Anda di halaman 1dari 21

Delik Terorisme

Dr.Anny Retnowati.SH.,M.Hum
TERORISME
Munculnya UU Anti Terorisme :
 Adanya peristiwa 11 Sept ’01 menimpa World Trade Center (WTC) di New York
 Tragedi Bali 12 Okt ’02
 Dari 2 peristiwa tsb. DK PBB 15 Okt ’02 mengeluarkan resolusi yi mengecam terorisme
dan akan membantu Indonesia menyeret para pelaku (Resolusi DK PBB Nomor 1438).
 Indonesia mengenal Perpu :
1. No. 1/2002 ttg Pemberntsn TP Terorisme yg berlaku
surut
2. No. 2/2002 ttg Pemberlakuan Perpu No. 1/2002 pada
peristiwa Bom Bali yg berlaku surut
 Pada 4 April ’03, Perpu No. 1/2002 menjadi UU berdasarkan UU No.15/2003
 Beberapa Pasal UU tsb yang kontroversial :
1. Negara lain yang dijadikan sasaran teror bisa
menuntut (Ps. 3 ay. 1)
2. Laporan intelejen bisa jadi bukti permulaan yang
penilaian kecukupan pemeriksaan oleh
Ketua/Wakil PN (Ps. 26)
Dampaknya :
muncul teror baru bagi aktivis, kelompok kritis atau
menurut negara potensial melakukan TP terorisme.
3. Alat bukti meliputi a.l.: bisa rekaman, informasi
dpt dilihat, dibaca dan atau didengar, dll (Ps.27)
Dampaknya :
penggunaan Alat bukti seperti rekaman,foto,dll yang
direkayasa bisa menjadi ancaman bagi masy.
4. Penyidik dapat menangkap berdasarkan bukti permulaan
berdasarkan Ps 26 ay. 2 paling lama 7X24 jam (Ps.28).
Dampaknya :
penangkapan sewenang-wenang
5. Penyidik,PU dan hakim berwenang memerintah
Bank & Lembaga jasa keuangan memblokir patut
diduga hasil TP Teorisme / Ps. 29 & Ps. 30
Dampaknya :
menerobos kerahasiaan bank
6. Ps.31 mempyi potensi melanggar hak sipil & HAM
membuka surat, menyadap telp.
7. Ps.43 potensi membawa misi (krn ada kerja sama)
8. Ps.46 berlaku surut melanggar asas hk.
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 31 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 15 TAHUN 2OO3
(1)Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang:
a.membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai
hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang sedang diperiksa; dan
b.menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,
merencanakan, dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, serta untuk mengetahui keberadaan seseorang atau
jaringan Terorisme.
(2)Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah mendapat penetapan dari ketua pengadilan
negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik yang menyetujui dilakukannya penyadapan
berdasarkan permohonan secara tertulis penyidik atau atasan penyidik.
(3)Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(4)Hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan Tindak Pidana Terorisme.
(5)Penyadapan wajib dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik dan dilaporkan kepada kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika."
 
Mahkamah Konstitusi menyatakan UU No.16/2003 yang
memberlakukan Perpu Terorisme untuk peristiwa peledakan Bom
Bali, tidak mempunyai kekuatan mengikat. Menurut majelis, untuk
undang-undang tersebut tidak berlaku asas retroaktif.

 majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan mengabulkan


permohonan judicial review Undang-undang No.16/2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan
Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-undang (UU
No.16/2003).
lanjutan
 Lima orang anggota majelis yang mengabulkan permohonan judicial review terhadap UU
No. 16/2003, menilai bahwa keberlakuan undang-undang tersebut bertentangan dengan
UUD 1945. Hal ini merujuk pada Pasal 28 i UUD 1945 yang menyebutkan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
 Penerapan ketentuan Perpu 1/2002 terhadap kasus bom Bali tanggal 12 Oktober 2002
ditetapkan melalui Perpu No. 2 Tahun 2002 yang disahkan dengan 
UU No. 16 Tahun 2003. UU 16/2003 ini kemudian oleh Makhamah Konstitusi melalui 
Putusan MK No. 013/PUU-I/2003 tanggal 23 Juli 2004 dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK ini tidak didapat tidak dengan suara bulat, karena 4 hakim memiliki pendapat
berbeda (dissenting opinion). Menurut hemat kami, undang-undang yang Anda maksud
telah dibatalkan MK adalah UU 16/2003.
KESIMPULAN uji materiil UU No. 16/2003

1. Atas permohonan uji materiil UU No. 16/2003 terhadap pasal 28 I ayat (1) UUD yang diajukan
oleh sdr. MASYKUR ABDUL KADIR, Mahkamah Kostitusi dalam putusannya tanggal 23 Juli 2004
No. 013/PUU-I/2003 telah menyatakan:
° Mengabulkan permohonan pemohon untuk pengujian UU No. 16/2003 terhadap UUD Negara 1945;
° Bahwa UU No. 16/2003 bertentangan dengan UUD Negara 1945;
° Bahwa UU No. 16/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Bahwa dari putusan MK tersebut dapat ditarik suatu temuan hukum, ialah: “Penyimpangan dari
asas non-retroaktif diperkenankan sepanjang untuk keperluan menegakkan keadilan bagi pelaku
kejahatan-kejahatan HAM berat yang termasuk kategori kejahatan yang luar biasa (extra ordinary
crime) dan tidak cukup dengan melalui hukum pidana biasa. Muatan kejahatan dalam peristiwa Bom
Bali bukanlah termasuk kejahatan HAM berat, yang masih dapat ditanggulangi melalui hukum pidana
konvensional”.
lanjutan
 3. Bahwa kriteria untuk dapat mengecualikan asas non-retroaktif yang digunakan MK
adalah berupa kriteria mengenai objek muatan kejahatan dari penyimpangan, yang
akan lebih baik dan sempurna apabila ditambah/disempurnakan dengan syarat utility
dan keseimbangan
 sehingga rumusnya ialah: “penyimpangan dari asas non-retroaktif hanya mungkin
dilakukan apabila hukum pidana yang telah ada tidak dapat digunakan untuk
melakukan penegakan hukum terhadap pembuat atau pembuat-pembuat suatu
peristiwa yang mengandung muatan kejahatan HAM berat, atau dalam hal ada hukum
pidana yang dapat digunakan akan tetapi beban pertanggungjawaban pidananya tidak
sebanding dengan beban pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana yang
hendak diberlakukan surut”.
lanjutan
4. Bahwa dengan terbitnya putusan MK No. 013/PUU-I/2003, maka sejak itu:
 § Perlakuan hukum terhadap para pembuat atau yang terlibat lainnya pada peristiwa Bom Bali yang
belum diputus pengadilan dengan putusan yang tetap, tidak dapat diberlakukan UU No. 15/2003.

§ Putusan MK No. 013/PUU-I/2003 tidak mengandung makna hukum dan pengaruh hukum apapun
terhadap pembuat atau yang terlibat lainnya pada peristiwa Bom Bali yang telah diputus pengadilan
dengan putusan yang tetap.

§ Putusan MK No. 013/PUU-I/2003 hanya mempunyai pengaruh dan berlaku terhadap para pembuat
dan atau yang terlibat lainnya dalam peristiwa Bom Bali yang belum ada perlakuan hukum
terhadapnya atau telah ada perlakuan hukum akan tetapi belum diputus oleh pengadilan dengan
putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

§ Putusan MK No. 13/PUU-I/2003 bukan novum yang dapat digunakan sebagai dasar pengajuan
upaya PK bagi terpidana dalam perisitiwa Bom Bali.
Kekhususannya sbb :

1. Ketentuannya merupakan ketentuan payung peraturan lain yg berkait


dengan pemberantasan TP Terorisme
2. Diperkuat sanksi pidana sekaligus bersifat koordinatif dan memperkuat
peraturan yang terkait.
3. Memuat perlindungan terhadap hak asasi tersangka/ terdakwa dengan
adanya lembaga “hearing” & berfungsi sbg lembaga yg melakukan legal
audit untuk menetapkan diteruskan/tdk suatu penylidikn atas dugaan
adanya TP Teorisme
4. TP Terorisme bukan TP politik /yang bermotif politik
5. Presiden dimungkinkan membentuk tim anti teror dg prinsip transparansi
agar tidak dilakukan penyalahgunaan ( lihat Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme )
6. Dimungkinkan belakunya melampaui batas teritorial RI
& memuat kerjasama internasional
7. Pandangan untuk kegiatan terorisme sebagai TP
terorisme
8. Ketentuan ini tidak berlaku bagi kemerdekaan
berpendapat (Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum )
9. Adanya sanksi pidana minimal khusus untuk penjeraan
terhadap pelaku
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2OO3 TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2OO2 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG

Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 5 Tindak Pidana Terorisme yang diatur dalam UndangUndang ini harus
dianggap bukan tindak pidana politik, dan dapat diekstradisi atau dimintakan
bantuan timbal balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 16A
Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman
pidananya ditambah 1/3 (satu per tiga).

SELANJUTNYA SDR BANDINGKAN SENDIRI PERUBAHANNYA


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013
TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PENDANAAN TERORISME
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pendanaan Terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan,
mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun
tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan
digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris
Pasal 2
(1) Undang-Undang ini berlaku terhadap:
a. Setiap Orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak
pidana pendanaan terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
dan/atau
b. Dana yang terkait dengan Pendanaan Terorisme di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Ketentuan pidana
Pasal 4
 Setiap Orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau
meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan
seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris,
atau teroris dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 5
 Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk
melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dipidana karena melakukan tindak pidana
pendanaan terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
 (1) Dalam hal tindak pidana pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi
dan/atau Personel Pengendali Korporasi.
 (2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi jika tindak pidana pendanaan terorisme:
 a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personel Pengendali Korporasi;
 b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
 c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah dalam
Korporasi; atau
 d. dilakukan oleh Personel Pengendali Korporasi dengan maksud memberikan
manfaat bagi Korporasi.
Lanjutan Pasal 8
 (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap Korporasi, panggilan untuk menghadap
dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus dan/atau Personel Pengendali
Korporasi di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
 (4) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi berupa pidana denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
 (5) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terhadap Korporasi juga
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a.pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan Korporasi;
b.pencabutan izin usaha dan dinyatakan sebagai Korporasi terlarang;
c.pembubaran Korporasi;
d.perampasan aset Korporasi untuk negara;
e.pengambilalihan Korporasi oleh negara; dan/atau
f. pengumuman putusan pengadilan.
Alat bukti
Pasal 38
 Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pendanaan terorisme ialah:
 a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Hukum Acara Pidana;
 b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik; dan/atau
 c. Dokumen.
Pasal 39
 Pemeriksaan saksi dan ahli di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pendanaan terorisme
dapat dilakukan melalui komunikasi jarak jauh dengan media audiovisual yang disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi yang dihadapi.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (disingkat BNPT) adalah sebuah lembaga pemerintah


nonkementerian (LPNK) yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang penanggulangan terorisme.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BNPT dikoordinasikan Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan. BNPT dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada presiden.
 Pada awalnya jabatan Kepala BNPT setingkat eselon I.a. Namun sejak diterbitkannya Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010
Tentang Badan Penanggulangan Terorisme, jabatan Kepala BNPT naik menjadi setingkat menteri.
 BNPT dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010. Sebelumnya cikal bakal
lembaga ini adalah Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT).
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL
PENANGGULANGAN TERORISME

Pasal 1
 (1) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang selanjutnya disebut BNPT adalah
Lembaga Pemerintah Non Kementerian.
 (2) BNPT berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
 (3) BNPT dipimpin oleh seorang Kepala.
Pasal 2

 (1) BNPT mempunyai tugas :


 a. menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan
terorisme;
 b. mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan
kebijakan di bidang penanggulangan terorisme;
 c. melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk Satuan
Tugas-Satuan Tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan
tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
 (2) Bidang penanggulangan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan
nasional.

Anda mungkin juga menyukai