normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan secara yuridis atau
kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah
hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Menurut
Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
Secara umum terdapat pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan
makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaaan diantara para ahli hukum dalam
sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain.
Adapula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit
atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan” sedangkan dalam
1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 10
2
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 20140, hlm. 35
doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai
berikut:3
a. Adanya kesengajaan
b. Adanya perbuatan
a. Penganiayaan biasa
Penganiayaan ringan diatur dalam pasal 352 KUHP. Bedasarkan pasal 352 KUHP,
maka yang dimaksud dengan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak
atau jabatannya. Timbul kerancuan antara Pasal 351 ayat (1) dengan Pasal 352
pelanggaran terhadap Pasal 352 KUHP lazim disebut dengan “Tipiring” (tindak
3
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989), hlm.48
4
R.Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995, hlm.
245.
Penganiayaan ini diatur dalam pasal 353 KUHP. Penganiayaan yang dimaksud sama
saja dengan penganiayaan biasa, hanya saja diisyaratkan ada unsur direncanakan
terlebih dahulu.
Dasar hukum penganiayaan berat diatur dalam Pasal 354 KUHP. Untuk dapat
dikenakan pasal ini, maka si pelaku harus memang memiliki niat untuk melukai berat
Kententuan tersebut diatur dalam Pasal 355 KUHP. Penganiayaan berat yang
direncanakan terlebih dahulu diancam penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Sebagai mahluk sosial, manusia hidup saling berhubungan satu sama lain.
perbuatan itu diancam pidana dalam satu undang-undang maupun tidak, dimana
konflik yang menimbulkan emosi dan memicu terjadinya agresi atau kekerasan yang
berujung pada terjadinya tindak pidana. Emosi yang timbul pada diri seseorang sangat
Jika dilihat dari segi jenisnya, KUHP telah membagi jenis pidana kedalam dua
jenis, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Sistem hukuman yang tercantum dalam
Pasal 10 KUHP menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang
1) Hukuman mati Pidana mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana,
sehingga hanya diancam kepada kejahatan yang amat berat saja. Tujuan dari
5
Dr. H. Saherodji, S.H., Pokok-Pokok Kriminologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 35
6
Yulies tiene masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hlm. 66.
ramai agar mereka, dengan ancaman hukuman mati, akan takut melakukan
berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya
2) Hukum Penjara
Hukuman Penjara Hukuman penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan
3) Hukum kurungan
Hukuman kurungan lebih ringan daripada hukuman penjara. Lebih ringan antara
dilaksanakan dengan batasan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun,
7
Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), hlm.109
8
Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,(Bandung: P.T Karya Nusantara, 1989), hlm.16
9
Ibid, hlm. 109
4) Hukuman Denda
5) Pidana tutupan
pidana tutupan untuk KUHP dan KUHPM. Pidana ini ditujukan bagi pelaku yang
terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Jika tindakan, cara, dan akibat
tindakan itu wajar dijatuhi hukuamn penjara, maka pidana tutupan tidak berlaku.10
b. Hukum tambahan
yaitu:11
1) Pencabutan beberapa hak tertentu. Pencabutan hak-hak tertentu diatur dalam pasal
35 KUHP, dalam hal pencabutan beberapa hak tertentu, maka hakim dapat
10
Ibid, hlm. 110
11
Ibid, hlm. 110
mencabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang atau dalam
aturan umum;
pasal 39 KUHP.12
hakim, maka harus ditentukan pula cara mengumumkan ini dan biayanya harus
12
Soesilo R, KUHP,(Bandung: P.T Karya Nusantara, 1989), hlm.28
13
Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), hlm.110
BAB III ALAT BUKTI SAKSI
Saksi a charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh
penuntut umum, saksi a charge diajukan oleh penuntut umum untuk memperkuat surat
dakwaan, selam berlangsungnya sidang atau belum dijatuhkannya putusan, hakim ketua
sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut, hal ini sebagaimana dirumuskan
dalam pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP. (Pasal 160 ayat (1) huruf c UU No 18 Tahun
“Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan
terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta
oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya
sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan hakim ketua sidang wajib mendengar
penuntut umum. Hal ini telah ditentukan oleh Hukum Acara Pidana, bahwa penuntut
umum adalah pihak yang bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk
mengajukan segala daya upaya untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa dalam surat dakwaaan. Sebaliknya, terdakwa atau penasihat hukum mempunyai
umum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Misalnya dengan
mengadakan sangkalan atau bantahan yang beralasan atas dakwaan penuntut umum, atau
dengan alibi atau dengan mengajukan saksi yang menguntungkan atau saksi a decharge,
sebagaimana hak tersebut diatur dalam Hukum Acara Pidana yakni pada Pasal 65, Pasal
Setiap keterangan yang diberikan oleh saksi dapat berpotensi untuk menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam sebuah putusan, namun mengenai bobot dannilai dari
keterangan saksi tersebut hanya dapat dinilai oleh hakimsendiri yangmemeriksa perkara
pidana tersebut.14
Pasal 1 angka 27 dan Pasal 160 ayat (3), serta Pasal 185 ayat (6) Hukum Acara Pidana,
bahwa saksi harus memberikan keterangan sesuai denganapa yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri mengenai suatuperistiwa pidana dan wajib yang
sebenarnya. Jaminan dari segi yuridis saksi akan memberikan keterangan yang
sebenarnya adalah bahwa saksi itu disumpah. PadaPasal 160 ayat (3) Hukum Acara
Berdasarkan ketentuan Pasal 160 ayat (3) Hukum Acara Pidana diatas jelasbahwa
sendiri, lihat sendiri, dan atau ia alami sendiri tentang suatuperistiwa pidana, yang tujuan
14
Hendri Abdi Panca, 2013. “Hak Terdakwa Untuk Menghadirkan Saksi A Decharge Di Sidang
Pengadilan”. Jurnal Elektronik DELIK, Vol. 1., No. 1. Pematang Siantar: Fakultas Hukum Universitas Simalungun.
hlm. 124.
saksi “meringankan” (a decharge) tersebut membuat bertambah kuat keyakinan hakim
dan membuat jelas dan terang kronologis perkara pidana tersebut bahwa terdakwa
c. Saksi de auditu saksi yang memberikan keterangan yang diperolehnya dari orang lain
atau saksi yang tidak perlu didengar kesaksiannya karena mendengar dari pihak
ketiga.
d. Saksi Mahkota (kroon Getuige) atau saksi utama adalah saksi yang berasal atau
diambil dari salah seorang atau lebih tersangkaatau terdakwa lainnya yang bersama-
sama melakukan suatu tindak pidana akibat tindakannya yang kooperatif tersebut
saksi tersebut diberikan "mahkota" (dibebaskan dari penuntutan atau dituntut lebih
e. Saksi korban yaitu orang yang mengalami kerugian akibat suatu perbuatan tindak
15
Barunggam Siregar, Nilai Kebenaran dalam Keterangan Saksi “Meringankan” Menjadi Saksi
Memberatkan, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, hlm. 233
16
Prasetyo Margono, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Serta Hak-Hak Saksi Ditinjau
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jurnal Independen Vol 5 No. 1, hlm. 48
f. Saksi pelapor adalah orang yang mengetahui, mendengar, melihat kejadian atau
g. Saksi fakta memiliki pengertian yang sama seperti saksi pelapor. Perbedaan terletak
pada tindakan saksi. Saksi fakta tidak melapor/menyampaikan hal yang ia ketahui,
tetapi ia ditarik menjadi saksi oleh pihak penyidik guna kepentingan pemeriksaan
suatu perkara.
h. Saksi relatief onbevoegd mereka yang tidak mampu secara nisbi atau relatief, mereka
i. Saksi absolut onbevoegd mereka yang tidak mampu secara mutlak atau absolut,
pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu Hakim dalam
mungkir, seringkali penyidik yang memeriksa perkara tersebut dipanggil jadi saksi.
dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan
peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim
yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata
Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang
a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.
b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua
satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya
Hakim memiliki kewenangan untuk memutus suatu perkara pidana yang diajukan
kepadanya. Dalam memutus perkara tersebut hakim wajib untuk mandiri dan segala
campur tangan pihak yang tidak berkepentingan tidak diperbolehkan. Hal ini untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak boleh
diintervensi oleh pihak siapapun karena dalam hukum pidana Indonesia yang dapat
menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah adalah hakim. Hakim dituntut untuk
menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam suatu masyarakat dan juga hams dimiliki oleh
setiap hakim, hal ini untuk membantu pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara
17
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004),
hlm.140
18
Ibid, hlm. 110
pidana. Di Indonesia sendiri memiliki keanekaragaman budayadan suku sehingga suatu
kewajiban hakim juga untuk memperhatikan kearifan lokal yang berada pada daerah
setempat yang dapat digunakan untuk menjadi pertimbangan dalam memutus perkara.
yaitu berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Pembuktian
terdakwa untuk membela dirinya, terdakwa dapat membela diri dengan mengajukan alat
bukti yang sah kepada hakim. Alat bukti yang diajukan oleh terdakwa kepada hakim
dapat berupa saksi a de charge, keterangan ahli, surat atau petunjuk. Alat bukti yang
diajukan oleh terdakwa adalah untuk menguntungkan diri terdakwa sendiri dan dapat
berdampak pada putusan hakim dalam kasus korupsi yang bersangkutan putusan hakim
pada Pengadilan Tipikor adalah setelah adanya proses pemeriksaan saksi, ahli dan alat-
alat bukti terkait lalu diteruskan dengan musyawarah hakim untuk memutus apakah
terdakwa bebas, lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan pemidanaan. Keterangan
saksi a de charge yang diajukan baik oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, sebelum
penjatuhan putusan, hakim wajib mendengar keterangan saksi a de charge tersebut. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 160 ayat (1) butir c KUHAP, yang menjelaskan bahwa
dalam hal ada saksi yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa dan
tercantum pada surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta baik oleh terdakwa atau
penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya suatu putusan oleh hakim, hakim ketua sidang sendiri wajib untuk
charge pada persidangan tidak hanya menguntungkan terdakwa semata namun juga dapat
persidangan. Keseimbangan antara beban pembuktian antara JPU dan terdakwa dapat
saksi a de charge ditentukan oleh terdakwa, namun mengenai keterangan kesaksian saksi
a de charge yang dapat mempengaruhi hakim hanya dapat ditentukan oleh hakim dengan
mencermati kesesuaian antara keterangan saksi a de charge dan alat-alat bukti lain dalam
persidangan.20
CHARGE
Aturan tersebut menjadi dasar hakim dalam menilai saksi. Hal tersebut
dikarenakan setiap keterangan yang diberikan oleh saksi dapat berpotensi untuk menjadi
bahan pertimbangan hakim dalam sebuah putusan, namun mengenai bobot nilai atas
yang diberikan terdakwa di persidangan dan juga dengan barang bukti yang diajukan di
persidangan. Menurut Pasal 185 ayat (2) KUHAP apabila keterangan saksi itu terdapat
hubungan satu dengan lainnya maka dapat membenarkan adanya suatu kejadian tertentu.
Dalam hal ini, antara keterangan saksi a charge dan saksi a de charge akan bernilai
apabila ada hubungan satu dengan yang lain. Terutama saksi a de charge akan bernilai
20
Eky Chaimansyah, Hak Tersangka/Terdakwa Untuk Mengajukan Saksi A De Charge (Saksi
Meringankan) Dalam Proses Perkara Pidana, Jurnal Lex Crimen, Vol. V No. 2, 2016
21
Alfitra, Hukum Pembuktian Tindak Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2011), hlm. 7
sesuai perannya jika keterangannya berhubungan dengan saksi a charge namun
melemahkan.22
Pasal 183 Jo Pasal 193 KUHAP telah menjamin tegaknya kebenaran, keadilan
dan kepastian hukum dalam menjatuhkan putusan berdasarkan sistem pembuktian negatif
mengisyaratkan berdasarkan dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Atas dasar
tersebut jika pengadilan berpendapat terdakwa bersalah maka dapat dijatuhi hukuman. 23
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dapat diketahui bahwa kedudukan saksi
a de charge dengan saksi a charge setara karena Pasal 184 KUHAP tidak menjabarkan
hal-hal yang relevan dengan perkara karena untuk melemahkan dakwaan dari penuntut
umum yang dibuktikan melalui saksi a charge. Oleh karena itu, dalam
a de charge tersebut setidak-tidaknya seperti apa yang telah diatur dalam Pasal 1 angka
27 KUHAP bahwa keterangan saksi haruslah keterangan berdasarkan apa yang dilihat,
didengar dan dialami sendiri. Relevansi yang tepat akan mematahkan dakwaan dari
penuntut umum. Jika hasil kualifikasi tersebut tepat dan penilaian hakim menyatakan sah
dan meyakinkan maka terdakwa dapat diputus seringan-ringannya bahkan dapat diputus
bebas. Oleh karena itu, kehadiran saksi a de charge memberikan kepastian hukum bagi
Daftar Pustaka
Alfitra. Hukum Pembuktian Tindak Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia. Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2011.
22
Dr. Ruslan Renggong, S.H.,M.H., Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik Di Luar KUHP,
(Jakarta: Kencana, 2016), Hlm. 29.
23
Ibid, hlm. 30
Arto, Mukti Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2004.
Gunadi, Ismu dan Efendi, Jonaedi. Hukum Pidana. Jakarta: Kencana, 2014.
Margono, Prasetyo. Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Serta Hak-Hak Saksi
Ditinjau Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jurnal
Independen 5.1 (2019).
Marpaung, Leden. Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Masriani, Yulies Tiene. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Panca, Hendri Abdi. ‘Hak Terdakwa Untuk Menghadirkan Saksi A Decharge Di Sidang
Pengadilan’. Jurnal Elektronik DELIK, 1.1 (2013).
Siregar, Barunggam. Nilai Kebenaran dalam Keterangan Saksi “Meringankan” Menjadi Saksi
Memberatkan, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum.
Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia,
1995.
Penjelasan Pasal 160 ayat (1) butir c, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.