A. TINDAK PIDANA
Definisi terhadap tindak pidana tidak mudah untuk memberikan perumusannya atau
seperti juga memberikan definisi terhadap hukum, hukum bermakna luas dan fleksibel
mengikuti keadaan yang terjadi dalam masyarakat hukum. Strafbaar feit merupakan
istilah asli bahasa belanda yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan
berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana
Ahli hukum lainnya juga memberikan definisi terhadap tindak pidana antara lain
menurut Wirjono Prodjodikoro: “tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya
Moeljatno merupakan ahli hukum pidana yang memiliki pandangan yang berbeda
dengan para ahli yang lain. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana. Menurut
1
Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 69.
2
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1981, hlm. 50.
Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatannya saja, sebagaiman yang
perbuatan saja, yaitu dengan sifat dilarang dengan ancaman dengan pidan apabila
dilanggar”3.
1) Perbuatan;
kalimat ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) membuktikan perbuatan itu
3
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm.56.
4
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 79.
5
R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, PT.Tiara, Jakarta, 1990, cet. ke-3, hlm. 20.
b. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, dapat diketahui
3) Unsur kesalahan;
pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya (kesalahan
6
Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cetakan Ke-5”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2010), hlm 82
itu) dengan kelakuannya yang dapat di pidana dan berdasarkan kejiwaannya itu pelaku
maka tentunya sangatlah berkaitan erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang
mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh
pelakunya. Hasil akhir dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukannya unsur
melawan hukum dalam tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun
bisa juga diketemukannya unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada
kesalahan dari pelakunya. Dalam pertanggungjawaban pidana terdapat asas, yaitu tidak
dipidana apabila tidak terdapat kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum
1. Pengertian Penganiayaan
kata jadian atau kata sifat yang berasal dari kata dasar ”aniaya” yang mendapat awalan
“pe” dan akhiran “an” sedangkan penganiayaan itu sendiri berasal dari kata bendayang
berasal dari kata aniaya yang menunjukkan subyek atau pelaku penganiayaan itu. 9
7
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010, hlm 154
8
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, Cetakan ke-6, h.153
9
KBBI, 2019. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at: https://kbbi.web.id/aniaya .
Diakses 25 Januari 2021
Ada pula yang memahami penganiayaan adalah dengan sengaja menimbulkan rasa
sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan, menurut
berikut :
a. Adanya kesengajaan.
b. Adanya perbuatan.
Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga
berupa unsur objektif. Tindak pidana penganiayaan adalah Kejahatan yang dilakukan
terhadap tubuh dalam segala perbuatanperbuatannya sehingga menjadikan luka atau rasa
sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian. Bahwa pengertian "kesengajaan"
menurut Memorie van Toelichting adalah "menghendaki (wilien) dan mengetahui (weten)
sehingga ada kesengajaan apabila pelaku menghendaki dan mengetahui apa yang
2. Penganiayaan dimuat dalam BAB XX , Pasal 351 s/d Pasal 355 adalah sebagai
berikut :
10
kuhap
Kualifikasi penganiayaan biasa yang dirumuskan dalam Pasal 351 Kitab Undang-
1) Penganiayaan dipidana dengan pidana paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana
2) Jika perbuatan itu menyebabkan lukaluka berat, yang bersalah dipidana dengan
3) Jika mengakibatkan kematian, dipidana degan pidana penjara paling lama 7 tahun.
1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 352 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
2) Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap
1) Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun;
2) Jika perbuatan itu menimbulkan lukaluka berat, yang bersalah dipidana dengan
3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana
Penganiayaan berat yang dirumuskan dalam Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana
Pidana merumuskan :
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
3. Unsur pasal 351 ayat (3) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP dakwaan alternatif
a. Unsur pasal 351 ayat (3) KUHP : Penganiayaan biasa yang menimbulkan kematian
Pasal 351 Ayat 3, kesengajaan ditujukan pada perbuatan yang sekaligus pada rasa
sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian
11
Kuhap hlm 128
12
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar - Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1988, hlm. 245
b. Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHAP : “ Mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan”
1. Pelaku ( pleger );
2. Menyuruh melakukan ( doenpleger );
3. Turut serta ( medepleger );
4. Penganjur ( uitlokker ).
1. Pengertian Kekerasan
Bila ditinjau dari segi bahasa, kekerasan berasal dari kata “keras”. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan berarti: “bersifat keras; perbuatan seseorang atau
kelompok orang yang menyebabkan cedera atau menyebabkan kerusakan fisik atau matinya
orang lain atau barang orang lain; atau dapat diartikan sebagai paksaan.” 13 Didalam KUHP
tidak diberikan pengertian khusus mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan, namun
mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya
memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan
sebagainya. Yang disamakan dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah
membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya (lemah). Yang dimaksud “pingsan” dalam
Pasal 89 KUHP berarti tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya. Sedangkan “tidak
berdaya” berarti tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat
13
KBBI, 2019. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at: https://kbbi.web.id/keras .
Diakses 25 Januari 2021
mengadakan perlawanan sedikitpun, namun orang yang tidak berdaya itu masih dapat
Jenis-Jenis Tindak Pidana kekerasan Mengenai kekerasan tidak diatur dalam satu bab
a. Kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum (pasal 170 KUHP)
f. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan (Pasal 359-367
KUHP)
Orang Dimuka Umum, Tindak pidana kekerasan tersebut termasuk dalam jenis kejahatan
terhadap ketertiban umum, sebagaimana yang diatur dalam buku KUHP, yakni Pasal 170
yang berbunyi :
kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama
luka-luka;
3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut.
3. Unsur pasal 170 ayat 2 ke 3 KUHP dakwaan alternatif kedua dalam perkara ini.
Suatu tindak pidana digolongkan ke dalam tindak pidana secara bersama-sama dimuka
jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tenaga atau
oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih. Orang-orang yang hanya mengikuti dan
tidak benar-benar turut melakukan kekerasan tidak dapat turut dikenakan Pasal ini.
c) Terhadap orang. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang, meskipun tidak akan
terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau barangnya sendiri sebagai
tujuan, kalau sebagai alat atau upaya-upaya untuk mencapai suatu hal, mungkin bisa
juga terjadi.
d) Dimuka umum Kekerasan itu dilakukan dimuka umum, karena kejahatan ini
1. Pengertian Pembunuhan
menghilangkan nyawa orang lain. Menurut Lamintang untuk menghilangkan nyawa orang
lain seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat
dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelaku itu harus
14
R soesilo hal 98
15
P.A.F. Lamintang. Opcit, hlm. 1
Menurut Adami Chazawi perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat 3 syarat
3) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat yang
ditimbulkan.
Ketiga syarat tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat, meskipun dapat dibedakan
akan tetapi apabila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka delik pembunuhan
dianggap tidak terjadi. Maka dapat disimpulkan bahwa delik pembunuhan dapat terjadi
apabila adanya wujud perbuatan serta adanya kematian (orang lain) dan keduanya ada
hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat yang ditimbulkan yakni kematian.
Bahwa akibat dari kematian haruslah disebabkan dari perbuatan itu apabila tidak ada
causal verband antara keduanya yakni suatu perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan
yakni matinya orang lain maka delik pembunuhan dianggap tidak terjadi.16
sengaja dimuat dalam Bab XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas Pasal, yaitu dari Pasal
338 sampai dengan Pasal 350 KUHP. Lanjut dalam pengelompokannya kejahatan terhadap
a. Atas dasar kesalahannya ada dua kelompok kejahatan terhadap nyawa, ialah:
1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven), adalah
kejahatan yang dimuat dalam BAB XIX KUHP, Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.
2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose misdrijven),
Sedangkan atas dasar objeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan
a. Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam Pasal 338, 339,
b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat
c. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih berada di dalam kandungan ibu (janin),
Pembunuhan merupakan delik meteriil atau materiil delict yang merupakan suatu delik
yang dirumuskan secara materiil, yakni delik yang baru dapat dianggap telah selesai
dilakukan oleh pelakunya apabila timbul akibat yang dilarang. Dalam perbuatan
menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
17
Adami Chazawi. Opcit. hlm. 55-56
a. Adanya wujud perbuatan;
c. Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat
Adapun rumusan dalam Pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa adalah
sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
4. Dalam perkara ini, Sesuai dengan dakwaan alternatif Kesatu Penuntut Umum Pasal
b. Unsur objektif : Beroven atau menghilangkan, Leven atau nyawa, Een ander atau
orang lain
Toelichting menyatakan bahwa pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada
sebagai wiilen en wetten adalah orang yang menghendaki perbuatan dan akibatnya dan
mengetahui, mengerti atau insyaf akan akibat yang timbul serta unsur-unsur lain yang ada
di sekitar perbuatannya itu. Lebih lanjut, memori penjelasan menyatakan bahwa apabila
18
P.A.F. Lamintang. Opcit, hlm. 1
kata/unsur opzettelijk dicantumkan dalam rumusan suatu tindak pidana, maka harus
diartikan bahwa kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakang
unsur opzettelijk. 19
Oleh karena unsur sengaja dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP dengan mendahului
unsur perbuatan menghilangkan orang lain, maka sengaja di sini harus diartikan bahwa
matinya orang lain. Kehendak dan apa yang diketahui harus sudah terbentuk dalam
batinnya sebelum akibat timbul, dengan kata lain sebelum mewujudkan perbuatan atau
setidak-tidaknya pada saat memulai perbuatan, kehendak dan pengetahuan seperti itu telah
Menghilangkan Nyawa Orang Lain Dalam Pasal 338 KUHP unsur menghilangkan
nyawa dirumuskan een ander van het leven beroven yang artinya “menghilangkan nyawa
orang lain”. Karena dalam tindakan atau perilaku menghilangkan nyawa orang lain itu tidak
selalu terdapat unsur kekerasan, sedangkan jika kata beroven diterjemahkan dengan kata
Menurut ajaran dalam hukum pidana terdapat tiga jenis kesengajaan yang
a. Sengaja sebagai maksud (opzet als ogmerk) Bahwa yang dimaksud dengan sengaja
19
Moeljatno, op.cit., hlm. 171
pernah melakukan perbuatannya apabila pelaku tersebut tidak mengetahui bahwa
yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya
tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain (yang
1. Pengertian Prapenuntutan
menyebutkan bahwa dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan pra penuntutan.
Pra penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah
20
Andi Hamzah. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 116
21
Ibid. Hlm. 117
22
Ibid. Hlm. 119
menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti
kelengkapan berkas perkara yang merupkan hasil penydikan yang diterima dari penyidik,
serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah
berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. Dalam KUHAP
terdapat Pasal-Pasal yang berkenan dengan pra penuntutan yaitu Pasal 14 huruf a dan b,
Pasal 109 Ayat (1) Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP.
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu;
memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4), dengan memberi
Pasal 109 Ayat (1) KUHAP berbunyi : “dalam hal penyidik telah mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal
1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu
penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari
penuntut umum;
4) Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum
tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut
berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada
penyidik.
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang
harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal
penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu
wewenang tersebut, maka kedua Pasal tersebut dapat digabungkan menjadi satu Pasal
saja.
110 dan Pasal 138 KUHAP. Penuntut umum dalam jangka waktu tujuh hari sejak
lengkap atau tidaknya berkas perkara penyidikan. Dalam hal berkas perkara penyidikan
tidak atau belum lengkap menurut penelitian penuntut umum, maka ia berkewajiban
untuk mengirimkan kembali berkas perkara tersebut kepada penyidik yang disertai
dengan petunjuk-petunjuk (P-18, P-19) dalam jangka waktu empat belas hari terhitung
sejak tanggal penerimaan berkas perkara, penyidik juga diberi kewajiban untuk
melengkapi berkas perkara penyidikan itu dalam waktu empat belas hari sejak saat
diterimanya pengembalian berkas perkara penyidikan dari penuntut umum. Dalam buku
bahwa : Tugas prapenuntutan mengandung arti, tidak saja mencakup tugas penelitian
berkas perkara dan pemberian petunjuk guna melengkapi berkas perkara, tetapi meliputi
pula semua pelaksanaan tugas yang berkenaan dengan persiapan pelaksanaan tugas
penuntutan.
Dengan demikian dalam pengertian luas, prapenuntutan meliputi pelaksanaan tugas-
pemberian petunjuk guna melengkapi hasil barang bukti pada tahap penyerahan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti serta pemeriksaan tambahan. Terlepas
dari pengertian prapenuntutan itu sendiri, maka prapenuntutan ini adalah merupakan
tahap koordinasi antara penyidik dan penuntut umum. Karena kelengkapan hasil
umum kurang cermat dalam mempelajarinya dan meneliti berkas perkara, maka
kelengkapan hasil penyidikan yang lolos dari penelitian penuntut umum atau dapat
mengakibatkan gagalnya penuntutan, serta Himpunan tata naskah dan petunjuk teknis
penyelesaian perkara pidana umum Kejaksaan Agung RI, perihal pelaksanaan tugas
karena kesalahannya bebas begitu saja. Eratnya hubungan antara berkas perkara yang
dilakukan dalam proses penyidikan dan hubungannya dengan sidang pengadilan, maka
jaksa dalam menerima berkas perkara dari penyidik akan menentukan apakah telah
cukup baginya untuk merumuskannya dalam suatu surat dakwaan. Penuntut umum
untuk melengkapi berkas perkara ketika penyidik sudah menyatakan optimal dalam
petunjuk kepada penyidik dan selanjutnya penyidik ternyata tidak dapat memenuhi
petunjuk tersebut, maka penuntut umum mengembalikan lagi berkas perkara terebut, bolak-
baliknya berkas perkara hanya dapat dilakukan sebanyak tiga kali, hal ini sesuai dengan tata
Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, dalam Pasal 11 ayat (5) dan
5) Dalam hal penuntut umum menerima kembali berkas perkara yang sebelumnya
dinyatakan belum lengkap sebagaimana dimaksud ayat (3), tetapi tidak dilengkapi
penyidik;
6) Pengembalian berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) setelah lebih
dari 3 (tiga) kali, maka penuntut umum harus memberikan petunjuk kepada
penyidik agar penyidik menentukan sikap sesuai dengan fakta hukum yang
23
Indonesia, Peraturan Jaksa Agung No:PER-036/A/JA/09/2011 tentang Standart Operasional Prosedur
Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Pasal 11
Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi dari prapenuntutan secara keseluruhan
adalah untuk mengetahui apakah hasil penyidikan berupa berkas perkara telah memenuhi
syarat formil dan materil sehingga dapat ditentukan, apakah tindakan penyidikan dapat
Dalam hal penyidikan, syarat formil memuat tentang formalitas penyidikan misalnya
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 75 KUHAP, namun untuk syarat materil merupakan
syarat yang sangat urgensi karena menyangkut tentang pembuktian tindak pidana yang
dipersangkakan, oleh karena itu pembuat undang-undang telah memberi ruang kepada
materil tidak terpenuhi atau secara materil tersangka tidak melakukan tindak pidana
sehingga penyidik dapat melakukan penghentian dalam hal tidak ckup bukti, ketentuan ini
1. Pengertian Kewenangan
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari
suatu “onderdeel” atau bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang merupakan
lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi
wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam
rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya
akibat-akibat hukum. 24
Dari berbagai pengertian kewenangan berbeda dengan wewenang.
wewenang itu sendiri yaitu suatu spesifikasi dari kewenangan yang artinya barang siapa
disini adalah subyek hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka
subyek hukum berwenang untuk melakukan sesuatu tersebut dalam kewenangan karena
perintah undang-undang.
Dalam hal ini akan membahas tentang wewenang penuntut umum. Di dalam
KUHAP, dapat ditemukan perincian tugas penuntutan yang dilakukan oleh para jaksa.
KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam pengertian umum dan penuntut umum dalam
pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara. Di dalam Pasal 1 butir 6
24
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 65
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ini untuk bertindak
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang, undang ini untuk
fungsi. Hal penuntut umum diatur di bagian ketiga Bab IV KUHAP. Wewenang penuntut
umum dalam bagian ini hanya diatur dalam 2 buah pasal, yaitu Pasal 14 dan Pasal 15.
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu;
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk
penyidik;
disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada
g. Melakukan penuntutan;
Pasal 15 KUHAP : Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam
sebagaimana dalam pasal 138 KUHAP yang mengatakan : Penuntut umum berwenang
melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana
mengadili.
pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, yang demikian bunyinya : Dalam hal penuntut umum
memutuskan untuk meghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti, atau
25
Kuhap hlm 317
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi
Namun demikian apabila penghentian penuntutan ini dengan alasan tidak cukup
bukti atau merupakan tindak pidana, maka menurut pasal 140 ayat (2) huruf d penuntut
umum dapat melakukan tuntutan lagi terhadap tersangka apabila dikembangkan dan
Alat bukti sendiri adalah suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh
gugatan maupun guna menolak dakwaan tuntutan atau gugatan. Sementara itu, yang
dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu
tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian,
guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang
ada lima alat bukti yang sah. Berikut ini akan dijelaskan kelima alat bukti tersebut beserta
1) Keterangan Saksi
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama kali disebutkan dalam Pasal 184
26
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 3
ayat(1) KUHAP. Pengertian dari keterangan saksi diatur di dalam ketentuan Pasal 1
angka 27 KUHAP yang berbunyi : “keterangan saksi adalah Salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.” Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Sementara itu, yang dimaksud dengan
saksi berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “Orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
Sedangkan dalam pasal 185 ayat 2 KUHAP berbunyi Keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang di
dakwakan kepadanya.
2) Keterangan Ahli
Dalam Pasal 1 angka 28 disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan
oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli
berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula dibedakan secara tegas. Namun isi dari
keterangan ahli dan keterangan saksi itu berbeda. Keterangan saksi adalah mengenai apa
yang dialami oleh saksi itu sendiri. Sedangkan keterangan ahli adalah mengenai suatu
penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai
hal-hal tersebut. 27
Sesuai keterangan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka lebih jelas lagi
bahwa keterangan ahli tidak dituntut suatu pendidikan formal tertentu, tetapi juga meliputi
seorang yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang tanpa pendidikan khusus. Perlu
alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan ahli secara tertulis di
luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat”. Apabila keterangan diberikan pada
waktu pemerikaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu
bentuk laporan, dan dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau
pekerjaan, maka keterangan ahli tersebut sebagai alat bukti surat. Contoh yang paling baik
mengenai kedua hal tersebut diatas adalah visum et repertum yang dibuat oleh seorang
dokter.28
3) Surat
Pasal 187 mengatakan surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 (1) huruf c, dibuat
- Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang dan yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
27
Andi hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hlm 274
28
M. Yahya Harahap, pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP jilid 2, hlm 303
tanggung jawabnya;
keahliannya;
- Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
4) Petunjuk
Pasal 188 (1) KUHAP mengatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau
keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun
dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat atau
keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia
melakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti30. Pada akhirnya persoalan diserahkan
pada hakim, dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat
bukti.
5) Keterangan Terdakwa
Dalam Pasal 1 butir 15 terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa
dan diadili di sidang pengadilan. Sedangkan keterangan terdakwa adalah apa yang
29
Kuhap, hal 398
30
M.yahya hlm 312
terdakwa nyatakan di depan sidang pengadilan tentang perbuatan yang telah ia lakukan
atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Kekuatan alat bukti keterangan
terdakwa diatur dalam pasal 183 ayat (3) dan (4) KUHAP. Keterangan terdakwa tidak
dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan orang lain, kecuali disertai oleh alat bukti
lain. Hal ini mengingatkan bahwa terdakwa dalam memberikan keterangannya, tidak
perlu mengucapkan sumpah atau janji. Karena keterangan terdakwa bukanlah pengakuan
Penyangkalan terdakwa adalah hak terdakwa dan harus dihormati. Oleh sebab itu, suatu
penyangkalan terhadap suatu perbuatan mengenai suatu keadaan tidak dapat dijadikan alat
bukti.
1. Pengertian Pembuktian
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
a) Conviction-in Time
diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang
pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim dan
b) Conviction-Raisonsee
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “ keyakinan hakim ” tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem
pembuktian ini keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in
Time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-raisonee
keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib
kesalahan terdakwa.
ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem
ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman
antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan
dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem
i. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang,
ii. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat
pemeriksaan perkara biasa; kedua, pemeriksaan singkat; dan ketiga, pemeriksaan cepat.
Pemeriksaan cepat dibagi lagi atas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara
31
M.yahya hlm 273
Undang-undang tidak memberikan batasan tentang perkara-perkara yang mana yang
termasuk pemeriksaan biasa. Hanya pada pemeriksaan singkat dan cepat saja diberikan
batasan. Pasal 203 ayat (1) KUHAP memberi batasan tentang apa yang dimaksud dengan
pemeriksaan singkat sebagai berikut: “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat
ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang
menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana”. Perlu ditekankan di sini kata-kata: menurut penuntut umum pembuktian serta
menentukan perkara pemeriksaan singkat itu. Pemeriksaan singkat ini dahulu disebut
pemeriksaan sumir.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan pemeriksaan cepat ditentukan oleh Pasal 205 ayat
(1) (tindak pidana ringan) sebagai berikut. "Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan
tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan
penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan terdakwa sudah dipanggil secara sah. Jika tidak
Paragraf 2 ialah mengenai acara pemeriksaan perkara lalu lintas jalan, yang dijelaskan
dalam Pasal 211 sebagai berikut. "Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada
paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu
lintas jalan”. Acara pemeriksaan biasa, sebenarnya berlaku juga bagi pemeriksaan singkat
dan cepat, kecuali dalam hal-hal tertentu yang secara tegas dinyatakan lain. Dimulai hakim
ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (Pasal 153 ayat (3) KUHAP).
Pemeriksaan itu dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh
terdakwa dan saksi (Pasal 153 ayat (2a)). Kalau kedua ketentuan tersebut tidak dipenuhi,
Yang pertama dipanggil masuk ialah terdakwa, yang walaupun ia dalam tahanan, ia
dihadapkan dalam keadaan bebas. Dalam penjelasan Pasal 154 ayat (1) yang mengatur hal
ini, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan keadaan bebas ialah keadaan tidak dibelenggu
Apabila terdakwa tidak hadir, hakim ketua sidang meneliti apakah dipanggil lagi untuk
hadir pada hari sidang berikutnya (Pasal 154 ayat (3) KUHAP).
Hakim ketua sidang merintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah
setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang
Menurut ketentuan yang pertama dipanggil masuk ke sidang ialah terdakwa. Mula-mula
hakim ketua sidang menanyakan identitasnya, seperti nama, tempat lahir, umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaannya, serta
ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila
terdakwa tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib
Penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa penjelasan oleh penuntut umum itu untuk
menjamin hak terdakwa guna memberikan pembelaannya, dan hanya dapat dilakukan pada
permulaan sidang.
Sesudah pembacaan dan penjelasan surat dakwaan oleh penuntut umum, maka
terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan tentang pengadilan tidak
berwenang memeriksa perkara tersebut atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
Mengenai wewenang hakim untuk mengadili dapat dibaca di muka. Kapan suatu
dakwaan tidak dapat diterima, tidak dijelaskan. Menurut pendapat penulis, yang dimaksud
dengan dakwaan tidak dapat diterima tersebut ialah dakwaan penuntut umum tidak dapat
diterima atau yang biasa disebut niet ontvankelijk verklaring van het Openbaar Ministerie.
Undang-undang tidak menjelaskan kapan suatu dakwaan atau tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima. Begitu pula dalam Ned.Sv., tidak diatur hal demikian.
Menurut van Bemmelen, hal itu terjadi jika tidak ada hak untuk menuntut, misalnya
dalam delik aduan tidak ada pengaduan atau delik itu dilakukan pada waktu dan tempat
yang undang-undang pidana tidak berlaku atau hak menuntut telah hapus. Harus
diperhatikan katanya, bahwa jika apa yang termuat dalam surat dakwaan bukan delik,
bukan termasuk tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvan-kelijk verklaring
van het OM) atau pernyataan tidak berwenang (onbervoegdverklaring), tetapi termasuk
Termasuk pula tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika telah ada putusan
yang tidak dapat diubah mengenai perkara tersebut.Maksudnya non bis in idem.
Apabila terdakwa atau penasihat hukum keberatan, penuntut umum diberi kesempatan
untuk selanjutnya mengambil keputusan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP). Kalau keberatan
tersebut diterima oleh hakim, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, dan untuk ini
pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 156 ayat (2) dan (3)).
Ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal
perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh
pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat
negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu, menurut pendapat penulis tidak
sempurna dan tidak sesuai dengan ketentuan pada ayat (1) pasal tersebut seperti telah
dikemukakan di muka, karena keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya menurut ayat
(1) tersebut tidak hanya mengenai ketidak-wenangan pengadilan negeri, tetapi juga
mengenai dakwaan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaring van het OM) dan
Pemeriksaan saksi ditentukan dalam Pasal 160 bahwa yang pertama-tama didengar
keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Kemungkinan urutan pemeriksaan saksi
diserahkan kepada pertimbangan hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut
umum, terdakwa, atau penasihat hukum. Satu hal yang perlu diperhatikan ialah ketentuan
dalam pasal itu yang mengatakan bahwa saksi, baik yang menguntungkan maupun yang
memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang
diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya
sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar
Nilai suatu kesaksian yang disumpah atau mengucapkan janji dan yang tidak, diatur
dalam Pasal 162 KUHAP, tetapi kurang jelas. Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa
cukup jelas. Tidak jelas, karena dikatakan bahwa jika saksi sesudah memberi keterangan
dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di
sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau
karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka pemeriksaan
pendahuluan (penyidikan) saksi tersebut tidak disumpah, apakah keterangan yang
dibacakan itu sama nilainya dengan keterangan saksi yang hadir dan disumpah.
Dalam ayat (2) pasal itu dikatakan bahwa jika keterangan itu sebelumnya telah
diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan
saksi dibawah sumpah yang diucapkan di sidang menurut penafsiran a'contrario, berarti
keterangan saksi dibacakan di sidang yang tidak mengangkat sumpah sebelumnya tidak
sama nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. Kalau
demikian halnya, apakah keterangan saksi yang dibacakan disidang yang belum
mengangkat sumpah sebelumnya itu dapat dipandang sebagai alat bukti petunjuk, karena
dalam Pasal 188 ayat (2) dikatakan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.
Terbukti, seperti telah dikemukakan di muka bahwa petunjuk sebagai alat bukti
Sering terjadi seorang saksi memberikan keterangan yang berbeda di sidang pengadilan
dan di pemeriksaan pendahuluan. Untuk ini ditentukan oleh Pasal 163 KUHAP, bahwa
dalam hal yang demikian, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta
minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan
di sidang.
Dalam penjelasan pasal itu dikatakan cukup jelas. Hal ini mendapat perhatian khusus
karena dapat berbentuk sumpah palsu, misalnya pada pemeriksaan pendahuluan (berita
Penting pula hakim meminta pendapat terdakwa mengenai keterangan saksi, begitu pula
penuntut umum, dan penasihat hukum berkesempatan bertanya kepada saksi atau terdakwa
melalui hakim ketua sidang. Dalam hal ini, hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan
penuntut umum atau penasihat hukum suatu alasan (Pasal 164 ayat (1), (2), dan (3)
KUHAP).
Apabila keterangan saksi disangka palsu, maka hakim ketua sidang memperingatkan
mengemukakan ancaman pidana kepadanya jika tetap memberikan keterangan palsu. Jika
saksi terus memberikan keterangan palsu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas
permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberikan perintah supaya saksi itu
ditahan untuk selanjutnya dituntut karena dakwaan sumpah palsu. Perkara semula dapat
ditangguhkan oleh hakim ketua sidang sampai perkara sumpah palsu tersebut selesai (Pasal
Pasal 175 KUHAP tidak mempunyai hak untuk berdiam tidak menjawab pertanyaan, hal itu
dapat ditarik dari ketentuan pasal itu yang mengatakan "... hakim ketua sidang
Kalau pemeriksaan sidang dipandang sudah selesai, maka penuntut umum mengajukan
pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa
atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Semua ini dilakukan secara tertulis
dan setelah dibacakan diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunnya kepada pihak
Setelah itu, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup,
dengan ketentuan dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang
karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat
Pidana adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
32
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hlm 238-234
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Putusan hakim merupakan “mahkota”
sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia;
penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mempuni dan faktual, serta cerminan etika,
a. Putusan Akhir
Dalam praktiknya putusan akhir lazim disebut dengan istilah putusan atau eind vonnis
dan merupakan jenis putusan bersifat meteriil. Pada hakikatnya putusan ini dapat terjadi
setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok
perkara selesai diperiksa. Adapun mengapa sampai disebut dengan pokok perkara selesai
diperiksa oleh karena majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan telah melalui proses
persidangan, dimulai dari hakim menyatakan acara sidang dinyatakan dibuka dan terbuka
untuk umum sampai pernyataan persidangan ditutup, serta musyawarah majelis hakim dan
pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum dan harus ditandatangani hakim dan
panitera seketika setelah putusan diucapkan (Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
33
Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, hlm.129
34
Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 50
b. Putusan yang Bukan Putusan Akhir
Pada praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa
penetapan atau “putusan sela” sering pula disebut dengan istilah bahasa Belanda tussen-
vonnis. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan pasal 148, Pasal 156 ayat (1) KUHAP,
yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasihat
Pada hakikatnya putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa, antara lain:
ketentuan Pasal 148 ayat (1), Pasal 156 ayat (1) KUHAP.
2) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan jaksa/penuntut umum batal demi hukum.
Hal ini diatur oleh ketentuan Pasal 156 ayat (1), Pasal 143 ayat (2) huruf b, dan
3) Putusan yang berisikan bahwa dakwaan jaksa/penuntut umum tidak dapat diterima
sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP Bentuk penetapan atau putusan
akhir ini secara formal dapat mengakhiri perkara apabila terdakwa dan/atau
penasihat hukum serta penuntut umum telah menerima apa yang diputuskan oleh
majelis hakim.
Akan tetapi, secara materiil, perkara dapat dibuka kembali apabila jaksa/penuntut
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (11) KUHAP terdapat tiga jenis putusan yaitu
putusan pemidanaan, putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, sebagai
berikut :
a. Putusan Bebas
Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari
tuntutan hukum (vrij spraak) atau acquittal Inilah pengertian terdakwa diputus bebas,
terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan.
Tegasnya terdakwa “tidak dipidana”. Dalam Pasal 191 ayat (1), yang menjelaskan, apabila
pengadilan berpendapat:
Pelaksanaan perintah pembebasan dari tahanan terhadap seorang terdakwa yang diputus
diucapkan, dan
35
M. Yahya, hlm 347
2) Sekaligus pelaksanaan pembebasan dari tahanan itu :
dimaksud,
Kalau putusan pembebasan diatur dalam Pasal 191 ayat (1) maka putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2), yang berbunyi. "Jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum.
Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van
recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2), yakni putusan
- apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan
meyakinkan;
36
M. Yahya, hlm 350
- tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
c. Putusan Pemidanaan
Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang
ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan
pasal 193 ayat (1), penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada
penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan
asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183, kesalahan terdakwa
telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur hal yang harus dipenuhi suatu putusan
hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang
tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah:
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
37
M. Yahya, hlm 352
38
M. Yahya, hlm 354
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa
rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang
dijatuhkan;
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan
nama panitera.
Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP dikatakan bahwa surat keputusan
ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.39
39
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal 288