Anda di halaman 1dari 11
TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA! Oleh : Eddy O.S Hiariej? Intisari Terorisme global yang sedang melanda dunia mempunyai ekses yang berbeda. Penyerangan Amerika ke Afganistan adalah ekses dari tragedi WIC. Sementara Keluarnya Perpw pemberantasan tindak pidana terorisme adalah ekses dari bom Bali sampai pada rencana revisi undang-undang antiteror sebagai ekses peledakan Hotel Marriot. Ketiga kasus ini yang akan dianalisis dalam perspektif hukum pidana, serta relevansinya dengan hak asasi inanusia dan hukum humaniter. I Pendahuluan ‘Ada kebanggaan tersendiri apabila tulisan ini dimmuat dalam Mimbar Hukum Edisi Khusus sebagai kado ulang tahun kepada Sang Guru, Prof,Dr. Fx. Sugeng Istanto yang pada tanggal 9 September 2003 genap berusia 70 tabun. Artinya, betiau telah memasuki era purna tugas di Fakultas Hukum UGM. Sang Guru yang pada tahun ini menjadi heptagenarian atau marga ‘pitupulu’, pastilah Jahir pada dekade 1930-an atau tepatnya pada tahun 1933. Pada masa itu, depresi besar terjadi secara global karena di semua benua terdapat koloni barat yang mengantarkan Eropa ke Perang Dunia If dan Asia — Afrika ke perjuangan kemerdekaan. Pada dekade itu pula terjadi Perang Pasifik yang membawa pendudukan militer Jepang di Asia Tenggara, sementara chaos di Eropa sebagai akibat Perang Dunia I telah melahirkan gerakan-gerakan populis dan depresi yang menumbuhkan leninisme, fasisme, diktator dan militerisme.” Ekses dari depresi tersebut telah menimbulkan kekejam- an, kekerasan dan keberingasan tehadap umat manusia, baik yang dilakukan oleh individu, sekelompok orang maupun Negara. Fenomena kekejaman, kekerasan dan keberingasan terhadap umat manusia di seluruh belahan dunia seakan kembali berulang di awal dekade 2000-an ini dengan istilah yang akrab ditelinga kita pasca WTC, 11 September 2001, yakni terorisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan terutama tujuan politik,’ Sedangkan dalam kamus hukum, terorisme diartikan sebagai perbuatan jahat yang umumnya ditujukan kepada negara, yang tujuannya menakut-nakuti orang-orang tertentu, kelompok-kelompok tertentu ataupun masyarakat tertentu untuk tujuan politik, ‘Tulisan ini dikembangkan dari 2 artikel penulis yang pemah dimuat di media massa. Artikel pertama adalah ‘Terrorism Dan Hijacking Dalam Perspektif Hukum Pidana, dimuat dalam Surat Kabar Harian BERNAS, Kamis Kliwon, 20 Desember 2001. Artikel kedua adalah Menyoal Revisi Undang-Undang Antiteror, dimuat dalam Surat Kabar Harian KOMPAS, Rabu, 27 Agustus 2003. ‘Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ‘TJacob, 2000, Cerana Sirih dalam 70 Th Koento Wibisono Siswomihardjo, Yogyakarta, him.1 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlre.939, 5 Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.S81 146 MIMBAR HUKUM Dari pengertian tersebut sangat erat kaitannya apabila kita membedah terorisme dengan menggunakan hukum pidana sebagai pisau analsis. Ada pun kaitannya dengan hak asasi manusia adalah dalam konteks gross violence of human rights (pelanggaran berat hak asasi manusia). Sementara dengan menggunakan hak asasi manusia sebagai jembatan, penulis akan menghubungkannya dengan hukum humaniter. Sebab, pada hakekatnya hukum humaniter intemasional dan hak asasi manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap manusia. Hanya saja, keduanya memiliki perbedaan dari sisi waktu atau situasi penerapannya, Hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada waktu damai. Sesuai dengan judul di atas, maka tulisan berikut ini mencoba membahas terorisme dari perspektif hukum pidana dan kaitannya dengan hak asasi manusia serta hukum humaniter terhadap kasus aksi teror World Trade Center (WTC), bom Bali dan peledakan Hotel J.W. Marriott beserta eksesnya terhadap rencana pemerintah Indonesia untuk merevisi undang- undang antiteror. Adapun metode penulisan- nya adalah dirkriptif analitis. Artinya, tulisan berikut ini akan menceritakan berbagai kasus tersebut dan selanjutnya akan dianalisis. IL Kasus World Trade Center Ketika Amerika diluluhlantahkan dengan muntuhnya menara kembar Word Trade Center him.333, (WTC) dan Markas Besar Departemen Pertahanan Amerika-Serikat di Pentagon oleh sekelompok orang dengan cara menabrakan pesawat komersial setelah dibajak kepada sasaran yang dituju, semua bangsa yang ‘beradab di muka bumi ini mengutuk aksi teror itu. Bahkan Presiden Amerika Serikat George ‘W. Bush ~ sesaat setelah tragedi tersebut berbicara di depan publik Amerika dengan menyatakan, “.......September I attacks were not just attacks against America but against the civilized pations of the world and humanity. Selanjutnya masih menurat Bush dalam penyataannya ia mengatakan “.......if anyone slew a person it would be as if the slew the whole people and anyone save a life, it would be as if he save the life of the whole people ....».’* Pernyataan ini mirip dengan apa yang terdapat dalam A}-Qur’an, Surat Al-Maidah, ayat (32). Peristiwa ini tidak hanya sebagai salah satu bentuk terorisme, namun lebih dari itu adalah suatu bentuk crimes against humanity (kejahatan tethadap kemanusiaan). Bagaimana tidak, ribuan nyawa yang tidak berdosa hilang dalam tragedi kemanusiaan sepanjang tahun 2001. Oleh sebab itu, tidak ada kompromi dalam membasmi terorisme. Dalam perspektif studi kejahatan, terorisme adalah suau kejahatan untuk mencari perhatian orang yang dilakukan dengan ancaman kekerasan, keberingasan ataupun kebrutalan guna menakut-nakuti orang-orang tertentu, kelompok-kelompok tertentu atau Intemational Committee Of The Red Cross, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, * Syed Farid Alatas, 2003, Islam And The West After September 11, 2001, dalam Islam And The West, Conflict And Dialogue University Of Singapore, him. 19. * Ibid, him.20 * ‘Terjemahan SuratAl-Maidah, ayat (32) dalam Al-Qur’an September 11 And Beyond, University Scholars Occasional Papers, National “Oleh karena itu kami perintahkan kepada Bani Israil, barang siapa yang membunuh orang lain bukan karena orang itu membunuh orang lain (hukum gisas), ‘atau bukan Karena berbuat bencana di muka bumi, maka seakan-akan ia sudah membunuh semua manusia. Dan siapa yang menghidupkan (tidak melakukan pembunuhan dan kerusakan), maka berarti dia telsh menghidupkan semua manusia. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami yang membawa keterangan-keterangan nyata. Kemudian banyak dientara mereka sesudah itu berbuat bencana yang ‘melampaui batas”. H.Qemar Bakry, 1983, Tafsir Rahman, Motiara, Jakarta,hlm.213. MIMBAR HUKUM 147 masyarakat tertentu demi tujuan politik. Kejahatan ini merupakan extra ordinary crime dan tidak mengenal batas wilayah. Menurat Noam Chomsky, pada awalnya istilah terorisme mulai digunakan pada ak hir abda ke-18, terutama untuk menunjukan aksi-aksi kekeras- an penguasa yang ditujukan untuk menjamin ketaatan rakyat.” Oleh karena itu pelaku terorisme ini bisa seseorang, sckelompok orang, bahkan mungkin negara. Apabila kejahatan ini dilakukan oleh negara, biasanya dalam bentuk pengekangan terhadap hak-hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak untuk hidup aman dan tentram. Permasalahnnya ialah jika pelaku terorisme ini adalah negara, dapatkah ia dimintai pertanggungjawaban ? Dari sudut pandang hukum pidana dengan perspektif pidana internasional, terorisme dikategorikan sebagai jenis kejahatan internasional. Edward M.Wise membedakan jenis tindak pidana internasional ke dalam tiga kelompok dan salah satu diantaranya adalah terorisme. Sementara tindak pidana yang bertalian dengan terorisme ini—masih menurut Edward M.Wise—adalah hijacking, kejahatan terhadap orang-orang yang memperoleh perlindungan internasional dan mengenai hostage convenion.' Demikian pula menurut Dautricourt, memasukan terorisme sebagai salah satu bentuk international crime. Kendatipun, Dautricourt sendiri masih ragu apakah terrorism dan kijacking dapat disebut sebagai delicta juris gentium (kejahatan terhadap masyarakat internasional). Menjawab keraguan dari Dautricourt perihal hijacking sebagai salah satu bentuk terrorism yang merupakan international crime, tidaklah dapat dipisahkan dengan tiga Konvensi intemasional yang bertalian dengan hijacking. Pertama, adalah konvensi Tokyo, 14 September 1963 mengenai “Unlawful seizure of Aircraft” (perampokan pesawat udara). Konvensi ini menentukan kejahatan yang dilakukan dalam pesawat udara tetapi tidak menentukan kapan ada perampasan pesawat udara menurut hukum intemasional. Mengenai tempus delicti dari perampasan pesawat udara tergantung dari hukum negara di mana pesawat itu didaftarkan atau hukum negara yang udaranya (airspace) dilewati atau juga hukum_ negara di mana pesawat udara sedang in flight. Kedua, Konvensi Den Haag,16 Desember 1970 mengenai “For Suppresion of Hijacking” (penanggulangan pembajakan udara). Salah satu poin penting dari Konvensi ini adalah menetapkan hijacking sebagai international crime dengan yurisdiksi universal. Artinya, setiap negara anggota konvensi harus mengambil tindakan tegas terhadap pelaku hijacking yang melakukan kekerasan baik terhadap penumpang maupun awak pesawat. Ketiga, Konvensi Montreal, 23 September 1971 mengenai “For the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation” (penanggulangan perbuatan melawan hukum terhadap keamanan penerbangan sipil). Poin terpenting dari konvensi ini adalah perluasan tethadap pengertian in flight. Pada awalnya pengertian in flight adalah saat para penumpang berada di dalam pesawat tetapi pengertiannya kemudian diperluas tidak hanya in flight semata tetapi juga in service. Artinya, sejak pesawat udara disiapkan oleh awak darat untuk penerbangan tertentu Terhadap para pelaku hijacking, S.Rutgers dalam Proefschrift dengan judul “Convention on Penal Law Regarding Aircraft” mengusulkan agar diadili oleh Mahkamah Internasional di Den Haag (International Court of Justice) dengan dasar Riza Sihbudi, 2002, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, Pustaka Al-Kautsar, hlm.56. Romli Atmasasmitz, 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, him.44 "© Dautricourt, 1973, The Concept of International Criminal Jurisdiction ~ Definition and limitation of the Subject,dalam Romli Atamasasmita, Ibid, him.45. 148 MIMBAR HUKUM bahwa hijacking adalah international crime.” Akan tetapi dalam realita empiris, para pelaku hijacking selama ini diadili oleh negara dimana pesawat tersebut didaftarkan atau di negara tempat kejadian perkara (locus delicti) atau dapat juga diadili oleh negara asal pelaku. Kembali kepada aksi teror yang melanda Amerika pada tanggal 11 September 2001 — yang oleh sebagian masyarakatnya dijuluki black September ~ ada tiga catatan penulis. Pertama, peristiwa 11 September 2001 pada dasarnya adalah pembajakan terhadap pesawat udara (hijacking). Scbab bila dirunut, peristiwa tersebut dimulai dengan aksi perampasan pesawat oleh para teroris yang tentunya dengan menggunakan kekerasan atau setidaknya ancaman kekerasan. Kemudian pesawat dikuasai dan selanjutnya ditubrukan kepada sasaran yang dituju. Kedua, hijacking kemudian berubah menjadi crimes against humanity setelah para pembajak melakukan gerakan bunuh diri dengan menubrukan pesawat tersebut ke kawasan penduduk sipil dan menewaskan ribuan orang. Crimes angaints humanity ini tidak dikategorikan sebagai terrorism namun. sebagai salah satu bentuk gross violence of juman rihgts sebagaimana termaktub dalam Article 7 Rome Statue (Statuta Roma). Berdasarkan pasal tersebut pengertian dan salah satu bentuk dari crimes against humanity adalah pembunuhan langsung dengan serangan yang sistematik didasari pengetahuan mengenai serangan itu terhadap populasi masyarakat sipil. Ketiga, negara yang berhak mengadili para pelaku tersebut adalah Amerika dengan pertimbangan locus delicti-nya di Amerika dan pesawat yang dibajak didaftarkan di Amerika. Demikian pula halnya dengan crimes against humanity yang dilakukan oleh para pembajak, merupakan kompetensi Amerika untuk mengadili. Sebab, selain /ocus delicti dan korban terbanyak adalah warga negara Amerika, International Criminal Court (ICC) sebagai instrumen pendukung Rome Statue hanyalah bersifat Complement jika negara dimana terjadi gross violence of human right tidak melakukan pengadilan yang sewajarnya terhadap para pelakunya, maka }CC akan mengulangi pengadilan tesrebut. Perihal ICC, Oscar Solera berkomentar, bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini, salah satu isu sentral yang banyak didiskusikan dalam hukum humaniter adalah yurisdiksi dari ICC itu sendiri. Alasannya sederhana, bahwa orang yang melakukan kejahatan internasional harus dihukum dalam rangka penegakan keamanan dan perdamaian internasional. Baik ICC maupun pengadilan nasional — tempat terjadinya kejahatan internasional — berkompeten untuk mengadili para pelaku, sehingga tidak perlu ada perselisihan perihal kewenangan mengadili." Oleh karena itu yang harus dilakukan Pemerintah Amerika adalah mengadili para tersangka yang diduga keras bekerja sama dengan para pelaku hijacking dan crimes against humanity yang semuanya tewas dalam tragedi tersebut. Sudah barang tentu para Komentar penulis _tethadap pendapat Rutgers : Hijacking adalah international crime. Dalam hukum pidana yang dikenal adalah pertanggungjawaban pribadi atau individu. Sementara individu bukanlah locus standi dari International Court of Justice (Mahkamah Internasional). Artinya, indivdu tidak dapat berperkara di hadapan Mahkamah Intemasional. Vide : Article 6 & 7 The Hague Convention, 1970. Article 7 (1) Rome Statute : “For the purpose of this statute, “crimes against humanity” means any of the following acts when committed as part of the widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack : Oscar Solera, 2003, Complementary Jurisdiction And International Criminal Justice, Intemational Review Of The Red Cross Humanitarian Debate : Law, Policy, Action,hlm. 145. MIMBAR HUKUM 149 tersangka baik yang sudah ditangkap maupun yang belum, diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah sesuai dengan criminal process yang berlaku secara universal, ‘Akan tetapi yang dilakukan oleh Amerika sebagai ekses dari peristiwa tersebut adalah melakukan serangan ke Afganistan pada tanggal 7 Oktober 2601. Suara pro dan kontra banyak bermunculan menanggapi serangan tersebut, Dengan dalih membasmi terorisme, Amerika didukung oleh sekutu-sekutunya dan sebagian negara lainnya membenarkan serangan tersebut karena Pemerintah Taliban tidak mau menyerahkan Osama Bin Laden, orang yang disangkakan sebagai dalang Kejadian 11 September. Namun ada sebagian negara lainnya berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika adalah juga suatu bentuk terorisme sebagaimana pengertian serorism seperti tersebut di atas. Karena, serangan tersebut adalah suatu bentuk kekerasan dengan tujuan politik tertentu sebagaimana yang diutarakan oleh Carl Von Clausewitz bahwa perang adalah politik dengan jalan kekerasan.” Dalam hal mengadili negara sebagai pelaku terrorism, _nampaknya tidak dapat dilakukan, karena selain negara mempunyai kedaulatan penuh, perspektif hukum pidana pada dasarnya mengenal asas pertanggungjawaban pribadi. Serangan tersebut sulit dikategorikan sebagai international crime yang berkaitan dengan terrorism. Sebab, dengan dilancarkan serangan militer terhadap Afganistan, maka mulai saat itu berlakulah humanitarian law. Kalaupun terjadi kejahatan dalam peperangan tersebut, maka kualifikasi perbuatannya adalah war crime sebagai salah satu bentuk gross violence of human rights. Akan tetapi faktanya ketika Amerika melancarkan serangan ke Afganistan, pada saat yang sama pula Amerika mengirimkan bantuan makanan dan obat- obatan kepada penduduk sipil di sana." Selain itu, serangan yang dilakukan hanya sebatas tempat-tempat yang diduga sebagai lokasi persembunyian Osama Bin Laden yang hampir semuanya dikategorikan sebagai markas militer. ‘Tampaknya, dalam serangan tersebut Amerika sangat berhati-hati dan memperhatikan principles of humanitarian law, yakni military necessity, humanity dan chivalry.” Penerapan ketiga asas tersebut secara ditegaskan dikatakan oleh Kunz, “Law of war, to be accepted and to be applied in practice, must strike the correct balance between, on the one hand the principle humanity and chivalry, and on the other hand, military interest.” Il. Kasus Petedakan Bom Bali Dan Pem- berlakuan Asas Berlaku Surut Hukum Pidana Pada tanggal 12 Oktober 2002, genap tahun, 1 bulan, 1 hari, peristiwa runtuhnya menara kembar World Trade Center di New ‘York, Amerika Serikat, terjadi dalam skala yang lebih kecil di Pulau Dewata, dengan diledakkan Pady’ Club, Kuta — Renon, Bali, Peristiwa tersebut menewaskan lebih dari 200 jiwa dan melukai puluhan orang, Mengapa harus Bali yang dijadikan sasaran para teroris dan bukan tempat lainnya di Indonesia ? Terhadap pertanyaan ini, barang kali dipilihnya Bali Carl Von Clausewitz, 1998, On War, Princeton University Press, New Jersey,him.5 Surat Kabar Harian KOMPAS, Edisi Rabu 10 Oktober 2002,tiim.t Military necessity atau asas kepentingan militer yaitu pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. Humanity atau asas kemanusiaan yakni pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan kemanusiaan, yang mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang berlebihan sehingga mengakibatkan penderitaan yang tidak periu. Chivalry atau asas kesatriaan yaitu bahwa dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbsgai macam tipu daya dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. ® International Committee Of The Red Cross, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, him 150 MIMBAR HUKUM Nulla poena sine lege : (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang) Nulla poena sine crimine : (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana) Nullum crimen sine poena tegali : (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Pada dasarnya asas legalitas ini diciptakan untuk menghindari kesewenang-wenangan Penguasa tethadap warga negaranya. Oleh karena itu asas tersebut mempunyai dua fungsi yaitu fungsi melindungi dan fungsi instrumentasj. Fungsi melindungi artinya undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Sedangkan fungsi instrumenasi artinya di dalam batas-batas yang ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas-tegas diperbolehkan. Dalam konteks hukum humaniter terdapat non derogable rights atau hak-hak yang tidak boleh dikurangi baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tidak dapat dikurangi tersebut antara lain adalah larangan berlaku surutnya hukum pidana, Larangan prinsip retroaktif inj dimuat dalam Pasal 15 Kovenan Politik. Sebenarnya pemberlakuan surut hukum pidana dapat dibenarkan apabila kepentingan yang hendak dilindungi lebih besar bila dibandingkan dengan pelanggaran terhadap sas legalitas iru sendiri. Hal yang sama pernah dilakukan di Jerman yang notabene asas tersebut diciptakan oleh pakar hukum pidana Jerman sendiri yakni dalam kasus Marines van de Lubbe. Pada tanggal 31 Januari 1933, Marines van de Lubbe dan teman-temannya membakar Reichtstaatgebouw (Gedung Wali- Yogyakana, hal 5. oid, him4 kota) di Berlin. Pemerintah Jerman kemudian mengeluarkan Undang-Undang 29 Maret 1933 yang memuat ketentuan bahwa undang- undang tersebut berlaku surut sampai tanggal 31 Januari 1933, sebagai peraturan untuk melindungi kepentingan rakyat dan Negara.” Artinya. berdasarkan principle of justice, principle of legality ini dapat dikesampingkan, Kembali kepada kasus peledakan bom di Bali, pemberlakuan surut hukum pidana dapat diterima dengan mengingat asas keadilan bahwa peristiwa tersebut merupakan tindak kekerasan, keberingasan dan kebrutalan terhadap umat manusia. Sebab jika tidak, keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu dapat berakibat fatal. Artinya, kita kembali ke zaman the wild will west. Oleh karena itu keseimbangan yang terganggu harus dipulihkan kembali (restitution in integrum) kepada keadaan semula dengan memberikan hukuman yang setimpal terhadap pelaku yang merusak tatanan tersebut. ‘Akan tetapi apabila kita melihat kepada instrumen hukum yang ada, maka tanpa memberlakukan surut Perpu Pemberantansan Tindak Pidana Terorisme, perkara tersebut dapat diproses dengan menggunakan Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Dikatakan demikian, sebab apa yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawannya dalam tragedi bom Bali dapat dikualifikasikan sebagai crimes against humanity atau kejahatan terhadap kemanusiaan, Sebagaimana definisi dari crimes against humanity seperti yang telah disinggung di atas, serangan tersebut adalah suatu kesengajaan yang sistematis terhadap populasi masyarakat sipil. Schaffmeister, D., Keijzer, N., Sutorius, E.PH., 1995, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh Sahetapy. J.E., Liberty, Intemational Committee Of The Red Cross, 1999, Pengentar Hukum Humaniter. Miamita Print, Jakarta, hlm.336. Bandingkan pula dengan G.P.H.Djatikoesoemo. 1956, Hukum Intemnasional Bagian Perang, N.V.Pemandangan Djakena, Jakarta, him.67-68. 152 sBambang Poernomo, 1982. Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia. Jakarta. him.71 Sudikno Meriokusumo. 1999, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar. Liberty, Yoryakarta, him.3. MIMBAR HUKUM Hanya saja untuk menjerat Amrozi dan kawan-kawan dengan undang-undang peradilan HAM terdapat kendala yang berasal dari undang-undang itu sendiri, Kendala tersebut adalah sebagai implikasi paradigma penguatan parlemen, penyelesaian pelang- garan berat hak asasi manusia masuk dalam komoditas politik. Dengan asumsi integrasi bangsa, parlemen (baca : DPR) memiliki otoritas penuh untuk menentukan tetjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia yang dapat diadili. Konstelasi politik ini dapat meng- acaukan mekanisme sistem peradilan hak asasi manusia yang telah berlaku secara universal. Berdasarkan kendala tersebut dikhawatirkan para pelaku akan melarikan iri atau melakukan tindakan-tindakan lebih lanjut yang dapat mengganggu stabilitas nasional. IV. Rencana Revisi Undang-Undang Anti- teror Pasaca Peledakan Hotel 3.W. Marriott Dua hari menjelang penjatuhan vonis Amrozi — terdakwa kasus bom bali — atas tuntutan pidana mati oleh jaksa penuntut ‘urnum, Hotel J.W Marriott di Jakarta, diledakan. Sehari setelah peristiwa tersebut, televisi ‘Singapura memberitakan bahwa ada penelpon gelap atas nama Jamaah Islamiah yang bertanggung jawab atas peledakan Hotel J.W Marriott. Motivasinya agar pemerintah tidak menjatuhkan bukuman berat terahadap para pelaku teror selama ini. Terlepas dari kebenaran berita tersebut, pasca peledakan Hotel J.W Marriott, Pemerin- tah Indonesia memberi isyarat perlunya revisi undang-undang antiteror yang usianya masih belum genap setahun. Pasal-pasal yang akan direvisi terkait dengan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaaan sidang pengadilan, Artinya, yang akan direvisi bukanlah menyangkut bukum pidana matriil antiteror, melainkan hukum formilnya atau hukum acara. Dari wacana yang berkembang, nampaknya wewenang intelijen akan diperbesar dengan diberi hak untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang atau se- kelompok orang yang diduga terkait dengan rencana atau suatu aksi teror, Sebenarnya, apabila kita mencermati undang-undang antiteror, kewenangan penyidik untuk melakukan penahanan dan penangkapan tethadap tersangaka sudah menyimpang dari ketentuan KUHAP dalam pengertian ruang geraknya telah dipermudah. Jika bersandar pada KUHAP, maka penahanan dan penangkapan dilakukan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana,berdasarkan bukti pernulaan yang cukup.” Sementara dalam undang-undang antiteror laporan intelijen dapat digunakan sebagai bukti permulaan yang cukup utnuk memulai suatu proses penyidikan. Artinya aksi teror yang kian merebak di tanah air pasca berlakunya undang-undang antiteror, permasalahannya tidak pada undang- undangnya melainkan lebih pada kinerja aparat. Kalau sekarang isyarat pemerintah untuk merevisi undang-undang antiteror dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada intelijen tidak hanya memberikan laporan yang dapat dijadikan bukti awal namun juga kewenangan penangkapan dan penahanan, ada 3 (tiga) hal yang menjadi catatan. Pertama, kebijakan tersebut memberi kesan pemerintah seolah-olah tidak mem- percayai kinerja polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban serta sebagai penjaga pintu gerbang dalam sistem peradilan pidana untuk mencegah aksi teror. Kedua, aksi teror adalah suatu perbuatan pida- na yang mana dalam penaggulangannya ber- Perihal problematikan penyelesaian Pelanggaran Berat HAM di Indonesia lebih lanjut dapat dilihat dalam, Eddy O.S Hiariej, 200%, Resolving Human Rights Violation In A Period Of Transition, makalzh presentasi di depan Interna- tional institute On Human Rights, Strasbourg, France. @ Lihat Pasal 17 KUHAP MIMBAR HUKUM 153 dasarkan asas difrensiasi fungsional diserah-kan kepada lembaga-lembaga yang berwenang utnuk menjalankan fungsinya masing-masing dalam sistem peradilan pidana yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pe- masyarakatan. Penanggulangan tersebut tidaklah hanya bersifat represif semata namun juga bersifat persuasive preventive yang dalam pelaksanaannya polisi adalah unjuk tombak dengan berpegang pada semboyan to serve and to protect. Apabila kewenangan penangkapan dan penahanan diberikan juga kepada intelijen, karakter represif akan lebih mendominasi dalam proses pemeriksaan untuk mempeoleh bukti yang cukup. Padahal, mereka yang ditahan belum tentu adalah pelaku sesungguhnya sehingga untuk menunjukan kinerjanya dalam membasmi aksi teror dikhawatirkan banyak bermunculan tersangka atau terdakwa rekayasa. Terlebih-lebih intelijen adalah lembaga ekstra yudisil. Ketiga, kekhawatiran lebih lanjut adalah ekses dari kebijakan tersebut akan membawa kita Kembali ke zaman berlakunya undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi. Pada masa itu, rezim menggunakan undang-undang tersebut untuk melibas segala aktivitas perorangan maupun kelompok yang dianggap bertentangan dengan penguasa termasuk di dalamnya kelompok radikal dan fundamentalis. Babkan digunakan untuk menangkap dan menahan lawan-lawan politik rezim tanpa suatu proses peradilan. Kekhawatiran ini sangat mendasar dengan melihat kinerja intelijen kita selama orde baru semata-mata hanyalah alat penguasa untuk mempertahankan status quo schingga merekayasa sesuatu yang tidak ada menjadi ada alias dibuat-buat, Hal ini sangat dimungkinkan mengingat definisi tindak pidana terorisme sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang anti- teror (Pasal 6 ~ Pasal 19) adalah pasal-pasal karet yang mudah untuk menjerat para pelaku. Indikasinya diperkuat dengan adanya beberapa pasal dari undang-undang tersebut yang menggunakan rumusan bentuk kesalahan proparte dolus proparte culpa (untuk sebagian kesengajaan untuk sebagian kealpaan)."' Artinya, hanya berdasarkan penilaian subjektif aparat penegak hukum, seseorang dengan mudah dapat dijerat dengan menggunakan undang-undang antiteror. Padahal, pemahaman tentang definisis terorisme adalah hal yang mendasar dan sangat penting yang perlu dikuasai terlebih dulu sebelum melakukan berbagai tindakan penanggulangan terorisme. Sebagaimana yang pernah diungkapkan teolog, Frans Magnis Soseno dalam diskusi Komitmen Bersama Bagi Kemanusiaan, 24 Oktober 2002 silam, bahwa aparat penegak hukum di Indonesia tenyata masih perlu memahami perbedaan pengertian antara teroris, fundamentalis dan radikalis. Seorang teroris bias jadi adalah seorang fundamentalis dan radikalis. Akan tetapi belum tentu seorang fundamentalis dan radikalis ® Michael Cavadino and James Dignan, 1998, The Penal System : An Introduction, second edition, London, Sage, him.1 Rumusan suatu ketentuan pidana dalam hukum pidana ada yang dirumuskan secara formal yang disebut delik formal dan ada juga yang dirumuskan secara material yang disebut delik material. Delik formal hanya melihat pada perbuatan tanpa memperhitungkan akibat, sedangkan delik material lebih berorientasi pada akibat. ‘Artinya, tidak terpenuhinya suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana apabila tidak menimbulkan akibat ari perbuatan tersebut sebagaimana Yang dirumuskan dalam undang-undang. Biasanya dalam rumiusan delik itu pula disebut secara eksplisit perihal bentuk kesalahan. Schuld vorm atau bentuk kesafahan dalam hukum pidana hanya ada dua, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Akan tetapi dalam merumuskan suatu delik biasanya hanya ‘mensyaratkan satu bentuk kesalahan, apakah itu kesengajaan atau kealpaan. Pro parte dolus pro parte culpa adalah rumusan delik yang mencantumkan secara eksplisit kedua bentuk kesalahan dalam suatu ketentuan pidana, Namwun ada juga rumusan delik yang tidak mencantumkan bentuk kesalahan secara eksplisit. Dalam hal demikian, maka menurut Simon, bentuk kesalahan dari delik tersebut harus diartikan kesengajaan, 154 MIMBAR HUKUM adalah seorang teroris. Ketidakpahamanan akan pengertian terorisme kadang bisa menjadi sebab dilakukannya labeling oleh pemerintah terhadap orang atau kelompk tertentu. Situasi seperti ini sangat tidak meng- untungkan dan dapat menjadi kontra produktif ditengah-tengah kehidupan demokrasi yang sementara tumbuh di kalangan masyarakat pasca orde baru. Dalam konteks yang demikian kiranya definisi teror yang dikemukakan oleh Schmid dan Jongman bahwa “Ketika Negara (state) tidak menindak mereka yang melanggar hukum, namun menghukum sekelompok orang (baik yang bersalah maupun tidak)sehingga orang lain mundur dari perlawanan terhadap hukum yang represif, maka kita akan memasuki wilayah terorisme ........jelas-jelas kita tidak lagi berurusan dengan penggunaan monopoli kekuasaan yang sah, melainkan dengan teorisme Negara”, menjadi relevan. Dengan demikian teror tidak hanya dilakukan oleh orang atau sekelompok orang tetapi juga dilakukan oleh negara dengan kekuasaan sah yang ada padanya melalui instramen hukum yang represif baik material maupun formal. Dalam konteks hukum acara pidana dengan menggunakan criminal procedure theory, M. King memperkenalkan empat model beracara yang salah satunya adalah bureaucratic model. Model ini sangat erat, kaitannya dengan instrumen hukum yang represif yang memandang sistem peradilan pidana sebagai konflik antara aparat (baca : Negara) dan terdakwa, Hukum acara pidana dinilai diskriminatif tethadap individu atau kelompok tertentu, Dikatakan demikian karena ‘Maret 1998, ae Ginegara-negara yang menjunjung tinggi HAM. dengan aturan yang terbatas dalam beracara dan pembuktian, negara bebas memilih untuk membuat putusan kendatipun terkadang meniadakan kejadian yang sesungguhnya. " King berpendapat bahwa bureaucratic model dan due process model” mempunyai hubungan yang jelas namun didasarkan pada aspek yang berbeda. Due process model lebih ‘mengutamakan perlindungan terhadap individu dari kesewenang-wenangan kekuasaan negara sedangkan bureaucratic model lebih mengutamakan proses terhadap terdakwa berdasarkan standar prosedur. Akan tetapi baik due process model maupun bureaucratic model didasarkan pada aturan yang baku dalam sistem peradilan pidana. Lebih lanjut, King mengemukakan bahwa bureaucratic model menggunakan social approach. Model tersebut didasarkan pada analisis teori sosial mengenai hubungan antara institusi penegak hukum sebagai struktur tersendiri dengan struktur lainnya dalam masyarakat. Para penegak hukum mencoba menjelaskan proses beracara secara ke- seluruhan kepada masyarakat dengan tujuan- tujuan tertentu mengapa terjadi kesenjangan antara retorika dan kenyataan hukum. Kembali kepada wacana revisi undang- undang antiteror, kiranya pemerintah dan DPR tidak terlalu cepat untuk mengambil keputusan. Sebab penegakan hukum dalam suatu negara demokrasi tidak hanya ber- gantung pada undang-undang semata namun, juga bergantung pada profesionalisme aparat penegak hukum, sarana dan prasarana serta yang terpenting adalah kesadaran hukum masyarakat. Jika undang- ® Magnis Suseno, Komitmen Bersama Bagi Kemanusiaan, Sinar Harapan, 24 Oktober 2002. Schmid and Jongman, dalam Rahmi Yunita, 1998, Terorisme Negara, Surat Kabar Harian BERNAS, edisi, 23 M. King, 1981, A Framework of Criminal Justice, London, Croom Helm,him. 20. Due process model adalah model beracara dalam konteks hukum acara pidana yang diperkenalkan oleh Hebert L. Packer dalam The Limits Criminal Sanction dan banyak mendomi si sistem peradilan pidana % M. King, 1981, A Framework of Criminal Justice, London, Croom Helm,him. 22. MIMBAR HUKUM 155 undang tersebut direvisi dan ternyata menjadi instrumen hukum yang represif dan disalabgunakan, maka sangat mungkin terjadi social disobedience. Artinya kita akan kembali ke zaman kolonial. X. Kesimpulan Dalam menanggulangi terorisme sebagai suatu bentuk kejahatan perlu suatu kajian yang lebih komprehensif. Tidak hanya menyangkut hukum pidana baik, material maupun formal semata namun juga menyangkut demokrasi, hak asasi manusia, sosial, politik, budaya dan aspek- aspek lainnya. Hal ini dimaksudkan agar konstruksi hukum yang dibangun untuk menanggulangi terorisme benar-benar kokoh. Ada keseimbangan antara perlindungan terhadap umat manusia dari keberingasan, kekerasan dan kekejaman di satu sisi, dan perlakuan yang tidak semena-mena terhadap para pelaku. Apalagi terhadap kelompok-kelompok radikal-fundamentalis yang belum tentu berencana atau melakukan aksi teror, hendaknya juga diperlakukan secara adil. Jangan sampai maksud kita untuk mem- basmi terorisme itu berubah menjadi aksi teror yang kita lakukan sendiri terhadap orang atau kelompok tertentu. Hal ini meng- ingat bahwa kejahatan teror dapat dilakukan ole siapa saja, baik individu, kelompok maupun. negara, mulai dari bentuk yang sederhana sampai pada yang direncanakan secara sistematis. DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Carl Von Clausewitz, 1998, On War, Princeton University Press, New Jersey. Cavadino Michael and Dignan James, 1998, The Penal System : An Introduction, Second edition, London, Sage. Djatikoesoemo,G.PH., 1956, Hukum Inter- nasional Bagian Perang, N.V. Peman- dangan Djakarta, Jakarta,. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Eddy O.S Hiariej, 2001, Resolving Human Rights Violation In A Period Of Transition, Makalah presentasi di depan. Inter-national Institute On Human Rights, Strasbourg, France. Eddy O. S Hiariej, Terrorism Dan Hijacking Dalam Perspektif Hukum Pidana, BERNAS, Kamis Kliwon, 20 Deseber 2001. 156 Eddy O.S Hiariej, Menyoal Revisi Undang- Undang Antiteror, KOMPAS, Rabu, 27 Agustus 2003. Intemational Committee Of The Red Cross, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta. Jacob,T., 2000, Cerana Sirih ,70 Th Koento Wibisono Siswomihardjo, Yogyakarta, King, M., 1981, A Framework of Criminal Justice, London, Croom Helm. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KOMPAS, Edisi Rabu 10 Oktober 2001. Magnis Suseno, Komitmen Bersama Bagi Kemanusiaan, Sinar Harapan, 24 Oktober 2002. Montreal Convention, September, 23, 1971, “For the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation” Ocmar Bakry, 1983, Tafsir Rahman, Mutiara, Jakarta. Oscar Solera, 2003, Complementary Juris- diction And International Criminal Justice, International Review Of The MIMBAR HUKUM. Red Cross Humanitarian Debate : Law, Policy, Action. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Rahmi Yunita, 1998, Terorisme Negara, BERNAS, edisi, 23 Maret 1998. Riza Sihbudi, 2002, Terorisme dan Konspirasi ‘Anti Islam, Pustaka Al-Kautsar. Rome Statute Romli Atmasasmita, 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung. Schaffmeister, D., Keijzer, N., Sutorius, E.PH., 1995, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh Sabetapy, J.E., Liberty, Yogyakarta. MIMBAR BUKUM Sharon Siddique,2003, Revisiting Muslims in Southeast Asia, Islam And The West, Conflict And Dialogue : September 11 And Beyond, University Scholars Occasional Papers, National University Of Singpore. Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Syed Farid Alatas, 2003, Islam And The West After September 11, 2001, Islam And The West, Conflict And Dialogue : September 11 And Beyond, University Scholars Occasional Papers, National University Of Singapore. The Hague Convention, December, 16, 1970, “For Suppresion of Hijacking Tokyo Convention, September, 14, 1963, “Unlawful seizure of Aircraft” Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 5

Anda mungkin juga menyukai