Anda di halaman 1dari 6

Assalamualaikum

Nama: Ziki Ashodik

NIM: 044072175

Prodi: Agribisnis

Tugas 3 Sosiologi Pedesaan

Soal:

1. Pola kebudayaan tradisional adalah cara hidup masyarakat desa yang kehidupannya
belum tersentuh oleh penggunaan teknologi modern serta sistem ekonomi uang.
Dengan perkataan lain pola kebudayaan tradisional merupakan produk dari besarnya
pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung kepada alam.
Meskipun demikian tidak ada kebudayaan yang statis. Semua kebudayaan mempunyai
gerak dan dinamika untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik (modern),
terlebih di era globalisasi yang sudah merambah pada pola kebudayaan desa
(tradisional).
Pertanyaan :
Jelaskan secara rinci, bagaimana globalisasi mengubah pola kebudayaan masyarakat
desa yang semula tradisional menuju ke arah yang modern ? (35)

2. Globalisasi merupakan arus utama dunia dan mempunyai kekuatan yang pengaruhnya
seolah tidak terelakkan. Di sisi lain dalam kenyataannya orang-orang terutama di desa
di dunia ketiga kehidupannya tidak terlepas dari lingkungan terdekatnya atau
lingkungan lokalnya. Dengan demikian orang-orang seolah dipaksa untuk
menghadapi dua dunia itu.
Pertanyaan :
a. Jelaskan, bagaimana pendapat anda, menyikapi situasi antara dua dunia
tersebut, yaitu lokal dan global ?(35)
b. Bagaimana hasil studi Norman Uphoff apabila dipadankan dengan institusi
lokal di Indonesia ? (30)

Jawaban:
1. Bagaimana globalisasi mengubah pola kebudayaan masyarakat desa yang semula
tradisional menuju ke arah yang modern ? Beberapa gambaran di bawah ini
diharapkan akan cukup mengantar Anda untuk bisa memahami tentang bagaimana
globalisasi mempengaruhi dan mengubah pola tradisional kebudayaan masyarakat
desa.
 Pertama, sistem ekonomi kapitalisme yang merupakan inti dari proses
globalisasi adalah merupakan kekuatan utama yang besar sumbangannya
terhadap perubahan pola kebudayaan masyarakat desa. Sistem ekonomi
kapitalis, yang untuk tingkat desa bisa kita sederhanakan dengan sebutan
sistem ekonomi uang, telah memudarkan atau bahkan merusak komunalisme
atau kolektivisme yang menjadi ciri khas masyarakat desa yang masih
bersahaja. Sistem ekonomi uang telah mengubah hubungan kerja yang bersifat
langsung (direct cooperation), yakni tukar-menukar tenaga yang di Jawa
Tengah dan Jawa Timur disebut sambatan (termasuk jenis gotong-royong),
menjadi tidak lagi bersifat langsung yakni menjadi bentuk sistem upahan.
Gotong-royong jenis lain seperti gugur gunung, kerja bakti, bersih deso, yang
semula harus dihadiri oleh warga menjadi berubah, bisa digantikan dengan
kontribusi uang. Dengan demikian nilai-nilai kerukunan yang menjadi salah
satu basis pola budaya tradisional desa menjadi luntur. Merasuknya sistem
ekonomi uang telah menyebabkan hubungan antar warga desa lebih
didasarkan atas rasionalitas ekonomis (economic rationality) daripada atas
dasar rasionalitas sosial (social rationality). Rasionalitas ekonomis adalah
penalaran yang didasarkan atas perhitungan untung-rugi secara ekonomis.
Rasionalitas sosial adalah penalaran yang didasarkan atas pertimbangan
pertemanan, kebersamaan. Contohnya, kikir bila dinilai berdasar rasionalitas
ekonomi adalah sesuatu yang terpuji, dibenarkan, karena perilaku ini
menunjukkan sikap hemat. Hemat adalah pangkal kaya. Sedangkan bila dinilai
berdasar rasionalitas sosial, maka kikir adalah perilaku yang tidak terpuji,
bersifat asosial.
 Kedua, sistem ekonomi uang yang berintikkan sistem kapitalisme modern
telah mengembangkan budaya konsumtivisme Pengaruh ekonomi uang lewat
penyebaran pelbagai barang-barang produk industri di warung-warung, toko-
toko, pasar, dan tempat transaksi lainnya, dan ditunjang oleh gencarnya iklan
lewat radio maupun TV yang telah masuk ke desa-desa, menyebabkan
berubahnya perilaku serta karakter masyarakat desa. Oleh perubahan itu
mereka membeli sesuatu barang bukan terutama karena tuntutan kebutuhan
(need) melainkan karena tuntutan keinginan (want). Budaya konsumtivisme
tidak hanya disebabkan oleh aktifnya pengusaha atau industriawan
memasarkan produk mereka dengan pelbagai cara, tetapi juga oleh penilaian
masyarakat yang tinggi terhadap barang-barang “modern dan mewah” yang
dipasarkan industri. Pemilikan barang-barang seperti mobil, sepeda motor, TV,
radio, perabot rumah mewah, adalah merupakan lambang status (status
symbol) yang mengangkat derajat sosial pemiliknya. Maka nafsu membeli
barang-barang produk industri bukan semata karena keinginan biasa,
melainkan juga merupakan upaya untuk meningkatkan status sosial mereka.
Seiring dengan gejala ini, maka masyarakat desa tidak lagi menilai seseorang
(desa) berdasar nilai-nilai moral (kejujuran, ketulusan hati, kemuliaan,
kepolosan, kesalehan, kerendahan dan kebaikan hati, dan semacamnya),
melainkan lebih didasarkan atas nilai-nilai barang yang mereka miliki.
 Ketiga, sistem komunikasi dan transportasi adalah merupakan faktor utama
yang memungkinkan terjadinya proses transparansi dalam globalisasi.
Pelbagai bentuk tradisi ataupun adat-istiadat yang semula merupakan sekat
yang menutup dan mengisolasi desa itu dari pengaruh luar menjadi “rusak”
ditembus oleh proses transparansi. Proses transparansi terjadi lewat persebaran
media komunikasi seperti surat kabar, majalah, radio, TV, telepon, serta media
massa lainnya. Lewat persebaran media-media komunikasi itu pelbagai
informasi dan hal-hal baru dari luar mengalir dan merasuk ke tengah
kehidupan masyarakat desa. Akibatnya, pola kebudayaan masyarakat desa
yang semula tradisional berubah sesuai dengan intensitas dan ekstensitas
pengaruh yang dibawakan media-media komunikasi tersebut. Selain itu,
persebaran dan kelancaran transportasi modern yang mendorong terjadinya
mobilitas penduduk ke luar dan ke dalam desa juga mengakibatkan terjadinya
perubahan pola kebudayaan. Sebab, mobilitas semacam ini akan menyebabkan
penduduk desa melakukan kontak dengan orang-orang luar desa. Orang-orang
desa mulai banyak yang keluar dari “sekapan” desa, sebaliknya orang-orang
luar desa pun semakin banyak memasuki desa. Dengan demikian pengaruh-
pengaruh dari luar semakin menyebar dan merasuk dalam kehidupan mereka.
Dalam hal ini sesuai dengan teori Sosiologi maupun ilmu sosial lainnya yang
menyatakan bahwa salah satu sebab terjadinya perubahan kebudayaan
(cultural change) adalah bila terjadi kontak (contact) antara suatu masyarakat
dengan masyarakat lainnya yang berbeda pola budayanya. Dengan demikian,
baik komunikasi lewat pelbagai media maupun transportasi yang mendorong
terjadinya mobilitas, keduanya sama-sama mengakibatkan terjadinya kontak
antar budaya yang berbeda yang dengan itu mengakibatkan terjadinya
perubahan kebudayaan.
2. Berikut jawabannya:
a. Globalisası saat ini memang merupakan arus utama (mainstream) dunia dan
kekuatan pengaruhnya seolah tidak terelakkan. Namun, di sisi lain dalam
kenyataannya orang- terutama orang-orang desa di dunia ketiga-
kehidupannya tidak terlepas dari lingkungan terdekatnya atau lingkungan
lokalnya. Dengan demikian orang seolah dipaksa untuk menghadapi dua dunia
itu, yang dua-duanya tidak dapat dielakkan, yakni global dan lokal.
Bagaimana menyikapi situasi ini? Nampaknya lebih baik menerima dua-
duanya daripada menolak salah satu atau apalagi dua-duanya. Maka mudah
dipahami mengapa kini muncul kearifan baru, yakni “berpikir global,
bertindak lokal” atau yang juga populer dengan istilah glokal (singkatan dari
global-lokal).
Bagaimana keterkaitan antara globalisasi, lokal dan glokal ini dengan institusi
lokal? Hal yang perlu kita sadari adalah kenyataan bahwa globalisasi
merupakan gejala yang secara umum tidak menguntungkan dunia ketiga.
Banyak sebab mengapa globalisasi lebih bersifat merugikan negara-negara
dunia ketiga. Salah satunya adalah bahwa pihak yang menguasai permodalan
(besar) dan teknologi (tinggi) telah menciptakan ketergantungan dunia ketiga
terhadap mereka lewat sistem ekonomi, politik dan budaya yang mereka
bangun. Dengan itu mereka bisa mengendalikan dunia ketiga demi
kepentingan dan keuntungan mereka. Negara-negara dunia ketiga di lain pihak
menjadi korban penguasa modal dan teknologi itu (yang umum disebut para
korporat global) dan tergiring ke arah proses pemiskinan, keterbelakangan dan
peminggiran, terutama yang terjadi pada masyarakat desanya. Sebagai reaksi
atas keadaan ini maka orang mulai berpaling pada modalitas maupun kekuatan
yang tersembunyi di balik “dunia” lokal. Sejauh mana yang serba lokal ini,
termasuk institusi lokal, dapat dimanfaatkan untuk mengimbangi, kalau perlu
melawan kekuatan global, atau kalau mungkin menciptakan sinergi positif
dengan kekuatan global.
b. Norman Uphoff menyimpulkan adanya lima bidang kegiatan, yakni
manajemen sumber daya alam, prasarana desa, pengembangan sumber daya
manusia, pengembangan pertanian, dan usaha nonpertanian.
Dengan mengacu pada penjelasan-penjelasan yang diberikan Norman Uphoff,
maka padanan institusi lokal di atas dengan apa yang di Indonesia dapat
disimpulkan berikut ini:
 Pertama, yang dimaksud Norman Uphoff dengan ‘Administrasi Lokal’
adalah ‘perwakilan pemerintah pusat beserta departemen-departemen
yang ada. Lembaga ini bertanggung jawab terhadap jajaran birokrasi di
atasnya. Maka bila kita acu pengertian semacam ini, padanan
Administrasi Lokal adalah ‘Pemerintah Desa’ (Kepala Desa beserta
stafnya).
 Kedua, yang dimaksud Norman Uphoff dengan “Pemerintah Lokal’
adalah badan yang ‘terbentuk berdasar pilihan penduduk lokal’ dan
karenanya berlawanan dengan Local Administration yang bertanggung
jawab terhadap masyarakat setempat. Mengacu pada Pengertian ini,
maka padanan Pemerintah Lokal untuk Indonesia bisa LKMD, BPD,
ataupun Bamudes. Untuk masyarakat desa yang masih sangat kuat
adat-istiadatnya, pimpinan-pimpinan adat bisa juga diidentifikasi
sebagai unsur-unsur utama Pemerintah Lokal.
 Ketiga, untuk kelompok multiple tasks sebagaimana yang dimaksud
Norman Uphoff, di Indonesia bisa dipadankan dengan PKK pada masa
Orba. Seperti Anda ketahui, PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga)
memiliki pelbagai urusan atau kegiatan sebagaimana terumus dalam
sepuluh program pokoknya (penghayatan dan pengamalan Pancasila,
gotong- royong, sandang, pangan, perumahan dan tata laksana rumah
tangga, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, mengembangkan
kehidupan berkoperasi, kelestarian lingkungan hidup, dan perencanaan
sehat). Untuk kelompok specific tasks di Indonesia dapat dipadankan
dengan P3A (Perkumpulan Petani Pengguna Air) atau juga Kader-
kader Kesehatan. Adapun untuk kelompok needs of members di
Indonesia dapat dipadankan dengan pelbagai bentuk kelompok tani
seperti kelompok tani maju.
 Keempat, untuk koperasi di Indonesia dapat dipadankan dengan
Koperasi Unit Desa (KUD). Sebenarnya KUD ini bukan merupakan
lembaga lokal sejati karena dibentuk dari luar, yakni oleh pemerintah.
Sebelum ada koperasi pemerintah, di pelbagai desa di Indonesia
sebenarnya pernah ada bentuk-bentuk koperasi yang dibentuk oleh
masyarakat setempat. Dengan sendiri koperasi-koperasi semacam ini
bersifat sangat lokal, mencerminkan kebutuhan lokal. Namun koperasi-
koperasi lokal yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan
masyarakat lokal ini kemudian tidak ada lagi, sebagian dilebur ke
dalam BUUD/KUD. Untuk saat ini pelbagai bentuk arisan di tingkat
dusun atau kelompok-kelompok kepentingan dapat juga diidentifikasi
sebagai koperasi lokal.
 Kelima, untuk organisasi-organisasi pelayanan dan bisnis swasta
sebagai bentuk institusi lokal masih kurang lazim terdapat di desa-desa
di Indonesia. Temuan Norman Uphoff mengenai jenis institusi lokal
semacam ini ada di negara-negara Amerika Selatan, yang secara umum
tingkat perkembangan negaranya memang telah lebih maju daripada
Indonesia. Contoh-contoh organisasi pelayanan yang dia sebutkan
antara lain Red Cross dan Red Crescent Societies dalam bidang
kesehatan dan pelbagai asosiasi keagamaan sebagai lembaga
penderma. Adapun mengenai Bisnis Swasta, yang dia maksudkan
adalah baik kegiatan bisnis yang mandiri (independent) maupun yang
merupakan cabang dari usaha bisnis di luar desa, yang sifatnya
melayani kebutuhan masyarakat setempat (lokal).

Anda mungkin juga menyukai