Anda di halaman 1dari 24

TEORI KRIMINOLOGI

7 September 2019

EKOLOGI SOSIAL
KEJAHATAN
Penjelasan umum
Teori-teori ini merupakan teori yang dikembangkan
dalam tradisi aliran pemikiran Chicago yang
dicirikan oleh perhatian mereka terhadap hubungan
sebab-akibat antara kejahatan dengan lingkungan
(ekologi).
Oleh karena penekanan pencarian sebab-musabab
kejahatan ditujukan pada aspek lingkungan maka
aliran pemikiran Chicago juga disebut sebagai aliran
pemikiran ekologi kejahatan.
Ekologi kejahatan sendiri merupakan
pengembangan dari gagasan Robert Park yang
menyimpulkan bahwa suatu wilayah permukiman
adalah serupa dengan ekologi (alam) yang
berkembang secara alamiah pula.
DASAR PEMIKIRAN
EKOLOGI KEJAHATAN
MENURUT DURKHEIM, PERUBAHAN SOSIAL
YANG CEPAT MENYEBABKAN PENINGKATAN
KEJAHATAN KARENA MELEMAHNYA
PENGENDALIAN SOSIAL
PEMIKIRAN DURKHEIM TERSEBUT OLEH
DEP. OF SOCIOLOGY UNIV. OF CHICAGO
PADA TAHUN 1920-AN DIPERGUNAKAN
UNTUK MENELITI HUBUNGAN ANTARA
FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN KEJAHATAN
LANDASAN TEORETIS
EKOLOGI KEJAHATAN
EKOLOGI MANUSIA (ROBERT PARK), MA-
SYARAKAT MANUSIA DIASUMSIKAN SERUPA
DENGAN KEHIDUPAN FLORA DAN FAUNA
DALAM HABITATNYA MASING-MASING.
SETIAP INDIVIDU MANUSIA BERJUANG
UNTUK BERTAHAN HIDUP DALAM
MASYARAKAT
SETIAP INDIVIDU SALING BERHUBUNGAN
DAN SALING BERGANTUNG.
KOTA BUKAN SEKEDAR GEJALA
GEOGRAFIS TETAPI MERUPAKAN BENTUK
ORGANISME SOSIAL
1. DI DALAM SEBUAH KOTA TERDAPAT WILAYAH-
WILAYAH ALAMIAH (NATURAL AREAS) YANG KHAS
KARENA DIHUNI OLEH PENDUDUK YANG
BERBEDA-BEDA.
• MISAL ADA KAMPUNG MELAYU, KAMPUNG
BUGIS, PECINAN DSB.
• WILAYAH ALAMIAH TERSEBUT SERUPA DENGAN
HABITAT BAGI KEHIDUPAN TANAMAN ATAU
HEWAN.
• WILAYAH ALAMIAH KOTA JUGA DICIRIKAN OLEH
PERSAMAAN TINGKAT EKONOMI DAN JENIS
PEKERJAAN PENGHUNINYA.
MISAL WILAYAH KELAS PEKERJA, ATAU
PEMUKIMAN WIRAUSAHAWAN.
2. EKOLOGI MANUSIA SEPERTI JUGA EKOLOGI FLORA
DAPAT BERUBAH KESEIMBANGANNYA.
SPESIES BARU DAPAT TUMBUH DAN MERUSAK
DAN MENGGANTIKAN FLORA ASLI, DAN DICAPAI
KESEIMBANGAN BARU.
PROSES INI JUGA TERJADI PADA EKOLOGI
MANUSIA MELALUI INVASI, DOMINASI, DAN
SUKSESI.
3. PARK DAN BURGESS, BERPENDAPAT BAHWA KOTA
TIDAK HANYA BERKEMBANG PADA WILAYAH
PINGGIR SAJA.
KOTA BERKEMBANG SEJAK WILAYAH PUSATNYA
DAN SECARA PELAHAN KELUAR.
POLA PERKEMBANGAN KOTA

ZONA 1, BISNIS

ZONA 2, TRANSISI

ZONA 3, PEMUKIMAN BWAH

ZONA 4, PEMUKIMAN ATAS

ZONA 5, KOTA SATELIT

SUMBER, E.W. BURGESS, DLM R. PARK ET.AL. THE CITY. CHICAGO: CHICAGO
UNIV. PRESS, 1928, P. 51
KETERANGAN GAMBAR

1. ZONA 1 MERUPAKAN WILAYAH BISNIS


ATAU INDUSTRI.
2. ZONA 2 WILAYAH TRANSISI YANG DIINVASI
OLEH KEGIATAN BISNIS DAN INDUSTRI
3. ZONA 3 WILAYAH PEMUKIMAN PEKERJA
YANG SEBAGIAN PINDAH DARI WILAYAH 2
4. ZONA 4 WILAYAH PEMUKIMAN KELUARGA
KECIL DAN APARTEMEN MAHAL
5. ZONA 5 WILAYAH KOTA SATELIT
WILAYAH DELINKUEN
OLEH CLIFFORD R. SHAW (1929)
DELINKUENSI ADALAH AKIBAT TERLEPASNYA ANAK
DARI IKATAN SOSIAL KONVENSIONAL DAN BUKAN
PENGARUH FAKTOR BIOLOGIS ATAU PSIKOLOGIS.
ANAK DELINKUEN ADALAH MAHLUK MANUSIA YANG
NORMAL. TINDAKAN PELANGGARAN HUKUM YANG
DILAKUKANNYA TERKAIT DENGAN
LINGKUNGANNYA. TINGKAT DELINKUENSI YANG
TINGGI HANYA DITEMUKAN DI WILAYAH TERTENTU.
OLEH KARENA ITU DELINKUENSI BERHUBUNGAN
DENGAN TIPE WILAYAH YAITU WILAYAH TRANSISI
Penelitian faktor ekologi sebagai faktor
determinan bagi timbulnya tingkah laku
delinkuen di Chicago diawali oleh penelitian
Clifford R. Shaw yang diterbitkan sebagai buku
berjudul Delinquency Areas (1929).
Penelitian yang dilakukan oleh Shaw merupakan
usaha untuk menguji hubungan antara ciri-ciri
wilayah permukiman (neighborhood) dengan
tingkat kejahatan (crime rate) wilayah tersebut.
Data delinkuensi tersebut disajikan dalam
bentuk peta kota Chicago yang menunjukkan
perbedaan tingkat delinkuensi menurut wilayah.
Dalam analisa visual terlihat bahwa tingkat
delinkuensi semakin mengecil bila semakin
menjauhi pusat kota. Dan pusat kota merupakan
wilayah permukiman dengan tingkat delinkuensi
tertinggi.
Delinkuensi anak dan kejahatan terdistribusi
secara seragam di beberapa wilayah
Tingkat delinkuensi dan kejahatanyang tinggi
terjadi pada wilayah-wilayah yang berdampingan
dengan wilayah pusat industri dan bisnis
Tingkat delinkuensi dan kejahatan yang rendah
ditemukandi wilayah permukiman
Wilayah dengan tingkat delinkuensi dna
kejahatan yang tinggi mempunyai ciri-ciri fisik
yang berbeda dariwilayah permukiman
Wilayah tersebut merpakan wilayah transisi dari
permukiman ke industri dan bisnis, secara fisik
hancur, populasi berkurang, terjadi disintegrasi
sosial dan budaya.
Karena delinkuensi terutama ditemukan pada
wilayah-wilayah dengan ciri-ciri tersebut, dapat
diasumsikan bahwa tingkah laku kenakalan
sangat berhubungan dengan keadaan
komunitas tertentu yang terjadi dalam proses
pertumbuhan kota
Di bawah tekanan dorongan distegrasi yang
merupakan keadaan endemik dalam proses
tersebut, komunitas sebagai agenpengendalian
sosial berhenti berfungsi secara efektif, dan
daya tahan terhadap tingkah laku kriminal
menurun, dan keadaan itu menjadi tidak hanya
diberi toleransi tetapi kadang-kadang juga
diterima.
Begitu pola-pola delinkuensi dan pola-pola
tingkah laku kriminal muncul di suatu
pemukiman, pola-pola tingkah laku tersebut
ditransmisikan secara sosial seperti cara-cara
transmisi pola-pola sosial budaya yang lain.
Pada saatnya pola-pola anti sosial tersebut akan
menjadi dominan dan membentuk sikap dan
tingkah laku mayoritas orang yang hidup di
wilayah tersebut, dan akhirnya menjadi “daerah
delinkuensi” (Shaw, 1929)
TRANSMISI KEBUDAYAAN
CLIFFORD R. SHAW & HENRY D. McKAY (1942)
Proposisi umum
Di wilayah-wilayah yang tingkat delinkuensinya
rendah lebih-kurang terdapat keseragaman,
konsistensi, dan universalitas nilai-nilai dan sikap-
sikap yang berhubungan dengan pengurusan anak,
konformitas terhadap hukum, dan hal-hal lain yang
berhubungan.
Sedangkan di wilayah-wilayah yang tingkat
delinkuensinya tinggi berkembang sistem kompetisi
dan koflik nilai-nilai moral.
Meskipun di wilayah delinkuensi tradisi konvensional
dan lembaga-lembaga masih dominan, delinkuensi
telah berkembang menjadi kekuatan saingan buat
cara hidup.
Nilai- nilai delinkuensi disimbolkan oleh kelompok-
kelompok dan lembaga-lembaga mulai dari gang
kriminal orang dewasa yang terlibat dalam pencurian
dan pennjualan barang curian, hingga bisnis kuasi-legal
dan pemerasan melalui bisnis yang legal atau agak
legal.
Jadi pada masyarakat tersebut pencurian bisa diangap
sebagai tindkaan sah bisa juga dianggap sebagai
tindakan melanggar hukum.
Pada kelompok tertentu kekayaan dan kehormatan
ditopang oleh keberanian dan ketrampilan melakukan
kejahatan, meskipun oleh kelompok lain dicela.
Konflik nilai moralitas menjadi tidak jelas batasnya bagi
anak-anak
Anak-anak yang tinggal di wilayah yang
mempunyai konflik nilai-nilai moralitas, terpapar
dengan standar tingkah laku yang saling
bertentangan daripada dengan standar nilai
yang konvensional dan konsisten.
Konflik nilai akan terjadi ketika anak-anak (laki-
laki) harus melakukan kontak dengan berbagai
bentuktingkah laku yang tidak dapat
direkonsiliasi dengan nilai-nilai konvesnional
yang diwujudkan dalam lembaga gereja dan
sekolah.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pejabat
publik dapat disuap, dan anak-anak menganggap
bahwa setiap pejabat dapat disuap.
Di wilayah perkotaan yang paling tidak teratur
(disorganized),
Kejahatan menjadi suatu tradisi yang ditransmisikan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Para penjahat, dengan gaya hidupnya yang “wah”
dengan kondisi ekonomi yang kasat mata tampak
makmur, memamerkan kesuksesan ekonominya.
Oleh karena itu mereka menjadi model bagi para
pemuda.
KEJAHATAN DAN TEMPAT
A. E. BOTOMS & P. WILES (1997)

BOTTOMS DAN WILES MEMPERGUNAKAN TEORI


SRUKTURASI DARI GIDDENS, BAHWA STRUKTUR
DAPAT MENJADI PENGHALANG TINDAKAN INDIVIDU
TETAPI JUGA MEDIA DAN HASIL TINDAKAN
MANUSIA SECARA BERULANG-ULANG.
MERUJUK PADA PENELITIAN WIKSTRÖM (1990)
YANG MEMBEDAKAN ANTARA RATE PELANGGARAN
DAN RATE PELANGGAR DALAM MENJELASKAN
HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR URBAN DENGAN
WILAYAH RATE PELANGGAR.
ASUMSI YANG DIPERGUNAKAN

1. PERMUKIMAN DAN “OFFENDER-RATE BASE”


KEJAHATAN BERHUBUNGAN DENGAN KELOM-
POK–KELOMPOK SOSIAL DENGAN KECENDE-
RUNGAN LEBIH BESAR BAGI KEJAHATAN
TERKONSENTRASI DI TIPE TERTENTU PERMU-
KIMAN . . .
2. PERMUKIMAN ITU SENDIRI DAPAT MEMPE-
NGARUHI KECENDERUNGAN PEMUKIMNYA KE
KEJAHATAN, KARENA KONDISI PERMUKIMAN
LOKAL MERUPAKAN HAL PENTING BAGI KEHI-
DUPAN SOSIAL DAN PENGENDALIAN SOSIAL
LINGKUNGAN (DAMPAK KONTEKSTUAL).
DAMPAK KONTESKTUAL:

1. PENGARUH SITUASIONAL PADA KECEN-


DERUNGAN UNTUK MELANGGAR; DAN

2. PENGARUH JANGKA PANJANG DALAM


PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN MASING-
MASING PEMUKIM DAN GAYA HIDUP,
CENDERUNG ME-REINFORCE KECENDE-
RUNGAN KE KEJAHATAN . . . (TERUTAMA
TERKAIT DENGAN PENGARUH LINGKUNG-
AN ANAK-ANAK DAN REMAJA) (1990:17)
HUBUNGAN STRUKTUR URBAN DAN WILAYAH
RATE PELANGGARAN (WILKSTRÖM).
VARIASI DALAM DISTRIK DALAM PENGGUNAAN TANAH
URBAN MENGHASILKAN PERBEDAAN AKTIVITAS
RUTIN,
YANG KURANG LEBIH SECARA TERUS MENERUS
DALAM WAKTU YANG BERBEDA MENURUT MINGGU
DAN DALAM WAKTU HARIAN DI TEMPAT YANG
BERBEDA DI KOTA.
PEMISAHAN DAN VARIASI RUANG (SPATIAL) DALAM
MENCARI AKTIVITAS YANG BERANEKA RUPA, MASING-
MASING AKAN DIANGAP SEBAGAI KURANG LEBIH
ATRAKTIF OLEH KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL YANG
BERBEDA,
MEMASTIKAN BAHWA PEMBENTUKAN SOSIAL DARI
PEMUKIM DAN PENGUNJUNG PADA WAKTU YANG
BERBEDA DALAM SUATU HARI AKAN MENUNJUKKAN
VARIASI DALAM DISTRIK YANG KHAS.
AKTIVITAS YANG DICARI DAN KOMPOSISI
SOSIAL DALAM DISTRIK BERHUBUNGAN
DENGAN:
1. TERSEDIANYA TARGET KEJAHATAN YANG
COCOK, KEBERADAAN PELANGGAR YANG
MEMPUNYAI NIAT DAN KEBERADAAN PENGEN-
DALIAN SOSIAL LANGSUNG (PENJAGA YANG
HANDAL) [PENJELASAN RATE PELANGGARAN
UNTUK KEJAHATAN INSTRUMENTAL]
2. MUNCULNYA LAWAN (LINGKUNGAN) YANG
LAYAK UNTUK MENDORONG PROVOKASI
DALAM KETERTIBAN UMUM DAN KHUSUS
[PENJELASAN BEBERAPA KEJAHATAN
ESKPRESIF] (1990:23)

Anda mungkin juga menyukai