Kronologi : “andi adalah teman sekontrakan anton, andi adalah pemakai narkoba,saat
andi membeli pada bandar, transaksi dan obrolan itu direkam oleh anton. Hasil rekaman
tersebut lalu dibawa kekantor polisi oleh anton, dengan maksut melaporkan bahwa andi
pengguna narkoba”
Pertanyaan : dapatkah rekaman tersebut dijadikan alat bukti bagi penegak hukum, untuk
menjerat andi sebagai pengguna narkoba?
Rekaman menjadi sebuah alat bukti adalah suatu polemik, dimana dalam kasus ini
suatu rekaman yang dilakukan secara sengaja akan menjadi ilegal karena melanggar
privasi orang lain sehingga melanggar Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam Pasal 28
D ayat (1) jo. 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 1 Kaitannya dengan
penyadapan, yang termasuk didalamnya perekaman hanya boleh dilakukan berdasarkan
undang-undang, hal ini dilakukan untuk menghindari potensi digunakannya penyadapan
secara sewenang-wenang. Dalam hal ini, perekaman tidak bisa disamakan dengan
rekaman CCTV yang dilakukan di ruang publik sehingga bersifat publik. Karena
pembicaraan bersifat pribadi dalam ruang yang tertutup, maka semestinya segala bentuk
perekaman itu haruslah dengan persetujuan atau setidak-tidaknya diberitahukan kepada
para pihak yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, jika hal tersebut tidak dilakukan,
maka penyadapan akan dikategorikan dilakukan secara ilegal2. Dan juga disisi lain dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam perkara pidana
adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa. Lantas di mana posisi rekaman sebagai sebagai salah satu bentuk informasi
elektronik sebagai alat bukti dalam kasus pidana?
(ii) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;
1
Lihat Pasal 28 D ayat (1) jo. 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
2
Febrianshah,Resky.Eksistensi Alat Bukti Elektronik Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PII-XIV/2016 diakses di
https://www.abnp.co.id/news/eksistensi-alat-bukti-elektronik-dalam-undang-undang-no11-tahun-2008-
tentang-informasi-dan-transaksiada
(iii) UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dalam UU No. 15 Tahun 2003;
(v) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, eksistensi
alat bukti elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah, semakin diperkuat dengan
terbitnya UU ITE, yaitu dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, yang menyebutkan:
Dengan berlakunya ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, maka alat
bukti yang sah dalam hukum acara perdata maupun pidana menjadi tidak saja terbatas
pada alat bukti yang ada dalam HIR/RBg, KUHPerdata maupun KUHAP, tetapi juga
termasuk alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE,
yaitu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya.
Perluasan mengenai alat bukti tersebut, membawa perubahan dalam hukum pembuktian
yang berlaku dalam hukum acara di Indonesia, sehingga bukti elektronik berupa
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya diakui secara
sah sebagai alat bukti yang dapat diajukan di Pengadilan. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (4)
jo. Pasal 6 jo. Pasal 15 jo. Pasal 16 UU ITE mengatur mengenai syarat keabsahan alat
bukti elektronik, baik syarat secara formil maupun materil yaitu:
7. Bukan surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
dan
8. Bukan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.3
3
Febrianshah,Resky.Eksistensi Alat Bukti Elektronik Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PII-XIV/2016 diakses di
https://www.abnp.co.id/news/eksistensi-alat-bukti-elektronik-dalam-undang-undang-no11-tahun-2008-
tentang-informasi-dan-transaksiada
4
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016