NIM :180510079
Kelas : III-C
MK : HUKUM PENITENSIER
SOAL :
1. Jelaskan pengertian hukum penitensier
Jawab :
“Hukum Penitensier adalah bagian dari hukum positif yang berisi ketentuan atau norma
mengenai tujuan, usaha (kewenangan) dan organisasi dari (suatu) lembaga untuk
membuat seseorang bertobat, yang dapat berupa:
a. putusan hakim (pemidanaan atau pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan
hukum); atau
b. tindakan (perbaikan) terhadap suatu perkara pidana.
Jawab :
Jawab :
Lembaga Pemidanaan
Selain hukuman pokok tersebut dalam Pasal 10 huruf a Kitab Undang- Undang Hukum
Pidana dan Pasal 6 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara adalah
hukuman pokok baru, yaitu hukuman tutupan, yang menggantikan hukuman penjara
dalam hal tersebut dalam Pasal 2.
Pasal 2
(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan
hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan hukuman tutupan.
(2) Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan
atau cara melakukan perbuatan itu akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga
hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya.
Pasal 3
(1) Barangsiapa dihukum dengan hukuman tutupan wajib menjalankan pekerjaan yang
diperintahkan kepadanya menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan berdasarkan
Pasal 5.
(2) Menteri yang bersangkutan atau pegawai yang ditunjuknya berhak atas permintaan
terhukum membebaskannya dari kewajiban yang dimaksudkan dalam ayat (1).
Pasal 4
Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman
tutupan, jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan
khusus tentang hukuman tutupan.
Pasal 5
(1) Tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan
segala yang perlu untuk menjalankan Undang-Undang ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
(2) Peraturan tata usaha atau tata tertib guna rumah buat menjalankan hukuman tutupan
diatur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan”.
c. Lembaga pidana bersyarat seperti yang diatur dalam Pasal 14a ayat 1 sampai
dengan ayat 5 KUHP (Pen. Rancangan KUHP Tahun
2019 menggunakan istilah pidana pengawasan sebagai pengganti istilah pidana
bersyarat yang diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77) dan pelaksanaannya
diatur di dalam Ordonansi tanggal 6 November 1926, Staatsblad Tahun 1926 Nomor
487 yang dikenal dengan uitvoering ordonnantie voorwaardelijk veroordeling atau
peraturan pelaksanaan mengenai pemidanaan bersyarat. Bunyi
Pasal 14a ayat 1 sampai dengan 5 adalah sebagai berikut:
“(1) Apabila Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana
kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim
dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian
hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan
suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut
di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat
khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara
mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhan pidana denda, tetapi
harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin
diperintahkan pula akan sangat memberatkan terpidana. Dalam menerapkan ayat ini
kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai
penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa
dalam hal dijatuhi pidana denda, tidak diterapkan ketentuan Pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga
mengenai pidana tembahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat
berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat
umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan syarat-syarat khusus
jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan- keadaan yang
menjadi alasan perintah itu”.
e. Lembaga penempatan di dalam lembaga kerja negara, seperti yang diatur dalam
Ordonansi tanggal 24 Maret 1936, Staatsblad Tahun
1936 Nomor 160.