Anda di halaman 1dari 48

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TIDAK PIDANA PENGANIAYAAN, TINDAK PIDANA

KEKERASAN DI MUKA UMUM, TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN,

PRAPENUNTUTAN DAN WEWENANG PENUNTUT UMUM, ALAT BUKTI DAN

PEMBUKTIAN, ACARA PEMERIKSAAN BIASA DAN PUTUSAN PENGADILAN

A. TINDAK PIDANA

1. Pengertian tindak pidana

Definisi terhadap tindak pidana tidak mudah untuk memberikan perumusannya atau

seperti juga memberikan definisi terhadap hukum, hukum bermakna luas dan fleksibel

mengikuti keadaan yang terjadi dalam masyarakat hukum. Strafbaar feit merupakan

istilah asli bahasa belanda yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan

berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana

maupun perbuatan yang dapat dipidana.1

Ahli hukum lainnya juga memberikan definisi terhadap tindak pidana antara lain

menurut Wirjono Prodjodikoro: “tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya

dapat dikenankan hukuman pidana”.2

Moeljatno merupakan ahli hukum pidana yang memiliki pandangan yang berbeda

dengan para ahli yang lain. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana. Menurut

1
Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 69.
2
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1981, hlm. 50.
Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatannya saja, sebagaiman yang

pernah dikatakannya bahwa: “Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya

perbuatan saja, yaitu dengan sifat dilarang dengan ancaman dengan pidan apabila

dilanggar”3.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

a. Dari Sudut Teoritis Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:

1) Perbuatan;

2) Yang dilarang (oleh aturan hukum);

3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).4

Sedangkan menurut R.Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yaitu:

1) Perbuatan atau rangkaian perbuatan (manusia);

2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

3) Diadakan tindakan penghukuman

Berdasarkan unsur yang ketiga menurut R. Tresna, kalimat diadakan tindakan

penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang

itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno,

kalimat ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) membuktikan perbuatan itu

tidak selalu dijatuhi penghukuman pidana.5

3
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm.56.
4
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 79.
5
R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, PT.Tiara, Jakarta, 1990, cet. ke-3, hlm. 20.
b. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, dapat diketahui

adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:

1) Unsur tingkah laku;

2) Unsur melawan hukum;

3) Unsur kesalahan;

4) Unsur akibat konstitutif;

5) Unsur keadaan yang menyertai;

6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;

9) Unsur kualitas objek hukum tindak pidana;

10) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;

11) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana. 6

Berdasarkan pengertian dan unsur-unsur tindak pidana, pembicaraan mengenai

pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan

pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk di pidana, apabila ia tidak

melakukan tindak pidana. Menurut Simons : “Bahwa sebagai dasar pertanggungjawaban

pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya (kesalahan

6
Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cetakan Ke-5”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010), hlm 82
itu) dengan kelakuannya yang dapat di pidana dan berdasarkan kejiwaannya itu pelaku

dapat dicela karena kelakuannya”7

Dengan demikian pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan unsur subyektif pelaku,

maka tentunya sangatlah berkaitan erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang

mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh

pelakunya. Hasil akhir dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukannya unsur

melawan hukum dalam tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun

bisa juga diketemukannya unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada

kesalahan dari pelakunya. Dalam pertanggungjawaban pidana terdapat asas, yaitu tidak

dipidana apabila tidak terdapat kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum

nisi mens sir rea)8

B. TINJAUAN UMUM TIDAK PIDANA PENGANIAYAAN

1. Pengertian Penganiayaan

Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan penganiayaan adalah perlakuan

sewenang-wenang (penyiksaan, penindasan, dan sebagainya). Penganiayaan adalah suatu

kata jadian atau kata sifat yang berasal dari kata dasar ”aniaya” yang mendapat awalan

“pe” dan akhiran “an” sedangkan penganiayaan itu sendiri berasal dari kata bendayang

berasal dari kata aniaya yang menunjukkan subyek atau pelaku penganiayaan itu. 9

7
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010, hlm 154
8
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, Cetakan ke-6, h.153
9
KBBI, 2019. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at: https://kbbi.web.id/aniaya .
Diakses 25 Januari 2021
Ada pula yang memahami penganiayaan adalah dengan sengaja menimbulkan rasa

sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan, menurut

doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai

berikut :

a. Adanya kesengajaan.

b. Adanya perbuatan.

c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yaitu :

1) Rasa sakit pada tubuh.

2) Luka pada tubuh.

Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga

berupa unsur objektif. Tindak pidana penganiayaan adalah Kejahatan yang dilakukan

terhadap tubuh dalam segala perbuatanperbuatannya sehingga menjadikan luka atau rasa

sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian. Bahwa pengertian "kesengajaan"

menurut Memorie van Toelichting adalah "menghendaki (wilien) dan mengetahui (weten)

sehingga ada kesengajaan apabila pelaku menghendaki dan mengetahui apa yang

dilakukannya dan akibat dan perbuatannya.10

2. Penganiayaan dimuat dalam BAB XX , Pasal 351 s/d Pasal 355 adalah sebagai

berikut :

a. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);

10
kuhap
Kualifikasi penganiayaan biasa yang dirumuskan dalam Pasal 351 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, denga rumusan sebagai berikut:

1) Penganiayaan dipidana dengan pidana paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana

denda paling banyak Rp 4.500.

2) Jika perbuatan itu menyebabkan lukaluka berat, yang bersalah dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 tahun.

3) Jika mengakibatkan kematian, dipidana degan pidana penjara paling lama 7 tahun.

4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

5) Percobaan untuk melakukan kejahaan ini tidak dipidana

b. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);

Kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ringan adalah penganiayaan

yang dimuat dalam Pasal 352, yang rumusannya sebagai berikut:

1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 352 dan 356, maka penganiayaan yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau

pencarian dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling

lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-

2) Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap

orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya

3) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana


c. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);

Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai penganiayaan berencana

merumuskan sebagai berikut:

1) Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 4 tahun;

2) Jika perbuatan itu menimbulkan lukaluka berat, yang bersalah dipidana dengan

pidana penjara paling lama 7 tahun;

3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana

penjara paling lama 9 tahun.

d. Penganiayaan Berat (Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);

Penganiayaan berat yang dirumuskan dalam Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana dengan rumusan sebagai berikut:

1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan

penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 tahun.

e. Penganiayaan Berat Berencana (Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);


Jenis penganiayaan berat berencana diatur dalam Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana merumuskan :

1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam

dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana

penjara paling lama 15 tahun.11

3. Unsur pasal 351 ayat (3) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP dakwaan alternatif

ketiga dalam perkara ini.

a. Unsur pasal 351 ayat (3) KUHP : Penganiayaan biasa yang menimbulkan kematian

Pasal 351 Ayat 3, kesengajaan ditujukan pada perbuatan yang sekaligus pada rasa

sakitnya korban. Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo

mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan

dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan

“penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa

sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian

penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”.12

11
Kuhap hlm 128
12
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar - Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1988, hlm. 245
b. Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHAP : “ Mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan”
1. Pelaku ( pleger );
2. Menyuruh melakukan ( doenpleger );
3. Turut serta ( medepleger );
4. Penganjur ( uitlokker ).

C. TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DI MUKA UMUM

1. Pengertian Kekerasan

Bila ditinjau dari segi bahasa, kekerasan berasal dari kata “keras”. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan berarti: “bersifat keras; perbuatan seseorang atau

kelompok orang yang menyebabkan cedera atau menyebabkan kerusakan fisik atau matinya

orang lain atau barang orang lain; atau dapat diartikan sebagai paksaan.” 13 Didalam KUHP

tidak diberikan pengertian khusus mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan, namun

dalam Pasal 89 KUHP disebutkan bahwa: Melakukan kekerasan itu artinya

mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya

memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan

sebagainya. Yang disamakan dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah

membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya (lemah). Yang dimaksud “pingsan” dalam

Pasal 89 KUHP berarti tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya. Sedangkan “tidak

berdaya” berarti tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat

13
KBBI, 2019. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at: https://kbbi.web.id/keras .
Diakses 25 Januari 2021
mengadakan perlawanan sedikitpun, namun orang yang tidak berdaya itu masih dapat

mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.

2. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan

Jenis-Jenis Tindak Pidana kekerasan Mengenai kekerasan tidak diatur dalam satu bab

khusus di dalam KUHP, melainkan terpisah-pisah dalam beberapa bab. Kualifikasi

kekerasan dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum (pasal 170 KUHP)

b. Kejahatan terhadap nyawa orang lain (Pasal 338-350 KUHP)

c. Kejahatan penganiayaan (Pasal 351-358 KUHP)

d. Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan (Pasal 365 KUHP)

e. Kejahatan terhadap kesusilaan (Pasal 285 KUHP)

f. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan (Pasal 359-367

KUHP)

Ketentuan Tindak Pidana Kekerasan yang Dilakukan Secara Bersama-sama Terhadap

Orang Dimuka Umum, Tindak pidana kekerasan tersebut termasuk dalam jenis kejahatan

terhadap ketertiban umum, sebagaimana yang diatur dalam buku KUHP, yakni Pasal 170

yang berbunyi :

1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan

kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama

lima tahun enam bulan.


2) Yang bersalah diancam :

1. Dengan pidana paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja

menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan

luka-luka;

2. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan

mengakibatkan luka berat;

3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan

mengakibatkan maut.

3) Pasal 89 tidak diterapkan.

3. Unsur pasal 170 ayat 2 ke 3 KUHP dakwaan alternatif kedua dalam perkara ini.

a. Unsur-unsur Tindak Pidana Kekerasan yang Dilakukan Secara Bersama-sama

Terhadap Orang Dimuka Umum

Suatu tindak pidana digolongkan ke dalam tindak pidana secara bersama-sama dimuka

umum melakukan kekerasan, haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a) Melakukan kekerasan Apa yang dimaksud dengan melakukan kekerasan menurut

soesilo, yaitu “Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan

jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tenaga atau

dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya.”


b) Bersama-sama Bersama-sama berarti tindakan kekerasan tersebut harus dilakukan

oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih. Orang-orang yang hanya mengikuti dan

tidak benar-benar turut melakukan kekerasan tidak dapat turut dikenakan Pasal ini.

c) Terhadap orang. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang, meskipun tidak akan

terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau barangnya sendiri sebagai

tujuan, kalau sebagai alat atau upaya-upaya untuk mencapai suatu hal, mungkin bisa

juga terjadi.

d) Dimuka umum Kekerasan itu dilakukan dimuka umum, karena kejahatan ini

memang dimasukkan ke dalam golongan kejahatan ketertiban umum. Di muka

umum artinya di tempat publik dapat melihatnya.14

D. TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

1. Pengertian Pembunuhan

Secara terminologis pembunuhan adalah perbuatan menghilangkan nyawa, atau

mematikan. Sedangkan dalam KUHP istilah pembunuhan adalah suatu kesengajaan

menghilangkan nyawa orang lain. Menurut Lamintang untuk menghilangkan nyawa orang

lain seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat

dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelaku itu harus

ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain.15

14
R soesilo hal 98
15
P.A.F. Lamintang. Opcit, hlm. 1
Menurut Adami Chazawi perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat 3 syarat

yang harus dipenuhi, yaitu:

1) Adanya wujud perbuatan;

2) Adanya suatu kematian (orang lain); dan

3) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat yang

ditimbulkan.

Ketiga syarat tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat, meskipun dapat dibedakan

akan tetapi apabila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka delik pembunuhan

dianggap tidak terjadi. Maka dapat disimpulkan bahwa delik pembunuhan dapat terjadi

apabila adanya wujud perbuatan serta adanya kematian (orang lain) dan keduanya ada

hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat yang ditimbulkan yakni kematian.

Bahwa akibat dari kematian haruslah disebabkan dari perbuatan itu apabila tidak ada

causal verband antara keduanya yakni suatu perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan

yakni matinya orang lain maka delik pembunuhan dianggap tidak terjadi.16

2. Jenis-jenis Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

Ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan

sengaja dimuat dalam Bab XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas Pasal, yaitu dari Pasal

338 sampai dengan Pasal 350 KUHP. Lanjut dalam pengelompokannya kejahatan terhadap

nyawa dibedakan berdasarkan dua kelompok yakni :


16
Adami Chazawi. 2013. Opcit, hlm. 57
1) atas dasar unsur kesalahannya, dan

2) atas dasar objeknya (nyawa).

a. Atas dasar kesalahannya ada dua kelompok kejahatan terhadap nyawa, ialah:

1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven), adalah

kejahatan yang dimuat dalam BAB XIX KUHP, Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.

2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose misdrijven),

yang dimuat dalam Bab XXI (khusus pada Pasal 359). 17

Sedangkan atas dasar objeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan

terhadap nyawa digolongkan sebagai berikut:

a. Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam Pasal 338, 339,

340, 344, dan 345.

b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat

dalam Pasal 341, 342, dan 343.

c. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih berada di dalam kandungan ibu (janin),

dimuat dalam pasal 346, 347, 348 dan 349.

3. Pembunuhan Dalam Bentuk Pokok Delik

Pembunuhan merupakan delik meteriil atau materiil delict yang merupakan suatu delik

yang dirumuskan secara materiil, yakni delik yang baru dapat dianggap telah selesai

dilakukan oleh pelakunya apabila timbul akibat yang dilarang. Dalam perbuatan

menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
17
Adami Chazawi. Opcit. hlm. 55-56
a. Adanya wujud perbuatan;

b. Adanya suatu kematian;

c. Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat

kematian (orang lain). 18

Adapun rumusan dalam Pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa adalah

sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

4. Dalam perkara ini, Sesuai dengan dakwaan alternatif Kesatu Penuntut Umum Pasal

338 KUHP tentang pembunuhan. Terdapat unsur-unsur tindak pidana yang

diantaranya sebagai berikut:

a. Unsur subjektif : Opezettelijk atau dengan sengaja

b. Unsur objektif : Beroven atau menghilangkan, Leven atau nyawa, Een ander atau

orang lain

Kesengajaan atau Opzettelijk Menurut memori penjelasan atau Memorie van

Toelichting menyatakan bahwa pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada

barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki. Maka kesengajaan

sebagai wiilen en wetten adalah orang yang menghendaki perbuatan dan akibatnya dan

mengetahui, mengerti atau insyaf akan akibat yang timbul serta unsur-unsur lain yang ada

di sekitar perbuatannya itu. Lebih lanjut, memori penjelasan menyatakan bahwa apabila

18
P.A.F. Lamintang. Opcit, hlm. 1
kata/unsur opzettelijk dicantumkan dalam rumusan suatu tindak pidana, maka harus

diartikan bahwa kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakang

unsur opzettelijk. 19

Oleh karena unsur sengaja dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP dengan mendahului

unsur perbuatan menghilangkan orang lain, maka sengaja di sini harus diartikan bahwa

pelaku menghendaki untuk mewujudkan perbuatan, dan ia menghendaki terhadap akibat

matinya orang lain. Kehendak dan apa yang diketahui harus sudah terbentuk dalam

batinnya sebelum akibat timbul, dengan kata lain sebelum mewujudkan perbuatan atau

setidak-tidaknya pada saat memulai perbuatan, kehendak dan pengetahuan seperti itu telah

terbentuk dalam alam batin pelaku.

Menghilangkan Nyawa Orang Lain Dalam Pasal 338 KUHP unsur menghilangkan

nyawa dirumuskan een ander van het leven beroven yang artinya “menghilangkan nyawa

orang lain”. Karena dalam tindakan atau perilaku menghilangkan nyawa orang lain itu tidak

selalu terdapat unsur kekerasan, sedangkan jika kata beroven diterjemahkan dengan kata

merampas maka tindak tersebut harus dilakukan dengan kekerasan.

Menurut ajaran dalam hukum pidana terdapat tiga jenis kesengajaan yang

diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Sengaja sebagai maksud (opzet als ogmerk) Bahwa yang dimaksud dengan sengaja

sebagai maksud adalah apabila pelaku menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak

19
Moeljatno, op.cit., hlm. 171
pernah melakukan perbuatannya apabila pelaku tersebut tidak mengetahui bahwa

akibat dari perbuatannya tidak akan terjadi20.

b. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet me bewustheid van zekerheid of

noodzakelijkheid) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian terjadi yakni pelaku

yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya

akibat yang tidak dimaksud.21

c. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan (opzet met mogelijkheidsbewustzijn)

Menurut Hezewinkel-Suringa sengaja dengan kemungkinan, terjadi jika pembuat

tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain (yang

sama sekali tidak diinginkan) itu diinginkan daripada menghentikan perbuatannya,

maka terjadi pula kesengajaan.22

E. TINJAUAN UMUM TENTANG PRAPENUNTUTAN

1. Pengertian Prapenuntutan

Di dalam penjelasan Pasal 30 huruf a Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

menyebutkan bahwa dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan pra penuntutan.

Pra penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah
20
Andi Hamzah. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 116
21
Ibid. Hlm. 117
22
Ibid. Hlm. 119
menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti

kelengkapan berkas perkara yang merupkan hasil penydikan yang diterima dari penyidik,

serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah

berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. Dalam KUHAP

terdapat Pasal-Pasal yang berkenan dengan pra penuntutan yaitu Pasal 14 huruf a dan b,

Pasal 109 Ayat (1) Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP.

Pasal 14 KUHAP berbunyi :

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik

pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan, pada penyidikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4), dengan memberi

petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.

Pasal 109 Ayat (1) KUHAP berbunyi : “dalam hal penyidik telah mulai melakukan

penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal

itu kepada penuntut umum”.

Pasal 110 KUHAP berbunyi :

1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera

menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum;


2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata

masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu

kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi;

3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi,

penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari

penuntut umum;

4) Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum

tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut

berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada

penyidik.

Pasal 138 KUHAP berbunyi:

1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera

mempelajari da menelitinya dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada

penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum;

2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum

mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang

harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal

penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu

kepada penuntut umum.


Pasal 110 tersebut bertutan dengan Pasal 138. Perbedaannya adalah Pasal 110

terletak dibagian wewenang penuntut penyidik, sedangkan Pasal 138 merupakan

wewenang penuntut umum. Seandainya sistematik KUHAP tidak memisahkan kedua

wewenang tersebut, maka kedua Pasal tersebut dapat digabungkan menjadi satu Pasal

saja.

Penentuan jangka waktu untuk melakukan prapenuntutan dinyatakan dalam Pasal

110 dan Pasal 138 KUHAP. Penuntut umum dalam jangka waktu tujuh hari sejak

diterimanya berkas perkara penyidikan wajib memberitahukan kepada penyidik tentang

lengkap atau tidaknya berkas perkara penyidikan. Dalam hal berkas perkara penyidikan

tidak atau belum lengkap menurut penelitian penuntut umum, maka ia berkewajiban

untuk mengirimkan kembali berkas perkara tersebut kepada penyidik yang disertai

dengan petunjuk-petunjuk (P-18, P-19) dalam jangka waktu empat belas hari terhitung

sejak tanggal penerimaan berkas perkara, penyidik juga diberi kewajiban untuk

melengkapi berkas perkara penyidikan itu dalam waktu empat belas hari sejak saat

diterimanya pengembalian berkas perkara penyidikan dari penuntut umum. Dalam buku

petunjuk teknis penyelesaian perkara pidana umum Kejaksaan Agung RI disebutkan

bahwa : Tugas prapenuntutan mengandung arti, tidak saja mencakup tugas penelitian

berkas perkara dan pemberian petunjuk guna melengkapi berkas perkara, tetapi meliputi

pula semua pelaksanaan tugas yang berkenaan dengan persiapan pelaksanaan tugas

penuntutan.
Dengan demikian dalam pengertian luas, prapenuntutan meliputi pelaksanaan tugas-

tugas : pemantauan perkembangan penyidikan, penelitian berkas perkara tahap pertama,

pemberian petunjuk guna melengkapi hasil barang bukti pada tahap penyerahan

tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti serta pemeriksaan tambahan. Terlepas

dari pengertian prapenuntutan itu sendiri, maka prapenuntutan ini adalah merupakan

tahap koordinasi antara penyidik dan penuntut umum. Karena kelengkapan hasil

penyidikan sangat menentukan keberhasilan penuntutan, maka setelah penuntut umum

menerima berkas perkara langsung meneliti dan mempelajarinya. Apabila penuntut

umum kurang cermat dalam mempelajarinya dan meneliti berkas perkara, maka

kelengkapan hasil penyidikan yang lolos dari penelitian penuntut umum atau dapat

mengakibatkan gagalnya penuntutan, serta Himpunan tata naskah dan petunjuk teknis

penyelesaian perkara pidana umum Kejaksaan Agung RI, perihal pelaksanaan tugas

prapenuntutan. Dapat berakibat bahwa seseorang yang seharusnya mendapat hukuman

karena kesalahannya bebas begitu saja. Eratnya hubungan antara berkas perkara yang

dilakukan dalam proses penyidikan dan hubungannya dengan sidang pengadilan, maka

jaksa dalam menerima berkas perkara dari penyidik akan menentukan apakah telah

cukup baginya untuk merumuskannya dalam suatu surat dakwaan. Penuntut umum

dapat meminta kepada penyidik untuk melakukan penyempurnaan berkas penyidikan

apabila dirasakan terdapat kekurangan. Dengan demikian penyidik melakukan

penyempurnaan sesuai dengan kehendak penntut umum.


Prapenuntutan pada dasarnya merupakan tanggung jawab penuntut umum dalam hal

untuk melengkapi berkas perkara ketika penyidik sudah menyatakan optimal dalam

penyidikanya, jika penuntut umum dalam pengembalian berkas perkara memberikan

petunjuk kepada penyidik dan selanjutnya penyidik ternyata tidak dapat memenuhi

petunjuk tersebut, maka penuntut umum mengembalikan lagi berkas perkara terebut, bolak-

baliknya berkas perkara hanya dapat dilakukan sebanyak tiga kali, hal ini sesuai dengan tata

naskah peraturan Jaksa Agung RI nomor : 036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional

Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, dalam Pasal 11 ayat (5) dan

ayat (6), disebutkan :

5) Dalam hal penuntut umum menerima kembali berkas perkara yang sebelumnya

dinyatakan belum lengkap sebagaimana dimaksud ayat (3), tetapi tidak dilengkapi

sesuai petunjuk, padahal hal tersebut berpengaruh terhadap pembuktian di

persidangan, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada

penyidik;

6) Pengembalian berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) setelah lebih

dari 3 (tiga) kali, maka penuntut umum harus memberikan petunjuk kepada

penyidik agar penyidik menentukan sikap sesuai dengan fakta hukum yang

ditemukan dalam penanganan perkara tersebut sebagaimana petunjuk sebelumnya.


23

23
Indonesia, Peraturan Jaksa Agung No:PER-036/A/JA/09/2011 tentang Standart Operasional Prosedur
Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Pasal 11
Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi dari prapenuntutan secara keseluruhan

adalah untuk mengetahui apakah hasil penyidikan berupa berkas perkara telah memenuhi

syarat formil dan materil sehingga dapat ditentukan, apakah tindakan penyidikan dapat

diteruskan ke tingkat penuntutan dan selanjutnya ke sidang pengadilan ataukah penyidikan

dan penuntutan dihentikan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.

Dalam hal penyidikan, syarat formil memuat tentang formalitas penyidikan misalnya

identitas tersangka, surat izin penggeledahan dan penyitaan atau ketentuan-ketentuan

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 75 KUHAP, namun untuk syarat materil merupakan

syarat yang sangat urgensi karena menyangkut tentang pembuktian tindak pidana yang

dipersangkakan, oleh karena itu pembuat undang-undang telah memberi ruang kepada

penyidik untuk menggunakan kewenangannya apabila kemudian dalam penyidikan syarat

materil tidak terpenuhi atau secara materil tersangka tidak melakukan tindak pidana

sehingga penyidik dapat melakukan penghentian dalam hal tidak ckup bukti, ketentuan ini

berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP.

F. TINJAUAN UMUM WEWENANG PENUNTUT UMUM

1. Pengertian Kewenangan

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari

kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai

suatu “onderdeel” atau bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang merupakan

lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi
wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam

rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang

adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundangundangan untuk menimbulkan

akibat-akibat hukum. 24
Dari berbagai pengertian kewenangan berbeda dengan wewenang.

Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan

wewenang itu sendiri yaitu suatu spesifikasi dari kewenangan yang artinya barang siapa

disini adalah subyek hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka

subyek hukum berwenang untuk melakukan sesuatu tersebut dalam kewenangan karena

perintah undang-undang.

2. Wewenang Penuntut Umum

Dalam hal ini akan membahas tentang wewenang penuntut umum. Di dalam

KUHAP, dapat ditemukan perincian tugas penuntutan yang dilakukan oleh para jaksa.

KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam pengertian umum dan penuntut umum dalam

pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara. Di dalam Pasal 1 butir 6

ditegaskan sebagai berikut :

24
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 65
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ini untuk bertindak

sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh

kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang, undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Melihat perumusan undang-undang tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

pengertian "jaksa" adalah menyangkut jabatan, sedangkan penuntut umum menyangkut

fungsi. Hal penuntut umum diatur di bagian ketiga Bab IV KUHAP. Wewenang penuntut

umum dalam bagian ini hanya diatur dalam 2 buah pasal, yaitu Pasal 14 dan Pasal 15.

Dalam Pasal 14 KUHAP itu diperinci wewenang tersebut sebagai berikut:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik

pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk

dalam penyempurnaan penyidikan dan penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan

lanjutan, dan/atau mengubah status tahaan setelah perkaranya dilimpahkan oleh

penyidik;

d. Membuat surat dakwaan;


e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu perkara

disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada

saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab;

j. Melaksanakan penetapan hakim25

Pasal 15 KUHAP : Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam

daerah hukumnya menurut ketentuan undang-undang.

Kejaksaan melalui penuntut umum diberi wewenang untuk melakukan penuntutan

sebagaimana dalam pasal 138 KUHAP yang mengatakan : Penuntut umum berwenang

melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana

dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang

mengadili.

Disamping kewenangan untuk meakukan penuntutan, penuntut umum juga diberi

kewenangan untuk melakukan penghentian penuntutan, yaitu sebagaimana diatur dalam

pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, yang demikian bunyinya : Dalam hal penuntut umum

memutuskan untuk meghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti, atau

25
Kuhap hlm 317
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi

hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat kealpaan.

Namun demikian apabila penghentian penuntutan ini dengan alasan tidak cukup

bukti atau merupakan tindak pidana, maka menurut pasal 140 ayat (2) huruf d penuntut

umum dapat melakukan tuntutan lagi terhadap tersangka apabila dikembangkan dan

ditemukan alasan baru.

G. TINJAUAN UMUM TENTANG ALAT BUKTI

1. Pengertian Alat Bukti

Alat bukti sendiri adalah suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh

undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau

gugatan maupun guna menolak dakwaan tuntutan atau gugatan. Sementara itu, yang

dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu

tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian,

guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang

telah dilakukan oleh terdakwa. 26


Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat(1) KUHAP, maka

ada lima alat bukti yang sah. Berikut ini akan dijelaskan kelima alat bukti tersebut beserta

dengan kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut:

1) Keterangan Saksi

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama kali disebutkan dalam Pasal 184
26
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 3
ayat(1) KUHAP. Pengertian dari keterangan saksi diatur di dalam ketentuan Pasal 1

angka 27 KUHAP yang berbunyi : “keterangan saksi adalah Salah satu alat bukti dalam

perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang

ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu.” Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di

sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Sementara itu, yang dimaksud dengan

saksi berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “Orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.”

Sedangkan dalam pasal 185 ayat 2 KUHAP berbunyi Keterangan seorang saksi saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang di

dakwakan kepadanya.

2) Keterangan Ahli

Dalam Pasal 1 angka 28 disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan

oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli

berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula dibedakan secara tegas. Namun isi dari

keterangan ahli dan keterangan saksi itu berbeda. Keterangan saksi adalah mengenai apa

yang dialami oleh saksi itu sendiri. Sedangkan keterangan ahli adalah mengenai suatu

penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai
hal-hal tersebut. 27
Sesuai keterangan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka lebih jelas lagi

bahwa keterangan ahli tidak dituntut suatu pendidikan formal tertentu, tetapi juga meliputi

seorang yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang tanpa pendidikan khusus. Perlu

diperhatikan bahwa KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di pengadilan sebagai

alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan ahli secara tertulis di

luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat”. Apabila keterangan diberikan pada

waktu pemerikaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu

bentuk laporan, dan dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau

pekerjaan, maka keterangan ahli tersebut sebagai alat bukti surat. Contoh yang paling baik

mengenai kedua hal tersebut diatas adalah visum et repertum yang dibuat oleh seorang

dokter.28

3) Surat

Pasal 187 mengatakan surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 (1) huruf c, dibuat

atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

- Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum

yang berwenang dan yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang

didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri;

- Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau yang

dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi

27
Andi hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hlm 274
28
M. Yahya Harahap, pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP jilid 2, hlm 303
tanggung jawabnya;

- Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan

keahliannya;

- Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian yang lain. 29

4) Petunjuk

Pasal 188 (1) KUHAP mengatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau

keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun

dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan

siapa pelakunya. Dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa petunjuk sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat atau

keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam

setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia

melakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti30. Pada akhirnya persoalan diserahkan

pada hakim, dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat

bukti.

5) Keterangan Terdakwa

Dalam Pasal 1 butir 15 terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa

dan diadili di sidang pengadilan. Sedangkan keterangan terdakwa adalah apa yang

29
Kuhap, hal 398
30
M.yahya hlm 312
terdakwa nyatakan di depan sidang pengadilan tentang perbuatan yang telah ia lakukan

atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Kekuatan alat bukti keterangan

terdakwa diatur dalam pasal 183 ayat (3) dan (4) KUHAP. Keterangan terdakwa tidak

dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan orang lain, kecuali disertai oleh alat bukti

lain. Hal ini mengingatkan bahwa terdakwa dalam memberikan keterangannya, tidak

perlu mengucapkan sumpah atau janji. Karena keterangan terdakwa bukanlah pengakuan

terdakwa, maka ia boleh menyangkal segala tuduhan karena ia tidak disumpah.

Penyangkalan terdakwa adalah hak terdakwa dan harus dihormati. Oleh sebab itu, suatu

penyangkalan terhadap suatu perbuatan mengenai suatu keadaan tidak dapat dijadikan alat

bukti.

H. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUKTIAN

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang

cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti

yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan


yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena

membuktikan kesalahan terdakwa.

2. Beberapa Teori Sistem Pembuktian

a) Conviction-in Time

Sistem pembuktian Conviction-in Time menentutkan salah tidaknya seorang

terdakwa, semata-mata ditentutkan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan boleh

diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang

pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim dan

langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.

b) Conviction-Raisonsee

Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “ keyakinan hakim ” tetap memegang peranan

penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem

pembuktian ini keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in

Time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-raisonee

keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib

menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas

kesalahan terdakwa.

c) Pembuktian menurut undang-undang secara positif

Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim tidak ikut

ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem
ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman

pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang.

d) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem Pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan

antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan

tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif “menggabungkan” ke

dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem

pembuktian menurut undang-undang secara positif. Untuk menentukan salah atau

tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif

terdapat dua komponen :

i. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah

menurut undang-undang,

ii. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang.31

I. TINJAUAN UMUM TENTANG ACARA PEMERIKSAAN BIASA

KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang pengadilan. Pertama,

pemeriksaan perkara biasa; kedua, pemeriksaan singkat; dan ketiga, pemeriksaan cepat.

Pemeriksaan cepat dibagi lagi atas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara

pelanggaran lalu lintas jalan.

31
M.yahya hlm 273
Undang-undang tidak memberikan batasan tentang perkara-perkara yang mana yang

termasuk pemeriksaan biasa. Hanya pada pemeriksaan singkat dan cepat saja diberikan

batasan. Pasal 203 ayat (1) KUHAP memberi batasan tentang apa yang dimaksud dengan

pemeriksaan singkat sebagai berikut: “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat

ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang

menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya

sederhana”. Perlu ditekankan di sini kata-kata: menurut penuntut umum pembuktian serta

penerapan hukumnya sederhana, yang menunjukkan bahwa penuntut umumlah yang

menentukan perkara pemeriksaan singkat itu. Pemeriksaan singkat ini dahulu disebut

pemeriksaan sumir.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan pemeriksaan cepat ditentukan oleh Pasal 205 ayat

(1) (tindak pidana ringan) sebagai berikut. "Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan

tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan

paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan

penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan terdakwa sudah dipanggil secara sah. Jika tidak

dipangil secara sah, hakim dalam paragraf 2 bagian ini”.

Paragraf 2 ialah mengenai acara pemeriksaan perkara lalu lintas jalan, yang dijelaskan

dalam Pasal 211 sebagai berikut. "Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada

paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu

lintas jalan”. Acara pemeriksaan biasa, sebenarnya berlaku juga bagi pemeriksaan singkat
dan cepat, kecuali dalam hal-hal tertentu yang secara tegas dinyatakan lain. Dimulai hakim

ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara

mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (Pasal 153 ayat (3) KUHAP).

Pemeriksaan itu dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh

terdakwa dan saksi (Pasal 153 ayat (2a)). Kalau kedua ketentuan tersebut tidak dipenuhi,

maka batal demi hukum (Pasal 153 ayat (4)).

Yang pertama dipanggil masuk ialah terdakwa, yang walaupun ia dalam tahanan, ia

dihadapkan dalam keadaan bebas. Dalam penjelasan Pasal 154 ayat (1) yang mengatur hal

ini, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan keadaan bebas ialah keadaan tidak dibelenggu

tanpa mengurangi pengawalan.

Apabila terdakwa tidak hadir, hakim ketua sidang meneliti apakah dipanggil lagi untuk

hadir pada hari sidang berikutnya (Pasal 154 ayat (3) KUHAP).

Hakim ketua sidang merintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah

setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang

pertama berikutnya ( Pasal 154 ayat (6) KUHAP.

Menurut ketentuan yang pertama dipanggil masuk ke sidang ialah terdakwa. Mula-mula

hakim ketua sidang menanyakan identitasnya, seperti nama, tempat lahir, umur atau tanggal

lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaannya, serta

mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan


dilihatnya di sidang dihadirkan (Pasal 155 ayat (1) KUHAP. Sesudah itu, hakim ketua

sidang mempersilakan penuntut umum membacakan surat dakwaannya, kemudian hakim

ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila

terdakwa tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib

memberi penjelasan yang diperlukan (Pasal 155 ayat (2) KUHAP).

Penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa penjelasan oleh penuntut umum itu untuk

menjamin hak terdakwa guna memberikan pembelaannya, dan hanya dapat dilakukan pada

permulaan sidang.

Sesudah pembacaan dan penjelasan surat dakwaan oleh penuntut umum, maka

terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan tentang pengadilan tidak

berwenang memeriksa perkara tersebut atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat

dakwaan harus dibatalkan.

Mengenai wewenang hakim untuk mengadili dapat dibaca di muka. Kapan suatu

dakwaan tidak dapat diterima, tidak dijelaskan. Menurut pendapat penulis, yang dimaksud

dengan dakwaan tidak dapat diterima tersebut ialah dakwaan penuntut umum tidak dapat

diterima atau yang biasa disebut niet ontvankelijk verklaring van het Openbaar Ministerie.

Undang-undang tidak menjelaskan kapan suatu dakwaan atau tuntutan penuntut umum

tidak dapat diterima. Begitu pula dalam Ned.Sv., tidak diatur hal demikian.
Menurut van Bemmelen, hal itu terjadi jika tidak ada hak untuk menuntut, misalnya

dalam delik aduan tidak ada pengaduan atau delik itu dilakukan pada waktu dan tempat

yang undang-undang pidana tidak berlaku atau hak menuntut telah hapus. Harus

diperhatikan katanya, bahwa jika apa yang termuat dalam surat dakwaan bukan delik,

bukan termasuk tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvan-kelijk verklaring

van het OM) atau pernyataan tidak berwenang (onbervoegdverklaring), tetapi termasuk

dilepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging).

Termasuk pula tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika telah ada putusan

yang tidak dapat diubah mengenai perkara tersebut.Maksudnya non bis in idem.

Apabila terdakwa atau penasihat hukum keberatan, penuntut umum diberi kesempatan

untuk menyatakan pendapatnya, kemudian hakim mempertimbangkan keberatan tersebut

untuk selanjutnya mengambil keputusan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP). Kalau keberatan

tersebut diterima oleh hakim, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, dan untuk ini

penuntut umum dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui

pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 156 ayat (2) dan (3)).

Ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal

perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh

pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat

penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan

negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu, menurut pendapat penulis tidak
sempurna dan tidak sesuai dengan ketentuan pada ayat (1) pasal tersebut seperti telah

dikemukakan di muka, karena keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya menurut ayat

(1) tersebut tidak hanya mengenai ketidak-wenangan pengadilan negeri, tetapi juga

mengenai dakwaan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaring van het OM) dan

dakwaan harus dibatalkan.

Pemeriksaan saksi ditentukan dalam Pasal 160 bahwa yang pertama-tama didengar

keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Kemungkinan urutan pemeriksaan saksi

diserahkan kepada pertimbangan hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut

umum, terdakwa, atau penasihat hukum. Satu hal yang perlu diperhatikan ialah ketentuan

dalam pasal itu yang mengatakan bahwa saksi, baik yang menguntungkan maupun yang

memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang

diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya

sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar

keterangan saksi tersebut.

Nilai suatu kesaksian yang disumpah atau mengucapkan janji dan yang tidak, diatur

dalam Pasal 162 KUHAP, tetapi kurang jelas. Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa

cukup jelas. Tidak jelas, karena dikatakan bahwa jika saksi sesudah memberi keterangan

dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di

sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau

karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka pemeriksaan
pendahuluan (penyidikan) saksi tersebut tidak disumpah, apakah keterangan yang

dibacakan itu sama nilainya dengan keterangan saksi yang hadir dan disumpah.

Dalam ayat (2) pasal itu dikatakan bahwa jika keterangan itu sebelumnya telah

diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan

saksi dibawah sumpah yang diucapkan di sidang menurut penafsiran a'contrario, berarti

keterangan saksi dibacakan di sidang yang tidak mengangkat sumpah sebelumnya tidak

sama nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. Kalau

demikian halnya, apakah keterangan saksi yang dibacakan disidang yang belum

mengangkat sumpah sebelumnya itu dapat dipandang sebagai alat bukti petunjuk, karena

dalam Pasal 188 ayat (2) dikatakan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari:

a. keterangan saksi;

b. surat;

c. keterangan terdakwa.

Terbukti, seperti telah dikemukakan di muka bahwa petunjuk sebagai alat bukti

sebenarnya telah kuno dan sebenarnya tidak ada.

Sering terjadi seorang saksi memberikan keterangan yang berbeda di sidang pengadilan

dan di pemeriksaan pendahuluan. Untuk ini ditentukan oleh Pasal 163 KUHAP, bahwa

dalam hal yang demikian, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta
minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan

di sidang.

Dalam penjelasan pasal itu dikatakan cukup jelas. Hal ini mendapat perhatian khusus

karena dapat berbentuk sumpah palsu, misalnya pada pemeriksaan pendahuluan (berita

acara penyidik) saksi memberatkan terdakwa, sedangkan pada pemeriksaan di sidang

pengadilan berubah menjadi menguntungkan terdakwa. 

Penting pula hakim meminta pendapat terdakwa mengenai keterangan saksi, begitu pula

penuntut umum, dan penasihat hukum berkesempatan bertanya kepada saksi atau terdakwa

melalui hakim ketua sidang. Dalam hal ini, hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan

penuntut umum atau penasihat hukum suatu alasan (Pasal 164 ayat (1), (2), dan (3)

KUHAP).

Apabila keterangan saksi disangka palsu, maka hakim ketua sidang memperingatkan

kepadanya dengan sungguh-sungguh supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan

mengemukakan ancaman pidana kepadanya jika tetap memberikan keterangan palsu. Jika

saksi terus memberikan keterangan palsu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas

permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberikan perintah supaya saksi itu

ditahan untuk selanjutnya dituntut karena dakwaan sumpah palsu. Perkara semula dapat

ditangguhkan oleh hakim ketua sidang sampai perkara sumpah palsu tersebut selesai (Pasal

174 ayat (1), (2), (3), dan (4) KUHAP).


Yang berbeda dengan acara pidana modern ialah ketentuan bahwa terdakwa menurut

Pasal 175 KUHAP tidak mempunyai hak untuk berdiam tidak menjawab pertanyaan, hal itu

dapat ditarik dari ketentuan pasal itu yang mengatakan "... hakim ketua sidang

menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan".

Kalau pemeriksaan sidang dipandang sudah selesai, maka penuntut umum mengajukan

tuntutan pidana. Sesudah itu, terdakwa dan/atau penasihat hukum mengajukan

pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa

atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Semua ini dilakukan secara tertulis

dan setelah dibacakan diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunnya kepada pihak

yang berkepentingan (Pasal 182 ayat (1) KUHAP).

Setelah itu, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup,

dengan ketentuan dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang

karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat

hukum dengan memberikan alasannya (Pasal 182 ayat (2) KUHAP).32

J. TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN PENGADILAN

1. Pengertian Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang

dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
32
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hlm 238-234
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Putusan hakim merupakan “mahkota”

sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia;

penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mempuni dan faktual, serta cerminan etika,

mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.33

2. Jenis-Jenis Putusan Hakim

Putusan hakim/pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:

a. Putusan Akhir

Dalam praktiknya putusan akhir lazim disebut dengan istilah putusan atau eind vonnis

dan merupakan jenis putusan bersifat meteriil. Pada hakikatnya putusan ini dapat terjadi

setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok

perkara selesai diperiksa. Adapun mengapa sampai disebut dengan pokok perkara selesai

diperiksa oleh karena majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan telah melalui proses

persidangan, dimulai dari hakim menyatakan acara sidang dinyatakan dibuka dan terbuka

untuk umum sampai pernyataan persidangan ditutup, serta musyawarah majelis hakim dan

pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum dan harus ditandatangani hakim dan

panitera seketika setelah putusan diucapkan (Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Nomor 48 tahun 2009). 34

33
Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, hlm.129
34
Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 50
b. Putusan yang Bukan Putusan Akhir

Pada praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa

penetapan atau “putusan sela” sering pula disebut dengan istilah bahasa Belanda tussen-

vonnis. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan pasal 148, Pasal 156 ayat (1) KUHAP,

yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasihat

hukumnya mengajukan keberatan/eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum.

Pada hakikatnya putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa, antara lain:

1) Penetapan yang menentukan tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu

perkara karena merupakan kewenangan relatif pengadilan negeri sebagaimana

ketentuan Pasal 148 ayat (1), Pasal 156 ayat (1) KUHAP.

2) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan jaksa/penuntut umum batal demi hukum.

Hal ini diatur oleh ketentuan Pasal 156 ayat (1), Pasal 143 ayat (2) huruf b, dan

Pasal 143 ayat (3) KUHAP.

3) Putusan yang berisikan bahwa dakwaan jaksa/penuntut umum tidak dapat diterima

sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP Bentuk penetapan atau putusan

akhir ini secara formal dapat mengakhiri perkara apabila terdakwa dan/atau

penasihat hukum serta penuntut umum telah menerima apa yang diputuskan oleh

majelis hakim.

Akan tetapi, secara materiil, perkara dapat dibuka kembali apabila jaksa/penuntut

umum melakukan perlawanan atau verzet dan kemudian perlawanan/verzet dibenarkan


sehingga pengadilan tinggi memerintahkan pengadilan negeri melanjutkan pemeriksaan

perkara yang bersangkutan.

3. BENTUK PUTUSAN PENGADILAN

Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (11) KUHAP terdapat tiga jenis putusan yaitu

putusan pemidanaan, putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, sebagai

berikut :

a. Putusan Bebas

Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari

tuntutan hukum (vrij spraak) atau acquittal Inilah pengertian terdakwa diputus bebas,

terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan.

Tegasnya terdakwa “tidak dipidana”. Dalam Pasal 191 ayat (1), yang menjelaskan, apabila

pengadilan berpendapat:

- dari hasil pemeriksaan “di sidang” pengadilan;

- kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya “tidak terbukti”

secara sah dan meyakinkan. 35

Pelaksanaan perintah pembebasan dari tahanan terhadap seorang terdakwa yang diputus

bebas, dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Perintah pembebasan dari tahanan "segera" dilaksanakan jaksa sesudah putusan

diucapkan, dan

35
M. Yahya, hlm 347
2) Sekaligus pelaksanaan pembebasan dari tahanan itu :

 Jaksa membuat laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah pembebasan

dimaksud,

 Laporan pelaksanaan pembebasan dilampiri dengan surat pelepasan,

 Laporan dan lampiran surat pelepasan, disampaikan kepada Ketua Pengadilan

Negeri yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu 3 x 24 jam.36

b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum

Kalau putusan pembebasan diatur dalam Pasal 191 ayat (1) maka putusan pelepasan

dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2), yang berbunyi. "Jika

pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi

perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala

tuntutan hukum.

Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van

recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2), yakni putusan

pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasar kriteria:

- apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan

meyakinkan;

36
M. Yahya, hlm 350
- tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

tidak merupakan tindak pidana.37

c. Putusan Pemidanaan

Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang

ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan

pasal 193 ayat (1), penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada

penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan

asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183, kesalahan terdakwa

telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi

keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya. 38

4. HAL YANG HARUS DIMUAT DALAM PUTUSAN

Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur hal yang harus dipenuhi suatu putusan

hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang

tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah:

a. Kepala putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA;

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,

tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;

37
M. Yahya, hlm 352
38
M. Yahya, hlm 354
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat

pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar

penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan

dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,

disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa

oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam

rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang

dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya

yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya

kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan

nama panitera.
Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP dikatakan bahwa surat keputusan

ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.39

39
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal 288

Anda mungkin juga menyukai