Anda di halaman 1dari 15

9.

HAPUSNYA WEWENANG MENUNTUT DAN MELAKSANAKAN PIDANA

Perbedaan isi dari KUHP dan RUU KUHP sebagai berikut:

 KUHP
Dalam KUHP terdapat pada Bab VIII - Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana Dan
Menjalankan Pidana. yang pasal-pasalnya berupa:

Pasal 76

(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan
putusan yang menjadi tetap.Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan
swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.

(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu
dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:

1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi
ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.

Pasal 77

Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.

Pasal 78

(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:

1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan


percetakan sesudah satu tahun;
2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan,
atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun,
sesudah dua belas tahun;
4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.

(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun,
masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.

Pasal 79

Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam
hal-hal berikut:

1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada
hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan:
2. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang
dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan
dibebaskan atau meninggal dunia;
3. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang
dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-
pelanggaran itu, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa
register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor panitera suatu
pengadilan , dipindah ke kantor tersebut.

Pasal 80

(1) Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa , asal tindakan itu diketahui
oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan
dalam aturan-aturan umum.

(2) Sesudah dihentikan, dimulai tanggang daluwarsa baru.

Pasal 81

Penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan pra-yudisial,


menunda daluwarsa.

Pasal 82
(1) Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi
hapus, kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan
umum , dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.

(2) Jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai
perampasan harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat dalam
ayat 1.

(3) Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku
sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dahulu telah
hapus berdasarkan ayat 1 dan ayat 2 pasal ini.

(4) Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa,
yang pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.

Pasal 83

Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.

Pasal 84

(1) Kewenangan menjalankan pidana hapus karena daluwarsa.

(2) Tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun, mengenai
kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan mengenai
kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana,
ditambah sepertiga.

(3) Bagaimanapun juga, tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana
yang dijatuhkan.

(4) Wewenang menjalankan pidana mati tidak daluwarsa.

Pasal 85
(1) Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada esak harinya setelah putusan hakim dapat
dijalankan.

(2) Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok
harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. Jika suatu pelepasan
bersyarat dicabut, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang
daluwarsa baru.

(3) Tenggang daluwarsa tertuduh selama penjalanan pidana ditunda menurut perintah
dalam suatu peraturan umum, dan juga selama terpidana dirampas kemerdekaannya, meskipun
perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain

 RUU KUHP
Dalam RUU KUHP(rancangan undang-undang) terdapat pada bab IV gugurnya
kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana.pada RUU KUHP memiliki 2 bagian Yang
pasalnya berupa:
 Bagian Kesatu Gugurnya Kewenangan Penuntutan
Pasal 132
(1) Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika:
a. telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap
seseorang atas perkara yang sama;
b. tersangka atau terdakwa meninggal dunia;
c. kedaluwarsa;
d. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang hanya
diancam dengan pidana denda paling banyak kategori III;
e. maksimum pidana denda kategori IV dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun; ditariknya
pengaduan bagi Tindak Pidana aduan; atau diatur dalam Undang-Undang.
(2) Ketentuan mengenai gugurnya kewenangan penuntutan bagi Korporasi sama dengan
ketentuan untuk orang dengan memperhatikan ketentuansebagaimana dimaksud dalam
Pasal 121.
Pasal 133
(1) Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d dan huruf e
serta biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, dibayarkan kepada Pejabat
yang berwenang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
(2) Jika diancamkan pula pidana tambahan berupa perampasan Barang atau tagihan,
Barang atau tagihan yang dirampas harus diserahkanatau harus dibayar menurut taksiran
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika Barang atau tagihan tersebut sudah tidak
berada dalam kekuasaan terpidana.
(3) Jika pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan tersebut tetap berlaku
sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap Tindak Pidana yang dilakukan lebih
dahulu gugur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) huruf
d dan huruf e.
Pasal 134
Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam satu perkara yang sama jika
untuk perkara tersebut telah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pasal 135
Jika putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 berasal dari pengadilan luar negeri,
terhadap orang yang melakukan Tindak Pidana yang sama tidak boleh diadakan penuntutan
dalam hal:
a. putusan bebas dari tuduhan atau lepas dari segala tuntutan hukum; atau
b. putusan berupa pemidanaan dan pidananya telah dijalani seluruhnya,telah diberi
ampun, atau penjalanan pidana tersebut kedaluwarsa.
Pasal 136
(1) Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena kedaluwarsa jika:
a. setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahundan/atau hanya denda paling
banyak kategori III;
b. setelah melampaui waktu 6 (enam) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana penjara di atas 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. setelah melampaui waktu 12 (dua belas) tahun untuk Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana penjara di atas 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun;
setelah melampaui waktu 18 (delapan belas) tahun untuk Tindak Pidana yang
diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun; dan setelah melampaui waktu 20 (dua puluh) tahun untuk Tindak
Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
(2) Dalam hal Tindak Pidana dilakukan oleh Anak, tenggang waktu gugurnya
kewenangan untuk menuntut karena kedaluwarsasebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikurangi menjadi 1/3 (satu per tiga).
Pasal 137
Jangka waktu kedaluwarsa dihitung mulai keesokan Hari setelah perbuatan dilakukan,
kecuali bagi
a. Tindak Pidana pemalsuan dan Tindak Pidana perusakan mata uang, kedaluwarsa
dihitung mulai keesokan Harinya setelah barang yang dipalsukan atau mata uang
yang dirusak digunakan;
b. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 453, Pasal 457, Pasal 459,
dan Pasal 505 kedaluwarsa dihitung mulai keesokan Harinya setelah Korban
Tindak Pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung dari Tindak Pidana
tersebut.
Pasal 138
(1) Tindakan penuntutan Tindak Pidana menghentikan tenggang waktu kedaluwarsa.
(2) Penghentian tenggang waktu kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung keesokan Hari setelah tersangka atau terdakwa mengetahui atau diberitahukan
mengenai penuntutan terhadap dirinya yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Setelah kedaluwarsa dihentikan karena tindakan penuntutan, mulai diberlakukan
tenggang kedaluwarsa baru.
Pasal 139
Apabila penuntutan dihentikan untuk sementara waktu karena ada sengketa hukum yang
harus diputuskan lebih dahulu, tenggang waktu kedaluwarsa penuntutan menjadi tertunda
sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan.
 Bagian KeduaGugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana
Pasal 140
Kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur, jika:
a. terpidana meninggal dunia;
b. kedaluwarsa;
c. terpidana mendapat grasi atau amnesti; atau
d. penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.
Pasal 141
Jika terpidana meninggal dunia, pidana perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan
yang telah disita tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 142
(1) Kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena kedaluwarsa setelah berlaku tenggang
waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana harus melebihi lama pidana yang
dijatuhkan kecuali untuk pidana penjara seumur hidup.
(3) Pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kedaluwarsa Jika pidana
mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101,
kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena kedaluwarsa setelah lewat waktu yang sama
dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 136 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu kedaluwarsa
tersebut.
Pasal 143
(1) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana dihitung keesokan Harinya sejak
putusan pengadilan dapat dilaksanakan.
(2) Apabila terpidana melarikan diri sewaktu menjalani pidana maka tenggang waktu
kedaluwarsa dihitung keesokan Harinya sejak tanggal terpidana tersebut melarikan diri.
(3) Apabila pembebasan bersyarat terhadap narapidana dicabut, tenggang waktu
kedaluwarsa dihitung keesokan Harinya sejak tanggal pencabutan.
(4) Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana ditunda selama:
a. pelaksanaan pidana tersebut ditunda berdasarkan peraturan perundang-
undangan; atau
b. terpidana dirampas kemerdekaannya meskipun perampasan kemerdekaan
tersebut berkaitan dengan putusan pengadilan untuk Tindak Pidana lain.

Bedasarkan KUHP dan RUU KUHP Dari isi gugurnya kewenangan dalam penuntutan,
terdapat ketentuan yang berbeda antara KUHP dengan RUU KUHP secara langsung.
Namun, masih terdapat ketentuan yang sama seperti gugur bila orang tersebut telah
meninggal dunia, dsb. Menurut saya RUU KUHP lebih efektif karena lebih meringankan
tersangka dan lebih terperinci apa saja yangmenyebabkan gugurnya kewenangan dalam
penuntutan. juga walaupun jika di jalankan nanti mendapat penolakan karena beberapa
alasan yang tidak terduga tetepi masih bisa kita diskusikan secara damai dan melakukan
penyuluhan tentang RUU KUHP ini sehingga masyarakat mengerti dan paham mamfaat
perubahaan dari KUHP ini.
10.JENIS HUKUMAN ATAU PIDANA
Banyak terjadi perubahan pada hukuman atau pidana dalam ruu kuhp dan beberapa menjadi
Faktor terjadinya demo pada akhir tahun 2019 lalu yang sangat di tentang keras oleh kita
para mahasiswa.yaitu

1. Pasal RUU KUHP soal Korupsi


Sejumlah pasal di RUU KUHP memuat hukuman bagi pelaku korupsi
yang lebih rendah daripada UU Tipikor. Aliansi Nasional Reformasi KUHP
menilai hal ini bisa memicu praktik 'jual-beli' pasal. Misalnya, pasal 603 RUU
KUHP mengatur pelaku korupsi dihukum seumur hidup atau paling sedikit 2
tahun penjara dan maksimal 20 tahun.
Pasal 604 RUU KUHP mengatur hukuman sama persis bagi pelaku
penyalahgunaan wewenang untuk korupsi. Lalu, pasal 605 mengatur hukuman ke
pemberi suap minimal 1 tahun bui dan maksimal 5 tahun. Pasal 605 pun
mengancam PNS dan penyelenggara negara penerima suap dengan penjara
minimal 1 tahun, serta maksimal 6 tahun. Sedangkan pasal 2 UU Tipikor,
mengatur hukuman bagi pelaku korupsi ialah pidana seumur hidup atau penjara
minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
UU Tipikor pasal 5 memang memuat aturan hukuman bagi pemberi suap
mirip dengan pasal 605 RUU KUHP. Akan tetapi, pasal 6 UU Tipikor mengatur
hukuman lebih berat bagi penyuap hakim, yakni 3-15 tahun bui. Bahkan, Pasal
12 UU Tipikor huruf (a) mengatur hukuman bagi pejabat negara atau hakim
penerima suap: pidana seumur hidup atau penjara 4-20 tahun.
Pasal ini ketika ingin di gunakan banyak terjadi pertentangan dari berbagai
kalangan masyarakat baik mahasiswa maupun pekerja karena dianggap
memanjakan koruptor(pihak yang melakukan korupsi karena hukumannya yang
dianggap terlalu ringan

2. Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden


Pasal kontroversial RUU KUHP yang lain terkait penghinaan terhadap
presiden dan wakil presiden. Pasal 218 mengancam pelaku dengan penjara
maksimal 3,5 tahun. Di pasal 219, pelaku penyiaran hinaan itu diancam 4,5 tahun
bui. Di pasal 220 RUU KUHP, dijelaskan bahwa perbuatan ini menjadi delik
apabila diadukan oleh presiden atau wakil presiden.
Selain itu, pasal 353-354 mengatur hukuman bagi pelaku penghinaan
terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Pelakunya terancam 1,5 tahun
bui. Bila penghinaan itu memicu kerusuhan, pelakunya bisa dihukum 3 tahun
penjara. Dan jika hal itu disiarkan, pelaku terancam 2 tahun bui.
Sebenarnya Ketentuan ini telah ada di KUHP lama dan dinilai merupakan
warisan kolonial. Pasal ini juga dianggap sebagai karet dan bisa menjadi senjata
pemerintah untuk mengkriminalisasikan masyarakatnya dan membuat
masyarakat tidak bisa bebas lagi dalam berpendapat.

3. Pasal RUU KUHP tentang Makar


RUU KUHP mengatur pidana makar melalui pasal 167, 191, 192 dan
193. Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam hukuman mati, seumur
hidup atau bui 20 tahun. Makar terhadap pemerintah yang sah, juga diancam
penjara 12 dan 15 tahun. Pasal 167 menyebut: “Makar adalah niat untuk
melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan
pelaksanaan perbuatan tersebut.”
Menurut analisis Aliansi Reformasi KUHP, definisi makar di dalam RUU
KUHP itu tak sesuai dengan akar katanya pada bahasa Belanda, yakni 'aanslag'
yang berarti penyerangan. Masalah definisi ini dinilai berpotensi membikin pasal
makar bersifat karet dan memberangus kebebasan berekspresi masyarakat sipil.

4. Pasal RUU KUHP soal Penghinaan Bendera


RUU KUHP juga mengatur pemidanaan terkait penghinaan bendera
negara. Ketentuan ini diatur pasal 234 dan 235. Di pasal 235, diatur pidana denda
maksimal Rp10 juta bagi mereka yang: (a) memakai bendera negara untuk
reklame/iklan komersial; (b) mengibarkan bendera negara yang rusak, robek,
luntur, kusut, atau kusam; (c) mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka,
gambar atau tanda lain, atau memasang lencana atau benda apa pun pada bendera
negara; dan (d) memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus
barang, tutup barang, yang menurunkan kehormatannya.
Aliansi menilai pasal 235 memuat ancaman kriminalisasi perbuatan formil
(tanpa memandang niat yang harusnya berupa penodaan bendera). Ancaman
penjara di pasal 234 pun dinilai terlalu tinggi (5 tahun).

5. Pasal RUU KUHP terkait Alat Kontrasepsi


Pasal kontroversial lainnya di RUU KUHP ialah soal pemidanaan promosi
kontrasepsi. Pasal 414 mengatur: orang yang mempertunjukkan, menawarkan,
menyiarkan tulisan, menunjukkan untuk bisa memperoleh alat pencegah
kehamilan [kontrasepsi] kepada Anak dipidana denda maksimal Rp1 juta
(kategori I)."
Aliansi menganggap pasal 414 menghambat penyebaran info soal alat
kontrasepsi dan kesehatan reproduksi. Pasal ini pun bertentangan dengan
program KB pemerintah. Apalagi, pasal ini bisa menjerat pengusaha retail yang
memajang alat kontrasepsi di toko. Jurnalis yang menulis konten soal alat
kontrasepsi pun bisa terkena pidana.
Sekalipun pasal 416 mengecualikan 'pejabat berwenang' dan aktivitas
pendidikan, pidana ini dinilai tidak sesuai era keterbukaan informasi. Kental
Kriminalisasi & Mempersulit Pencegahan HIV Di sisi lain, di Indonesia terdapat
6 peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS yang memuat aturan “kampanye
penggunaan kondom” yang isinya mengizinkan penyebaran luas info soal alat
kontrasepsi.
Jaksa Agung (tahun 1978) dan BPHN (1995) juga telah
mendekriminalisasi perbuatan ini mengingat kondom menjadi salah satu alat
efektif untuk mencegah penyebaran HIV.

6. Pasal RUU KUHP soal Aborsi


Pemidanaan terkait aborsi diatur pasal 251, 415, 469 dan 470. Misalnya,
pasal 469 mengatur hukuman bagi perempuan yang menggugurkan
kandungannya, maksimal 4 tahun bui. Orang yang menggugurkan kandungan
perempuan dengan persetujuannya juga bisa dibui maksimal 5 tahun, sesuai isi
pasal 470 RUU KUHP.
Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang
hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Kondisi mental
korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian bagi negara untuk memberikan
perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah melakukan kriminalisasi Pasal
Aborsi pada RKUHP Bisa Jerat Korban Perkosaan Isi pasal-pasal itu pun tidak
sesuai dengan UU Kesehatan pasal 75 ayat 2 yang mengecualikan tindakan
aborsi jika dalam keadaan darurat medis atau mengalami kehamilan sebab
perkosaan. Pasal ini juga dinilai mengabaikan fakta tingginya angka kematian ibu
akibat aborsi tidak aman.

7. Pasal RUU KUHP soal Gelandangan


RUU KUHP juga mengatur pemidanaan gelandangan. Pasal 431
mengancam gelandangan dengan denda maksimal Rp1 juta. Hal ini menjadi
perhatiaan karena anggapan pasal ini tidak mauk dalam logika karena di ketahui
bahwa orang yang dikatagorikan gelandangan itu tidak memiliki rumah dan juga
jika memiliki dia tidak akan mampu membayar denda.
Menurut kami jika pasal ini memang tidak masuk akal tetapi jika pasal ini
menjelaskan tentang orang yang tidak bertanggung jawab yang berpura-pura
menjadi gelandangan dan di hukum dengan denda 1 juta rupiah ini bagi kami
sangat wajar. Dan juga jika pasal ini mengatakan tentang pengemis maka pasal
ini kami anggap cukup karena kebanyakan pengemis memiliki badan yang sehat
hanya saja mereka tidak mau atau enggan untuk bekerja.

8. Pasal RUU KUHP tentang Zina dan Kohabitasi


Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi (hidup
bersama sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan). Pasal 417 mengatur
hukuman bagi mereka yang berzina maksimal bui 1 tahun atau denda Rp10 juta.
Pidana ini diatur sebagai delik aduan dari suami, istri, orang tua dan anak.
Sementara pasal 418 mengancam pelaku kohabitasi dengan penjara 6 bulan dan
denda Rp10 juta.
Pidana ini delik aduan. Kepala desa termasuk yang bisa mengadukan
tindak kohabitasi ke polisi. Baca juga: Isi RUU Bermasalah Didemo Mahasiswa
Hari Ini di Jakarta & Kota Lain Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi (yang
dilakukan orang dewasa secara konsensual dan tanpa paksaan) dinilai
mengancam privasi warga.
ICJR pun khawatir delik aduan terkait kohabitasi yang memasukkan
kepala desa sebagai pihak pelapor bisa memicu kesewenang-wenangan dan
praktik kriminalisasi berlebihan. Dua pasal itu juga dianggap mengabaikan fakta
jutaan masyarakat adat dan warga miskin yang masih kesulitan mengakses
dokumen perkawinan resmi.

9. Pasal RUU KUHP soal Pencabulan


Pasal 420 menjadi bermasalah karena mengatur pemidanaan pencabulan
dengan memberikan tekanan kata: "terhadap orang lain yang berbeda atau sama
jenis kelaminnya." ICJR menilai penyebutan kata “sama jenis” tidak perlu.
Menurut ICJR, penyebutan spesifik “sama jenis kelaminnya” malah menjadi
bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual.
Pasal ini dikhawatirkan membuat kelompok orientasi seksual yang
berbeda rentan dikriminalisasi dan semakin distigma negatif. Apalagi, kekerasan
ke komunitas LGBT selama ini sudah sering terjadi.
Dan Pada pasal 420 huruf a banyak disitu dijelaskan bahwa pelecehan
seksual(pencabulan) jika di lakukan didepan umum maka akan ditindak pidana
banyak tanggapan dari berbagai kalangan bahwa itu berarti bahwa jika
pencabulan di lakukan tidak di depan umum tidak akan di hukum pidana dan hal
ini akan sangat merugikan korban.

10. Pasal Pembiaran Unggas dan Hewan Ternak


Pasal 278 RUU KUHP secara khusus mengatur: orang yang membiarkan
unggas miliknya berjalan di kebun atau tanah telah ditaburi benih/tanaman milik
orang lain terancam denda sampai Rp10 juta. Lalu, pasal 279 juga mengancam
setiap orang yang membiarkan hewan ternaknya berjalan di kebun, tanah
perumputan, tanah yang ditaburi benih, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi
benih atau ditanami, dengan pidana denda maksimal Rp10 juta (kategori II).
Bahkan pasal 279 ayat 2 menyatakan, hewan ternak yang dilibatkan dalam
pelanggaran ini dapat dirampas negara. Hal ini menurut banyak kalangan tidaklah
masuk akal dan sangat tidak adil bagi pemilik unggas atau hewan ternak.
Tapi menurut kami hal ini masuk akal mengingat banyak terjadi kasus
yang mana pemilik hewan ternak yang tidak bertanggung jawab membiarkan
bahkan ada yang sengaja melepaskan hewannya di daerah dekat degan
perkebunan atau daerah pertanian yang mana hewan ternak itu merusak dan
merugikan pemilik kebun dan juga mengingat banyaknya tanaman hias yang bisa
saja rusak oleh unggas dan hewan ternak ini maka bagi saya denda dengan
maksimal 10 juta ini menguntungkan kedua bilah pihak karena jika hewan ternak
itu merusak perkebunan dengan tapsiran harga 1 juta maka dia hanya harus
membayar denda sebesar 1 juta dan kedua blah pihak tidak dirugikan.

11. Pasal RKUHP tentang Tindak Pidana Narkoba


Pasal 611- 616 RUU KUHP terkait narkotika, juga dikritik sebab
membuat pendekatan pidana semakin diutamakan di penanganan masalah
narkoba. Aliansi menilai pasal-pasal itu menguatkan stigma narkotika sebagai
masalah pidana saja. Padahal, banyak negara di dunia memproklamirkan
pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan warga.
Di samping itu, pendekatan pidana yang berfokus pada pemberantasan
suplai narkoba dianggap tidak efektif. RKUHP pun dinilai oleh Aliansi masih
memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi langsung dari UU 35/2009 tentang
narkotika tanpa perbaikan yang lebih memadai.

12. Pasal tentang Contempt of Court Pasal di RUU KUHP


Tentang penghinaan terhadap badan peradilan atau contempt of court juga
dikritik. pasal 281 huruf b mengatur pidana denda Rp10 juta bagi mereka yang:
“Bersikap tak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas
hakim dalam sidang pengadilan.” Menurut catatan Aliansi, unsur “bersikap tidak
homat” di Pasal 281 huruf b tidak dijabarkan secara terang pada bagian
penjelasan. Selain itu, menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur,
mestinya sah sebagai kritik.
Menurut kami jika hanya mengkritik atau menuduh hakim tidak adil dan
bersikap memihak tidaklah termasuk pennghinaan karena itu merupakan suatu
hal yang meupakan suatu hal yang wajar bagi kami mungkin penghinaan yang
dimaksud disini adalah penghinaaan dengan cara merendahkan hakim
adalahmengatakan bahasa yang jorok,kotor, atau kasar kepada hakim secara terus
menerus dan selalu menyela pembicaraan hakim serta melakukan suatu tindakan
yang mengundang kericuhan

13. Pasal Tindak Pidana terhadap Agama Ketentuan terkait tindak pidana terhadap
agama diatur pasal 304-309.
Di antara kritik Aliansi ke pasal-pasal itu: (a) isinya jauh dari standar pasal
20 ICCPR soal konteks pelarangan propaganda kebencian; (b) hanya melindungi
agama yang “dianut” di Indonesia; (c) serta belum memuat unsur penting, yakni
perbuatan “dengan sengaja” terkait tindak pidana terhadap agama.

14. Pasal terkait Pelanggaran HAM Berat (pasal 598-599)


Aliansi mencatat pengecualian asas retroaktif (tak berlaku surut) untuk
pelanggaran HAM berat belum diatur buku 1 RKUHP. Padahal, ini diatur UU
26/2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM pun menyoroti hukuman bagi
pelaku genosida di RUU KUHP yang malah lebih rendah dari ketentuan UU
26/2000. RUU KUHP mengatur hukuman 5-20 tahun bui. Adapun UU 26/2000
menetapkan hukuman 10-25 tahun penjara.

Anda mungkin juga menyukai