Anda di halaman 1dari 17

BAB II TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

1. PENGERTIAN TIDAK PIDANA

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis

normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan secara yuridis atau

kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah

perbuatan seperti yang terwujud in abstracto dalam peraturan pidana.1

Menurut Simons, Pengertian Tindak Pidana merupakan tindakan melanggar

hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang

hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Menurut

Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barangsiapa

melanggar larangan tersebut.2

2. MACAM-MACAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

Secara umum terdapat pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan

makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaaan diantara para ahli hukum dalam

memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan

sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain.

Adapula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit

atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan” sedangkan dalam

1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 10

2
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 20140, hlm. 35
doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai

berikut:3

a. Adanya kesengajaan

b. Adanya perbuatan

c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yaitu:

1. rasa sakit pada tubuh

2. luka pada tubuh

Penganiayaan dapat digolongkan atas beberapa macam yaitu:4

a. Penganiayaan biasa

Diatur dalam Pasal 351 KUHP.

b. Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP)

Penganiayaan ringan diatur dalam pasal 352 KUHP. Bedasarkan pasal 352 KUHP,

maka yang dimaksud dengan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak

mengakibatkan orang menjadi sakit dan terhalang untuk melakukan pekerjaannya

atau jabatannya. Timbul kerancuan antara Pasal 351 ayat (1) dengan Pasal 352

KUHP, sehingga dalam penerapannya timbul kerumitan, terutama karena

pelanggaran terhadap Pasal 352 KUHP lazim disebut dengan “Tipiring” (tindak

pidana ringan), yang berdasarkan KUHAP (Pasal 205(1)), langsung diajukan

penyidik ke Pengadilan Negeri, dengan demikian tidak melibatkan Penuntut Umum.

c. Penganiayaan dengan perencanaan (Pasal 353 KUHP)

3
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989), hlm.48
4
R.Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995, hlm.
245.
Penganiayaan ini diatur dalam pasal 353 KUHP. Penganiayaan yang dimaksud sama

saja dengan penganiayaan biasa, hanya saja diisyaratkan ada unsur direncanakan

terlebih dahulu.

d. Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP)

Dasar hukum penganiayaan berat diatur dalam Pasal 354 KUHP. Untuk dapat

dikenakan pasal ini, maka si pelaku harus memang memiliki niat untuk melukai berat

atau dengan kata lain agar objeknya luka berat.

e. Penganiayaan berat dengan perencanaan (Pasal 355 KUHP)

Kententuan tersebut diatur dalam Pasal 355 KUHP. Penganiayaan berat yang

direncanakan terlebih dahulu diancam penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Apabila perbuatan tersebut menimbulkan keatian, maka hukumannya dinaikan

menjadi 15 (lima belas) tahun.

3. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN SESEORANG MELAKUKAN

TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

Sebagai mahluk sosial, manusia hidup saling berhubungan satu sama lain.

Sehingga dengan demikian pasti terjadi pergesekan-pergesekan emosional yang kadang

memicu terjadinya tindak pidana penganiayaan antar manusia. Secara filosofis,

penganiayaan adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah

perbuatan itu diancam pidana dalam satu undang-undang maupun tidak, dimana

perbuatan tersebut benar-benar dirasakan masyarakat sebagai hal yang bertentangan

dengan rasa keadilan.

Faktor seseorang melakukan kejahatan bisa ditimbulkan oleh pertikaian atau

konflik yang menimbulkan emosi dan memicu terjadinya agresi atau kekerasan yang
berujung pada terjadinya tindak pidana. Emosi yang timbul pada diri seseorang sangat

erat kaitannya dengan faktor eksternal dan faktor internal.

Menurut Hari Saherodji, faktor-faktor penyebab tindak pidana penganiayaan


adalah:
a. Faktor Internal
1) Sifat-sifat umum dari Individu, seperti:
a) Umur
Dari kecil hingga dewasa, manusia mengalami perubahan-perubahan
baik didalam jasmani maupun rohani. Dengan adanya perubahan tadi,
maka tiap-tiap masa manusia dapat berbuat kejahatan. Hanya ada
perbedaan dalam tingkatan kejahatan , sesuai dengan perkembangan
alam pikiran serta keadaan-keadaan lain yang ada di sekitar individu atau
pada masyarakat.
b) Sex
Hal ini berkaitan dengan keadaan fisik, laki-laki lebih kuat sehingga
kemungkinan berbuat jahat lebih besar (kejahatan umum bukan khusus).
c) Kedudukan individu dalam masyarakat
d) Pendidikan individu
Hal ini mempengaruhi keadaan jiwa, tingkah laku terutama
intelegensianya.
e) Rekreasi/hiburan individu
Kurang rekreasi dapat menimbulkan kejahatan-kejahatan dalam
masyarakat.
f) Agama
Unsur pokok dalam kehidupan manusia dan juga merupakan
kebutuhan spiritual yang utama. Norma-norma yang terdapat didalamnya
mengenai nilai-nilai yang tertinggi dalam hidup manusia. Sebab norma
tersebut merupakan ketuhanan dan segala sesuatu yang telah digariskan
oleh agama itu selalu baik serta membimbing menuju kearah yang baik
dan benar.
2) Sifat-sifat khusus dari individu yaitu keadaan jiwa individu.
Kejiwaan ini menitikberatkan pada segi psikologis. Pada masalah
kepribadian sering muncul kelakuan menyimpang. Penyimpangan ini
mungkin terhadap sistem sosial/terhadap pola-pola kebudayaan;
b. Faktor Eksternal5
1) Waktu kejahatan, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pada saat mana
kejahatan itu banyak dilakukan. Serta waktu yang sangat mempengaruhi
tingkah laku seseorang.
2) Tempat Kejadian, tempat kejadian ini, sama masalahnya dengan waktu
kejahatan. Para penjahat pasti akan memilih tempat yang menguntungkan
baginya.
3) Keadaan keluarga dalam hubungan dengan kejahatan.
Selain faktor-faktor di atas, adanya niat dan kesempatan juga merupakan faktor
yang memicu timbulnya kejahatan. Teori NKK (Niat, Kesempatan dan Kejahatan) ini
merupakan teori terbaru yang rnencoba menjelaskan sebab terjadinya kejahatan di
dalam masyarakat. Teori ini sering dipergunakan oleh aparat kepolisian di dalam
menanggulangi kejahatan di masyarakat.
4. PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

Jika dilihat dari segi jenisnya, KUHP telah membagi jenis pidana kedalam dua

jenis, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Sistem hukuman yang tercantum dalam

Pasal 10 KUHP menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang

pelaku tindak pidana terdiri dari:6

a. Hukuman Pokok (hoofdstraffen).

1) Hukuman mati Pidana mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana,

sehingga hanya diancam kepada kejahatan yang amat berat saja. Tujuan dari

menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak

5
Dr. H. Saherodji, S.H., Pokok-Pokok Kriminologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 35
6
Yulies tiene masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hlm. 66.
ramai agar mereka, dengan ancaman hukuman mati, akan takut melakukan

perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati.

Ada perbedaan pendapat tentang hukuman mati, karena sebagian Negara

telah menghapuskanya. Diindonesia ada juga pendapat yang menginginkan

penghapusan hukuman mati. Sebagian berpendapat bahwa dalam hal-hal tertentu

dapat dibenarkan adanya hukuman itu, yaitu apabila si pelaku telah

memperlihatkan dari perbuatanya bahwa ia adalah individu yang sangat

berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya

dengan cara dikeluarkan dari pergaulan hidup.7

2) Hukum Penjara

Hukuman Penjara Hukuman penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan

digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan Hakim.

Pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara tersebut menjadi “Lembaga

Pemasyarakatan”. Artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses

penempatan serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk Lembaga di

samping lamanya menjalani hukuman itu.8

3) Hukum kurungan

Hukuman kurungan lebih ringan daripada hukuman penjara. Lebih ringan antara

lain dalam melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa

peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari. Hukuman kurungan

dilaksanakan dengan batasan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun,

ketentuan tentang hukuman kurungan telah diatur dalam pasal 18 KUHP.9

7
Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), hlm.109
8
Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,(Bandung: P.T Karya Nusantara, 1989), hlm.16
9
Ibid, hlm. 109
4) Hukuman Denda

Hukuman denda selain diancamkan kepada pelaku pelanggaran juga diancamkan

terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternativ atau komulatif. Hukuman

denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembalikan

keseimbangan hukum atau menebus dosa-sosanya dengan pembayaran sejumlah

uang tertentupidana tutupan

5) Pidana tutupan

Pidana tutupan sebagai pidana pokok muncul melalui UU No 2 Tahun 1946,

Berita RI.II. Nomor 24.dalam pasal 1 Undang-undang tersebut ditambahkan jenis

pidana tutupan untuk KUHP dan KUHPM. Pidana ini ditujukan bagi pelaku yang

melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, akan tetapi

terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Jika tindakan, cara, dan akibat

tindakan itu wajar dijatuhi hukuamn penjara, maka pidana tutupan tidak berlaku.10

b. Hukum tambahan

Hukuman Tambahan (bijkomende straffen) menurut aturan umum kodifikasi hukum

pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana

pokok.Penjatuhan hukuman tambahan itu biasannya bersifat fakultatif. Hakim tidak

diharuskan menjatuhkan hukuman tambahan.Jenis hukuman tambahan diantaranya

yaitu:11

1) Pencabutan beberapa hak tertentu. Pencabutan hak-hak tertentu diatur dalam pasal

35 KUHP, dalam hal pencabutan beberapa hak tertentu, maka hakim dapat

10
Ibid, hlm. 110
11
Ibid, hlm. 110
mencabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang atau dalam

aturan umum yang lain, diantaranya yaitu sebagai berikut:

a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;

b) Hak memasuki angkatan bersenjata;

c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkanaturan-

aturan umum;

d) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapanpengadilan, hak

menjadi wali, wali pengawas, pengampu, ataupengampu pengawas, atas orang

yang bukan anak sendiri;

e) Hak menjalankan kekuasaan bapak atau pengampuan atas anak sendiri;

f) Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.

2) Perampasan Barang-barang Tertentu.

Perampasan barang-barang tertentu adalah perampasan barang hasil kejahatan

atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan

kejahatannya.Ketentuan perampasan barang-barang tertentu telah diatur dalam

pasal 39 KUHP.12

c. Pengumuman Keputusan Hakim

Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai

agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum.

Pada akhirnya pasal 43 KUHP menentukan apabila diputuskan pengumuman putusan

hakim, maka harus ditentukan pula cara mengumumkan ini dan biayanya harus

dipikul oleh si terhukum.13

12
Soesilo R, KUHP,(Bandung: P.T Karya Nusantara, 1989), hlm.28
13
Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), hlm.110
BAB III ALAT BUKTI SAKSI

1. PENGERTIAN SAKSI A CHARGER

Saksi a charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh

penuntut umum, saksi a charge diajukan oleh penuntut umum untuk memperkuat surat

dakwaan, selam berlangsungnya sidang atau belum dijatuhkannya putusan, hakim ketua

sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut, hal ini sebagaimana dirumuskan

dalam pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP. (Pasal 160 ayat (1) huruf c UU No 18 Tahun

1981 tentang Hukum Acara menyatakan:

“Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan

terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta

oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya

sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan hakim ketua sidang wajib mendengar

keterangan saksi tersebut)”

2. FUNGSI SAKSI A CHARGE DAN A DE CHARGE

Saksi yang memberatkan (a charge) terdakwa tentunya akan diajukan oleh

penuntut umum. Hal ini telah ditentukan oleh Hukum Acara Pidana, bahwa penuntut

umum adalah pihak yang bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk

mengajukan segala daya upaya untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa dalam surat dakwaaan. Sebaliknya, terdakwa atau penasihat hukum mempunyai

hak untuk melemahkan atau melumpuhkanpembuktian yang diajukan oleh penuntut

umum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Misalnya dengan

mengadakan sangkalan atau bantahan yang beralasan atas dakwaan penuntut umum, atau

dengan alibi atau dengan mengajukan saksi yang menguntungkan atau saksi a decharge,
sebagaimana hak tersebut diatur dalam Hukum Acara Pidana yakni pada Pasal 65, Pasal

116 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) huruf c.

Setiap keterangan yang diberikan oleh saksi dapat berpotensi untuk menjadi dasar

pertimbangan hakim dalam sebuah putusan, namun mengenai bobot dannilai dari

keterangan saksi tersebut hanya dapat dinilai oleh hakimsendiri yangmemeriksa perkara

pidana tersebut.14

Keterangan saksi “meringankan” (a decharge) apabila dikaitkan dengan ketentuan

Pasal 1 angka 27 dan Pasal 160 ayat (3), serta Pasal 185 ayat (6) Hukum Acara Pidana,

bahwa saksi harus memberikan keterangan sesuai denganapa yang ia dengar sendiri, ia

lihat sendiri dan ia alami sendiri mengenai suatuperistiwa pidana dan wajib yang

sebenarnya. Jaminan dari segi yuridis saksi akan memberikan keterangan yang

sebenarnya adalah bahwa saksi itu disumpah. PadaPasal 160 ayat (3) Hukum Acara

Pidana ditentukan bahwa sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan

sumpah atau janji menurut agamanyamasing-masing, bahwa ia akan memberikan

keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 160 ayat (3) Hukum Acara Pidana diatas jelasbahwa

saksiwajib memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai denganapayang ia dengar

sendiri, lihat sendiri, dan atau ia alami sendiri tentang suatuperistiwa pidana, yang tujuan

utamanya adalah supaya memperoleh nilai kebenaran.

Berdasarkan hal diatas, adanya nilai kebenaran dalam keterangan saksi

“meringankan” (a decharge) yang dihadirkan oleh tersangka atau terdakwa, maka

peranannya berdampak menjadi saksi memberatkan, sehingga berdasarkan keterangan

14
Hendri Abdi Panca, 2013. “Hak Terdakwa Untuk Menghadirkan Saksi A Decharge Di Sidang
Pengadilan”. Jurnal Elektronik DELIK, Vol. 1., No. 1. Pematang Siantar: Fakultas Hukum Universitas Simalungun.
hlm. 124.
saksi “meringankan” (a decharge) tersebut membuat bertambah kuat keyakinan hakim

dan membuat jelas dan terang kronologis perkara pidana tersebut bahwa terdakwa

bersalah sebagai pelakunya.15

3. JENIS-JENIS SAKSI A CHARGE DAN A DE CHARGE

Adapun jenis-jenis saksi yaitu:16

a. Saksi a charge adalah saksi-saksi yang memberikan keterangan yang menguatkan

pihak Jaksa (melemahkan pihak terdakwa).

b. Saksi a de charge adalah saksi-saksi yang memberikan keterangan yang menguatkan

pihak terdakwa (melemahkan pihak Jaksa).

c. Saksi de auditu saksi yang memberikan keterangan yang diperolehnya dari orang lain

atau saksi yang tidak perlu didengar kesaksiannya karena mendengar dari pihak

ketiga.

d. Saksi Mahkota (kroon Getuige) atau saksi utama adalah saksi yang berasal atau

diambil dari salah seorang atau lebih tersangkaatau terdakwa lainnya yang bersama-

sama melakukan suatu tindak pidana akibat tindakannya yang kooperatif tersebut

saksi tersebut diberikan "mahkota" (dibebaskan dari penuntutan atau dituntut lebih

ringan dari tuntutan terdakwa lainnya).

e. Saksi korban yaitu orang yang mengalami kerugian akibat suatu perbuatan tindak

pidana atau orang yang melapor atau saksi yang mengadu.

15
Barunggam Siregar, Nilai Kebenaran dalam Keterangan Saksi “Meringankan” Menjadi Saksi
Memberatkan, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, hlm. 233
16
Prasetyo Margono, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Serta Hak-Hak Saksi Ditinjau
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jurnal Independen Vol 5 No. 1, hlm. 48
f. Saksi pelapor adalah orang yang mengetahui, mendengar, melihat kejadian atau

proses kejadian suatu peristiwa hukum dan kemudian menyampaikannya kepada

aparatur penegak hukum.

g. Saksi fakta memiliki pengertian yang sama seperti saksi pelapor. Perbedaan terletak

pada tindakan saksi. Saksi fakta tidak melapor/menyampaikan hal yang ia ketahui,

tetapi ia ditarik menjadi saksi oleh pihak penyidik guna kepentingan pemeriksaan

suatu perkara.

h. Saksi relatief onbevoegd mereka yang tidak mampu secara nisbi atau relatief, mereka

ini boleh didengar, tetapi tidak sebagai saksi.

i. Saksi absolut onbevoegd mereka yang tidak mampu secara mutlak atau absolut,

hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi.

j. Saksi ahli (deskundigenbericht, espertise) atau keterangan ahli adalah keterangan

pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu Hakim dalam

pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim sendiri.

k. Saksi Verbalisan (penyidik), apabila dalam persidangan terdakwa mencabut

keterangannya pada waktu pemeriksaan penyidikan (Berita Acara Penyidikan) atau

mungkir, seringkali penyidik yang memeriksa perkara tersebut dipanggil jadi saksi.

4. PERTIMBANGAN HAKIM SAKSI A CHARGE DAN A DE CHARGE

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian,

dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan

di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu

peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim
yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata

baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan

kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.17

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang

hal-hal sebagai berikut:

a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.

b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua

fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/diadili secara

satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya

dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.18

Hakim memiliki kewenangan untuk memutus suatu perkara pidana yang diajukan

kepadanya. Dalam memutus perkara tersebut hakim wajib untuk mandiri dan segala

campur tangan pihak yang tidak berkepentingan tidak diperbolehkan. Hal ini untuk

menjaga kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan. Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak boleh

diintervensi oleh pihak siapapun karena dalam hukum pidana Indonesia yang dapat

menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah adalah hakim. Hakim dituntut untuk

menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan

berpengalaman di bidang hukum. Menggali, mengikuti, dan memahami suatu nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam suatu masyarakat dan juga hams dimiliki oleh

setiap hakim, hal ini untuk membantu pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara

17
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004),
hlm.140
18
Ibid, hlm. 110
pidana. Di Indonesia sendiri memiliki keanekaragaman budayadan suku sehingga suatu

kewajiban hakim juga untuk memperhatikan kearifan lokal yang berada pada daerah

setempat yang dapat digunakan untuk menjadi pertimbangan dalam memutus perkara.

Pembuktian pada Pengadilan Tipikor sama dengan pembuktian pada KUHAP

yaitu berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Pembuktian

terbalik terbatas yang terdapat pada Pengadilan Tipikor memberikan kesempatan

terdakwa untuk membela dirinya, terdakwa dapat membela diri dengan mengajukan alat

bukti yang sah kepada hakim. Alat bukti yang diajukan oleh terdakwa kepada hakim

dapat berupa saksi a de charge, keterangan ahli, surat atau petunjuk. Alat bukti yang

diajukan oleh terdakwa adalah untuk menguntungkan diri terdakwa sendiri dan dapat

digunakan untuk mempengaruhi keyakinan hakim terhadap diri terdakwa yang

berdampak pada putusan hakim dalam kasus korupsi yang bersangkutan putusan hakim

pada Pengadilan Tipikor adalah setelah adanya proses pemeriksaan saksi, ahli dan alat-

alat bukti terkait lalu diteruskan dengan musyawarah hakim untuk memutus apakah

terdakwa bebas, lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan pemidanaan. Keterangan

saksi a de charge yang diajukan baik oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, sebelum

penjatuhan putusan, hakim wajib mendengar keterangan saksi a de charge tersebut. Hal

ini sesuai dengan ketentuan Pasal 160 ayat (1) butir c KUHAP, yang menjelaskan bahwa

dalam hal ada saksi yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa dan

tercantum pada surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta baik oleh terdakwa atau

penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum

dijatuhkannya suatu putusan oleh hakim, hakim ketua sidang sendiri wajib untuk

mendengar keterangan saksi tersebut.19


19
Penjelasan Pasal 160 ayat (1) butir c, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dalam persidangan tidak jarang terdakwa tidak menghadirkan saksi a de charge

dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi. Namun dengan kehadiran saksi a de

charge pada persidangan tidak hanya menguntungkan terdakwa semata namun juga dapat

membantu hakim dalam menentukan fakta-fakta hukum mengenai kasus dalam

persidangan. Keseimbangan antara beban pembuktian antara JPU dan terdakwa dapat

terjadi dengan didengarnya keterangan saksi a de charge dalam persidangan. Kualifikasi

saksi a de charge ditentukan oleh terdakwa, namun mengenai keterangan kesaksian saksi

a de charge yang dapat mempengaruhi hakim hanya dapat ditentukan oleh hakim dengan

mencermati kesesuaian antara keterangan saksi a de charge dan alat-alat bukti lain dalam

persidangan.20

5. PERKARA HUKUM YANG MEMERLUKAN SAKSI A CHARGE DAN A DE

CHARGE

Aturan tersebut menjadi dasar hakim dalam menilai saksi. Hal tersebut

dikarenakan setiap keterangan yang diberikan oleh saksi dapat berpotensi untuk menjadi

bahan pertimbangan hakim dalam sebuah putusan, namun mengenai bobot nilai atas

keterangan saksi hanya dapat dinilai oleh hakim.21

Keterangan-keterangan saksi yang lain saling dihubungkan dengan keterangan

yang diberikan terdakwa di persidangan dan juga dengan barang bukti yang diajukan di

persidangan. Menurut Pasal 185 ayat (2) KUHAP apabila keterangan saksi itu terdapat

hubungan satu dengan lainnya maka dapat membenarkan adanya suatu kejadian tertentu.

Dalam hal ini, antara keterangan saksi a charge dan saksi a de charge akan bernilai

apabila ada hubungan satu dengan yang lain. Terutama saksi a de charge akan bernilai
20
Eky Chaimansyah, Hak Tersangka/Terdakwa Untuk Mengajukan Saksi A De Charge (Saksi
Meringankan) Dalam Proses Perkara Pidana, Jurnal Lex Crimen, Vol. V No. 2, 2016
21
Alfitra, Hukum Pembuktian Tindak Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2011), hlm. 7
sesuai perannya jika keterangannya berhubungan dengan saksi a charge namun

melemahkan.22

Pasal 183 Jo Pasal 193 KUHAP telah menjamin tegaknya kebenaran, keadilan

dan kepastian hukum dalam menjatuhkan putusan berdasarkan sistem pembuktian negatif

mengisyaratkan berdasarkan dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Atas dasar

tersebut jika pengadilan berpendapat terdakwa bersalah maka dapat dijatuhi hukuman. 23

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dapat diketahui bahwa kedudukan saksi

a de charge dengan saksi a charge setara karena Pasal 184 KUHAP tidak menjabarkan

saksi a charge atau a de charge. Dalam menghadirkan saksi a de charge memperhatikan

hal-hal yang relevan dengan perkara karena untuk melemahkan dakwaan dari penuntut

umum yang dibuktikan melalui saksi a charge. Oleh karena itu, dalam

mengkualifikasikan saksi a de charge perlu memperhatikan mengenai relevansi dari saksi

a de charge tersebut setidak-tidaknya seperti apa yang telah diatur dalam Pasal 1 angka

27 KUHAP bahwa keterangan saksi haruslah keterangan berdasarkan apa yang dilihat,

didengar dan dialami sendiri. Relevansi yang tepat akan mematahkan dakwaan dari

penuntut umum. Jika hasil kualifikasi tersebut tepat dan penilaian hakim menyatakan sah

dan meyakinkan maka terdakwa dapat diputus seringan-ringannya bahkan dapat diputus

bebas. Oleh karena itu, kehadiran saksi a de charge memberikan kepastian hukum bagi

terdakwa karena berpengaruh terhadap putusan hakim.

Daftar Pustaka

Alfitra. Hukum Pembuktian Tindak Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia. Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2011.
22
Dr. Ruslan Renggong, S.H.,M.H., Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik Di Luar KUHP,
(Jakarta: Kencana, 2016), Hlm. 29.
23
Ibid, hlm. 30
Arto, Mukti Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2004.

Gunadi, Ismu dan Efendi, Jonaedi. Hukum Pidana. Jakarta: Kencana, 2014.

Margono, Prasetyo. Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Serta Hak-Hak Saksi
Ditinjau Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jurnal
Independen 5.1 (2019).

Marpaung, Leden. Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Masriani, Yulies Tiene. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1999.

Panca, Hendri Abdi. ‘Hak Terdakwa Untuk Menghadirkan Saksi A Decharge Di Sidang
Pengadilan’. Jurnal Elektronik DELIK, 1.1 (2013).

Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka, 1989.

Saherodji. Pokok-Pokok Kriminologi. Jakarta: Aksara Baru, 1980.

Siregar, Barunggam. Nilai Kebenaran dalam Keterangan Saksi “Meringankan” Menjadi Saksi
Memberatkan, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum.

Soesilo R. KUHP. Bandung: P.T Karya Nusantara, 1989.

Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia,
1995.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1981 tentang Hukum Acara.

Penjelasan Pasal 160 ayat (1) butir c, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Anda mungkin juga menyukai