DOSEN PENGAMPU
DISUSUN OLEH
ELYANA RAMADHANIYATI
222.02.10169
BANJARMASIN
TAHUN 2022
Daluwarsa berdasarkan hukum pidana dan perdata
Dalam hukum tindak perdata, terdapat salah satu pasal yang mencakup penjelasan
mengenai daluwarsa yaitu Pasal 1967 KUH Perdata. Adanya tuntutan hukum dengan
segala sifat baik kebendaan, atau bersifat perseorangan, dapat dihapus setelah lewat
30 tahun.
Ada juga daluwarsa yang mengatur mengenai warisan tidak terurus dan tidak ada
pengampu dari warisan tersebut. Contoh kasus daluwarsa ini dijelaskan dan diatur
pada KUH Perdata Pasal 1991 Ayat (2) .
Selanjutnya pada Pasal 1992 diatur bahwa adanya daluwarsa yang masih akan berlaku
selama ahli waris masih melakukan perundingan akan warisannya. Hampir
kebanyakan Pasal memang membahas pada masalah atau kasus warisan yang sering
daluwarsa.
Untuk masa daluwarsa di dalam hukum tindak perdata dapat dilakukan pembatasan
berdasarkan Undang-Undang dan juga kesepakatan para pihak yang terkait. Umunya
batasan kesepakatan ini menjadi batasan akhir alias batasan penentu sesuai dengan
kesepakatan.
Daluwarsa yang juga disebut sebagai verjaring dalam istilah hukum ini dapat dibagi
dalam dua kategori yaitu acquisitive prescription dan extinctive prescription. Adapun
penjelasan dari kedua kategori tersebut sebagai berikut.
1. Acquisitive Prescription atau Daluwarsa untuk Memperoleh Hak Milik Atas Suatu
Barang
Berbeda dengan daluwarsa pidana yang sudah dijelaskan secara umum pada KUHP
khusus, hukum perdata memilih menempuh sedikit jalur rumit. Kategori yang pertama
ini diatur dalam Pasal 1963.
Daluwarsa ini dapat terjadi dan dilakukan jika sudah memenuhi beberapa unsur
seperti mempunyai itikad atau niat baik. Lebih jelasnya ada pada Pasal 1965 dan Pasal
1966 KUH Perdata.
Unsur lainnya yaitu adanya atas hak yang salah dan penguasaan barang selama 20
tahun atau 30 tahun secara terus menerus tanpa adanya pengugatan dari pihak lain
yang diatur dalam daluwarsa di dalam hukum tindak perdata di Indonesia.
Sementara daluwarsa dengan kategori untuk memperoleh hak milih atas suatu barang
diatur dengan berbagai unsur, maka extinctive prescription tidak memiliki unsur yang
harus dipenuhi.
Hanya terdapat satu unsur saja yang mengatur masalah daluwarsa atau pembebasan
dari suatu tuntutan yaitu tidak perlu menunjukkan alas hak. Kategori daluwarsa dalam
hukum perdata ini dibahas dan diatur pada Pasal 1967 KUH Perdata.
Pada umumnya kategori ini akan membahas kepunahan penuntutan atau pengadilan
dari masalah warisan atau juga penggelapan sertifikat tanah. Pada akhirnya setiap
penuntutan atas sebuah laporan harus dipenuhi sebelum masa daluwarsa. Kebijakan
pemerintah dalam hukum tindak perdata yang kerap terjadi dianggap dapat membantu
kesejahteraan dalam bermasyarakat. Akan tetapi jika kasus berakhir maka akan cukup
sulit untuk menuntut kembali. Meski begitu dengan jangka waktu sekitar 20-30 tahun
menjadi cukup berarti bagi masa daluwarsa dalam hukum perdata.
Overmacht
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Tentang Overmacht dan Hukum Pidana
sebagai Ultimum Remidium, istilah paksaan yang Anda maksud juga populer dengan
istilah overmacht. Overmacht diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) yakni Pasal 48 KUHPyang berbunyi:
Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat
dipidana.
Berdasarkan pasal tersebut, overmacht menjadi dasar peniadaan/penghapusan
hukuman. Dalam KUHP dan undang-undang lain tidak dijelaskan lebih lanjut
mengenai overmacht ini, penelaahan mengenai istilah overmacht kita dapatkan dari
pemikiran para pakar hukum.
Sebagaimana pernah dikutip dalam artikel Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa
Sebagai Alasan Penghapus Pidana, R. Sugandhi, S.H. mengatakan bahwa kalimat
“karena pengaruh daya paksa” harus diartikan baik pengaruh daya paksaan batin,
maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah
kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat
ditentang.
Noodtoestand
Sejalan dengan yang telah dijelaskan di atas, Lamintang (hal. 441) pada intinya
mengatakan bahwa jenis overmacht yang bukan terjadi karena perbuatan-perbuatan
manusia, melainkan terjadi karena keadaan-keadaan, dalam ilmu hukum pidana sering
disebut dengan “noodtoestand”.
Lamintang menjelaskan bahwa menurut Prof Simons noodtoestand itu sebagai salah
satu strafuitsluitingsgrond (dasar yang meniadakan hukuman) yang tersendiri, terlepas
dari overmacht. Meskipun demikian Profesor Simons itu juga mengakui, bahwa
pembentuk undang-undang itu sebenarnya telah bermaksud untuk
memasukkan noodtoestand ke dalam pengertiannya yang bersifat umum
dari overmacht seperti yang telah diatur di dalam Pasal 48 KUHP
dimana overmacht itu dibagi menjadi:[1]
1. overmacht dalam arti sempit, yakni keadaan memaksa yang telah ditimbulkan oleh
adanya pemaksaan yang telah dilakukan oleh seorang manusia.
2. Noodtoestand, yakni keadaan memaksa yang telah timbul bukan karena adanya
sesuatu perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang manusia.
Jadi, Noodtoestand merupakan jenis overmachtyang bukan terjadi karena perbutan-
perbuatan manusia, malainkan terjadi karena keadaan-keadaan.
Sebagai contoh noodtoestand itu adalah peristiwa dua orang pelaut yang secara
bersama-sama berpegangan pada sebuah balok untuk menyelamatkan nyawa mereka,
oleh karena kapal yang mereka tumpangi telah tenggelam ke dalam laut, kemudian
salah seorang dari mereka secara terpaksa mendorong kawannya hingga yang terakhir
ini meninggal dunia tenggelam, yakni dengan maksud untuk menyelamatkan diri
sendiri.[2]
Jadi menjawab pertanyaan Anda, memang benar bahwa secara
umum overmacht dan noodtoestand sama-sama merupakan suatu keadaan memaksa.
Yang membedakan adalah overmacht merupakan keadaan memaksa yang ditimbulkan
oleh adanya pemaksaan yang dilakukan oleh seorang manusia,
sedangkan noodtoestand adalah keadaan memaksa yang timbul bukan karena adanya
sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia malainkan terjadi karena
keadaan-keadaan.