Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fitriani

NIM :180510079
Kelas : III-C
MK : HUKUM PENITENSIER

SOAL :
1. Jelaskan pengertian hukum penitensier

Jawab :

“Hukum Penitensier adalah bagian dari hukum positif yang berisi ketentuan atau norma
mengenai tujuan, usaha (kewenangan) dan organisasi dari (suatu) lembaga untuk
membuat seseorang bertobat, yang dapat berupa:
a. putusan hakim (pemidanaan atau pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan
hukum); atau
b. tindakan (perbaikan) terhadap suatu perkara pidana.

2. Jelaskan tujuan hukum penitensier

Jawab :

Berdasarkan pengertian hukum pidana penitensier menurut Van


Bemmelen dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup hukum penitensier meliputi
pidana atau pemidanaan yang dikaitkan dengan lembaga- lembaga
pemidanaan dengan tujuan yang ingin dicapai orang dengan pemidanaan itu
sendiri karena menurutnya hukum pidana penitensier merupakan hukum yang
berkaitan dengan tujuan, daya kerja, dan organisasi lembaga-lembaga
pemidanaan. Sementara itu, menurut Utrecht, hukum penitensier merupakan
bagian dari hukuman pidana positif yang menentukan:

1. jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap


KUHP dan sumber-sumber hukum pidana lainnya (undang-undang
pidana yang memuat sanksi pidana dan undang-undang nonpidana
yang memuat sanksi pidana);
2. beratnya sanksi itu;
3. lamanya sanksi itu dijalani;
4. cara sanksi itu dijalankan; dan
5. tempat sanksi itu dijalankan.
3. Jelaskan tentang Lembaga pemidanaan dan Lembaga penindakan

Jawab :

Lembaga Pemidanaan

Lembaga pemidanaan bukan merupakan lembaga yang di dalamnya para terpidana


harus menjalankan pidana atau dikenal dengan lembaga pemasyarakatan, melainkan
lembaga hukum yang disebut di dalam hukum positif secara langsung ada
hubungannya dengan pemidanaan yang dilakukan oleh hakim, termasuk pula dalam
pengertiannya, yaitu lembaga pemasyarakatan. Lembaga tersebut terdiri dari:
a. Lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda,
pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, penyitaan benda-benda
tertentu, dan pengumuman dari putusan hakim, seperti yang diatur dalam Pasal 10
huruf a dan b KUHP (Pen. Pasal 64 sampai Pasal 67 RKUHP 2019).
b. Lembaga pidana tutupan, seperti yang telah diatur di dalam Undang-Undang
tanggal 31 Oktober 1946 Nomor 20, Berita Republik Indonesia II Nomor 24. Bunyi
aturan tersebut:
Mengingat: Pasal 20 ayat (1) berhubung dengan Pasal IV Aturan Peralihan dari
Undang-Undang Dasar dan Maklumat Wakil Presiden tertanggal 18-
10-1945 No. X Pasal 1.

Selain hukuman pokok tersebut dalam Pasal 10 huruf a Kitab Undang- Undang Hukum
Pidana dan Pasal 6 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara adalah
hukuman pokok baru, yaitu hukuman tutupan, yang menggantikan hukuman penjara
dalam hal tersebut dalam Pasal 2.
Pasal 2
(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan
hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan hukuman tutupan.
(2) Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan
atau cara melakukan perbuatan itu akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga
hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya.
Pasal 3
(1) Barangsiapa dihukum dengan hukuman tutupan wajib menjalankan pekerjaan yang
diperintahkan kepadanya menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan berdasarkan
Pasal 5.
(2) Menteri yang bersangkutan atau pegawai yang ditunjuknya berhak atas permintaan
terhukum membebaskannya dari kewajiban yang dimaksudkan dalam ayat (1).
Pasal 4
Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman
tutupan, jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan
khusus tentang hukuman tutupan.
Pasal 5
(1) Tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan
segala yang perlu untuk menjalankan Undang-Undang ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
(2) Peraturan tata usaha atau tata tertib guna rumah buat menjalankan hukuman tutupan
diatur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan”.

c. Lembaga pidana bersyarat seperti yang diatur dalam Pasal 14a ayat 1 sampai
dengan ayat 5 KUHP (Pen. Rancangan KUHP Tahun
2019 menggunakan istilah pidana pengawasan sebagai pengganti istilah pidana
bersyarat yang diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77) dan pelaksanaannya
diatur di dalam Ordonansi tanggal 6 November 1926, Staatsblad Tahun 1926 Nomor
487 yang dikenal dengan uitvoering ordonnantie voorwaardelijk veroordeling atau
peraturan pelaksanaan mengenai pemidanaan bersyarat. Bunyi
Pasal 14a ayat 1 sampai dengan 5 adalah sebagai berikut:

“(1) Apabila Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana
kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim
dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian
hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan
suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut
di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat
khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara
mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhan pidana denda, tetapi
harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin
diperintahkan pula akan sangat memberatkan terpidana. Dalam menerapkan ayat ini
kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai
penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa
dalam hal dijatuhi pidana denda, tidak diterapkan ketentuan Pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga
mengenai pidana tembahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat
berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat
umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan syarat-syarat khusus
jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan- keadaan yang
menjadi alasan perintah itu”.

d. Lembaga pemberatan pidana kurungan (Pen. dalam RKUHP Tahun


2019 sudah tidak lagi mencantumkan pidana kurungan sebagai jenis pidana) karena
adanya suatu samenloop van strafbare feiten, recidive, atau karena tindak pidana telah
dilakukan oleh seorang pegawai negeri dengan menodai kewajiban jabatannya yang
bersifat khusus, seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat 2 KUHP. Pasal tersebut
berbunyi:
“Jika ada pemberatan pidana disebabkan karena perbarengan atau penguangan atau
karena ketentuan Pasal 52 (bila seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana
melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan
perbuatan pidana memakai
kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya,
pidananya dapat ditambah sepertiga), pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu
tahun empat bulan”.

e. Lembaga tempat orang menjalankan pidana, seperti yang diatur dalam


Ordonansi Nomor 708 yang dikenal juga dengan gestichten reglement atau peraturan
tentang lembaga pemasyarakatan.

Lembaga Penindakan atau Maatregel

Lembaga penindakan atau maatregel merupakan lembaga hukum di dalam hukum


positif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili
perkara-perkara pidana, tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan atau suatu
kebijaksanaan dan termasuk dalam pengertiannya, yaitu lembaga pendidikan paksa dan
lembaga kerja negara. Lembaga-lembaga tersebut terdiri dari sebagai berikut:
a. Lembaga penempatan di bawah pengawasan pemerintah, seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 45 KUHP (Pen. dalam RKUHP diatur dalam BAB III
PEMIDANAAN, PIDANA, DAN TINDAKAN Bagian Ketiga Diversi, Tindakan,
dan Pidana bagi Anak), yang pengaturannya lebih lanjut terdapat dalam Ordonansi
tanggal 21
Dessember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 741 yang juga dikenal sebagai
dwangopvoeding regeling atau peraturan tentang pendidikan paksa. Pasal 45 KUHP
berbunyi:
“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang belum dewasa karena melakukan suatu
perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:
Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtuanya, walinya,
atau pemeliharaannya, tanpa pidana apa pun:
Atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana
apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan
Pasal 486, 490, 492, 496, 497, 503-505,
514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan
bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan
putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah”.
b. Lembaga penutupan secara terpisah atau lembaga afzonderlijke opsluiting,
seperti yang dimaksud di dalam Pasal 35 ayat 3 Ordonansi tanggal 10 Desember 1917,
Staatsblad Tahun 1917 Nomor 708.

c. L embaga penutupan dengan seorang diri di dalam sebuah kerangkeng dengan


jeruji besi atau lembaga eenzame opsluiting, seperti yang dimaksud di dalam Pasal
49 ayat 1 huruf d Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917
Nomor 708.
d. Lembaga pendidikan paksa atau dwangopvoeding yang telah diatur dalam
Ordonansi tanggal 21 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917
Nomor 741.

e. Lembaga penempatan di dalam lembaga kerja negara, seperti yang diatur dalam
Ordonansi tanggal 24 Maret 1936, Staatsblad Tahun
1936 Nomor 160.

Anda mungkin juga menyukai