Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKSANAAN PIDANA


DENDA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

2.1 Sanksi Pidana Denda

2.1.1 Pengertian Sanksi Pidana

Pidana semata-mata merupakan sebuah “alat “ yaitu alat untuk mencapai

tujuan pemidanaan53. Pidana sebagai alat tersebut dapat diartikan sebagai hal

yang sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut

tujuan pemidanaan yang telah ditentukan dapat dicapai. Istilah pidana sering

diartikan sama dengan istilah hukuman. Dalam konteks hukum, sanksi juga

diartikan sebagai hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan. Umumnya sanksi itu

muncul dalam bentuk pemidanaan, pengenaan secara sadar dan matang suatu azab

oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar

suatu aturan hukum54.

Hukuman adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang

menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan

pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.

Pengertian khusus tersebut artinya, masih ada persamaannya dengan pengertian

umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan, jadi dengan adanya

53
Barda Nawawi Arief, 2014, Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana, Kencana, Jakarta,
hal. 98
54
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.7

50
51

sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana55. Menurut

pendapat Sudarto, yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-

syarat tertentu56. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas

delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara

pada pelaku delik itu57.

Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh diatas, jika dilihat unsur-unsur serta

ciri-cirinya yang terdapat dalam istilah pidana, adalah sebagai berikut:

1. Pidana itu hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau


nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut Undang-undang
4. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh Negara atas diri
seseorang karena telah melanggar hukum58.

Menurut Herbert L.Packer dalam bukunya yang berjudul The Limits of

Criminal Sanction, pengertian sanksi pidana adalah: “Criminal punishment means

simply any particular disposition or the range or permissible disposition that the

law authorizes (or appears to authorizes) in cases of person who have been

judged through the distinctive processes of the criminal law to be quilty of

crime”59. Sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada

seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu perbuatan pidana atau

55
Mahrus Ali, Op. Cit, hal. 194
56
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 2.
57
Mahrus Ali, Op. Cit, hal.187
58
Ibid.
59
Herbert L.Packer, 1968, The Limits Of The Criminal Sanction, Stanford University Press,
Stanford, hal. 35
52

kejahatan melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang

secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana

tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi. Serta bertujuan

sebagai upaya untuk menjaga ketentraman dan keamanan serta pengaturan atau

kontrol yang lebih baik dari masyarakat.

2.1.2 Jenis-Jenis Sanksi Pidana

Jenis-jenis sanksi pidana ada bermacam-macam, seperti pidana mati, pidana

seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang

merupakan pidana pokok dan pidana berupa pencabutan hak-hak tertentu,

perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang

kesemuanya merupakan pidana tambahan. Dalam ketentuan Pasal 10 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jenis-jenis pidana dibagi menjadi dua

jenis yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana pokok terdiri dari 5 jenis pidana yaitu:

1. Pidana mati

Pidana mati adalah pidana yang paling berat dari keseluruhan pidana yang

dicantumkan terhadap berbagai kejahatan di dalam hukum yang berlaku di

Indonesia. Hukuman mati adalah pidana yang terberat menurut

peerundang-undangan pidana kita dan tidak lain berupa sejenis pidana

yang merampas kepentingan umum yaitu jiwa dan nyawa manusia60.

2. Pidana penjara

60
Tolib Setiady, Op.cit, hal. 79
53

Pidana penjara merupakan suatu bentuk pidana yang membatasi

kemerdekaan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara dan kurungan.

Pidana penjara yang paling berat atau maksimal adalah penjara seumur

hidup sedangkan yang paling ringan atau minimal adalah minimum 1 hari.

3. Pidana kurungan

Pidana kurungan adalah bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan

bagi si terpidana yaitu pemisahan si terpidana dari pergaulan hidup

masyarakat dalam waktu tertentu, dimana sifatnya sama dengan hukuman

penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang. Namun

pidana kurungan dapat dikatakan lebih ringan dibandingkan dari pidana

penjara. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18 KUHP

yang mengatur :

a. Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan

paling lama satu tahun.

b. Hukuman tersebut dapat dijatuhkan paling lama satu tahun empat

bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena

gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada Pasal

52 dan 52 (a) KUHP.

c. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat

bulan.

4. Pidana denda

Pidana denda adalah pidana berupa kewajiban seseorang untuk menebus

kesalahannya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Pada urutan


54

sistematika pidana pokok Pasal 10 KUHP dapat dilihat bahwa pidana

denda berada pada urutan keempat atau urutan terakhir setelah pidana

mati, pidana penjara dan pidana kurungan. Hal ini berarti pidana denda

biasanya dijatuhkan terhadap delik-delik ringan bisa berupa pelanggaran

ataupun kejahatan ringan. Pidana denda selain diatur pada Pasal 10 KUHP,

juga diatur secara lebih rinci pada Pasal 30 KUHP, yakni:

(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.

(2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.

(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling

lama enam bulan.

(4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan

demikian jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang,

dihitung satu hari, jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung

paling banyak satu hari demikian pula sisanya tidak cukup tujuh rupiah

lima puluh sen.

(5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau

pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52 KUHP, maka pidana

kurungan pengganti paling lama delapan bulan.

(6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan

bulan.

5. Pidana tutupan.

Pidana tutupan adalah jenis pidana yang didasarkan pada Undang- Undang

Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Pidana tutupan ini


55

berdasarkan undang-undang tersebut dapat digunakan sebagai pidana

pengganti penjara dan biasanya pidana ini dijatuhkan bagi pelaku

kejahatan yang bersifat politik61.

6. Pidana tambahan

Menurut sistem pemidanaan kita saat ini, penjatuhan dari pidana

tambahan sifatnya adalah fakultatif, dalam arti hakim tidak selalu harus

menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili,

melainkan terserah pada pertimbangannya apakah di samping menjatuhkan

pidana pokok, hakim juga telah bermaksud untuk menjatuhkan suatu

pidana tambahan atau tidak62. Ketentuan Pasal 10 KUHP menyatakan

bahwa jenis pidana tambahan digolongkan menjadi 3 (tiga) yakni

pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, serta

pengumuman putusan hakim, selanjutnya akan dijelaskan sebagai beriut:

1. Pencabutan hak-hak tertentu

Pencabutan hak-hak tertentu dimaksudkan sebagai pencabutan segala hak

yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga disebut “burgerlijke

dood”. Pencabutan hak-hak tertentu dapat mulai berlaku sejak putusan

pemidanaan dijatuhkan tanpa menunggu eksekusi pidana pokok yang

bersangkutan. Pencabutan tidak sama dengan pemberhentian atau

pemecatan. Pencabutan menyatakan tidak adanya hak seseorang.

Pemecatan atau pemberhentian merupakan hak atau tugas dari atasan atau

61
Tolib Setiady, Op.cit, hal. 144
62
P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., hal. 83
56

pimpinan terpidana yang bersangkutan63.Hak-hak yang dapat dicabut

dalam putusan hakim dari hak si bersalah dimuat dalam ketentuan Pasal 35

KUHP, yaitu:

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.

2. Hak menjadi anggota angkatan bersenjata.

3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

aturan-aturan umum.

4. Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum

(gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas,

pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya

sendiri.

5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau

pengampuan atas anak sendiri.

6. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu

2. Perampasan barang tertentu

Dalam pelaksanaan perampasan barang-barang tertentu Jaksa dapat

menjual barang-barang yang telah disita sebelumnya dan hasilnya

dimasukkan ke kas negara, sedangkan untuk barang-barang yang belum

disita barang-barang tersebut harus diserahkan oleh terdakwa kepada Jaksa

untuk selanjutnya disita kemudian dijual dan hasilnya akan masuk ke kas

63
P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., 85
57

negara namun apabila terdakwa menolak untuk menyerahkan barang-

barang tersebut maka wajib dikenakan pidana kurungan pengganti64.

Perampasan merupakan pidana terhadap harta kekayaan, seperti juga

halnya dengan pidana denda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-

barang yang dapat dirampas, yaitu:

a. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan.

b. Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.

3. Pengumuman putusan hakim.

Pada ketentuan Pasal 43 KUHP menyatakan bahwa apabila hakim

memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-

undang ini atau aturan yang lain. Maka harus ditetapkan pula bagaimana

cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan berupa

pengumuman keputusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang

ditentukan undang-undang. Terkait pengumuman putusan hakim

merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan

seseorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim

ini mengingatkan bahwa pidana tambahan tersebut telah mendatangkan

suatu penderitaan yang sangat berat kepada terpidana, karena nama

baiknya telah dicemarkan di depan banyak orang. Tujuannya adalah

membuat terpidana agar sulit dan terpidana tidak lagi dapat melakukan

tindak pidana yang sejenis dikemudian hari65.

64
P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., 99
65
P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., 129
58

Jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut, sanksi pidana perampasan

kemerdekaan yaitu pidana penjara atau pidana kurungan paling tidak disukai oleh

para pelaku tindak pidana66. Selain jenis pidana pokok dan pidana tambahan yang

tercantum dalam ketentuan Pasal 10 KUHP tersebut, terdapat pula beberapa jenis

pidana tambahan yang saat ini berlaku dalam hukum pidana Indonesia. Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengenal pemberatan sanksi

pidana, baik dalam bentuk sanksi pidana minimum khusus, sanksi pidana penjara

20 tahun, sanksi pidana penjara seumur hidup, maupun sanksi pidana mati serta

sanksi pidana denda. Pengaturan jenis pidana tambahan yang berlaku berdasarkan

Undang-Undang Narkotika terdapat pada ketentuan Pasal 130 ayat (2) yang

menyatakan bahwa: Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau

b. pencabutan status badan hukum.

2.1.3 Sanksi Pidana Denda Dalam KUHP

Kemajuan di bidang transportasi, dan komunikasi modern pada era globalisasi

seperti di jaman sekarang ini, berdampak pada perkembangan tindak pidana.

Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam kejahatan yang

dilakukan oleh korporasi (corporate crimes), maka eksistensi sanksi pidana denda

pun mutlak sangat diperlukan. Penggunaan pidana denda sebagai salah satu jenis

sanksi pidana yang dilibatkan dalam mengatasi masalah-masalah delik-delik baru

sebagai akibat pesatnya perkembangan ekonomi maupun teknologi canggih yang

66
Niniek Suparmi, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 6
59

diatur dalam beberapa undang-undang pidana khusus atau perundang-undangan

pidana di luar KUHP.

Pidana denda merupakan salah satu pidana pokok yang terdapat dalam stelsel

pemidanaan di Indonesia yang diatur dalam KUHP. Ketentuan Pasal 10 KUHP

yang digunakan sebagai pidana alternatif maupun pidana tunggal dalam Buku II

dimulai Pasal 104 sampai Pasal 488 untuk kejahatan dan Buku III KUHP dimulai

Pasal 489 sampai Pasal 569 untuk pelanggaran. Pidana denda merupakan jenis

pidana pokok yang keempat di dalam KUHP sebagai hukum positif di Indonesia.

Yang diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan : ”Pidana denda

paling sedikit dua puluh lima sen” dan pada ketentuan Pasal 31 menyatakan:

1. Orang yang dijatuhi denda, boleh segera menjalani kurungan penggantinya


denda tidak usah menunggu sampai waktu harus membayar denda itu.
2. Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika membayar
dendanya.
3. Pembayaran sebagai dari denda, baik sebelum maupun sesudah mulai
menjalani kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian
kurungan bagian denda yang telah dibayar.

Denda adalah salah satu bentuk hukuman berupa kewajiban pembayaran

sejumlah uang. Ada dua jenis denda, denda sebagai sanksi pidana dan denda

sebagai sanksi administratif. Prinsipnya sama, sama-sama penghukuman, yang

berbeda adalah bagaimana denda tersebut dijatuhkan, kepada siapa denda tersebut

dibayarkan, serta bagaimana konsekuensinya jika denda tidak dibayarkan oleh

terhukum. Pidana denda yang dalam perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan penegak
60

hukum tidak menerapkan pidana denda67. Salah satunya di Indonesia, nilai mata

uang yang tidak pernah sama dari tahun ketahun dan terus berfluktuasi

menyebabkan tidak adanya pedoman tetap mengenai berapa jumlah uang untuk

ditetapkan dalam suatu pidana denda. Namun setelah terbitnya Perma Nomor 2

Tahun 2012 jumlah pidana denda dalam KUHP tersebut dikonversikan serta

disesuaikan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

ketentuan Pasal (3) yang menyatakan bahwa: “Tiap jumlah maksimum hukuman

denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303

bis ayat (1) dan (2) dilipatgandakan menjadi 1000 (seribu) kali.”

Peraturan perundang-undangan pada saat ini kurang memperhatikan faktor

kemampuan masyarakat yang juga menyebabkan belum berfungsinya pidana

denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif

tinggi. Demikian pula pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif

yang akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif

atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam

kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana

penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau keterkaitan

dengan harta benda atau kekayaan68.

Pidana denda dalam praktek hukum pidana, harus melalui putusan peradilan,

untuk menentukan besarnya jumlah denda yang harus dibayar dan tidak

67
Suhariyono AR, 2012, Pembaharuan Pidana Denda Sebagai Sanksi Alternatif, Papas Sinar
Sinanti, Jakarta, hal. 9
68
Ibid., hal. 10
61

diperkenankan untuk melawannya dengan mekanisme keperdataan69. Pada

putusan-putusan pengadilan, nampak keengganan para hakim untuk menerapkan

sanksi pidana denda, dikarenakan masih belum dianggap mempunyai efek jera,

dalam sistem pembalasan, yang masih berpangkal tolak pada pidana penjara. Hal

lain yang menyebabkan kurangnya penerapan pidana denda, disebabkan model

pelaksanaannya yang selalu mengalternatifkan dengan pidana kurungan atau

penjara. Bilamana sanksi pidana denda tidak mampu dibayar, sehingga

mengakibatkan pidana denda kehilangan posisinya sebagai pidana modern70.

Walaupun dalam banyak teori dan perkembangan pemidanaan diberbagai daerah

maju, telah memenuhi rasa keadilan di masyarakatnya, tentang pidana denda yang

humanistis, berkeadilan, dan berkeadaban.

Pidana denda sebagai salah satu jenis sanksi hukum adalah bagian dari hukum

penintensier, yakni hukum yang mengatur tentang stelsel sanksi meliputi

peraturan tentang pemberian pidana (straftoemeting), jenis pidana (straftsoort),

dan bentuk atau cara pemidanaan (straftmodus), dan eksekusi sanksi hukum

pidana, yakni pelaksanaan pidana atau tindakan secara konkrit oleh aparat

eksekusi71.

Pelaksanaan pidana denda terikat pada ketentuan umum menurut Pasal 30

KUHP. Ketentuan Pasal 30 KUHP tersebut tidak ada pengaturan mengenai

ketentuan batas waktu yang pasti kapan denda tersebut harus dibayar dan tidak

ada ketentuan mengenai tindakan-tindakan apa yang menjamin agar terpidana

69
Syaiful Bakhri, 2016, Pidana Denda Dinamikanya Dalam Hukum Pidana Dan Praktek
Peradilan, Total Media UMJ Press, Yogyakarta, hal. 3.
70
Ibid.
71
Ibid., hal. 7
62

dapat dipaksa untuk membayar dendanya, misalnya dengan paksaan membayar

denda dengan jalan merampas harta kekayaan benda terpidana. Sistem KUHP,

alternatif yang dimungkinkan dalam hal terpidana tidak mau membayar pidana

denda hanyalah dengan mengenakan kurungan sebagai pengganti. Kurungan

tersebut dalam KUHP hanya berkisar antara 6 (enam) bulan hingga 8 (delapan)

bulan dalam hal perbarengan, pengulangan, atau melakukan kejahatan dalam

jabatan.

Tingginya pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim, apabila terpidana tidak

mau membayar maka konsekuensinya hanyalah dikenakan pidana kurungan

maksimum 6 (enam) bulan hingga 8 (delapan) bulan. Dalam hal perbuatan pidana

tersebut dapat menghasilkan keuntungan materiil yang jumlahnya relatif banyak,

seperti tindak pidana narkotika atau tindak pidana korupsi, maka yang

bersangkutan dapat menikmati hasil kejahatan dengan tidak perlu khawatir harta

benda atau kekayaannya akan dirampas atau disita. Memang hakim dapat

menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu namun

pidana tambahan ini menurut sistem KUHP hanya bersifat fakultatif saja dan

hanya dalam hal-hal tertentu yang bersifat imperatif, serta yang dapat dirampas

hanya barang-barang yang diduga hasil kejahatan72.

Penggunaan pidana denda yang terus menerus diupayakan, tidak berarti

bahwa pidana penjara tidak berdaya guna sama sekali, dikarenakan pidana penjara

tidak menghasilkan pendapatan bagi negara. Biaya-biaya sosial pidana penjara

jauh lebih besar dibandingkan dengan pengumpulan pidana denda dari seorang

72
Syaiful Bakhri, 2009, Pidana Denda Dan Korupsi, Total Media, Yogyakarta, hal. 3.
63

terdakwa yang mampu membayar. Penjara banyak beban lain yang harus

dikeluarkan seperti pemeliharaan, operasionalisasi penjara, termasuk hilangnya

produktivitas manusia setelah keluar dari penjara. Dengan demikian salah satu

alternatif terbaik untuk pemidanaan yaitu penggunaan pidana denda73.

2.1.4 Sanksi Pidana Denda Dalam Undang-Undang Narkotika


Undang-undang diluar KUHP pada dasarnya hanya melengkapi perbuatan

atau tindak pidana yang di dalam KUHP belum secara lengkap diatur. Peluang ini

memang diberikan oleh KUHP itu sendiri dan hal ini merupakan pembuka jalan

bagi pembentuk undang-undang di luar KUHP untuk menyimpangi atau

mengecualikan dari hal-hal secara umum diatur dalam Buku I KUHP, termasuk

pengaturan mengenai pidana denda74.

Ketentuan Pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam

BAB I sampai dengan BAB VIII juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh

ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali bila

oleh undang-undang ditentukan lain.

Pembentuk undang-undang di luar KUHP dalam menentukan ancaman pidana

denda berdasarkan Pasal 103 di atas pada dasarnya diberi kebebasan untuk

menetapkan jumlah ancaman pidana denda. Selain jumlah ancaman, pembentuk

undang-undang di luar KUHP juga bebas menentukan apakah pidana denda

sebagai alternatif atau sebagai pemberatan dengan perumusan kumulatif atau

ditentukan secara alternatif dan/atau kumulatif untuk memberikan lebih kebebasan

kepada hakim dalam menjatuhkan pidana, walaupun hal ini menyimpang dari

73
Syaiful Bakhri, 2016, Op.Cit., hal. 124
74
Suhariyono AR, Op.Cit., hal. 180
64

KUHP itu sendiri yang hanya menganut faham penentuan pidana alternatif untuk

penjara atau denda atau kurungan atau denda75.

Undang-Undang Narkotika, terdapat adanya 34 (tiga puluh empat) aturan

terkait sanksi pidana denda. Dalam Tabel 3 berikut adalah beberapa aturan pasal

terkait sanksi pidana denda yang ada di undang-undang tersebut:

Tabel 4 : Ketentuan Pasal Terkait Sanksi Pidana Denda Yang Dalam Undang-
Undang Narkotika

Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang


Narkotika
No. Jenis Kejahatan Pasal Yang Pemidanaan
Narkotika Dilanggar
1. Tanpa hak atau Pasal 111 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 4 (empat) tahun dan paling
menanam, memelihara, lama 12 (dua belas) tahun dan
memiliki, menyimpan, pidana denda paling sedikit
menguasai, atau Rp800.000.000,00 (delapan
menyediakan Narkotika ratus juta rupiah) dan paling
Golongan I dalam banyak Rp8.000.000.000,00
bentuk tanaman. (delapan miliar rupiah).
2. Tanpa hak atau Pasal 112 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (2) 4 (empat) tahun dan paling
memiliki, menyimpan, lama 12 (dua belas) tahun dan
menguasai, atau pidana denda paling sedikit
menyediakan Narkotika Rp800.000.000,00 (delapan
Golongan I bukan ratus juta rupiah) dan paling
tanaman. banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
3. Tanpa hak atau Pasal 113 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (3) 5 (lima) tahun dan paling lama
memproduksi, 15 (lima belas) tahun dan
mengimpor, pidana denda paling sedikit
mengekspor, atau Rp1.000.000.000,00 (satu
menyalurkan Narkotika miliar rupiah) dan paling
Golongan I. banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
4. Tanpa hak atau Pasal 114 ayat Pidana penjara seumur hidup
melawan hukum (4) atau pidana penjara paling
75
Suhariyono AR, Op.Cit., hal. 183
65

menawarkan untuk singkat 5 (lima) tahun dan


dijual, menjual, paling lama 20 (dua puluh)
membeli, menerima, tahun dan pidana denda paling
menjadi perantara sedikit Rp1.000.000.000,00
dalam jual beli, (satu miliar rupiah) dan paling
menukar, atau banyak Rp10.000.000.000,00
menyerahkan Narkotika (sepuluh miliar rupiah).
Golongan I.
5. Tanpa hak atau Pasal 115 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 4 (empat) tahun dan paling
membawa, mengirim, lama 12 (dua belas) tahun dan
mengangkut, atau pidana denda paling sedikit
mentransito Narkotika Rp800.000.000,00 (delapan
Golongan I. ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
6. Tanpa hak atau Pasal 116 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 5 (lima) tahun dan paling lama
menggunakan 15 (lima belas) tahun dan
Narkotika Golongan I pidana denda paling sedikit
terhadap orang lain atau Rp1.000.000.000,00 (satu
memberikan Narkotika miliar rupiah) dan paling
Golongan I untuk banyak Rp10.000.000.000,00
digunakan orang lain. (sepuluh miliar rupiah).

7. Tanpa hak atau Pasal 117 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 3 (tiga) tahun dan paling lama
memiliki, menyimpan, 10 (sepuluh) tahun dan pidana
menguasai, atau denda paling sedikit
menyediakan Narkotika Rp600.000.000,00 (enam ratus
Golongan II. juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
8. tanpa hak atau melawan Pasal 118 ayat Pidana penjara paling singkat
hukum memproduksi, (1) 4 (empat) tahun dan paling
mengimpor, lama 12 (dua belas) tahun dan
mengekspor, atau pidana denda paling sedikit
menyalurkan Narkotika Rp800.000.000,00 (delapan
Golongan II. ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
9. Tanpa hak atau Pasal 119 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 4 (empat) tahun dan paling
menawarkan untuk lama 12 (dua belas) tahun dan
dijual, menjual, pidana denda paling sedikit
membeli, menerima, Rp800.000.000,00 (delapan
66

menjadi perantara ratus juta rupiah) dan paling


dalam jual beli, banyak Rp8.000.000.000,00
menukar, atau (delapan miliar rupiah).
menyerahkan Narkotika
Golongan II.
10. Tanpa hak atau Pasal 120 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 3 (tiga) tahun dan paling lama
membawa, mengirim, 10 (sepuluh) tahun dan pidana
mengangkut, atau denda paling sedikit
mentransito Narkotika Rp600.000.000,00 (enam ratus
Golongan II. juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
11. Tanpa hak atau Pasal 121 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 4 (empat) tahun dan paling
menggunakan lama 12 (dua belas) tahun dan
Narkotika Golongan II pidana denda paling sedikit
terhadap orang lain atau Rp800.000.000,00 (delapan
memberikan Narkotika ratus juta rupiah) dan paling
Golongan II untuk banyak Rp8.000.000.000,00
digunakan orang lain. (delapan miliar rupiah).
12. Tanpa hak atau Pasal 122 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 2 (dua) tahun dan paling lama
memiliki, menyimpan, 7 (tujuh) tahun dan pidana
menguasai, atau denda paling sedikit
menyediakan Narkotika Rp400.000.000,00 (empat
Golongan III. ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
13. Tanpa hak atau Pasal 123 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 3 (tiga) tahun dan paling lama
memproduksi, 10 (sepuluh) tahun dan pidana
mengimpor, denda paling sedikit
mengekspor, atau Rp600.000.000,00 (enam ratus
menyalurkan Narkotika juta rupiah) dan paling banyak
Golongan III. Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
14. Tanpa hak atau Pasal 124 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 3 (tiga) tahun dan paling lama
menawarkan untuk 10 (sepuluh) tahun dan pidana
dijual, menjual, denda paling sedikit
membeli, menerima, Rp600.000.000,00 (enam ratus
menjadi perantara juta rupiah) dan paling banyak
dalam jual beli, Rp5.000.000.000,00 (lima
menukar, atau miliar rupiah).
menyerahkan Narkotika
67

Golongan III.
15. Tanpa hak atau Pasal 125 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 2 (dua) tahun dan paling lama
membawa, mengirim, 7 (tujuh) tahun dan pidana
mengangkut, atau denda paling sedikit
mentransito Narkotika Rp400.000.000,00 (empat
Golongan III. ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
16. Tanpa hak atau Pasal 126 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum (1) 3 (tiga) tahun dan paling lama
menggunakan 10 (sepuluh) tahun dan pidana
Narkotika Golongan III denda paling sedikit
terhadap orang lain atau Rp600.000.000,00 (enam ratus
memberikan Narkotika juta rupiah) dan paling banyak
Golongan III untuk Rp5.000.000.000,00 (lima
digunakan orang lain. miliar rupiah).
17. Setiap Penyalah Guna: Pasal 127 ayat a. Narkotika Golongan I bagi
a. Narkotika Golongan I (1) diri sendiri dipidana dengan
bagi diri sendiri; pidana penjara paling lama 4
b. Narkotika Golongan (empat) tahun;
II bagi diri sendiri; dan; b. Narkotika Golongan II bagi
c. Narkotika Golongan diri sendiri dipidana dengan
III bagi diri sendiri. pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi
diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
18. Orang tua atau wali dari Pasal 128 ayat Pidana kurungan paling lama
pecandu yang belum (1) 6 (enam) bulan atau pidana
cukup umur, denda paling banyak
sebagaimana dimaksud Rp1.000.000,00 (satu juta
dalam Pasal 55 ayat (1) rupiah).
yang sengaja tidak
melapor.
19. Tanpa hak atau Pasal 129 ayat Pidana penjara paling singkat
melawan hukum: (1) 4 (empat) tahun dan paling
a. memiliki, lama 20 (dua puluh) tahun dan
menyimpan, menguasai, denda paling banyak
atau menyediakan Rp5.000.000.000,00 (lima
Prekursor Narkotika miliar rupiah)
untuk pembuatan
Narkotika;
b. memproduksi,
mengimpor,
68

mengekspor, atau
menyalurkan Prekursor
Narkotika untuk
pembuatan Narkotika;
c. menawarkan untuk
dijual, menjual,
membeli, menerima,
menjadi perantara
dalam jual beli,
menukar, atau
menyerahkan Prekursor
Narkotika untuk
pembuatan Narkotika;
d. membawa, mengirim,
mengangkut, atau
mentransito Prekursor
Narkotika untuk
pembuatan Narkotika.
20. Tindak pidana Pasal 130 ayat Pidana penjara dan denda
sebagaimana dimaksud (1) terhadap pengurusnya dan
dalam Pasal 111, Pasal pidana yang dapat dijatuhkan
112, Pasal 113, Pasal terhadap korporasi berupa
114, Pasal 115, Pasal pidana denda dengan
116, Pasal 117, Pasal pemberatan 3 (tiga) kali dari
118, Pasal 119, Pasal pidana denda sebagaimana
120, Pasal 121, Pasal dimaksud dalam Pasal-Pasal
122, Pasal 123, Pasal tersebut.
124, Pasal 125, Pasal
126, dan Pasal 129
dilakukan oleh
korporasi.
21. Menyuruh, memberi Pasal 133 ayat Pidana mati atau pidana
atau menjanjikan (1) penjara seumur hidup, atau
sesuatu, memberikan pidana penjara paling singkat
kesempatan, 5 (lima) tahun dan paling lama
menganjurkan, 20 (dua puluh) tahun dan
memberikan pidana denda paling sedikit
kemudahan, memaksa Rp2.000.000.000,00 (dua
dengan ancaman, miliar rupiah) dan paling
memaksa dengan banyak Rp20.000.000.000,00
kekerasan, melakukan (dua puluh miliar rupiah).
tipu muslihat, atau
membujuk anak yang
belum cukup umur
untuk melakukan tindak
pidana sebagaimana
69

dimaksud dalam Pasal


111, Pasal 112, Pasal
113, Pasal 114, Pasal
115, Pasal 116, Pasal
117, Pasal 118, Pasal
119, Pasal 120, Pasal
121, Pasal 122, Pasal
123, Pasal 124, Pasal
125, Pasal 126, dan
Pasal 129.
22. Menyuruh, memberi Pasal 133 ayat dipidana dengan pidana
atau menjanjikan (2) penjara paling singkat 5 (lima)
sesuatu, memberikan tahun dan paling lama 15
kesempatan, (lima belas) tahun dan pidana
menganjurkan, denda paling sedikit
memberikan Rp1.000.000.000,00 (satu
kemudahan, memaksa miliar rupiah) dan paling
dengan ancaman, banyak Rp10.000.000.000,00
memaksa dengan (sepuluh miliar rupiah).
kekerasan, melakukan
tipu muslihat, atau
membujuk anak yang
belum cukup umur
untuk menggunakan
Narkotika.
23. Pecandu Narkotika yang Pasal 134 ayat Pidana kurungan paling lama
sudah cukup umur dan (1) 6 (enam) bulan atau pidana
dengan sengaja tidak denda paling banyak
melaporkan diri Rp2.000.000,00 (dua juta
sebagaimana dimaksud rupiah).
dalam Pasal 55 ayat (2).
24. Keluarga dari Pecandu Pasal 134 ayat Pidana kurungan paling lama
Narkotika sebagaimana (2) 3 (tiga) bulan atau pidana
dimaksud pada ayat (1) denda paling banyak
yang dengan sengaja Rp1.000.000,00 (satu juta
tidak melaporkan rupiah).
Pecandu Narkotika.
25. Pengurus Industri Pasal 135 ayat Pidana penjara paling singkat
Farmasi yang tidak (1) 1 (satu) tahun dan paling lama
melaksanakan 7 (tujuh) tahun dan pidana
kewajiban sebagaimana denda paling sedikit
dimaksud dalam Pasal Rp40.000.000,00 (empat
45. puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
70

26. Menempatkan, Pasal 137 huruf Pidana penjara paling singkat


membayarkan atau a 5 (lima) tahun dan paling lama
membelanjakan, 15 (lima belas) tahun dan
menitipkan, pidana denda paling sedikit
menukarkan, Rp1.000.000.000,00 (satu
menyembunyikan atau miliar rupiah) dan paling
menyamarkan, banyak Rp10.000.000.000,00
menginvestasikan, (sepuluh miliar rupiah).
menyimpan,
menghibahkan,
mewariskan, dan/atau
mentransfer uang, harta,
dan benda atau aset baik
dalam bentuk benda
bergerak maupun tidak
bergerak, berwujud atau
tidak berwujud yang
berasal dari tindak
pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana
Prekursor Narkotika.
27 Menerima penempatan, Pasal 137 huruf Pidana penjara paling singkat
pembayaran atau b 3 (tiga) tahun dan paling lama
pembelanjaan, 10 (sepuluh) tahun dan pidana
penitipan, penukaran, denda paling sedikit
penyembunyian atau Rp500.000.000,00 (lima ratus
penyamaran investasi, juta rupiah) dan paling banyak
simpanan atau transfer, Rp5.000.000.000,00 (lima
hibah, waris, harta atau miliar rupiah).
uang, benda atau aset
baik dalam bentuk
benda bergerak maupun
tidak bergerak,
berwujud atau tidak
berwujud yang
diketahuinya berasal
dari tindak pidana
Narkotika dan/atau
tindak pidana Prekursor
Narkotika.
28. Menghalang-halangi Pasal 138 Pidana penjara paling lama 7
atau mempersulit (tujuh) tahun dan pidana
penyidikan serta denda paling banyak
penuntutan dan Rp500.000.000,00 (lima ratus
pemeriksaan perkara juta rupiah).
tindak pidana Narkotika
71

dan/atau tindak pidana


Prekursor Narkotika di
muka sidang
pengadilan.
29. Nakhoda atau kapten Pasal 139 Pidana penjara paling singkat
penerbang yang secara 1 (satu) tahun dan paling lama
melawan hukum tidak 10 (sepuluh) tahun dan pidana
melaksanakan ketentuan denda paling sedikit
sebagaimana dimaksud Rp100.000.000,00 (seratus
dalam Pasal 27 atau juta rupiah) dan paling banyak
Pasal 28. Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
30. Penyidik pegawai Pasal 140 Pidana penjara paling singkat
negeri sipil yang secara 1 (satu) tahun dan paling lama
melawan hukum tidak 10 (sepuluh) tahun dan pidana
melaksanakan ketentuan denda paling sedikit
sebagaimana dimaksud Rp100.000.000,00 (seratus
dalam Pasal 88 dan juta rupiah) dan paling banyak
Pasal 89. Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
31. Kepala kejaksaan negeri Pasal 141 Pidana penjara paling singkat
yang secara melawan 1 (satu) tahun dan paling lama
hukum tidak 10 (sepuluh) tahun dan pidana
melaksanakan ketentuan denda paling sedikit
sebagaimana dimaksud Rp100.000.000,00 (seratus
dalam Pasal 91 ayat (1). juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
32. Petugas laboratorium Pasal 142 Pidana penjara paling lama 7
yang memalsukan hasil (tujuh) tahun dan pidana
pengujian atau secara denda paling banyak
melawan hukum tidak Rp500.000.000,00 (lima ratus
melaksanakan juta rupiah).
kewajiban melaporkan
hasil pengujiannya
kepada penyidik atau
penuntut umum.
33. Saksi yang memberi Pasal 143 Pidana penjara paling singkat
keterangan tidak benar 1 (satu) tahun dan paling lama
dalam pemeriksaan 10 (sepuluh) tahun dan pidana
perkara tindak pidana denda paling sedikit Rp
Narkotika dan Prekursor 60.000.000,00 (enam puluh
Narkotika di muka juta rupiah) dan paling banyak
sidang pengadilan. Rp 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
34. Bagi: Pasal 147 Pidana penjara paling singkat
72

a. pimpinan rumah 1 (satu) tahun dan paling lama


sakit, pusat kesehatan 10 (sepuluh) tahun dan pidana
masyarakat, balai denda paling sedikit
pengobatan, sarana Rp100.000.000,00 (seratus
penyimpanan sediaan juta rupiah) dan paling banyak
farmasi milik Rp1.000.000.000,00 (satu
pemerintah, dan apotek miliar rupiah)
yang mengedarkan
Narkotika Golongan II
dan III bukan untuk
kepentingan pelayanan
kesehatan;
b. pimpinan lembaga
ilmu pengetahuan yang
menanam, membeli,
menyimpan, atau
menguasai tanaman
Narkotika bukan untuk
kepentingan
pengembangan ilmu
pengetahuan;
c. pimpinan Industri
Farmasi tertentu yang
memproduksi Narkotika
Golongan I bukan untuk
kepentingan
pengembangan ilmu
pengetahuan; atau
d. pimpinan pedagang
besar farmasi yang
mengedarkan Narkotika
Golongan I yang bukan
untuk kepentingan
pengembangan ilmu
pengetahuan atau
mengedarkan Narkotika
Golongan II dan III
bukan untuk
kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau
bukan untuk
kepentingan
pengembangan ilmu
pengetahuan.
73

Tabel 3 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, pada ketentuan Pasal 111

sampai dengan Pasal 126 dan juga Pasal 129 Undang-Undang Narkotika khusus

yang mengatur tentang orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,

memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, memproduksi,

mengimpor, mengekspor, menjadi perantara dalam jual beli baik terhadap

narkotika Golongan I, Golongan II atau Golongan III. Sanksi pidana dalam

ketentuan Pasal 111 sampai Pasal 126 tersebut adalah sanksi pidana kumulatif,

diantaranya mulai dari paling singkat pidana selama 2 (dua) tahun atau paling

lama 20 (dua puluh) tahun atau pidana penjara seumur hidup dan pidana denda

mulai dari paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) atau paling

banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika hanya mengatur tentang

ancaman sanksi pidana penjara tanpa adanya ancaman sanksi pidana denda.

Ancaman pidana penjara pada ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika

adalah setiap penyalah guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan


pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Hakim dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada Pasal 127 ayat

(1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

54, Pasal 55, dan Pasal 103 Undang-Undang Narkotika yakni dengan

memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan

melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial jika pecandu narkotika tersebut
74

terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika atau memerintahkan yang

bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis

dan rehabilitasi sosial jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah

melakukan tindak pidana narkotika.

Undang-Undang Narkotika juga terdapat pidana kurungan yakni pada Pasal

128 yang menyatakan bahwa orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup

umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor,

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda

paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan ketentuan Pasal 134 yang

menyatakan bahwa pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan

sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2)

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda

paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Pada ketentuan pasal tersebut

tampak bahwa pidana denda yang diancam paling banyak Rp1.000.000,00 (satu

juta rupiah) atau Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah), sangat berbeda jauh jumlah

ancaman nilai pidana dendanya dengan orang yang tanpa hak atau melawan

hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan,

memproduksi, mengimpor, mengekspor, menjadi perantara dalam jual beli baik

terhadap narkotika Golongan I, Golongan II atau Golongan III.

Pidana denda yang dilakukan oleh korporasi dalam hal melakukan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,

Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal

122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 Undang-Undang
75

Narkotika ancaman pidananya adalah pidana penjara dan denda terhadap

pengurusnya. Terdapat suatu pemberatan dalam penjatuhan pidana terhadap

korporasi yakni berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana

denda sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut, hal ini sesuai dengan

pernyataan dalam ketentuan Pasal 130 Undang-Undang Narkotika.

2.2 Pengertian Penjatuhan Sanksi Pidana

2.2.1 Penjatuhan Sanksi Pidana Oleh Hakim

Pelaksanaan putusan pengadilan harus dibedakan dengan pelaksanaan

penetapan pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi ini di dalam

Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau disebut

juga sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur dalam

Bab XIX dari Pasal 270 sampai dengan Pasal 276. Pelaksanaan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menurut Pasal 270

KUHAP diserahkan kepada Jaksa, sedangkan pelaksanaan penetapan hakim

(beschikking) menurut Pasal 14 KUHAP diserahkan kepada Jaksa yang bertugas

sebagai Penuntut Umum dalam sidang perkara pidana yang bersangkutan76.

Penjatuhan sanksi pidana pada dasarnya dijatuhkan oleh hakim dalam putusan

pidana. Putusan hakim atau putusan pengadilan tersebut juga dikenal dengan

istilah vonis. Ketentuan Pasal 1 angka 11 dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa:

76
Suryono Sutarto, 2008, Hukum Acara Pidana Jilid II, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
hal. 128.
76

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini”.

Kebebasan dan kemandirian hakim pada dasarnya harus memperhatikan

bebrbagai aspek agar putusan hakim yang diperlukan untuk menyelesaiakan suatu

perkara pidana khususnya oleh terdakwa dapat memperoleh putusan yang

berkeadilan yang dilandasi oleh kebenaran dan suatu kepastian hukum77.

Kepastian hukum tersebut baik mengenai statusnya dan juga sekaligus dapat

mempersiapkan langkah-langkah berikutnya yaitu menerima putusan, melakukan

upaya hukum seperti banding maupun kasasi, melakukan permohonan grasi dan

sebagainya. Putusan hakim merupakan suatu “mahkota” pencerminan nilai-nilai

keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara

mapan dan faktual serta visualisasi etika beserta moral dari hakim yang

bersangkutan78. Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pemidanaan

merupakan suatu proses dan berakhir dengan diterapkan olehnya bagi tertuduh

jenis pidana yang paling tepat, berat ringannya pidana serta cara pelaksanannya.

Penjatuhan putusan oleh hakim yang berupa pemidaanan, setelah melalui

musyawarah majelis hakim yakni sesudah tahap proses penuntutan oleh jaksa

penuntut umum, lalu pembelaan oleh terdakwa/penasehat hukumnya, selanjutnya

jawaban oleh penuntut umum atas pembelaan terdakwa, telah berakhir maka

77
Dahlan Sinaga, 2015, Kemandirian Dan Kebebasan Hakim Memutus Perkara Pidana
Dalam Negara Hukum Pancasila (Suatu Perspektif Teori Keadilan Bermartabat), Nusa Media,
Bandung, hal. 288.
78
Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acaara Pidana; Normatif, Teoritis, Praktik Dan
Permasalannya, Alumni, Bandung, hal. 201
77

tibalah saatnya hakim ketua menyatakan “pemeriksaan dinyatakan ditutup”.

Pernyataan tersebutlah yang mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim

guna menyiapkan putusan yang akan dijatuhkan pengadilan79.

2.2.2 Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Menurut Sudarto ada 2 (dua) dasar pertimbangan bagi hakim untuk

menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana narkotika80. Adapun dasar

pertimbangannya adalah:

a. Pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non yuridis

b. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pidana

Dasar pertimbangan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

a. Pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non yuridis

1. Pertimbangan yang bersifat yuridis

Pertimbangan bagi hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang

terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah

ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan, antara lain

yaitu surat dakwaan dan surat tuntutan pidana jaksa penuntut umum

dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal,

kumulatif, alternatif maupun subsider81. Alat bukti yang sah

sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, barang bukti yang

79
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP;
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, ed. 2, cet. 6, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 347.
80
Sudarto, Pemidanaan, Pidana Dan Tindakan, 1984, dalam Lokakarya Masalah
Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional (Buku I), diselenggarakan oleh Badan Pembina
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, hal. 88.
81
Rusli Muhammad, 2010, Kemandirian Pengadilan Indonesia, cet. 1, UII Press, Yogyakarta,
hal. 125.
78

diperlihatkan pada persidangan yang akan menambah keyakinan hakim

dalam menilai perbuatan yang didakwakan. Serta pasal-pasal dalam

Undang-Undang Narkotika yang dihubungkan dengan perbuatan

terdakwa.

2. Pertimbangan yang bersifat non yuridis

Sebagaimana pertimbangan yang bersifat yuridis, pertimbangan yang

bersifat non yuridis juga didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap

di dalam persidangan, antara lain: akibat perbuatan terdakwa dalam hal

penyalahgunaan narkotika yakni selain berakibat kepada diri sendiri,

kepada keluarga, juga berakibat buruk pada masyarakat luas. Kondisi

terdakwa yakni baik keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum

melakukan kejahatan, termasuk status sosial yang melekat pada dirinya

misalnya usia atau tingkat kedewasaan, apakah terdakwa dalam

masyarakat menyandang status sebagai pengangguran, polisi, kuli

bangunan atau lain sebagainya. Peran atau kedudukan terdakwa yakni

apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana narkotika hanya

bertindak sebagai pengguna saja atau sebagai pengedar82.

b. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pidana

Hal-hal yang memberatkan dan meringankan perbuatan pidana yang

dilakukan oleh terdakwa pada dasarnya termuat dalam putusan pemidanaan oleh

hakim. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP.

82
Sudarto, Op.Cit., hal 90
79

Hal-hal yang memberatkan perbuatan pidana dalam KUHP ada 3 (tiga)

macam alasan-alasan umum yang memberatkan tersebut, yakni:

1. kedudukan sebagai pejabat (Pasal 52 KUHP)

2. recedive atau pengulangan/ pernah dijatuhi pidana

3. samenloop atau gabungan

Hal-hal yang meringankan perbuatan pidana menurut KUHP adalah:

1. percobaan (Pasal 53 ayat (2) dan (3))

2. medeplichtigheid atau membantu (Pasal 57 ayat (1) dan (2))

3. minderjarigheid atau belum dewasa (Pasal 47)

Hal-hal yang meringankan bagi terdakwa seringkali dalam pertimbangan

majelis hakim dalam proses persidangan yaitu terdakwa belum pernah dipidana,

terdakwa mengakui dan menyesali perbuatanya dan juga terdakwa masih anak-

anak83.

Pelaksanaan merupakan perihal perbuatan, usaha melaksanakan rancangan

dan sebagainya84. Pelaksanaan putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan

hukum tetap dilaksanakan oleh pihak dari kejaksaan. Hal tersebut diatur dalam

ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa:

(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:


a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;

83
Rusli Muhammad, Op.Cit., hal. 130
84
Zainal Abidin, 2005, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, Dalam Rancangan KUHP,
ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal.9
80

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan


pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2.3 Tindak Pidana Narkotika

2.3.1 Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dapat juga disebut dengan istilah strafbaarfeit, yang

dalam bahasa Belanda strafbaarfeit terdiri dari dua kata, yaitu straafbaar dan feit.

Straafbaar artinya dapat dihukum dan feit artinya sebagian dari kenyataan,

sehingga secara umum strafbaarfeit dapat diartikan sebagai sebagian dari

kenyataan yang dapat dihukum.

Para pakar ilmu hukum di Indonesian mendefinisikan mengenai terjemahan

dari istilah strafbare feit masih belum memperoleh pandangan yang sama.

Moelijatno dan Ruslan Saleh mengartikan istilah strafbare feit adalah sebuah

perbuatan pidana karena menurut beliau cakupan perbuatan lebih luas

dibandingkan dengan tindak pidana, karena kata “tindak” menunjukkan pada hal

yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan yang kongkrit85.

Istilah strafbare feit menurut Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai tindak pidana

yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Van

Hamel mengatakan bahwa Strafbaarfeit adalah kelakuan seseorang yang

dirumuskan dalam Undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan

dilakukan dengan kesalahan. Menurut Utrech istilah strafbare feit dikatakan

sebagai peritiwa pidana karena yang ditinjau adalah feit (peristiwa) dari sudut

85
Chairul Huda, Op.Cit., hal.27
81

hukum pidana, penggunaan istilah peristiwa pidana ini sering kita jumpai dalam

KUHAP86.

Menurut Simons strafbaarfeit adalah “tindakan melanggar hukum yang yang

telah dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh

Undangundang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum87.

Sedangkan Pompe merumuskan strafbaarfeit sebagai pelanggaran norma atau

gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah

dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu

adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan

umum88.

Lamintang menjelaskan dari segi unsur-unsur tindak pidananya, secara umum

membedakan antara unsur subjektif dan unsur objektif dari suatu tindak pidana89.

Unsur subjektif merupakan unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau

berhubungan dengan diri pelaku dan termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu

yang terkandung dalam hatinya. Adapun yang termasuk unsur subjektif dari suatu

tindak pidana yaitu :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)


2. Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat
(1) KUHP)
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti misalnya yang terdapat
dalam tindak pidana pencurian.
4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam Pasal

86
Chairul Huda, Loc.Cit.
87
Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 5
88
Ibid.
89
Fuad Usfa dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana¸Ummpres, Malang, hal. 33
82

340 KUHP90.
Unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,

yaitu didalam keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur objektif dalam tindak pidana meliputi :

1. Sifat melanggar hukum


2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri
dalam kejahatan menurut pasal 415 KUHP.
3. Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan kenyataan sebagai akibat91.
Tindak pidana yang ada di Indonesia berdasarkan sumbernya terdapat adanya

2 (dua) jenis yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana

umum merupakan semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai

kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II KUHP tentang kejahatan dan Buku III

KUHP tentang pelanggaran). Pidana khusus yaitu keseluruhan tindak pidana yang

terdapat diluar kodifikasi tersebut misalnya tindak pidana narkotika.

Berkembangnya kejahatan-kejahatan yang terjadi di Indonesia mendorong

adanya berbagai macam peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus.

Kedudukan tindak pidana khusus ini merupakan sebagai pelengkap dari hukum

pidana yang telah dikodifikasikan dalam KUHP. Munculnya undang-undang

tindak pidana diluar KUHP pada dasarnya telah dinyatakan dalam ketentuan pasal

103 KUHP yang pada intinya menyatakan tentang kemungkinan adanya Undang-

undang Pidana diluar KUHP. Menurut Andi Hamzah, ada 2 faktor yang

mempengaruhi timbulnya Undang-undang tersendiri diluar KUHP, yaitu :

1. Adanya ketentuan lain dluar KUHP : Pasal 103 KUHP yang


memungkinkan pemberlakuan ketentuan pidana dan sanksinya terhadap

90
Ibid.
91
Ibid., hal. 34
83

suatu perbuatan pidana yang menurut Undang-undang dan peraturan-


peraturan lain diluar KUHP diancam dengan pidana, kecuali ditentukan
lain oleh Undang-undang; dan
2. Adanya pasal 1 s.d. pasal 85 KUHP (Buku I) tentang ketentuan umum
yang memungkinkan penerapan aturan-aturan pidana umum bagi
perbuatan-perbuatan pidana yang ditentukan diluar KUHP, kecuali
peraturan tersebut menyimpang92.
2.3.2 Pengertian Narkotika

Berdasarkan Surat Edaran No. 03/IV/2002/BNN, akronim dari narkoba

adalah narkotika, psikotropika dan bahan-bahan zat adiktif lainnya, akan tetapi

masyarakat umum biasa mengartikan dengan narkotika, psikotropika dan obat-

obatan berbahaya atau obat-obatan terlarang. Narkotika adalah sejenis zat yang

apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada

tubuh si pemakai, yaitu:

a. Mempengaruhi kesadaran;

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia;

c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa penenang, perangsang, serta

menimbulkan halusinasi93.

Pandangan dari Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan definisi

narkotika sebagai berikut:

“Narcotic are drugs which product insensibillity or stuporduce to their depresant

offer on the central nervous system, included in this definition are opium-opium

derivativis (morphine, codein, methadone)”.

Artinya lebih kurang adalah

92
Syamsuuddin, Aziz , 2001, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10
93
Moh. Taufik Makaro, Dkk, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Bogor, hal.
17
84

“Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran

atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan

syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang

dibuat dari candu (morphine, codein, methadone)94.

Menurut Sudarto dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana mengatakan

bahwa perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “Narke”, yang berarti

terbius sehingga tidak merasakan apa-apa95. Sedangkan dalam Encyclopedia

Americana dapat dijumpai pengertian “narcotic” sebagai: “a drug that dulls the

senses, relieve pai, induces sleep, and can produce addiction in varying degrees”,

sedangkan “drug” diartikan sebagai: “a cheminal agent that is used

therapeutically to treat disease”96. Artinya narkotika merupakan suatu bahan

yang mengumpulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya97.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika dapat dipahami bahwa narkotika merupakan zat atau obat

yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis,

yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan.

Undang-Undang Narkotika membagi tiga golongan narkotika, yaitu sebagai

berikut:

94
Ibid., hal. 18
95
Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet. 4, Alumni, Bandung, hal. 36
96
Ibid.
97
Ibid.
85

a. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk


tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
c. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
Tindak pidana narkotika dapat dirumuskan sebagai crime without victim,

dimana para pelaku juga berperan sebagai korban98. Menurut Hj. Tutty Alawiyah

A.S dalam Moh. Taufik Makarao dkk menyebut, tindak pidana atau kejahatan

narkotika adalah merupakan salah satu bentuk kejahatan yang dikenal sebagai

kejahatan tanpa korban (Victimless Crime). Selain narkotika, yang termasuk

kejahatan tanpa korban adalah perjudian, minuman keras, pornograpi, dan

prostitusi99. Kejahatan tanpa korban biasanya bercirikan hubungan antara pelaku

dan korban yang tidak kelihatan akibatnya. Tidak ada sasaran korban, sebab

semua pihak adalah terlibat dan termasuk dalam kejahatan tersebut. Ia menjadi

pelaku dan korban sekaligus. Namun demikian, jika di kaji secara mendalam

istilah kejahatan tanpa korban (Victimless Crime) ini sebetulnya tidak tepat,

karena semua perbuatan yang masuk ruang lingkup kejahatan pasti mempunyai

korban atau dampak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu

kejahatan ini lebih tepat disebut sebagai kejahatan yang disepakati (Concensual

Crimes)100.

98
F. Asya, 2009, Narkotika dan Psikotropika, Asa Mandiri, Jakarta, hal. 3
99
Moh. Taufik Makarao, Dkk, Op.Cit., hal. 8
100
Loc.Cit.

Anda mungkin juga menyukai