Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Terhadap Pidana dan Pemidanaan


1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan

Pidana berasal dari kata bahasa sanskerta (Sanskrit) dengan kosa kata yang
sama yaitu pidana yang berarti hukuman. Namun ada juga beberapa pendapat
yang mengatakan pidana berasal dari bahasa Belanda straf (Belanda) yang
memiliki arti sama yaitu hukuman, pendapat tersebut diperkuat karena dahulu
Indonesia di jajah oleh Belanda. Para ahli hukum di Indonesia mengartikan
hukuman sebagai sanksi terhadap sebuah pelanggaran atau kejahatan sebagai
bentuk pertanggung jawaban atas delik (Perbuatan yang melanggar aturan atau
ketentuan-ketentuan hukum).

Hukum pidana materiil adalah aturan hukum yang memuat tindak pidana,
hukum materiil di bentuk atas dasar faktor kemasyarakatan dan faktor. Strafbaar
feit terdiri atas tiga kata yaitu straf, baar dan feit yang masing-masing memiliki
arti:

- Straf diartikan sebagai pidana dan hukum;


- Baar diartikan sebagai dapat dan boleh;
- Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Istilah “Strafbaar feit” diterjemahkan secara berbeda-beda oleh beberapa


sarjana hukum pidana dalamm berbagai literatur hukum antara lain tindak pidana,
peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum,
perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan pidana.

Menurut Simons mengatakan bahwa strafbaar feit adalah: Kelakuan yang


diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum dan berhubungan dengan
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Van Hamel menguraikan strafbaarfeit sebagai: Perubahan manusia yang
diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, strafwaardig (patut atau bernilai
untuk pidana), dan dapat dicela karena kesalahan (e naan schuld te wijten).

Vos memberikan definisi bahwa strafbaar feit ialah: Suatu kelakuan manusia
yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.

Menurut pompe perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan
sebagai: De normovertreding (verstroring der rechtsorde), waaraan de overtreder
schuld heft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts
orde en de behartiging van het algemeen wezijn.

Artinya: Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang


dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu
demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan

Setelah membahas mengenai pengertian tindak pidana, maka dapat dibahas


mengenai unsur-unsur tndak pidana sebagai syarat pemidanaaan. Setiap tindak
pidana yang terdapat di dalam KUHP memiliki dua macam unsur, yakni unsur –
unsur subjektif dan unsur – unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku. Dan termasuk ke dalam nya, yaitu segala
sesuatu yang tergantung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah undur
yang hubungan nya dengan keadaan, yaitu di dalam keadaan mana tindakan dari
sipelaku itu harus di lakukan.

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah :

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa)


b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang di
maksud di dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-
lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340
KUHP
e. Perasaan takut vress seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan
tindak pidana menurut pasal 308 KUHP

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah :

1. Sifat melanggar hukum atau ederrechtelijkheid


2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dlam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau “keadaan
sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam
kejahatan menurut pasal 398 KUHP. Kausalitas, yakni hubungan antara
sesuatu tindakan sebagai pnyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai
akibat.

Menurut adami Chazawa unsur-unsur tindak pidana terdiri dari 11 unsur tindak
pidana, yaitu:

1. Unsur Tingkah Laku


2. Unsur Melawan Hukum
3. Unsur Kesalahan
4. Unsur Akibat Konstitutif
5. Unsur keadaan yang Menyertai
6. Unsur Syarat Tambahan
7. Unsur Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana
8. Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana
9. Unsur Objek Hukum Tindak Pidana
10. Unsur Kualitas Subjek Hukum Tindak Pidana
11. Unsur Syarat Tambahan Memperingan Pidana
Menurut Moeljatno, Unsur tindak pidana adalah :

a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

3. Jenis – Jenis Pidana.

Berdasarkan ketentuan didalam pasal 10 KUHP, hukum pidana di Indonesia hanya


mengenal 2 (dua) penggolongan pidana, yaitu .

1. pidana pokok, antara lain:

a. pidana mati;

b. pidana penjara;

c. pidana kurungan;

d. pidana denda;

e. pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan undang-undang No.20 Tahun

1946)

2. Pidana tambahan, antara lain:

a. pencabutan hak-hak tertentu;

b. perampasan barang-barang tertentu;

c. pengumuman putusan hakim.

Jenis pidana tambahan hanya dijatuhkan apabila pidana pokok juga dijatuhkan.
Berikut ini penjelasan mengenai jenis-jenis dari pidana tersebut
1. Pidana Pokok

Diuraikan sebagai berikut:

a. Pidana mati

Negara Indonesia memiliki beberapa tindak pidana yang diancam dengan


pidana pidana mati. Pidana mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana
yang diancam terhadap berbagai kejahatan yang sangant berat.

Terdapat beberapa pasal yang ada didalam kitab Undang-Undang hukum


pidana yang mengatur mengenai ancaman pidana mati. Pasal-pasal tersebut
sebagai berikut:

1. Makar membunuh kepala negara, Pasal 104;

2. mengajak negara asing guna menyerang Indonesia, Pasal 111 ayat (2);

3. memberi pertolongan kepada musuh kepada waktu Indonesia dalam

Perang, pasal 124 ayat (3);

4. membunuh kepala negara sahabat, pasal 140 ayat (4);

5. pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu, pasal 140 ayat (3) dan

Pasal 340;

6. pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada

Waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang

Menjadikan ada orang berluka berat atau mati, Pasal 365 ayat (4);

7. pembajakan dilaut, di pesisir , di pantai dan di kali, sehingga ada orang

Mati, Pasal 444;


8. Dalam waktu perang mengajukan huru-hara, pemberontakan dan

Sebagaainya antara pekerjaan-pekerjaan dalam perusahaan pertahanan

Pertahanan negara, pasal 124 bis;

9. Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluaan Angkatan

Angkatan perang, pasal 127 dan pasal 129;

10. pemerasan dengan pemberatan, Pasal 368 ayat (2)

b. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak


dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang terssebut didalam
sebuah Lembaga permasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati
semua peraturan tata tertib yang berlaku didalam Lembaga permasyarakatan yang
dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar
peraturan tersebut. ada beberapa sistem dalam pidana penjara, yaitu:

1). pensylvanian system

Terpidana menurut sistem ini dimasukan dalam sel-sel tersendiri, ia tidak


boleh menerima tamu baik dari luar ataupun sesama narapidana, ia tidak boleh
bekerja diluar sel satu-ssatunya pekerjaan adalah membaca buku suci yang
diberikan kepadanya.

2). Aubum system

Pada waktu malam ia dimasukkan dalam sel secara sendiri-sendiri, pada


waktu siangnya diwajibkan bekerja dengan narapidana lainnya, tetapi tidak boleh
saling berbicara di antara mereka, biasa disebut dengan silent system.

3). Progressive System


Cara pelaksanaan pidana menurut sistem ini adalah bertahap, biasa disebut
dengan English/Ire System.

Pidana penjara ditunjukan kepada penjahat yang menunjukkan watak


buruk dan nafsu jahat. Pidana penjara minimum satu hari dan maksimum seumur
hidup. Stelsel pidana penjara menurut Pasal 12 ayat (1) dibedakan menjadi :

a. Pidana penjara seumur hidup

1. Sebagai pidana alternatif dari pidana mati, seperti Pasal 104, Pasal 365
ayat (4), Pasal 368 ayat (3);

2. Berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati, tetapi
sebagai alternatifnya adalah pidana penjara sementara setingginya dua puluh
tahun, seperti Pasal 106 dan Pasal 108 ayat (2).

b. Pidana penjara sementara waktu

Pidana penjara sementara waktu, paling rendah satu hari dan paling tinggi
(maksimum umum) 15 tahun (12 ayat 2). Pidana penjara sementara dapat
dijatuhkan melebihi dari 15 tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang
ditentukan dalam pasal 12 ayat (3), yakni sebagai berikut :

1). Apakah akan menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara maksimum 20 tahun (misalnya Pasal 104,
Pasal 365 ayat (4) dan Pasal 368 ayat (2);

2). Dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu yang memang diancam dengan


pidana penjara maksimum 20 tahun sebagai alternatif dari pidana penjara seumur
hidup (Pasal 106 dan Pasal 108 ayat (2)).

2. Dalam hal telah terjadinya:

1) perbarengan;

2) pengulangan;
3) kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan pasal 52 (pda kejahatan-

Kejahatan yang diancam dengan pidana penjara sementara

Maksimum 15 tahun, seperti pasal 338, pasal 365 ayat (3), pasal 140

140 ayat (1)).

c. Pidana kurungan

pidana kurungan merupaka suatu pidana berupa pembatasan kebebasan


bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut
di dalam sebuah Lembaga pemsyarakatan, dengan mewajibkan orang itu menaati
semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam Lembaga pemasyarakatan, yang
dikaitkan dengan suatu tindakan tete tertib bagi mereka yang melanggar peraturan
tersebut.

Lamanya pidana kurungan ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi


sebagai berikut.

(1) Lamanya hukuman kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling

Lama satu tahun;

(2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun empat

Bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan

Kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52;

(3) Hkuman kurungan itu sekali-kali tidak boleh melebihi waktu satu tahun

Empat bulan.
d. Pidana denda

pidana denda selain diancamkan pada pelanggaran juga diancam terhadap


kejahatan yang ada kalanya sebagai alternatif atau kumulatif. Jumlah yang dapat
dikenakan pada pidana denda ditentukan minimum dua puluh lima sen, se

dang jumlah maksimum, tidak ada ketentuan

Mengenai pidana diatur dalam pasal 30 KUHP yang berbunyi sebagai


berikut.

(1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangannya dua puluh lima sen;

(2) Jika dijatuhkan hukuman dendsa dan denda itu tidak dibayar maka diganti

Dengan hukuman kurungan;

(3) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-kurangnya

Satu hari dan selama-lamanya enam bulan;

(4) Dalam pututsan hakim, lamanya itu di tetapkan begitu rupa, bahwa harga
setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih tinggi bagi
tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari, akhirnya sisanya tidak
cukup, gantinya setengah rupiah juga;

(5) Hukuman kurungan itu boleh di jatuhkan selama-lamanya delapan bulan


dalam hal-hal jumlah yang tertinggi denda itu ditambah karena ada gabungan
kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan pasal 52;

(6) Hukuman kurungan tidsk boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan.

Menurut Van Hattum, hal mana disebabkan karena pembentuk undang-


undang telah menghendaki agar pidana denda itu hanya di jatuhkan bagi pelaku-
pelaku dari tindak pidana yang sifatnya ringan saja.
e. Pidana Tutupan

Pidana tutupan merupakan suatu pidana pokok baru, yang telah dimasukan
ke dalam kitab undang-undang hukum Pidana.Pidana tutupam ditambahkan dalam
pasal 10 KUHP undang-undang Nomor 20 Tahun 1946.

Pasal 2 Ayat (1) manyatakan bahwa:

Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana
penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan pidana tutupan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah tututapan,


Rumah Tutupan berbeda dengan rumah penjara.

(Lemabaga Permasyarakatan). Rumah Tutupan memiliki fasilitas yang lebih baik


dari pada yang ada di penjara.

2. Pidana Tambahan

Diuraikan sebagai berikut:

a. Pencabutan Hak-hak Tertentu

Pencabutan hak-hak tertentu sifatnya hanya sementara, kecuali jika


terpidana dijatuhi dengan pidana penjara seumur hidup. Pencabutan hak-hak
tertentu diatur di dalam pasal 35 ayat (1) KUHP. Hak-hak yang dapat dicabut
antara lain:

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;

2. Hak menjalankan dalam Angkatan Bersenjata/TNI;

3. Hak memilih dan pilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-
aturan umum;
4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak
menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang
bukan anak sendiri;

5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan


atas anak sendiri;

6. Hak menjalankan mata pencaharian.

b. Perampasan Barang-Barang tertentu

Perampasan barang sebagai suatu tindak pidana hanya di perkenankan bagi


barang-barang tertentu saja. Berdasarkan Pasal 39 KUHP, ada dua jenis barang
yang dapat dirampas melalui putusan hakim pidana, yaitu:

1). Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari
pelanggaran), yang disebut dengan corpora delicate, misalnya uang palsu dari
kejahatan pemalsuan uang, surat cek palsu dari kejahatan pemalsuan surat; dan

2). Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebaut


dengan instrumenta delictie, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan
pembunuhan atau penganiyaan, anak kunci palsu yang di dunakan dalam
pencurian, dan lain sebagainya.

c. Pengumuman Putusan Hakim

Pidana pengumuman putusan hakim merupakan suatu publikasi exstra dari


suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Pidana pengumuman
putusan adalah salah satu upaya preventif agar orang-orang tidak melakukan
tindak pidana yang sering dilakukan orang lain. Cara melaksanakan putusan ini
dapat di lakukan melalui surat kabar, plakat yang ditempelkan pada papan
pengumuman melalui media radio maupun televisi, yang pembiyaannya
dibebankan pada terpidana.
3. Teori Tujuan Pemidanaan

Menurut P.A.F Lamintang pada dasarnya terdapat 3 pokok pemikiran


tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:

a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri;

b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-


kejahatan;

c. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan


kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak
dapat diperbaiki lagi.

Menurut Adami Chazawi teori pemidanaan dapat dikelompokkan ke


dalam tiga golongan besar, yaitu:

1. Teori absolut atau teori pembalasan (Vergelding theorien)

2. Teori relatif atau teori tujuan (Doel theorien)

3. Teori gabungan (Vemegings theorien).

Jika yang mendasari tujuan hukum pidana terdiri dari aliran klasik, modern dan
aliran neo-klasik, maka tujuan pidana secara garis besar terbagi menjadi tiga yakni
teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. Berikut ini penjelasan mengenai tiga
teori pemidanaan.

1). Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergelding theorien)

Teori absolut lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana. Teori ini
dikenal pada akhir abad 18, teori ini dianut oleh Imannuel Kant, Hagel, Herbart
dan Julius Stahl. Teori ini menganggap dasar dari hukum pidana adalah untuk
pembalasan (Vergelding atau Vergeltung). Menurut teori ini, setiap kejahatan harus
diikuti dengan pidana tidak boleh tidak tanpa tawar-menawar.
Pidana dijatuhkan kepada pelaku karena just deserts, bahwa mereka
dihukum karena meraka layak untuk dihukum atas perilaku tercela mereka, teori
absolut atau teori pembalasan terdiri atas pembalasan subjektif dan pembalasan
objektif, Vos menyatakan : ”Subjective vergelding is vergelding van de schuld va
de dader, vergelding naar mate van het verwijt, objectieve vargelding is
vargelding naar mate van dat, wat de dader door zjin tedoen”

Artinya : Pembalasan subjektif adalah pembalasan kesalahan pelaku,


pembalasan terhadap pelaku yang tercela. Pembalasan objektif adalah pembalasan
terhadap perbuatan, perbuatan apa yang telah dilakukan oleh pelaku.

Menurut kant, dasar pembenaran suatu pidana terdapat dalam apa yang
disebut kategorischen Imperativ, yakni menghendaki agar setiap perbuatan
melawan hukum harus dibalas. Keharusan menurut keadilan dan hukum,
merupakan suatu keharusan yang sifatnya mutlak, hingga setiap pengecualian atau
setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan pada sesuatu tujuan harus
dikesampingkan.

Menurut Hegel di dalam menjatuhkan suatu pidana, pribadi dari


pelakunya tetap dihormati, dalam arti bahwa berat atau ringannya pidana yang
dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut haruslah ditentukan oleh jenis perbuatan
yang telah dilakukan oleh pelaku itu sendiri.

Dari teori tersebut, jelas bahwa pidana merupakan suautu tuntutan etika
bagi seseorang yang melakukan kejahatan akan dihukum dan hukuman itu
merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah
etika yang jahat menjadi baik.

2). Teori Relatif atau Teori Tujuan ( Doel Theorien)

Teori ini memiliki dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi
hukuman, artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu misalnya
memperbaiki sikap mental dari pelaku agar tidak berbahaya lagi. Teori relatif atau
teori tujuan berpokok pangkal dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan
tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat
dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu


mempunyai tiga macam sifat, yaitu :

1. Bersifat menakut-nakuti (Afschrikking);

2. Bersifat memperbaiki (Verbetering/reclasering)

3. Bersifat membinasakan (Onschadelijk maken).

Terdapat dua macam sifat pencegahan dari teori ini, yaitu :

1. Pencegahan Umum (general preventie), dan

2. Pencegahan Khusus (special preventie).

Pencegahan umum untuk mencegah terjadinya kejahatan oleh von


Feuerbach dikenal dengan istilah teori Pyschologischezwang atau paksaan
psikologi. Artinya adanya pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang yang
melakukan kejahatan akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk tidak
berbuat jahat. Sementara pencegahan khusus ditujukan terhadap pelaku kejahatan
yang telah dijatuhi pidana sehingga tidak lagi mengulangi perbuatannya.

3). Teori Gabungan (Varnegings Theorien)

Teori gabungan adalah teori kombinasi dari teori absolut dan teori ralatif.
Teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain memberikan penderitaan
jasmani juga psikologi dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan
pendidikan. Dalam teori gabungan ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan
para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pada pembalasan dan ada
pula yang menginginkan unsur pembalasan dan prevensi seimbang.
Teori gabungan yang pertama yang menitik beratkan pada unsur
pembalasan dianut oleh Pompe yang mensyaratkan: orang tidak menutup mata
pada pembalasan, memang pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain,
tetapi tetap ada ciri-cirinya dan tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana
adalah suatu sanksi dan dengan demikian terkait dengan tujuan sanksi- sanksi itu.
Karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan
berguna bagi kepentingan umum.

Van Bemmelan pun menganut teori gabungan menyatakan: “Pidana” bertujuan


membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat, sementara “Tindakan”
bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan
keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam
kehidupan masyarakat.

4). Teori Kontemporer

Teori ini berasal dari ketiga teori di atas dengan beberapa modifikasi
yakni:

a). Teori efek jera

Wayne R. Lafave menyebutkan salah satu tujuan pidana adalah sebagai


deterrence effect atau efek jera agar pelaku kejahatan tidak lagi mengulangi
perbuatannya.

b). Teori Edukasi

Teori edukasi menyatakan bahwa pidana bertujuan sebagai edukasi kepada


masyarakat mengenai mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk.

c). Teori Rehabilitas

Teori ini menyatakan bahwa pelaku kejahatan harus diperbaiki kea rah
yang lebih baik, agar Ketika Kembali ke masyarakat ia dapat diterima oleh
komunitasnya dan tidak lagi mengulangi perbuatan kejahatan.
d). Teori Pengadilan Sosial

Menurut lefave tujuan pidana sebagai pengadilan social artinya pelaku


kejahatan disolasi agar tindakan berbahaya yang dilakukannya tidak merugikan
masyarakat.

e). Teori Keadilan Restoratif

Teori ini menyatakan bahwa tujuan pidana juga untuk memulihkan


keadilan yang dikenal dengan istilah restorative justice atau keadilan restoratif.

B. Tinjauan Umum Terhadap Delik (Delicten)

1. Pengertian Delik

Menurut Subekti (2005;35) delik adalah delik adalah perbuatan yang


diancam dengan hukuman. Dalam undang-undang sendiri dikenal beberapa istilah
untuk delik seperti peristiwa pidana (Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950), perbuatan pidana (Undang-Undang No.1 tahun 1951 Tentang Tindakan
Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-Pengadilan Sipil), perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-
Undang Darurat No.2 Tahun 1951 Tentang perubahan Ordonantie Tijdelijke
Byzondere Strafbepalingen, tindak pidana (Undang-Undang Darurat No.7 Tahun
1953 Tentang Pemilihan Umum).

Dalam hukum pidana delik dikenal dalam beberapa istilah seperti


perbuatan pidana, peristiwa pidana ataupun tindak pidana. Menurut kamus hukum
Ilham Gunawan (2002;75) bahwa :

delik adalah perbuatan yang melanggar undang-undang pidana dan karena


itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja
oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan.
Pada dasarnya istilah-istilah di atas, merupakan istilah yang berasal dari
kata strafbaar feit. Strafbaar feitterdiri dari tiga kata yaitu straf, baar, dan feit.
Strafdapat diterjemahkan dengan pidana danhukum, baardapat diterjemahkan
dengan dapat dan boleh sedangkan kata feitditerjemahkan dengan tindak,
peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Menurut Adami Chazawi (2005;70) untuk kata delik sebenarnya tidak


punya hubungan dengan kata strafbaar feit. Kata delik berasal dari bahasa latin
yaitu delictum, namun dalam sisi pengertiannya tidak ada perbedaan mengenai
pengertiannya.

Tongat (2009;104) membagi pengertian tindak pidana menjadi dua


pandangan, pembagian ini didasarkan pada doktrin. Pandangan yang pertama
adalah pandangan monitis.

Pandangan monitis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan


syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Para
ahli yang menganut pandangan ini antara lain adalah Simons (Tongat, 2009;105),
yang memberikan defenisi tindak pidana adalah

tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun


tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan
sebagaisuatu tindakan yang dapat dihukum.

Ahli yang juga berpandangan monistis adalah J.Bauman yang memberikan


defenisi tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat
melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. Wiryono Prodjodikoro
memberikan defenisi tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan pidana.

Pandangan yang kedua, disebut dengan pandangan dualistic. Pandangan


ini berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana
harus dipisahkan. Salah satu ahli yang berpandangan dualisticadalah Moeljatno
yang memberikan rumusan tindak pidana :
a.Adanya perbuatan manusia

b.Perbuatan tersebut memenuhi rumusan dalam undang-undang

c.Bersifat melawan hukum

Pengertian Moeljatno diatas memang tidak memasukkan unsur


pertanggung jawaban pidana, namun Moeljatno juga menegaskan bahwa agar
terjadinya tindak pidana tidaklah cukup dengan terjadinya tindak pidana itu
sendiri, tetapi juga mengenai apakah orang yang melakukan tindak pidana dapat
mempertanggung jawabkanperbuatan pidananya.

2. Unsur Delik Sebagai Syarat Pemidanaan

Setelah membahas mengenai pengertian delik, maka dapat dibahas


mengenai unsur-unsur delik sebagai syarat-syarat pemidanaan. Menurut Adami
Chazawi (2010;79) unsur tindak pidana secara garis besardapat dibedakan
menjadi dua sudut pandang yaitu sudut pandang teoritik dan sudut pandang
undang-undang. Sudut pandang teoritik memisahkan unsur-unsur pidananya
menurut pandangannya masing-masing. Pandangan yang pertama yakni
pandangan monolistik, seperti unsur yang diberikan oleh Simons dan Bauman.
Pandangan dualistikseperti yang dianut oleh Moeljatno yang memberikan unsur
delik adalah adanya perbuatan manusia, perbuatan tersebut memenuhi rumusan
dalam undang-undang dan bersifat melawan hukum.
Adami Chazawi (2010;83-115), mengemukakan unsur rumusan tindak
pidana dari sudut pandang undang-undang yang pada pokoknya dapat dirumuskan
sebagai berikut :
a. Unsur Tingkah laku
Tingkah laku harus dimasukkan dalam unsur tindak pidana atau unsur
delik karena, tindak pidana berbicara mengenai larangan berbuat sesuatu.
b. Unsur Mewalan Hukum
Melawan hukum berarti adalah suatu sifat yang tercela atau terlarang
perbuatannya. Tercelanya suatu perbuatan dapat lahir dari undang-undang
ataupun dari masyarakat.
c. Unsur Kesalahan
Unsur kesalahan ini bersifat subjektif, karena unsur ini melekat pada diri
pelaku. Unsur kesalahan adalah unsur yang menghubungkan perbuatan
dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan pelaku.
d. Unsur Akibat Konstitutif
Unsur kesalahan konstitutif terdapat pada tindak pidana dimana akibat
menjadi syarat selesainya tindak pidana, tindak pidana yang mengandung
unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana dan tindak pidana dimana
akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.
e. Unsur Keadaan yang Menyertai
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana berupa semua
keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan.
f. Unsur Syarat Tambahan
Unsur syarat tambahan dapatnya dituntut pidana. Hanya terdapat pada
delik aduan. Artinya unsur ini hanya timbul jika delik tersebut diadukan,
seperti delik persidangan.
g. Unsur Syarat Tambahan Untuk Memperberat Pidana
Unsur ini merupakan alasan diperberatnya pidana, bukan unsur atau syarat
selesainya tindak pidana.
h. Unsur Syarat Tambahan Untuk Dapatnya di Pidana
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah unsur keadaan-
keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan yang
menentukan apakah pebuatannya dapat dipidana atau tidak.
i. Unsur Objek Hukum Tindak Pidana
Unsur ini sangat terkait dengan unsurtingkah laku. Unsur ini adalah unsur
kepentingan hukum yang harus dilindungi dan pertahankan dalam
rumusan tindak pidana.
j. Unsur Kualitas Subjek Hukum Tindak PidanaMaksud dari unsur ini adalah
sejauh mana kualitas subjek hukum dalam melakukan tindak pidana,
karena dalam berapa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh subjek-
subjek tertentu saja, seperti Pasal 375 dan 267 KUHP dan lain-lain.
k. Unsur Syarat Tambahan Memperingan Pidana
Unsur ini dibagi atas dua yaitu yang bersifat objektif seperti pada nilai atau
harga objek tindak pidana secara ekonomis dalam pasal-pasal tertentu
seperti pencurian ringan, penggelapan ringan dan lain-lain. Bersifat
subjektif artinya faktor yang memperingan pelaku tindak pidana terletak
pada perilaku pelaku tindak pidana itu sendiri.
Unsur-unsur delik juga dibagi dua oleh Leden Marpaung (2008;9) yaitu
unsur subjektif dan unsur objektifyakni :

Unsur Subjektif adalah unsur yang berasal dari diri pelaku. Artinya, suatu
perbuatan pidana tidak mungkin ada tanpa adanya kesalahan.

Unsur Objektif adalah unsur yang berasal dari luar diri pelaku seperti
perbuatan atau act,akibat atau result, keadaan-keadaan sifat yang dapat
dihukum dan sifat melawan hukum.

C. Tinjauan Umum Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan

1. Pengertian Penganiayaan

Dibentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia bertujuan untuk memberikan


perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa
pada tubuh dapat menimbulkan kematian. Dalam KUHP, tindak pidana
penganiayaan diatur dalam pasal 351 – 358 KUHP. Dalam pasal ini hanya
mengatur mengenai kekerasan fisik sedangkan kekerasan pisikis tidak. Atas dasar
unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada 2 macam.

1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukandengan sengaja. Kejahatan yang


dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan (Misshandeling)
dimuat dalam Bab XX buku II, pasal 351 sampai dengan pasal 358;
2. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 Bab
XXI yang dikenal dengan kualifikasi dengan lalai menyebabkan orang lain
luka.
Penganiayaan merupakan dsalah satu bentuk kejahatan terhadap tubuh
manusia. Penganiayaan ialah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau
menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Selain itu, penganiayaan dapat diartikan
sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata
– mata yang merupakan tujuan si petindak.

Suatu perbuatan disebut penganiayaan apabila orang tersebut mempunyai opsi


atau suatu kesengajaan untuk :

a. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain;


b. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau;
c. Merugikan Kesehatan orang lain.

Menurut Simons, yang dimaksud dengan kesengajaan merugikan kesehatan


(orang lain) ialah :

Perbuatan menimbulkan penyakit atau membuat penyakit yang di derita


(orang lain) menjadi berat. Dikatakannya lebih lanjut bahwa tidak ada alasan
untuk tidak memasukan perbuatan menyebabkan terganggunya keadaan psikis
orang lain kedalam pengertiannya.

Menurut ketentuan UU NO. 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia


(HAM) dijelaskan bahwa penganiayaan atau juga penyiksaan adalah :

Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan


rasa sakit (PIJN) atau penderita yang hebat atau jasmani maupun rohani pada
seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau
orang ketiga dengan hukumannya atas perbuatan yang telah dilakukan atau diduga
telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, dengan suatu alasan yang
didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila penderitaan atau rasa sakit
ditimbulkan atas hasutan dari dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun
dan atau pejabat publik.

Menurut yurisprudensi yang diartikan dengan penganiayaan


(misshandeling) yaitu :

a. Sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan)


Perasaan tidak enak misalnya, mendorong orang terjun ke kali sehingga
basah atau menyuruh seseorang berdiri dibawah terik matahari dan
sebagainya;

b. Rasa sakit
Misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya;
c. Luka
Luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau, dan lain –
lain;
d. Sengaja merusak Kesehatan orang
Merusak Kesehatan orang misalnya orang sedang tidur dan berkeringat
dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.

2. Unsur – Unsur Tindak Pidana Penganiayaan.

Sesuatu yang dapat dikatakan sebuah penganiayaan, maka perbuatan


tersebut harus memenuhi unsur – unsur antaralain :

a. Dilakukan dengan sengaja atau maksud tertentu, artinya perbuatan itu


benar – benar ingin dilakukan oleh tersebut;
b. Menimbulkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (PIJN), luka
pada orang lain;
c. Merusak kesehatan orang lain;
d. Jika perbuatan tersebut sampai menyebabkan cacat atau luka parah, maka
dikategorikan sebagai penganiayaan berat.
Menurut Van Hattum Opzet (sengaja) secara ilmu bahasa berarti oogmerk
(maksud) dalam arti tujuan dan kehendak menurt istilah UU, Opzettelijk (dengan
sengaja) diganti dengan willens en wittens (menghendaki dan mengetahui.

Pompe mengatakan, apabila orang mengartikan maksud (oogmerk) sebagai


tujuan (Bedoeling) seperti rencana dan keinginan pembuat, berarti ada perbedaan
antara maksud (oogmerk) dan sengaja (opzet). Apabila maksud (oogmerk) dibatasi
sampai tujuan terdekat (naaste doel) dari pembuat, berarti pengertian maksud
(oogmerk) lebih terbatas daripada sengaja (opzet). Setiap maksud (oogmerk)
selalu juga berarti sengaja (opzet), tetapi setiap sengaja (opzet) juga merupakan
maksud (oogmerk).

Dalam teori diajarkan, bahwa kesengajaan ada 3 corak, yaitu :

1. Kesengajaan sebagai maksud;


2. Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan;
3. Dollus eventualis.

3. Jenis – Jenis Tindak Pidana Penganiayaan.

Tindak pidana penganiayaan terbagi menjadi beberapa jenis dan memiliki


ancaman sanksi yang berbeda dalam setiap pasal yang mengaturnya. Berikut
adalah jenis-jenis penganiayaan yang diatur dalam KUHP :

a. Penganiayaan Biasa

Penganiayaan biasa merupakan penganiayaan yang mengakibatkan


rasa sakit, luka atau penderitaan pada diri orang lain sehingga ia terhalang untuk
bisa melakukan aktifitas sehari-harinya. Tetapi tidak sampai mengakibatkan luka
berat atau cacat pada orang lain. Ketentuan pidana yang mengatur mengenai
tindak pidana penganiayaan biasa diatur dalam pasal 351 KUHP :

1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua


tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500;
2. Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun (KUHP 90);

3. Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara


selama-lamanya tujuh tahun (KUHP 338)

4. Dengan penganiayaan disamakan merusak Kesehatan orang dengan


sengaja;

5. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum,

b. Penganiayaan Ringan

Penganiayaan ringan merupakan penganiayaan yang menyebabkan rasa


sakit pada diri seseorang tetapi tidak sampai menyebabkan penderitaan yang
berkepanjangan. Misalnya A menampar si B sebanyak tiga kali di wajah, si B
merasakan sakit (pijn) tetapi tidak jatuh sakit (ziek) dan masih bisa menjalankan
aktifitasnya sehari-hari. Sebaliknya, jika si A melukai jari kelingking si B yang
berprofesi sebagai pemain bola hingga jari kelingking si B dibalut dan terhalang
untuk memainkan biola, walaupun luka yang ditimbolkan si A kepada si B hanya
luka kecil, hal ini dikatakan sebagai penganiayaan berat karena si B terhalang
untuk melakukan pekerjaannya. Ketentuan pidana mengenai penganiayaan ringan
diatur didalam pasal 352 KUHP :

1. Selain dari apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau
pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500, hukuman ini boleh ditambah
dengan sepertiganya, bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja
padanya atau yang ada di bawah perintahnya.

2. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.

Dari ketentuan pidana yang diatur di dalam pasal 352 ayat (1) KUHP,
bahwa untuk dapat disebut sebagai suatu tindak pidana penganiayaan ringan
tindak pidana tersebut harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1. Bukan merupakan tindak pidana penganiayaan dengan direncanakan terlebih
dulu.

2. Bukan merupakan tindak pidana penganiayaan

3. Tindak menyebabkan orang yang dianiaya menjadi sakit atau terhalang dalam
melaksanakan tugas-tugas jabatanya atau dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
pekerjaannya.

c. penganiayaan berencana

Penganiayaan berencana merupakan penganiayaan yang dilakukan dengan


perencanaan terlebih dahulu dan dalam tindakan tersebut ada pemisahan antara
timbulnya kehendakk atau pengambilan keputusan untuk berbuat dengan
pelaksanaan perbuatan, baik pemisahan berupa jarak waktu ( objek ) maupun
pemisahan suasana batin ( subyektik ). Ketentuan pidana mengenai penganiayaan
berencana diatur dalam Pasal 353 KUHP :

1. Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum


penjara selama-lamanya empat tahun.

2. Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, maka tersangka dihukum penjara
selama-lamanya tujuh tahun.

3. Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum penjara selama-


lamanya sembilan tahun.

Selain itu unsur lain yang sangat penting ialah unsur luka berat ( zwaar
lichamelijk lestsel) pada pasal 90 KUHP:

Dikatakan luka berat pada tubuh yaitu : penyakit atau luka yang tidak boleh
diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan
bahaya maut terus-menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan;
tidak lagi memakai salah satu pancaindra; kudung (rompong), lumpuh, berubah
pikiran (akal) lebih dari empat minggu lamanya; menggugurkan atau membunuh
anak dari kandungan ibu.
Luka berat atau luka parah ialah antara lain:

a. Penyakit atau luka yang tidak boleh diharapkan akan sembuh lagi dengan
sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut.

b. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan.

c. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindra seperti penglihatan,


penciuman, pendengaran, rasa lidah dan rasa kulit.

d. Lumpuh (verlamming) artinya tidak bisa menggerakan anggota badannya.

e. Kudung (rompong) dalam bahasa Belanda verminking, cacat sehingga buruk


rupanya.

d. penganiayaan berat

penganiayaan barat merupakan penganiayaan yang melukai berat (zwaar


lichamelijik letsel) atau dapat disebut luka berat pada tubuh orang lain.ketentuan
pidana mengenai penganiayaan berat diatur dalam:

Pasal 354 KUHP:

(1). Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain,dihukum karena


penganiaya berat,dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.

(2).jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, sitersalah dihukum


penjara selama-lamanya sepuluh tahun.

Unsur-unsur penganiayaan berat berdasarkan Pasal 354 ayat (1) KUHP


sebagai berikut:

a.Unsur Subjektif : opzettelijik atau dengan sengaja.

b.Unsur Objektif terbagi atas:

1.toebrengen atau menyebabkan ataupun mendatangkan,

2.zwarr lichamelijik letsel atau luka berat pada tubuh, dan


3.een ander atau orang lain.

Unsur-unsur penganiayan berat berdasarkan pasal 354 ayat (2) KUHP


sebagai berikut:

a.Unsur Subjektif : opzettelijik atau dengan sengaja.

b.Unsur Objektif terbagi atas:

1.toebrengen atau menyebabkan ataupun mendatangkan,

2.zwaar lichamelijik letsel atau luka berat pada tubuh,

3.een ander atau orang lain,

4.ten gevolge hebben atau mengakibatkan, dan

5.den dood atau kematiaan.

Dalam Pasal 354 ayat (1) dan ayat (2) KUHP telah mensyaratkan bahwa
pelaku memang telah menghendaki (willens) untuk melakukan suatu perbuatan
menimbulkan luka berat pada tubuh orang lain, dan ia harus mengetahui (willens)
bahwa dengan melakukan perbuatannhya tersebut:

a. ia telah bermaksud untuk menimbulkan luka berat pada tubuh orang

lain,

b. ia menyadari bahwa orang lain pasti (zeker) akan mendapat luka berat

pada tubuhnya,dan

c. ia menyadari bahwa orang lain mungkin (mogelijik) akan mendapat

luka beratpada tubuhnya.

Penganiayaan berat hanya terbagi dalam dua bentuk antara lain


penganiayaan berat biasa ayat (1) dan penganiayaan berat yang kematian ayat (2).
Pada penganiayaan berat dapat menimbulakan kematian. Kesengajaan terhadap
kematian dalam penganiayaan berat adalah sama dengan kesengajaan terhadap
kematian penganiayaan biasa dan penganiayaan berencana yang menimbulkan
kematian ini tidak menjadi tujuan/ kematian tersebut dikehendaki sebelumnya.

e. penganiayaan berat berencana

Penganiayaan berat berencana merupakan bentuk gabungan antara


penganiaayaan berat (pasal 353 ayat (1)).Dengan kata lain, suatu penganiayaan
berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana. Bentuk penganiayaan ini harus
terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena itu, baik unsur penagniayaan berat
maupun unsur dari penganiayaan berencana harus terpenuhi.

Ketentuan pidana mengenai penganiayaan berat berencana diataur dalam:

Pasal 355 KUHP:

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu

(2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, sitersalah dihukum

Penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Penganiayaan berencana terdiri dari 2 (dua) macam,yakni:

a. penganiayaan berat berencana biasa (ayat 1);

b. penganiayaan berat berencana yang diperberat, yakni jika menimbulkan

kematian orang lain (ayat 2).

f. Penganiayaan Terahadap Orang-orang Berkualitas tertentu atau Dengan

Cara Tertentu yang Memperberat

Penganiayaan terhadap orang-orang berkualitas tertentu atau dengan cara


tertentu yang memberatkan dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana
penganiayaan, tindak pidana penganiayaan berat, dan tindak pidana penganiayaan
berat dengan direncanakan terlebih dahulu.
Ketentuan pidana mengenai penganiayaan terhadap orang-orang berkualitas
tertentu atau dengan cara tertentu dengan yang memberatkan diatur dalam:

Pasal 356 KUHP.

Hukuman yang ditentukan dalam pasal 351, pasal 353,pasal 354, dan pasal 355
dapat ditambah sepertiganya:

(1) jika sitersalah melakukankejahatan itu kepada ibunya, bapanya yang sah,

Istrinya (suaminya) atau anaknya.

(2) jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pegawai negri pada waktu sebab

Ia menjalankan pekerjaan yang sah.

(3) jika kejahatan itu dilakukan dengan memakai bahan yang merusak jiwa atau

Kesehatan orang.

Bagi bentuk khusus penganiayaan ini, sifat yang memberatkan pidana pada
penganiayaan biasa (pasal 351), penganiayaan berencana (pasal 353),
penganiayaan berat (pasal 354), dan penganiayaan berat berencana (pasal 355)
terletak pada dua hal:

1. pada kualitas pribadi korban sebagai:

a. ibunya;

b. bapanya yang sah;

c. istrinya;

d. anaknya;

e. pegawai negri (a) Ketika atau (b) karena menjalankan tugasnya yang sah.

2. pada cara melakukan penganiayaan, yakni dengan membiarkan bahan untuk

Dimakan atau diminum yang membahayakan bagi nyawa atau Kesehatan.


Selain dari pada itu, diatur pula dalam Bab XXI (penganiayaan) dalam pasal
358 KUHP, orang-orang yang turut pada perkelahian\penyaerbuan\ penyerangan
yang dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini mirip dengan pasal 170 KUHP sebab
perkelahian didefinisikan sebagai umumnya penggunaan kekerasan dimuka
umum.

Pasal 358 KUHP:

Barang siapa dengan sengaja turut campur dalam penyerangan atau perkelahian
yang dilakukan oleh beberapa orang, maka selain dari pada tanggungannya
masing-masing bai perbuatan yang khusus dihukum:

(1). Penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan , jika penyerangan atau

Perkelahian itu hanya menjadikan ada orang mendapat luka berat saja.

(2). Penjara selama-lamanya empat tahun, jika penyerangan atau perkelahian itu

Menjadikan ada orng mati.

Sedangkan pasal 170 KUHP menentukan :

(1). Barangsiapa terang – terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan


kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling
lima tahun enam bulan.

(2). Yang bersalah diancam:

1. Dengan pidana paling lama tujuh tahun, jika dengan sengaja


menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan
mengakibatkan luka - luka;

2. Dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, jika kekerasan

mengakibatkan luka berat pada tubuh ;

3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan

mengakibatkan maut.
(3) Pasal 89 tidak berlaku.

Anda mungkin juga menyukai