Anda di halaman 1dari 11

TUGAS HUKUM PERCOBAAN TINDAK PIDANA

EFEKTIVITAS PENERAPAN PASAL 53 KUHP TERHADAP PELAKU PENYIRAMAN AIR KERAS


KEPADA NOVEL BASWEDAN

Dosen pengampu:

Bapak. Prihadi Mulyatno, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Biqi Darmawan

03200015 (4A)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JAKARTA

2022
A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan modern suatu negara salah satunya ditandai dengan


derasnya tuntutan masyarakat terkait HAM (Hak Asasi Manusia) sebagai acuan
dalam pembentukan tatanan sosial, budaya, politik, serta hukum. Hak asasi
manusia merupakan anugerah yang diberikan Tuhan dan melekat pada diri
manusia yang diakui serta dihormati tanpa membedakan jenis kelamin, warna
kulit, agama, kebangsaan, usia, status sosial, bahkan pandangan politik1
Tentunya hak asasi manusia ditegakkan karena telah terjadinya suatu
pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan hukum mempunyai bentuk yang beragam dalam hukum pidana dan
dikenal dengan tindak pidana atau delik.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia telah diatur


ketentuan terkait tindak pidana penganiayaan ini. Ketentuan tersebut tercantum
pada Bab XX, Pasal 351 hingga Pasal 358. Secara terminologi, dalam KUHP tidak
menjelaskan dengan rinci terkait pengertian dari tindak pidana penganiayaan.
Namun, secara yurisprudensi pengadilan menurut R. Soesilo bahwa yang disebut
dengan penganiayaan ialah: a) Sengaja menyebabkan perasaan yang tidak enak,
b) Menyebabkan rasa sakit, c) Menyebabkan luka-luka2

Serangan teror kini kerap kali terjadi di Indonesia. Peristiwa ini telah
menjadi sorotan semua kalangan. Karena itu, Media massa sebagai penyebar
informasi, dimana yang berfungsi sebagai sumber pendidikan atau edukasi dan
acap kali dijadikan rujukan bagi masyarakat. Untuk itu, pihak-pihak yang
berkecimbung didunia media harus bisa menyikapi setiap isu atau peristiwa yang
terjadi. Hal ini dilakukan, agar tidak terjadinya kesalahan informasi yang diterima
khalayak atau masyarakat. Salah satunya pada pemberitaan peneroran terhadap
beberapa penegak hukum.

Hal ini terjadi dimana pada pertengahan semester pertama tahun 2017,

1
Ridwan Arifin dan Lilis Eka Lestari, ―Penegakan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia Dalam Konteks
Implementasi Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab,‖ Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 5, no. 2 (2019), h. 15.
2
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politeia Bogor, 1995), h., 245.
yaitu pada Hari Selasa, 11 April 2017 tepatnya ba’da shalat shubuh, Novel
Baswedan, seorang pejabat publik dibidang penegakan hukum yang menjabat
sebagai salah satu Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang resmi
menjadi penyidik tetap pada tahun 2014, telah menjadi korban aksi teror yang
dilakukan oleh Orang Tak Dikenal (OTK) dengan cara disiram oleh air keras yang
diketahui berjenis Asam Sulfat (H2SO4).

Beberapa kasus besar yang berhasil diungkap oleh Novel ialah, pada
tahun 2009, Novel memimpin penyergapan terhadap Bupati Buol yang saat itu
terjerat kasus suap proses perizinan kebun sawit. Selanjutnya, ia juga berhasil
mengungkap kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang yang terjadi pada tahun
2011. Pada kasus itu melibatkan diantaranya Bendahara Umum Partai Demokrat,
Muhammad Nazaruddin. Pada tahun 2011 juga Novel berhasil mengungkap
kasus suap pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia senilai Rp 20,8
miliar yang menyeret eks Deputi Gubernur BI, Miranda S Goeltom. Selain itu,
Novel juga terlibat dalam membongkar kasus suap dalam tubuh penegakan
hukum, yakni kasus suap Ketua MK Akil Mochtar. Serta kasus mega proyek yang
saat ini sedang ditangani oleh Novel Baswedan ialah kasus korupsi e-KTP yang
diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun3

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana penerapan pasal 53 KUHP terhadap kasus penyiraman Novel


Baswedan?

C. PEMBAHASAN

1. Penerapan Pasal 53 KUHP kasus Novel Baswedan

Dalam KUHP telah dirumuskan terkait pembagian tindak pidana penganiayaan


menjadi:

3
https://www.merdeka.com/, diakses pada tanggal 11 Juli 2022, pada pukul 16:00
1) Penganiayaan Biasa Ketentuan terkait penganiayaan biasa terdapat dalam
Pasal 351 KUHP dengan rumusan sebagai berikut:

a. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun


delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.

b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam


dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

c. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama


tujuh tahun.

d. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana

Berdasarkan Pasal 351 ayat (1), sanksi bagi pelaku penganiayaan ialah
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah (menjadi empat juta lima ratus ribu
rupiah karena dilipatgandakan 1000 kali sesuai Perma No. 2 Tahun 2012).
Jika penganiayaan yang dilakukan mengakibatkan luka berat yang tidak
diharapkan oleh si pelaku karena bukan menjadi hal yang dituju dan di luar
dugaan si pelaku, maka dikenai pidana penjara selama lima tahun sesuai
Pasal 351 ayat (2) dan apabila mengakibatkan kematian maka dipidana
selama tujuh tahun sesuai Pasal 351 ayat (3). Penganiayaan sebagai tindak
pidana digambarkan dengan rasa sakit yang ditimbulkan sehingga apabila
perbuatan penganiayaan masih dalam percobaan maka tidak dapat dipidana
karena rasa sakit yang imbul akibat penganiayaan belum terjadi sebagaimana
maksud dari Pasal 351 ayat (5).

2) Penganiayaan Ringan

Penganiayaan ringan merupakan bentuk penganiayaan yang kategorinya tidak


termasuk dalam Pasal 353 KUHP dan Pasal 356 KUHP. Akibat dari
penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit serta tidak
menyebabkan halangan untuk melakukan pekerjaan bagi korbannya. Sanksi
bagi pelaku penganiayaan ringan ini berdasarkan Pasal 352 ayat (1) ialah
pidana penjara peling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah (menjadi empat juta lima ratus ribu rupiah karena
dilipatgandakan 1000 kali sesuai Perma No. 2 Tahun 2012).

3) Penganiayaan Berencana

Penganiayaan berencana ialah tindak pidana yang dilakukan dengan rencana


terlebih dahulu oleh pelakunya. Rumusan terkait penganiayaan berat terdapat
dalam Pasal 353 KUHP sebagai berikut:

a. Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana


penjara paling lama empat tahun.

b. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah


dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam


dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Berdasarkan Pasal 353 ini, apabila perbuatan penganiayaan dilakukan


dengan rencana oleh pelaku maka dipidana penjara maksimal empat tahun.
Menyusun rencana dalam mencapai tujuan tindak pidana sudah dipastikan
memiliki unsur kesengajaan (opzettelijk atau dolus). Apabila penganiayaan
berencana ini mengakibatkan korbannya mengalami luka berat diluar
kehendak si pelaku maka dipidana tujuh tahun sesuai pasal 353 ayat (2), dan
apabila mengakibatkan kematian maka dipidana selama sembilan tahun
sesuai Pasal 353 ayat (3). Namun, jika perbuatan penganiayaan tersebut
memang dimaksudkan untuk kematian pada korbannya maka bukan disebut
penganiayaan berencana lagi, melainkan pembunuhan berencana yang diatur
dalam Pasal 340 KUHP.

4) Penganiayaan Berat

Perbuatan penganiayaan berat atau zwar lichamelijk letsel toebrengt


merupakan perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan. Perbuatan ini
diniati, dikehendaki, dan ditujukan oleh si pelaku untuk menimbulkan luka
berat kepada korbannya. Menurut Pompe terdapat unsur-unsur dalam
kesengajaan yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya. Ada yang
menambahkan pengetahuan dan juga kehendak di dalam unsurunsur
kesengajaan. Bagi Moeljatno, dalam kesengajaan terdapat unsur kehendak
yang diliputi pengetahuan karena menurut beliau untuk menghendaki sesuatu,
seseorang harus mempunyai pengetahuan atau gambaran akan sesuai itu.4

5) Penganiayaan Berat dengan Rencana

Pasal 355 KUHP mengatur rumusan terkait penganiayaan berat dengan


rencana sebagai berikut:

a. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,


diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam


dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Bahwa dalam kasus novel basewedan yang dimana jika dihubungakan


dengan Pasal 53 KUHP yang berbunyi :

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan


dikurangi sepertiga.

Bahwa Kitab hukum pidana tidak memberikan pengertian yang tegas


tentang percobaan tetapi hanya memberikan bentuk percobaan yang dapat
dipidana dan bentuk percobaan yang tidak dapat dipidana, seperti percobaan
pada Pasal 53 KUHP dapat dipidana dan percobaan Pasal 54 KUHP

4
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008). h., 186-187.
melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana.

Percobaan dalam tindak pidana ini tergolong unik karena dalam


perumusan delik percobaan ini sering kali menemukan kesulitan dalam
penentuan batasan dari percobaan itu sendiri, dan kesulitan lain yang acapkali
ditemukan adalah, penentuan batasan antara tindakan persiapan dan
tindakan pelaksanaan, apakah orang yang baru melakukan tindakan
persiapan dapat dijerat dengan delik percobaan ataukah hanya bisa dijerat
jika telah terjadi perbuatan pelaksanaan dari tindak pidana tersebut, masalah
lain yang muncul adalah, dimana batasan dari tindakan persiapan dan
tindakan pelaksanaan.

Jika ditelaah mengenai penerapan pasal 53 KUHP yakni adanya unsur


ataupun cakupan syarat percobaan dalam ketentuan Pasal 53 KUHPidana
meliputi sebagai berikut ini:

1. Adanya Niat (Voornemen).

Adanya Niat (Voornemen). Oleh banyak kalangan pakar hukum, niat di sini
diartikan sama dengan kesengajaan (opzettelijk). Tetapi sebaliknya dalam
hal kesengajaan yang mana, di sini telah menimbulkan perbedaan
pandangan, walaupun pada umumnya para pakar hukum berpendapat
luas, ialah terhadap semua bentuk kesengajaan5 Sebagaimana dalam
doktrin hukum, menurut tingkatannya kesengajaan (opzettleijk) ada 3
macam, yaitu : 6

a. Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk), yang


dapat juga disebut kesengajaan dalam arti sempit;

b. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn) atau


kesadaran/keinsyafan mengenai perbuatan yang disadari sebagai
pasti menimbulkan suatu akibat;

5
BRM. Hanindyopoetro, dan Naroyono Artodibyo, Pelajaran Hukum Pidana 3 Hukum Pidana II Bagian Penyertaan,
Malang: Penerbit FHPM Universitas Brawijaya, Malang, 1975, hlm. 4
6
Moeljatno, Hukum Pidana: Delik-Delik Percobaan t DelikDelik Penyertaan, Jakarta: PT Bina Aksara, Jakarta, 1985,
hlm. 32
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn)
atau suatu kesadaran/keinsyafan mengenai suatu perbuatan terhadap
kemungkinan timbulnya suatu akibat dari suatu perbuatan, disebut
juga dengan dolus eventualis.

2. Adanya Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering)

Mengenai semata-mata niat, sejahat apa pun niat, tidaklah mempunyai arti
apa-apa dalam hukum pidana. Karena niat itu sendiri adalah suatu sikap
batin yang belum ada apaapanya, murni masih di dalam batin seseorang,
sikap batin mana boleh sembarang apa yang dimaksudnya, tanpa dimintai
pertanggungjawaban, dan tanpa ada akibat hukum apa pun. Barulah
mempunyai arti menurut hukum pidana, apabila niat itu telah diwujudkan
dalam suatu tingkah laku tertentu, dan tingkah laku tertentu ini oleh Pasal
53 ayat (1) dirumuskan sebagai permulaan pelaksanaan (begin van
uitvoering). Dalam hal ini telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang
dapat dipandang sebagai salah satu unsur dari norma pidana. Misalnya:
kehendak mencuri atau mengambil barang milik orang lain mulai
diwujudkan misalnya, telah memasuki rumah atau pencopet telah
memasukkan tangan ke kantong orang yang hendak dicopet.

3. Arti Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Sebab dari Kehendaknya Sendiri

Pada syarat kedua yang telah dibicarakan, ialah harus telah memulai
pelaksanaan (permulaan pelaksanaan). Seperti di atas telah diterangkan
bahwa dari sudut proses, permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering)
adalah mendahului dari perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen),
yang sesungguhnya perbuatan pelaksanaanlah yang dapat menyelesaikan
kejahatan, dan bukan permulaan pelaksanaan. Pasal 53 ayat (1) sendiri
sesungguhnya membedakan antara permulaan pelaksanaan dengan
pelaksanaan. Tentang permulaan pelaksanaan terdapat dalam kalimat
^jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan_ (begin
van uitvoering). Sedangkan pelaksanaan atau perbuatan pelaksanaan
terdapat dalam kalimat selanjutnya yang berbunyi: ^dan tidak selesainya
pelaksanaan (uitvoering) itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya_. Syarat ketiga tentang dapat dipidananya melakukan
percobaan kejahatan ialah pada kalimat yang disebutkan terakhir di atas.

Mengenai percobaan yang tidak mampu karena objeknya, MvT


mengemukakan: Syaratsyarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah
syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu di dalam Buku
II KUHP. Perlu dikemukakan bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang
percobaannya sudah ditentukan sebagai delik oleh pembentuk undang-undang
malahan ada perbuatan yang persiapannya sudah ditentukan sebagai delik
selesai oleh pembentuk undangundang. Mengenai percobaan yang tidak mampu
karena alatnya, MvT membedakan antara:

a. Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul
delik selesai; dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan. Mr. Karni
memberi contoh: meracuni dengan air kelapa.

b. Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai
karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana sipembuat melakukan
perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju
itu berada.

Kembali kemasalah kasus penyiraman terhadap novel baswedan, bahwa


pelaku dalam fakta persidangannya . tergantung dari teori mana kita melihatnya,
apakah kejadian tersebut dapat dipidana. Bagi mereka yang menggunakan teori
subjektif, tidak ada perbedaan antara ketidaksempurnaan mutlak maupun
ketidaksempurnaan nisbi, karena dianggap dari semula pelaku sudah mempunyai
niat untuk melakukan kejahatan. Untuk itu pelaku telah mewujudkan dengan
adanya perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sehingga dengan
demikian peristiwa tersebut sudah merupakan suatu perbuatan percobaan
melakukan kejahatan. Namun tidak demikian halnya dengan teori objektif, hanya
ketidaksempurnaan mutlak saja yang tidak dapat dipidana. Sebab dalam
keadaan bagaimanapun tidak mungkin menyelesaikan kejahatan yang menjadi
niat pelaku. Karena itu dianggap tidak mungkin membahayakan kepentingan
hukum. Bagi teori objektif, ketidaksempurnaan nisbi sebenarnya telah sampai
kepada penyelesaian kejahatan yang diniatkan pelaku. Hanya saja ada suatu
keadaan sedemikian rupa sehingga kemungkinan penyelesaiannya berkurang.
Menurut teori objektif, hal demikian telah membahayakan kepentingan hukum
sehingga pelaku perlu dipidana. Sedangkan untuk ketidaksempurnaan mutlak,
baik sasaran maupun sarana, dianggap tidak merupakan hal yang
membahayakan kepentingan hukum sehingga tidak perlu pelaku dipidana. Apa
yang dilakukan pelaku tidak sampai kepada hal yang dimaksudkan untuk
kejahatan itu. Karena nyata-nyata sarana ataupun sasarannya mutlak salah.

D. KESIMPULAN

Dari uraian diatas penulis memberikan kesimpualan terkai dengan kasus


penyiraman air keras terhadap novel baswedan dikaitkan dengan pasal 53 KUHP
yang mana percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana
dolus (kesengajaan), jadi menurut hukum positif tidak semua percobaan
dikenakan hukuman. ternyata mencantumkan rumusan bahwa percobaan untuk
melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum. Pembentuk undang-
undang ternyata telah mengecualikan beberapa tindak pidana yang telah
dimasukkannya ke dalam Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
percobaan untuk melakukan tindak-tindak pidana tersebut telah dinyatakan
sebagai tidak dapat dihukum.Dimana Jika dilihat dari syarat-syarat terjadinya
suatu percobaan maka pelaku telah memenuhi 3 syarat percobaan, yaitu ada niat
untuk melakukan suatu kejahatan, dan sudah mewujudkan niat tersebut ke
dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan.
E. DAFTAR PUSTAKA

Ridwan Arifin dan Lilis Eka Lestari, ―Penegakan dan Perlindungan Hak Asasi
Manusia di Indonesia Dalam Konteks Implementasi Sila Kemanusiaan
Yang Adil Dan Beradab,‖ Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 5, no. 2 (2019),
h. 15.

R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnnya Lengkap Pasal Demi Pasal


(Bogor: Politeia Bogor, 1995), h., 245.

https://www.merdeka.com/, diakses pada tanggal 11 Juli 2022, pada pukul 16:00

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008). h., 186-187.

BRM. Hanindyopoetro, dan Naroyono Artodibyo, Pelajaran Hukum Pidana 3


Hukum Pidana II Bagian Penyertaan, Malang: Penerbit FHPM Universitas
Brawijaya, Malang, 1975, hlm. 4

Moeljatno, Hukum Pidana: Delik-Delik Percobaan t DelikDelik Penyertaan, Jakarta:


PT Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 32

Anda mungkin juga menyukai