bisnis, birokrasi pemerintahan, bidang pendidikan, dan bahkan
dalam bidang keagamaan sebagaimana dikonstatir orang teijadi dalam
penyelenggaraan haji belakangan ini. Tidak mengherankan kalau
Transparency International dari hasil surveinya menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Meskipun bentuk kejahatan
ini serins, namun pola penanggulangannya tidak menunjukkan keseriusan.
Buktinya korupsi tetap saja berlangsung.
Untuk lebih memahami mengapa kejahatan serupa korupsi jauh
lebih merugikan dibandingkan kejahatan konvensional, menarik untuk
mengutip pandangan Quinney (1977) bahwa dalam konteks perkembangan
kapitalisme dan perjuangan kelas berbagai bentuk kejahatan merupakan

13

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


adaptasi struktural, dan terdapat dua bentuk kejahatan yang penting yaitu:
pertama "crime of domination or repression" (kejahatan dominasi dan
represi) yang dilakukan oleh kaum kapitalis atau penguasa dan kaki
tangannya, dan kedua "crimes of accomodation" (kejahatan akomodasi),
"crimes of interpersonal violence" (kejahatan kekerasan antarorang),
dan "crime of resistance/rebellion" (kejahatan perlawanan), yang di
lakukan oleh kelas bawah, dan secara keseluruhan merupakan "crimes
of survival" (kejahatan untuk bertahan hidup).
V Kejahatan dominasi atau represi terwujud dalam berbagai bentuk
kejahatan seperti secara sistematis menyebabkan kerugian dan kesakitan
atau kematian para konsumen, pekerja, dan masyarakat umum, termasuk
pelanggaran terhadap larangan praktik monopoli, pelanggaran dalam
kesehatan, keselamatan dan kecelakaan pekeija, pencemaran lingkungan,
korupsi terorganisasi, pelanggaran dalam penegakan hukum dan lain
sebagainya. Sedangkan contoh kejahatan dalam rangka bertahan hidup
merupakan kejahatan-kejahatan konvensional seperti pencurian, peredaran
narkotika, perjudian, pelacuran, kejahatan-kejahatan kekerasan seperti
pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, kejahatan dalam rumah tangga
dan Iain-lain pelanggaran dalam pemogokan, dan kerusuhan sosial (J.ihat
Quiimey, 1977).

Hadirin yang saya hormati,

Pada bagian ini saya ingin secara khusus menyoroti masalah


korupsi di Indonesia, yang telah menempatkan negara kita sebagai salah
satu negara terkomp di dunia. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan
Indonesia merupakan lahan yang kondusif bagi dilakukannya tindakan
korupsi. Kalau kita tidak mampu menjelaskan faktor-faktor tersebut
dengan baik, jangan harap korupsi dapat diatasi. Untuk dapat menjelaskan
faktor-faktor yang kondusif bagi dilakukannya korupsi di Indonesia, kita
harus mencarinya pada tatanan sosial masyarakat Indonesia sendiri, sikap,
nilai dan rasionalitas yang terkait dengan tindakan korupsi.
Pertama yang harus kita pahami adalah konsep keluarga dalam
tatanan sosial Indonesia. Keluarga dalam masyarakat Indonesia dimaknai
sebagai tidak hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang merupakan
keluarga batih atau keluarga inti, tetapi mempakan konsep keluarga besar
yang meliputi seluruh kerabat dekat bahkan seringkali termasuk kerabat
jauh. Dalam konsep keluarga besar ini, yang termasuk dalam pengertian
keluarga selain ayah, ibu, dan anak-anak, juga termasuk kakek-nenek

14

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


dari pihak ayah dan pihak ibu, paman dan bibi dari pihak ayah maupun
pihak ibu termasuk anak-anak mereka. Kemudian dalam tatanan sosial
terdapat harapan peran agar setiap individu ikut bertanggung jawab
terhadap anggota-anggota keluarga (besar) yang sedang tidak beruntung.
Yang menguntungkan dari konsep keluarga besar serta harapan
peran tersebut adalah, ketika secara ekonomi bangsa Indonesia terpuruk,
banyak orang yang kehilangan pekeijaan, keadaan ini tidak serta merta
berdampak pada meningkatnya kriminalitas. Sebab, ketika salah satu
anggota keluarga besar mengalami kesulitan ekonomi, maka menjadi
kewajiban moral bagi anggota keluarga lain yang berpunya untuk
membantunya. Keadaan ini merupakan berkah bagi bangsa Indonesia.
Sayangnya realitas tatanan sosial ini tidak diadopsi dalam peraturan
perundangan yang berlaku. Kendatipun konstitusi mengatakan bahwa
"fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara", dalam
kenyataannya negara atau pemerintah tidak berbuat apa-apa. Kewajiban
memelihara fakir miskin tadi untungnya sudah menjadi bagian melekat
dalam tatanan sosial bangsa kita. Seyogianya pengeluaran yang dilakukan
oleh setiap orang untuk membantu keluarga besamya diperhitungkan
dalam penghasilan tidak kena pajak, sebagai bentuk kompensasi dari
negara yang tidak berbuat apa-apa tadi. Alih-alih negara atau pemerintah
mempertimbangkan kering^an pajak bagi warga negara yang melaksanakan
kewajiban dari negara untuk memelihara fakir miskin, ucapan terima
kasih pun tidak pemah terdengar.
Meskipun konsep keluarga besar dan harapan peran untuk
menyantuni anggota keluarga besar tersebut merupakan mekanisme yang
handal dalam mengatasi masalah sosial seperti pengangguran dan
kemiskinan, namun dalam situasi lain konsep ini juga kondusif bagi
dilakukannya tindakan penyimpangan. Sebab, kewajiban individu yang
sudah dewasa dalam masyarakM tidak terbatas hanya terhadap keluarga
kecilnya saja tetapi meluas kepada keluarga besamya. Sementara itu
dalam perhitungan pemberian upah, yang diperhitungkan hanyalah
tanggungan de jure yaitu istri dan anak dalam bentuk tunjangan istri
dan anak. Tanggungan de facto yaitu keluarga besamya tidak pemah
diperhitungkan. Dalam keadaan ketika penghasilan seseorang terbatas,
sementara terdapat kewajiban rnoral untuk menanggung kehidupan keluarga
besamya, terjadi suatu keadaan "lebih besar pasak daripada tiangnya",
maka individu tadi hams mencari tambahan panghasilan untuk mengurangi
kekurangan tersebut. Syukur-syukur dapat memperoleh penghasilan
tambahan yang sah, kalau tidak cara-cara yang tidak sah pun akan

15

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


dilakukan. Meskipun orang dalam keadaan seperti itu dapat memperoleh
penghasilan tambahan yang sah, misalnya bagi dosen UI kemudian
mengajar pada beberapa perguruan tinggi swasta, tidak berarti bahwa
masalahnya selesai. Seringkali dalam mengejar penghasilan tambahan
tersebut mengorbankan kewajiban mengajar di UI, atau terpaksa mengajar
sampai dengan malam hari di beberapa tempat, bahkan sampai ke luar
kota. Kondisi semacam itu akan dapat mempengaruhi keakraban keluarga,
karena waktu untuk berkumpul dengan keluarga secara intensif menjadi
terbatas. Padahal keluarga merupakan lembaga terbaik untuk melakukan
sosialisasi nilai dan norma masyarakat, khususnya terhadap generasi
muda.
Keadaan lain yang kondusif bagi dilakukannya tindakan korupsi
adalah tidak rasionalnya kebijakan upah. Pegawai negeri diupah dengan
jumlah yang kecil akan merupakan potensi untuk menyimpang. Dengan
demikian pendapat yang mengatakan bahwa gaji rendah tidak dapat
dijadikan alasan untuk melanggar hukum adalah pendapat yang naif.
Apalagi dalam banyak hal kebijakan pengupahan di Indonesia lebih
memperhatikan aspek status orang atau status pekeijaan daripada aspek
fungsi dari pekeijaan atau jabatan. Seorang pelayan atau office boy
suatu kantor karena status sosialnya rendah, maka baginya tidak perlu
digaji tinggi, katakanlah Rp 500.000,- per bulan. Padahal kalau dilihat
dari fungsinya dalam suatu kantor, ketiadaan pelayan atau office boy
akan menjadikan kantor tidak tertib. Setiap pegawai dalam kantor
tersebut harus mengurus segala keperluannya sendiri, seperti mengelap
meja, menyapu lantai, membuat minuman dan sebagainya yang biasanya
dilakukan oleh pelayan atau office boy. Tidak pemah terpikir bahwa
waktu yang dihabiskan untuk mengganti peran pelayan atau office boy
tersebut adalah waktu yang berharga bila dipergunakan untuk mengeijakan
pekerjan profesionalnya, katakanlah 1 jam per hari, yang bila dikonversi
menjadi penghasilan kantor yang diperoleh dari pegawai tersebut akan
jauh lebih besar dibandingkan upah yang diberikan kepada pelayan atau
office boy tadi, katakanlah Rp 500.000,- per hari.
Tradisi memberikan hadiah, seperti halnya ketidakrasionalan kebijakan
upah, juga merupakan salah satu faktor kondusif bagi dilakukannya
tindakan korupsi. Memberikan hadiah kepada seseorang memang akan
mempererat tali silaturahmi. Namun dalam masyarakat Indonesia terdapat
sikap yang tidak rasional ketika seseorang ingin memberikan hadiah.
Misalnya, ketika seseorang memperoleh undangan perkawinan dari
seorang pejabat yang tinggi kedudukannya. Orang yang ingin memberikan

16

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


hadiah menghitung-hitung nilai nominal kepantasan dari hadiah yang ingin
diberikan. Sebaliknya kalau yang mengundang karyawan biasa atau lebih
rendah kedudukannya, orang yang ingin memberi hadiah tadi tidak terlalu
bingung memikirkan nilai nominal pemberiannya. Sebagai akibatnya, timbul
suatu sikap bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang maka pantasnya
semakin tinggi pula nilai hadiah yang diberikan, sebaliknya semakin
rendah kedudukan seseorang semakin rendah pula nilai hadiah yang
diberikan. Barangkali sikap ini merupakan warisan tradisi upeti yang lazim
teija'di pada masa feodalisme, yaitu pemberian hadiah itu selalu kepada
atasan yang dalam masyarakat demokratis sekarang temyata masih
beijalan terus.
Kegiatan birokrasi pemerintahan yang diwujudkan dalam bentuk
proyek, merupakan lahan yang kondusif bagi dilakukannya korupsi. Sudah
merupakan pengetahuan umum bahwa pimpinan proyek memperoleh
"kick hack" sebesar antara 30% hingga 40% dari nilai proyek (mungkin
lebih, yang akan dibagikan kepada pejabat-pejabat setingkatnya atau
atasannya). Bagi rekanan proyek yang melaksanakan pekeijaan proyek,
agar supaya tidak memperoleh kerugian dalam mengerjakan proyek, maka
dalam penawaran tender tiada jalan lain kecuali melakukan "mark up"
nilai proyeknya, atau melakukan KKN dengan panitia tender. Dari sinilah
antara lain kemudian timbul istilah jabatan basah dan jabatan kering,
yang dianggap sebagai hal yang wajar saja, dan tidak merasa bahwa
mengambil harta negara secara tidak sah adalah suatu kejahatan yang
besar.
Bila kita telaah kasus-kasus besar korupsi di Indonesia, seperti
kasus-kasus BLBI, dana non budgeter BULOG, mekanisme chessy Bank
Bali, dan lainnya menunjukkan bahwa orang-orang yang telibat di
dalamnya merasa tidak bersalah telah menggerogoti harta negara. Terkait
dengan perasaan tidak bersalah tersebut, menarik untuk merujuk hasil
penelitian Erwin Smigel (1956) yang dikutip oleh Donald R. Cressey
(1986) yang menanyakan kepada 212 orang responden tentang apakah
mereka setuju atau tidak setuju dalam keadaan tertentu melakukan
pencurian terhadap harta suatu organisasi. Smigel menemukan bahwa
persetujuan atau moralitas untuk mencuri temyata terkait dengan besar
kecilnya organisasi yang jadi korbannya. Data menunjukkan bahwa 50%
responden sangat tidak setuju melakukan pencurian terhadap usaha kecil,
tetapi ketika sasarannya adalah organisasi usaha besar dan negara,
tingkat penolakannya untuk mencuri mengecil menjadi 34% dan 31%.
Ketika responden ditanya, bila mereka menghadapi keadaan yang sangat

17

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


terpaksa dan tiada jalan lain kecuali mencuri, hanya 14% responden saja
yang kokoh pendirian untuk tidak melakukan pencurian (tiga orang tidak
bersedia menjawab pertanyaan itu). Responden sisanya sebesar 179
orang, 57% akan memilih sasaran pencurian adalah usaha besar, 30%
memilih sasaran negara, dan hanya 6% yang memilih sasaran usaha
kecil. Selebihnya sebesar 7% tidak memilih sasaran tertentu (lihat
Cressey, 1986:197).
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka dalam upaya
menanggulangi masalah korupsi, apabila tidak ditujukan untuk mengubah
atau memperbaiki kondisi yang kondusif bagi dilakukannya korupsi, maka
usaha tersebut akan sia-sia. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
misalnya, yang akan lebih banyak melakukan tindakan represif tidak akan
dapat berbuat banyak dalam menghadapi korupsi, yang tidak salah kalau
dikatakan sudah membudaya. Oleh karena itu melibatkan ahli-ahli
kriminologi untuk menjelaskan berbagai faktor yang kondusif bagi
teijadinya korupsi merupakan suatu keperluan agar supaya penanggulangan
masalah korupsi bisa berhasil guna.

Hadirin yang saya hormati,

Tibalah saya untuk menguraikan bagian ketiga dari pidato ini yang
merupakan uraian tentang peran kriminologi dalam ikut mewujudkan
kesejahteraan rakyat Indonesia.

Peran Kriminologi untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia

Hadirin yang saya hormati,


Dalam menguraikan bagian ini saya melandaskan diri pada pendapat
yaitu: menangkap dan menghukum orang yang melakukan kejahatan
relatif mudah. Yang tidak mudah adalah membuat agar supaya orang
tidak melakukan kejahatan. Jalan keluamya adalah sejahterakan dulu
rakyat Indonesia, baru kemudian negara mempunyai alasan untuk
menindak pelaku kejahatan. Dalam kaitan ini ajaran hukum dan penologi
menekankan bahwa penghukuman merupakan "ultimum remedium" atau
upaya yang paling akhir dalam mengatasi masalah kejahatan. Sack
(1983) sebagaimana dirujuk oleh Savelsberg (1987) dalam gagasan yang
sama tentang kebijakan kriminal pada negara kesejahteraan, mengata-
kan bahwa pada negara kesejahteraan kriminalitas dilihat sebagai simtom
atau basil dari superstruktur individu (atau berada di luar individu).

18

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


Kebijakan kriminal yang pada dasamya merupakan kebijakan sosial
bertujuan untuk mengubah struktur sosial, bukan dalam bentuk resosialisasi
atau penghukuman (Savelsberg, 1987; 536-537).
Membuat agar masyarakat berkurang gangguannya dari keja-
hatan, maka negara hams mempunyai kebijakan sosial yang jelas dan
operasional yang mempakan bentuk pengendalian sosial. Dalam konteks
ini yang saya maksud dengan pengendalian sosial adalah berbagai
mekanisme yang dibuat oleh masyarakat dalam rangka memastikan
bahwa warga masyarakat teijauh dari kemungkinan melakukan pe-
langgaran hukum atau melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dengan mengutamakan mewujudkan kesejah-
teraan sosial.
Pengendalian sosial tersebut dilaksanakan dengan menerapkan 4
asas yang hams dilakukan secara sinergis, yaitu:
1. Adanya regulasi yang jelas tentang hak dan kewajiban warga
negara.
2. Adanya sosialisasi yang tems-menems tentang regulasi tersebut.
3. Adanya fasilitasi agar warga negara dapat melaksanakan
regulasi.
4. Penerapan sanksi bila teijadi pelanggaran sebagai upaya akhir.

Hadirin yang saya hormati,

Aspek regulasi yang dimaksud adalah perlu adanya jaminan


hukum (pemndang-undangan) yang bersifat operasional untuk mewujudkan
hak-hak asasi manusia maupun perwujudan berbagai janji yang tercantum
dalam konstitusi. Mengutamakan perwujudan hak asasi manusia menjadi
lebih penting dibandingkan memmuskan regulasi dalam bentuk larangan-
larangan. Dalam hal ini adalah kewajiban negara untuk mewujudkan janji
konstitusi dan mewujudkan hak asasi manusia, seperti hak atas
kesejahteraan sosial, hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, hak
untuk memperoleh pendidikan dan lain sebagainya, yang hams dimmuskan
secara komprehensif dan secara jelas bagi siapa hak tersebut ditujukan
kapan dan sampai kapan hak-hak tersebut akan dipenuhi.
Aspek penghindaran warga negara dari melakukan tindakan ke-
jahatan hams dikonsentrasikan temtama kepada generasi muda yang
diwujudkan dalam program pembinaan generasi muda, yang mengatur
hak dan kewajibannya sesuai dengan kelompok usianya. Misalnya bagi

19

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


kelompok usia 0-5 tahun hams dipastikan ada peraturan pemndangan
yang melindungi kepentingan anak usia tersebut. Kelompok usia 6-18
tahun hams dipastikan mengikuti program sosialisasi nilai norma dan
penyiapan menjadi insan dewasa melalui program wajib belajar secara
cuma-cuma. Dilakukan pembatasan dan pengawasan oleh orang dewasa
karena statusnya sebagai anak, yang belum mampu memilih mana yang
baik dan mana yang tidak baik bagi dirinya. Kelompok usia 19-21 tahun
dimasukkan pada program persiapan keija, bertanggung jawab pidana
secara penuh dengan sedikit pembatasan dalam aktivitas sosial. Misalnya
belum boleh mengonsumsi rokok dan minuman keras, atau menikmati
hiburan malam. Dan usia 21 tahun keatas sudah hams diperlakukan
sebagai orang dewasa penuh yang memiliki kebebasan penuh tetapi hams
mempertanggungjawabkan tindakannya secara pribadi.
Aspek sosialisasi, berbagai regulasi yang mengatur hak dan
kewajiban sesuai dengan kelompok usia tadi hams disosialisasikan kepada
kelompok sasaran dan masyarakat, agar supaya semua pihak menyadari
hak dan kewajibannya dalam hukum dan masyarakat. Pola sosialisasi
ini hams sesuai dengan tingkat intelektualitas kelompok usia yang
bersangkutan, dan ia mempakan kegiatan yang tems-menems dilakukan.
Aspek fasilitasi, agar supaya kelompok sasaran sesuai dengan
kelompok usianya dapat melaksanakan kewajibannya dalam hukum,
kepada mereka hams difasilitasi dengan berbagai program agar terhindar
dari melakukan tindakan pelanggaran hukum. Untuk lebih memudahkan
pemahaman aspek fasilitasi ini dapat dicontohkan sebagai analogi, bahwa
dalam rangka menerapkan nilai-nilai kebersihan dibuat regulasi "dilarang
membuang sampah sembarangan". Dalam sosialisasi ditanamkan nilai-nilai
"bersih itu sehat", "bersih adalah cermin dari iman" dan sebagainya.
Namun regulasi dan sosialisasi tersebut tidak cukup untuk membuat orang
tidak membuang sampah sembarangan. Dalam hal ini perlu adanya
fasilitasi agar orang tidak melanggar larangan tadi dengan menyediakan
tempat pembuangan sampah yang cukup dan mudah dijangkau.
Aspek penerapan sanksi, mempakan aspek terakhir yang hams
dipikirkan bila upaya-upaya awal mulai dari regulasi, sosialisasi, dan
fasilitasi tidak mampu membuat orang tidak melakukan pelanggaran.
Penerapan sanksi ini pun hams didasari pada asas memulihkan hubungan
antara pelaku, korban dan masyarakat.

20

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


Hadirin yang saya hormati,
Berdasarkan uraian tadi, dengan demikian dalam pandangan
kriminologi, perwujudan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indo
nesia hams merupakan usaha yang paling utama dilakukan sebelum
merancang program-program penghukuman. Hal ini pemah dirumuskan
secara manis oleh mantan Ketua Jurusan Kriminologi FISIP UI periode
1970-an, Dr. Arif Gosita, S.H. dalam slogan "We Prevent Crime Based
on Social Justice".
Untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam rangka pencegahan
kejahatan yang ditawarkan ini, secara teoretis selaras dengan pandangan
Walter Reckless (1962) yang menyatakan bahwa dalam struktur sosial
(ekstemal dari individu) terdapat benteng yang dapat melindungi orang
dari tindakan yang menyimpang dan melanggar hukum. Sedangkan dalam
diri individu (internal individu) terdapat juga benteng yang selaras dengan
benteng ekstemal tersebut.
Kedua benteng tersebut berfungsi sebagai penghalang agar seseorang
tidak melakukan penyimpangan norma dan penyimpangan hukum,
mengisolasi individu dari pengamh dan rangsangan demoralisasi (Reckless,
1962:131-134). Namun demikian agar supaya kedua benteng tersebut
berfungsi secara efektif, menurut Reckless diperlukan sejumlah kondisi
yaitu:
a. Pada tingkat stmktur sosial hams terdapat komponen-komponen:
1. Stmktur peran yang jelas dari setiap individu.
2. Adanya batas tanggung jawab yang rasional bagi setiap
individu.
3. Adanya kesempatan bagi setiap individu untuk meraih suatu
status.
4. Adanya keakraban masyarakat, termasuk aktivitas bersama
dan kebersamaan.
5. Adanya perasaan kebersamaan (identifikasi diri terhadap
kelompok).
6. Identifikasi terhadap beberapa orang dalam kelompok.
7. Tersedia alteraatif bagi cara-cara pencarian kepuasan (bila
karena sesuatu hal terhambat).
b. Pada tingkat individu harus dapat dihasilkan:
1. Citra diri yang baik ketika berhubungan dengan orang lain,
kelompok dan lembaga kemasyarakatan.
2. Kesadaran dalam diri sebagai orang yang mempunyai tujuan.

21

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


3. Toleransi yang tinggi terhadap keadaan frustrasi.
4. Moral dan etika yang mendarah daging.
5. Ego dan superego yang matang (Reckless, 1962; 131-143).

Hadirin yang saya hormati,

Secara skematis program-program pencegahan kejahatan dalam


bentuk perwujudan kesejahteraan sosial melalui pembinaan generasi muda
melalui kegiatan regulasi, sosialisasi, fasilitasi dan penerapan sanksi
sebagai upaya akhir, dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

h,., ^Kelompok '\ Status lariggui^ ' ' Program /


vV ^Sosial' '1 Jawdb Huikum:^ ; ' Pembinddh

0-5 Tahun Di bawah Tidak dapat Kesejahteraan ibu


perlindungan dimintai tanggung dan anak
orang tua jawab pidana Perlindungan
Pengayoman men
tal dan fisik
Bimbingan per-
siapan sosialisasi
6-18 Tahun Di bawah Tanggung jawab Wajib belajar cuma-
pengawasan pidana sebagian cuma, fasilitas
orang dewasa Partisipasi sosial pengembangan diri
sebagian Sosialisasi nilai dan
norma masyarakat
dan agama
Perlindungan dan
pengawasan ting-
kah laku

19-21 Tahun Di bawah Tanggung jawab Persiapan kerja


pembinaan pidana penuh Pendidikan lanjut-
masyarakat de- Partisipasi sosial an

ngan pengawasan sebagian


sebagian
21 Tahun ke Orang dewasa Tanggung jawab Fasilitasi kerja
atas penuh pidana penuh Pembinaan karier
Partisipasi sosial
penuh

22

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


Perlu diakui bahwa secara parsial su'dah terdapat beberapa peraturan
perundangan yang dapat dikaitkan dengan program pencegahan kejahat-
an di atas. Namun peraturan-peraturan perundangan tadi belum secara
komprehensif merupakan bagian integral yang secara konseptual diran-
cang untuk mempersiapkan generasi muda untuk menjadi orang dewasa
yang mempunyai kematangan kepribadian dan kematangan sosial.

Hadirin yang saya hormati,

Kini tiba saatnya saya mengakhiri pidato pengukuhan ini yang


akan saya pergunakan untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya
yang tulus dan mendalam kepada berbagai pihak yang memungkinkan
saya untuk mencapai kehormatan tertinggi dalam jabatan akademik guru
besar. Untuk memudahkan saya mengungkapkan perasaan saya ini maka
saya akan kaitkan dengan tahapan kehidupan yang saya alami dan jalani
semenjak lahir hingga kini.
Pada tahap awal kehidupan saya, telah secara cukup dibekali
dengan landasan intelektualitas, keimanan, toleransi, kemandirian, dan
bimbingan dari kedua orang tua saya. Oleh karena itu saya hams
menyampaikan terima kasih yang yang tulus kepada beliau berdua, Bapak
Prayitno dan Ibu Sajarwi, yang hingga saat ini masih sempat menyaksikan
saya dikukuhkan sebagai gum besar dan masih selalu memberikan doa
dan restunya. Kehormatan ini tentunya juga mempakan kehormatan
beliau berdua. Pada kesempatan ini pula saya ingin memohon ampun
dan maaf atas segala kesalahan saya kepada beliau berdua. Saya
menyadari bahwa saya tidak akan menjadi apa-apa tanpa landasan
intelektualitas, kemandirian dan keimanan yang beliau tanamkan. Selama
saya masih sepenuhnya dalam bimbingan beliau berdua hingga kini
banyak tindakan maupun kata-kata saya yang sering mengecewakan
beliau berdua. Sekali lagi saya mohon ampun dan maaf.
Pada tahap kehidupan saya selanjutnya adalah tahap pencarian
jati diri, yang dimulai dengan doa dan restu dari kedua orang tua saya
untuk melepas saya memasuki kehidupan secara mandiri di Jakarta
sejak tahun 1970. Pada masa ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan, perlindungan sehingga saya dapat mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan pada Departemen Kriminologi FISIP UI pada tahun 1977.
Kepada Mas Syam, saya menyampaikan terima kasih telah membolehkan
saya ikut menumpang dalam rumahnya ketika masih bujangan. Selain
itu tanpa diminta seringkali Mas Syam memberikan bantuan finansial
23

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


maupun dorongan untuk maju. Saya juga mohon maaf bahwa selama
berada dalam penampungan Mas Syam seringkali bertingkah laku yang
dianggap semaunya sendiri. Demikian juga kepada Mas Ghofar, tidak
sedikit bantuan, bimbingan, kritik yang telah diberikan yang bermakna
untuk membuat saya seperti sekarang ini. Tak lupa juga ucapan maaf
karena ada kalanya tindakan saya telah mengecewakannya.
Masih dalam tahap pencarian diri, saya mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman kuliah yang setia membantu, setia dalam sama-sama
memahami perkuliahan, saling membantu dalam banyak hal. Ucapan
terima kasih hams saya sampaikan kepada Drs. Mulyana W. Kusumah,
Drs. Thomas Sunaryo, M.Si., Drs. Bambang Sigit dan selumh teman
angkatan tahun 70 FISIP UI.
Kepada adik-adik saya, Hanief, Dik Eni, Wiwin, saya hams lebih
banyak meminta maaf karena selama ini saya tidak mampu menjadi figur
kakak yang dapat dijadikan panutan, karena saya lebih bercitra sebagai
individu yang semaunya sendiri, santai dan tidak bertanggung jawab.
Dalam tahap kehidupan saya berikutnya adalah tahap pemben-
tukan karier. Dalam masa awal saya memutuskan untuk bergabung pada
Departemen Kriminologi FISIP UI pada tahun 1979, tidak ada jaminan
bahwa penghasilan saya akan mencukupi kehidupan. Alhamdulillah saya
menemukan sahabat yang tak akan terlupakan yang memperlakukan saya
sebagai saudara dan menerima saya untuk tinggal bersama mereka.
Terima kasih kepada Drs. Roestanto Roesdhi, Mbak Atit, dan anak-
anaknya; Ommy, Prety, dan Tyas yang memperlakukan saya sebagai
bagian dari keluarga itu. Hal ini membuat saya merasa bermakna untuk
hidup di Jakarta, karena saya memiliki orang-orang yang dapat menjadi
tempat berkeluh kesah. Pada masa ini pun saya sempat tinggal pada
keluarga almarhum Bapak L. Margono dan Ibu yang juga memperlakukan
saya dan teman-teman satu kos sebagai bagian dari keluarga. Terima
kasih wajib saya sampaikan kepada beliau.
Dalam pekeijaan saya sebagai staf pengajar, saya wajib mengucapkan
terima kasih untuk seluruh dosen senior perintis dan pendiri Departemen
Kriminologi FISIP UI, khususnya kepada Prof. Mardjono Reksodiputro,
S.H., M.A. selaku pembina saya dalam mata kuliah Metode dalam
Kriminologi dan sebagai staf peneliti pada Lembaga Kriminologi UI.
Bimbingan dan pemberian kesempatan yang luas untuk maju merupakan
bekal utama saya dalam menekuni bidang kriminologi ini. Demikian pula
kepada Ibu Koesriani Siswosoebroto, S.H. yang menjadi pembimbing saya
dalam mata kuliah Teori Kriminologi, terima kasih yang tulus saya

24

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


sampaikan. Kepercayaan, bimbingan dan pemberian kesempatan untuk
maju telah memungkinkan saya menjadi seperti sekarang ini. Pada tahap
ini pula saya wajib mengucapkan terima kasih kepada Mr. Paul Moedikdo
Moeliono, almarhum Prof. A.A.G. Peters, dan Mvr Ties D'OIiviera yang
ketika saya mendapat kesempatan menjadi visiting scholar di Universitas
Utrecht tahun 1981-1982 telah memperluas cakrawala saya di bidang
Sosiologi Hukum, khususnya bantuan hukum.
Tahap berikutnya adalah tahap pembinaan karier. Orang yang
paling berharga untuk diberi ucapan terima kasih adalah istri saya
tercinta, Aneke Pangemanan, yang selalu mendampingi saya dalam masa
pembinaan karier ini. Dimulai dengan mendampingi saya ketika menempuh
pendidikan S2 Kriminologi di University of Melbourne Australia tahun
1986-1988, kemudian menempuh pendidikan S3 Sosiologi di Universitas
Indonesia (1992-1998). Dorongan semangat, pendampingan yang engkau
berikan sangat berharga sehingga saya mampu membina karier akademik
dengan lancar. Pada tahap ini pula peran Keluarga Besar Pangemanan-
Penn juga tidak dapat dikesampingkan dalam memberikan dorongan
semangat, bantuan finansial, maupun doa yang memperteguh semangat
saya untuk membina karier dengan baik. Khusus kepada Cor Najoan
(almarhum), engkau merupakan kakak dan teman diskusi yang baik.
Banyak pikiran-pikiranmu yang menjadi inspirasi saya dalam menekuni
bidang kriminologi. Demikian juga kepada Lieke Najoan-Pangemanan,
banyak perhatian dan bantuan yang telah diberikan kepada saya dan
Aneke selama ini yang tidak temilai harganya. Terima kasih atas
segalanya, demikian juga untuk anggota keluarga yang lain.
Akhirnya suatu jabatan akademik tidak akan dapat tercapai apabila
saya tidak mempunyai kesempatan melakukan aktivitas yang penting bagi
penilaian prestasi akademik. Kepada Departemen Knminologi saya
mengucapkan terima kasih dipercaya untuk mengasuh sejumlah mata
kuliah maupun membimbing mahasiswa dalam penulisan skripsi dan tesis
pada jenjang SI dan S2. Secara khusus ucapan terima kasih saya tujukan
kepada rekan-rekan staf pengajar Departemen Knminologi FISIP U1
yang memberi kesempatan dan mendorong saya untuk memperoleh
jabatan akademik guru besar, yaitu Prof. Dr. Tb. Ronny R. Nitibaskara,
Drs. Jan R. Djamihardja, Dra. Pumianti, Dra. Suwamiyati Sartomo,
M.Si., Dra. Syarifah Sabaruddin, Drs. Jokie MS Siahaan, M.Si., Dra.
Romany Sihite, M.Si., Drs. M. Memal Dermawan, M.Si., Drs. Thomas
Sunaryo, M.Si., Drs. Mulyana W. Kusumah, Drs. Johannes Sutoyo,
M.Si., Mas Henkie Liklikuwata, S.H. yang telah menjadi teman diskusi

25

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


dan kritikus yang baik. Demikian pula kepada generasi staf pengajar
berikutnya, yakni Drs. Adrianus Meliala, M.Si., M.Sc. (semoga cepat
memperoleh gelar doktomya), Drs. Ade Erlangga Masdiana, M.Si.,
Drs. Dadang Sudiadi, M.Si., Drs. Eko Hariyanto, M.Si., Drs. Josias
Simon, M.Si., Dra. Vinita Susanti, M.Si., Dra. Mamik Sri Supadmi,
Dra. Ni Made Martini, Drs. Eko Dahana Djajakarta, Sdr. Yulianto
Santoso, S.Sos, Sdr. Irvan Olii, S.Sos., Sdr. Herlina Permatasari, S.Sos,
Sdr. Anie Rahmi, S.Sos, Sdr. Kisnu Widagso, S.Sos, Sdr. Santi
Kusumaningrum, S.Sos, Sdr. Fikri Somyadewi, S.Sos, Sdr. Iqra Sulkhin,
S.Sos, Sdr. Yogo Tri Hendiarto dan Iain-lain yang mudah-mudahan
tidak terlewat, terima kasih selain telah menjadi kritikus yang baik telah
mempercayai saya sebagai narasumber dalam menekuni bidang kri-
minologi. Dan juga kepada semua mahasiswa yang karenanya saya hams
selalu mengasah diri dalam bidang ilmu. Kemudian kepada Program
Pascasaijana Universitas Jayabaya ucapan terima kasih layak saya
sampaikan karena kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk
mengasuh mata kuliah maupun membimbing tesis. Kepada Puslitbang
dan Balitbang HAM Departemen Kehakiman dan HAM RI, ucapan
terima kasih perlu disampaikan karena kedua institusi tersebut telah
memberi kepercayaan kepada saya untuk memimpin sejumlah penelitian
di kedua institusi tersebut. Kemudian kepada Redaksi Majalah Hukum
dan Pembangunan FHUI, Redaksi Majalah Masyarakat Laborato-
rium Departemen Sosiologi FISIP UI, Redaksi Majalah Hipotesa
Jurnal Politik Universitas Jayabaya, Redaksi Jurnal Kriminologi
Indonesia Departemen Kriminologi FISIP UI yang telah menerbitkan
karya-karya ilmiah saya, perlu saya sampaikan ucapan terima kasih pula.
Karena kesempatan-kesempatan untuk menunjukkan prestasi akademik
tersebut di atas, telah mendorong Dewan Gum Besar FISIP UI dan
Dewan Gum Besar UI melalui Rektor UI untuk mengusulkan saya
menjadi gum besar kepada Menteri Pendidikan Nasional RI. Kepada
semua pihak tersebut saya menyampaikan penghargaan yang setinggi-
tingginya dan ucapan terima kasih yang tulus. Mudah-mudahan keper
cayaan yang diberikan kepada saya ini dapat saya laksanakan dengan
baik demi pengabdian kriminologi untuk ikut serta mewujudkan kesejah-
teraan rakyat Indonesia. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih
kepada Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar (almarhum) yang ikut memberikan
landasan keilmuwan kepada saya semenjak saya menjadi mahasiswa SI
dan kemudian beliau membimbing saya dalam penulisan skripsi, maupun
bersedia menjadi promotor S3 saya, meskipun kemudian beliau dipanggil

26

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


A1 Khalik. Kepada Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. yang menjadi pro-
motor S3 saya menggantikan almarhum Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar;
Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc., dan Dr. Robert Lawang yang
mendampingi Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. sebagal co-promotor S3
saya, terima kasih tak terhingga saya sampaikan, karena gelar Doktor
yang saya peroleh merupakan pijakan utama saya untuk dipercaya
dalam jabatan akademik guru besar.

Hadirin yang saya hormati

Tahapan berikutnya dari kehidupan saya adalah tahapan pengabdian


yang hams saya lalui setelah ini. Pada tahap yang akan datang ini saya
hanya dapat berdoa. Allah, hamba-Mu yang lemah ini menyampaikan
puji dan syukur atas nikmat yang telah engkau berikan dalam bentuk
kepercayaan kepada saya untuk menduduki jabatan gum besar di bidang
Ilmu Metode dalam Kriminologi. Karena Engkau jualah semua pihak telah
tergerak iintuk menyetujui hamba-Mu ini untuk menduduki jabatan yang
terhormat ini. Peliharalah hamba-Mu ini agar selalu dapat menjaga
kepercayaan tersebut dan mampu memberi manfaat kepada bangsa,
negara, dan agama. Tegorlah hamba-Mu ini kalau berlaku salah. Amien.

Wabillahi taufik walhidayah. Wassalamu'alaikum warahmatullahi


wabarakatuh.

Jakarta, 21 Januari 2004

27

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


DAFTAR PUSTAKA

Black. D., "The Epistemology of Pure Sociology", Law and Social


Inquiry, 20. 1995. Hal. 829-870.
Bonger, W.A., Pengantar Tentang Kriminologi. Terjemahan A. Koesnoen,
diperbaiki oleh B.M. Reksodiputro di bawah penilikan Paul Moedikdo
Moeliono, Jakarta: PT. Pembangunan, 1970.
Cressey, Donald R., "Why Managers Commit Fraud", The Australian
and New Zealand Journal of Criminology, Volume 19, Number
4, December 1986, Hal. 195-209.
Dressier, D., Reading in Criminology and Penology (Ed.), 2 ed.
New York: Columbia University Press, 1972.
Fox, V.B., Introduction to Criminology, Englewood Cliffs: Prentice-Hall,
1976.

Geiss, G., Not the Law's Business, New York: Schochen Books, 1979.
Gibbons, D.C., Crime, and Criminal Careers: An Introduction to
Criminology, 3"* ed. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1977.
Glasser, D., Handbook of Criminology, (Ed). Chicago. Rand McNally,
1973.

Haskell, M., dan L. Yablonsky, Criminology: Crime and Criminality,


Chicago: Rand McNally, 1974.
Johnson, E.S. Crime, Correction and Society, Rev. Ed. Homewood:
Doresey, 1968.
Mannheim, H., Comparative Criminology, Boston. Houghton Miffin,
1965.

Quinney, R., Class, State, and Crime, New York: Mckay, 1977.
Reckless, W.C., "Non-Causal Explanation: Containment Theory", Excerpta
Criminologica, March-April, 1962.
de la Roche, "Collective Violence as Social Control", Sociological
Forum. Vol. 11, No. 1., hal. 97-123.
Savelsberg, J.J., "The Making of Criminal Law Norms in Welfare States:
Economic Crime in West Germany", Law and Society, Vol. 21,
No. 4, 1987. hal. 529-561.

28

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


Sutherland, "White-Collar Criminality", American Sociological Review,
5 (February, 1940), hal. 1-12.
Sutherland, E.H. dan D.R. Cressey., Criminology, 9"" ed. Philadelphia;
Lippincott, 1974.
Taft, D.R. dan R.W. Englanf Jr., Criminology, 4"" ed. New York:
Macmillan, 1964.
Trasler, G.B. "Criminology", dalam G.D. Mitchell (Ed). A Dictionary
of Sociology, London: Routledge & Kegal Paul.

29

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


RIWAYAT HIDUP

N a m a Prof. Dr. Muhammad Mustofa, M.A.

Tempat/tanggal lahir Temanggung, 21 Januari 1951

A g a m a Islam

Nama Ayah Prayitno


Pensiunan Pegawai Pos Indonesia.

Nama Ibu Sajarwi


Ibu Rumah Tangga, aktif dalam kegiatan
sosial.

Nama Istri Jeanne Juliana Pangemanan

Pekerjaan Istri Ibu Rumah Tangga

Alamat nimah Jalan Taman Duta 11/10, Pondok Duta


Cimanggis 16951

Alamat kantor Departemen Kriminologi FISIP UI,


Kampus UI Depok 16424
Alamat e-mail masmus@plasa.com

Nomor Telepon rumah : 021-8713268


kantor : 021-7271574
hp (mobile) : 08129020469
Pekerjaan Utama

Dosen Program Sarjana dan Program Pascasarjana Departemen Kri


minologi, FISIP UI.

Aktivitas Lain dalam Pendidikan

1. Dosen Program Pascasarjana Universitas Jayabaya Jakarta


2. Dosen Tidak Tetap Sekolah Lanjutan Perwira Polri.
Jabatan Akademik Guru Besar dalam bidang Ilmu Metode
dalam Kriminologi.

Jabatan Struktural Ketua Departemen Kriminologi


nsip UI.

30

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


Jabatan Lain Ketua Balai Pertimbangan Pemasyara-
katan Departemen Kehakiman & HAM
Rl, Periode 2003-2005.

Riwayat Jabatan Akademik

1. 1979 Asisten Ahli Madya (Golongan Ill/a)


2. 1981 Asisten Ahli (Golongan Ill/b)
3. 1984 Lektor Muda (Golongan UI/c)
4. 1989 Lektor Madya (Golongan Ill/d)
5. 1992 Lektor (Golongan IV/a)
6. 1998 Lektor Kepala Madya (Golongan IV/b)
7. 2001 Lektor Kepala
(Impasing, Golongan IV/b)
8. 2003 Guru Besar (Golongan IV/b)

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri V, Temanggung, 1956-1963.


2. SMP Negeri I, Temanggung, 1963-1966.
3. SMA Negeri (Sosial-Budaya) Temanggung, 1967—1969.
4. Sarjana Muda Ilmu Sosial, FIS Universitas Indonesia 1972.
5. Drs. Kriminologi Universitas Indonesia 1977.
6. Visiting Scholar, pada Rijks Universiteit Utrecht Holland,
bidang Sosiologi Hukum, 1981-1982 (6 bulan).
7. Post Grad. Diploma in Criminology, University of Melbourne,
Australia, 1988.
8. M.A. in Criminology University of Melbourne, Australia, 1990
9. Doktor Sosiologi, Universitas Indonesia, 1998.

Mata Kuliah yang Diasuh

1. Metode Penelitian dalam Kriminologi (SI Dept. Kriminologi


FISIP UI).
2. Metode dan Pengukuran Kriminologi (S2 Dept. Kriminologi
FISIP UI).
3. White-Collar Crime (SI Dept. Kriminologi FISIP UI).
4. Sosiologi Hukum (S2 Dept. Kriminologi FISIP UI).
5. Teori Kriminologi (S2 Dept. Kriminologi FISIP UI).
6. Bimbingan Kajian Pustaka (S2 Dept. Kriminologi FISIP UI).

31

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


7. Metode Penelitian Hukum & Statistik Sosial (S2 Universitas
Jayabaya).
8. Bantuan Hukum dan Penyantunan Terpidana Penjara (S2
Universitas Jayabaya).
9. Metode Penelitian Hukum (S3 Universitas Jayabaya).

Penelitian yang Pernah Dilakukan

1. Pelacuran dalam Kehidupan Pelaut, Skripsi, FISIP UI, 1977.


2. Pola Kerja Polisi, (Peneliti Utama), Jakarta: Lembaga Krimino-
logi UI, 1980.
3. Hubungan Sosial Pelaku-Korban dalam Kejahatan Pem-
bunuhan dan Perkosaan, (Peneliti Utama), Jakarta: Lembaga
Kriminologi UI, 1983.
4. Polisi Sebagai Sistem Sosial (Peneliti Utama), Jakarta: FISIP
UI, 1983.
5. The Effectiveness of Neighbourhood Watch Programme as
a Crime Prevention Strategy, MA Thesis, University of
Melbourne, 1988.
6. Self Reported Study dan Survei Korban di Kalangan
Mahasiswa Jurusan Kriminologi FISIP UI, (Peneliti Utama),
Jakarta: FISIP UI, 1991.
7. Kebijakan dan Strategi Pengamanan Masyarakat Kota,
(Peneliti Utama), Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu Sosial,
1991.
8. Pendayagunaan Tempat Sidang Tetap pada Peradilan
Umum, (Peneliti Utama), Jakarta: Pusat Penelitian dan Pe-
ngembangan Dept. Kehakiman RI, 1996.
9. Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Notaris oleh
Pengadilan Negeri di Wilayah Hukumnya, (Peneliti Utama),
Jakarta "Puslitbang Dept. Kehakiman RI, 1997.
10. Efektivitas Penyuluhan Hukum Melalui Radio, (Peneliti
Utama), Jakarta: Puslitbang Dept. Kehakiman RI, 1997.
11. Pelaksanaan Keterpaduan Penyuluhan Hukum dalam
Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, (Peneliti
Utama), Jakarta: Puslitbang Dept. Kehakiman RI, 1998.
12. Pelaksanaan Pendidikan Teknis Kepaniteraan dalam Mem-
persiapkan Panitera/Panitera Pengganti di Lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, (Peneliti

32

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


Utama), Jakarta: Puslitbang Dept. Kehakiman RI, 1998.
13. Perkelahian Massal Pelajar Antar Sekolah di Jakarta
Selatan. Sebuah Studi Kasus Berganda, Rekonstruksi Ber-
dasarkan Paradigma Konstruksivisme, Disertasi Doktor,
Program Pascasarjana Universltas Indonesia, 1998
14. Evaluasi Organisasi dan Tata Kerja pada Kanwil Departemen
Kehakiman, (Peneliti Utama), Jakarta: Puslitbang Dept.
Kehakiman RI, 1999
15. Sosialisasi Tugas Pokok Departemen Kehakiman di Bidang
Pelayanan Jasa Hukum dan Pengaruhnya Terhadap
Kesadaran Hukum Masyarakat, (Peneliti Utama), Jakarta:
Puslitbang Dept. Kehakiman RI, 2000.
16. Pendirian dan Pengembangan Tempat Pemeriksaan Imigrasi
dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Peneliti
Utama), Jakarta: Puslitbang Dept. Kehakiman RI, 2002.
17. Pengkajian Pemenuhan Hak Anak Pidana Sesuai Pasal
55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Terhadap Anak
yang Menjalani Masa Pidana, (Peneliti Utama), Jakarta:
Balitbang HAM, Dept. Kehakiman dan HAM RI, 2003.
18. Baseline Survey on the Understanding and Capacity of
the Indonesian National Police in Implementing Fundamental
Principles and Rights at Work, (principal researcher) Jakarta:
International Labour Organization, Jakarta Office, 2003

Karya Ilmiah yang Dihasilkan

1. "Ketidakadilan Struktural dan Kedaulatan Hukum" ditulis ber-


sama Mulyana W. Kusumah, dalam, Selo Soemardjan et.al
(Eds), Kemiskinan Struktural, Jakarta: PT Sangkala Pulsar,
1984.
2. "Controlling Violent Crime: A Case Study of the 'Siri' Pheno
menon in the Buginese-Makassarese Community, South
Sulawesi", dalam Strang, H., and Julia Yemon, International
Trends in Crime: East Meets West. Conference Proceedings,
Canberra: Australian Institute of Criminology, 1992.
3. "Tinjauan Kriminologis atas Fraudulent Misrepresentation di
bidang Perekonomian" dalam Pranasari, K., dan Adrianus
Meliala (Eds), Praktek Pemberian Keterangan yang Tidak
Benar, Jakarta: Penerbit UI, 1991.

33

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004


4. "Perubahan Sosial di Perkotaan d£in Dampaknya terhadap
Pengendalian Sosial Anak", dalam Pumianti, Arti dan Lingkup
Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Jurusan Kriminologi
FISIP UI & Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
UI, 1999.
5. "Transnational Organized Crime: An Indonesian Perspective",
dalam Annual Report Asia Crime Prevention Foundation,
2000.
6. "Perkelahian Massal Pelajar Antar Sekolah di Jakarta Selatan.
Sebuah Studi Kasus Berganda, Rekonstruksi berdasarkan
Paradigma Konstruksivisme", dalam Masyarakat, Jurnal
Sosiologi, Edisi No. 7, tahun 2000.
7. "Memahami Kerusuhan Sosial, Suatu Kendala Menuju Masya
rakat Madani", dalam Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 1,
No. 1, September 2000.
8. "Kerjasama Asean Dalam Menanggulangi Kejahatan Pencucian
Uang {Money Laundering) Lintas Negara", dalam Hukum
dan Pembangunan, Nomor 1, Tahun XXXII, Januari-Maret
2002. ^
9. "Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba: Suatu
Tinjauan Sosiologi Hukum", dalam Hukum dan Pembangunan,
Nomor 2, Tahun XXXII, April-Juni 2002.
10. "Reliabilitas Instrumen Penelitian Kemasyarakatan Dalam Per-
adilan Anak di Indonesia" dalam Jumal Kriminologi Indonesia,
Vol.2, No. II Juli 2002.
11. "Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologis", dalam
Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 2, No. Ill, Desember
2002. •
12. "Viktimologi, Keseimbangan Kajian Pelaku-Korban Kejahatan",
dalam Hipotesa, Nomor 32A'61.08/2003.

Pengalaman Kerja:

1. 1976 : Pelaut pada Shell Tanker BV Rotterdam


Belanda.
2. 1977 - 1979 : Karyawan PT Djawa Bali Muda Plaza,
Distributor Semen, Jakarta
3. 1979 - sekarang : Staf Pengajar FISIP Universitas
Indonesia.

34

Kriminologi untuk Kesejahteraan..., Muhammad Mustofa, FISIP UI, 2004

Anda mungkin juga menyukai