Anda di halaman 1dari 14

Penggunaan Dokumen Elektronik Sebagai 

Alat Bukti Di Dalam


UU No 19/2016 Tentang ITE, UU No 20/2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi, UU No 9/2003 Tentang Anti Terorisme, dan UU No 8/2010
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Oleh :

DILLA HANIAH KURNIAWATI (192040100034)

HUKUM 7 A1

PRODI HUKUM

FAKULTAS BISNIS HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO


BAB I
PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang


Kata ”pembuktian” berasal dari kata ”bukti” artinya sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa, kemudian mendapat awalan “pem” dan berakhiran “an”,
maka pembuktian artinya proses perbuatan, cara membuktikan sesuatu yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa, demikian pula pengertian membuktikan yang
mendapat awalan “mem” dan akhiran “an”, artinya memperlihatkan bukti,
meyakinkan dengan bukti.
Definisi Alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya
dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai
bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Berdasarkan Pаsаl 184 аyаt
(1) KUHАP, bаhwа yаng termаsuk аlаt bukti yаng sаh аdаlаh:
1. Keterаngаn Sаksi
2. Keterаngаn Ahli
3. Surаt
4. Petunjuk
5. Keterаngаn Terdаkwа1

Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan atau pedoman tentang


cara-cara yang dibenarkan undangundang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat
bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh
digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa.

Untuk menyatakan salah atau tidaknya terdakwa, tidak cukup berdasarkan


keyakinan hakim semata atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian
menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan
yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian itu dibarengi dengan
keyakinan hakim.
1
Pasal 184 (1) KUHAP
Alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan secara tersebar. Misalnya Undang-Undang dokumen
Perusahaan, Undang-Undang Terorisme, Undang-undang Pemberantasan Korupsi,
Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disingkat dengan UU ITE) yang menegaskan
bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan
Dokumen Elektronik (yang selanjutnya akan disebut alat bukti elektronik) serta hasil
cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penulisan
ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistenti dokumen elektronik sebagai alat bukti didalam UU UU No
19/2016 Tentang ITE, UU No 20/2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No
9/2003 Tentang Anti Terorisme, dan UU No 8/2010 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang?

1.3 Tujuan
Berdasarkan Rumusan Masalah yang dikemukakan, maka Tujuan Penulisan dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui eksistenti dokumen elektronik sebagai alat bukti didalam UU
UU No 19/2016 Tentang ITE, UU No 20/2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi,
UU No 9/2003 Tentang Anti Terorisme, dan UU No 8/2010 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.

1.4 Manfaat
Penulisan Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum
khususnya perkembangan hukum acara pidana dalam eksistensi terkait bukti elektronik
dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Anti Terorisme, Tindak Pidana
Pencucian Uang yang berkesinambungan dengan UU ITE

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Eksistenti Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Didalam Undang-Undang
Alat bukti mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemeriksaan suatu
perkara pidana. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana barang bukti yang dikenal berupa benda
bergerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud.2
Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi adanya perbuatan pidana
yang terjadi memalui media elektronik semakin sering terjadi. Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi patokan penanganan kasus
cybercrime di Indonesia.
Sebelum terbitnya UU ITE, eksistensi alat bukti elektronik sebenarnya telah
tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
b. Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dalam UU No. 15 Tahun 2010
c. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

2.1.1 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Selain alat bukti yang diatur dalam Hukum Acara Pidana maupun
Hukum Acara Perdata, terdapat alat bukti tambahan yang diatur dalam
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
kini sudah direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016. Salah satu pintu
masuk pengakuan alat bukti elektronik, baik dalam perkara perdata
maupun pidana. Menurut Undang-Undang ini informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dan hasil cetakanya merupakan ‘alat bukti

2
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Jakarta, 1982, hlm. 47
hukum yang sah’. Struk belanja atau hasil cetakan dari mesin Anjungan
Tunai Mandiri (ATM), misalnya, sudah bisa dijadikan bukti di
persidangan.
Persyaratan materiil alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (3)
UU ITE yaitu Informasi dan Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam UU ITE. Persyaratan formil alat bukti elektronik diatur dalam Pasal
5 ayat (4) dan Pasal 43 UU ITE yaitu :
1. Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk tertulis;
b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus
dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh
pejabat pembuat akta.
2. Penggeledahan atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik harus
dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.
3. Penggeledahan atau penyitaan dan tetap menjaga terpeliharanya
kepentingan pelayanan umum.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 UU ITE


ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dialam UU ITE. Dengan
demikian penggunaan dokumen elektronik sebagai suatu alat bukti
yang dianggap sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU ITE, yang
menentukan bahwa dokumen elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan,
dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan. Di samping itu, dokumen elektronik yang
kedudukannya dapat disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas
kertas, sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Umum UU ITE.
2.1.2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Atas Perubahan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 26 menyebutkan : “Penyelidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadaptindak pidana
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku,kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini”. Serta dalam undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal
26A menyebutkan : Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188ayat (2) Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana
korupsi juga dapat diperoleh dari:
a) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
b) dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna3
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana pada Pasal 188 ayat (2) menyebutkan bahwa
petunjuk hanya dapat diperoleh dari :
a. Keterangan saksi
b. Surat
c. Keterangan tersangka

Petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) menyebutkan bahwa


“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang

3
Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional, Jakarta Selatan, 2013, Hal 33 - 34
karenapersesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupundengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya4. Jadi makna Pasal 26A tersebut
diatas adalah selain alat bukti petunjuk dalam KUHAP, untuk tindak
pidana korupsi alat bukti petunjuk dapat diperoleh darialat bukti lain yang
berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan dokumen,
yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan
atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.

Perluasan alat bukti dalam tindak pidana korupsi dalam Undang-


undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 26A menyebutkan bahwa khususnya alat bukti petunjuk selain yang
dimaksudkan dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana mengenai alat
bukti petunjuk dapat diperoleh :

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,


diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna”

4
R.Soernarto Soerodibroto, KUHP dan Kuhap, PT. Raja Grafindo, Jakarta, Hal 440
Hal ini merupakan perluasan dari alat bukti petunjuk yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan penanganan


yang luar biasa pula. Perluasan terhadap alat bukti petunjuk ini beralasan
karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime yang
tentunya sangat sulit untuk mencari bukti dan menemukan kebenaran
materil dalam mengungkapkan kasus tindak pidana korupsi tersebut.
Penyadapan dalam hal ini, hasil penyadapan telah terbukti berhasil
mengungkapkan beberapa kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.

2.1.3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Kedudukan UU Pemberantasan Terorisme yang telah mencapai prosesi
legalitas, kemudian mendudukan asas-asas hukum acara pidana semakin
prospektif. Rumusan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam
proteksi hukum acara pidana dapat disebut sebagai hukum acara pidana
terorisme yang khususnya mengatur pemberantasan tindak pidana
terorisme dengan segala fenomena yuridis dan keutamaan legalitas dalam
menangani kejahatan-kejahatan tentang terorisme.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 25 UU Pemberantasan
Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana
terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana dalam
ketentuan KUHAP, ketentuan tersebut bersandar pada Pasal 284 ayat (2)
KUHAP (lex generalis). Artinya pelaksanaan undang-undang khusus ini
tidak boleh bertentangan dengan asas umum hukum pidana dan hukum
acara pidana yang telah ada. Dengan menggunakan penafsiran secara a
contrario, dapat diartikan hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus,
dalam hal ini UU Pemberantasan Terorisme, berlakulah ketentuan umum,
dalam hal ini KUHAP.
Dalam Pasal 27 UU Pemberantasan Terorisme, dimana alat bukti
pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a) Alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP;
b) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu dan,
c) Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apapun selain
kertas atau yang terekam secara elektronik. Termasuk tidak
terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto dan
sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol atau perfoliasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya.

Pada Pasal 27 ayat (b) dan (c) kedua alat bukti tersebut diatas
berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan
doktrin (ilmu hukum) dikategorikan sebagai barang bukti yang
berfungsi sebagai data penunjang bagi alat bukti. Hal yang perlu
diperhatikan oleh penyidik yaitu terkait dengan bagaimana cara
diperolehnya alat bukti tersebut.

Oleh karena itu, agar jangan terjadi kesia-siaan atas perluasan


alat bukti tersebut, maka prosedur dann tata cara memperoleh alat
bukti tersebut harus benar-benar diperhatikan dan disesuaikan dengan
ketentuan yang diatur dalam KUHAP maupun UU Pemberantasan
Terorisme.

Ada beberapa ketentuan dasar yang harus dipertimbangkan


dalam hubungannya dengan alat bukti berupa rekaman video sebagai
berikut5 :

1. Perlakuan hukum terhadap data elektronik; dalam hal ini


ditentukan bahwa siapapun termasuk pengadilan tidak
boleh menolak efek hukum, validitas hukum, dan

5
Munir Fuady, 2018, Teori Hukum Pembuktian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 206
pelaksanaan hukum semata-mata karena hal tersebut
merupakan data elektronik.
2. Otentifikasi; otentik disini adalah bahwa alat bukti berupa
rekaman video di pengadilan harus menggambarkan alat
bukti yang sebenarnya.
3. Identifikasi; yang diperagakan di pengadilan sebagai alat
bukti berupa rekaman video harus sama persidangan alat
bukti sebenarnya yang dipresentasikan. Jika digambarkan
sebuah segitiga sama kaki namun yang dimaksud segitiga
siku-siku diantara keduanya sudah tidak lagi identik.

Semua itu harus dilakukan karena melihat tindak pidana


terorisme sangat memanfaatkan teknologi, sehingga alat bukti rekaman
video tersebut sangat membantu dalam menyelesaikan tindak pidana
terorisme di Indonesia.

2.1.4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
UU TPPU sebagai langkah awal bagi pelaku untuk menikmati hasil
kejahatan dan kemudian diharapakan pelaku kejahatan utama (the main
offender) dapat ditangkap.
Sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang mengatur perihal beracara
menyebutkan bahwa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam hukum acara pidana,
kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini”, dengan demikian sifat
hukum acara dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang bersifat lex
specialis derogat lex generalis terhadap KUHAP. Hal khusus dalam tindak
pidana pencucian uang salah satunya adalah penggunaan sistem
pembuktian terbalik terbatas. Undangundang menyatakan, “ Untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak
pidana”. Pembuktian pada tingkat pengadilan dilaksanakan oleh terdakwa
sehingga terdakwa dikenakan kewajiban pembuktian terbalik, tetapi hanya
pada tingkat pengadilan, bukan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Hal khusus ini tidak terdapat dalam KUHAP, di dalam Pasal 66 KUHAP
dinyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian.6
Masalah pencucian uang merupakan masalah yang sangat kompleks,
hal ini jelas disadari oleh penyusun Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Karena modus dan sistem kejahatan yang dipraktikkan
oleh para pelaku pencucian uang sudah melibatkan instrumen-instrumen
teknologi yang begitu canggih mulai dari instrumen teknologi yang
bersifat manual seperti telepon, telegram, faksimili, rekaman, fotokopi dan
lainnya, hingga kepada instrumen yang extra sophisticated atau super
canggih. Seperti dalam hal penggunaan dunia maya seperti internet, e-
mail, electronic banking, dan lain-lain ragam dunia cyber yang dapat
digunakan sebagai alat canggih dalam pencucian uang yang juga dapat
dijadikan alat bukti dalam pemeriksaan di persidangan7.
Pasal 38 : alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa
a) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana
b) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu ; dan
c) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 7

Pasal 1 angka 7 : dokumen adalah data, rekaman, atau informasi


yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada :

a) Tulisan, suara, atau gambar


b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya

6
Tb. Iman, 2006 : 31
7
N.H.T Siahaan, 2005 : 40
c) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.

.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengaturan perkembangan alat bukti dalam perundang-undangan
pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 26A, yang sifatnya
berupa perluasan dari sumber alat bukti petunjuk dalam KUHAP, yaitu berupa
informasi yang tersimpan dan digunakan/dikeluarkan secara elektronik serta
dokumen. Pengaruh yang paling besar dalam perkembangan alat bukti pada
perundang-undangan ini adalah perkembangan kejahatan dan karakteristiknya
berupa modus operandi dari tindak pidana itu sendiri. Hal ini dikarenakan tindak
pidana korupsi sendiri terkait dengan berbagai bidang, seperti administrasi,
perpajakan, birokrasi, pemerintahan, akuntansi, serta bidang perbankan.
Pengaturan perkembangan alat bukti dalam perundang-undangan tindak
pidana pencucian uang terdapat pada Pasal 38, yaitu berupa pengakuan alat bukti
baru berupa informasi yang tersimpan dan digunakan/dikeluarkan secara
elektronik serta dokumen. Perkembangan ini dipengaruhi oleh keunikan
karakteristik pada modus operandi tindak pidana pencucian uang.
Pengaturan perkembangan alat bukti dalam perundang-undangan ini terdapat
pada Pasal 27, yaitu berupa pengakuan alat bukti baru berupa informasi yang
tersimpan dan digunakan/dikeluarkan secara elektronik serta dokumen. Hal ini
serupa dengan yang ada dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang.
Pengaturan perkembangan alat bukti dalam perundang-undangan ini terdapat
pada Pasal 44, yaitu berupa pengakuan alat bukti baru berupa informasi elektronik
dan dokumen elektronik, serta mengatur bahwa hasil cetak dari informasi
elektronik merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

(1) Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-


Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta, 1982
(2) Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional, Jakarta Selatan, 2013, Hal 33 – 34
(3) R.Soernarto Soerodibroto, KUHP dan Kuhap, PT. Raja Grafindo, Jakarta, Hal 440
(4) Munir Fuady, 2018, Teori Hukum Pembuktian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 206

Peraturan Perundang-Undangan

(1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme
(4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
(5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Anda mungkin juga menyukai