Oleh :
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR HUKUM
UNIVERSITAS BOROBUDUR
JAKARTA, 2023
1
A. Pendahuluan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia dalam
sejarahnya berasal dari Code Penal Perancis dan Wetboek Van Strafrecht
Belanda yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Dalam Code Penal dan Wetboek Van Strafrecht, masing-masing
mencantumkan ancaman hukuman mati untuk kasus-kasus menyangkut
keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan kejahatan-kejahatan sadis
lainnya.
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam Pasal 10 KUHP, yang memuat
dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman
kurungan dan hukuman denda; Hukuman tambahan terdiri dari: Pencabutan
hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
Tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam Undang-Undang Nomor
2/PnPs/1964 yang tetap berlaku sampai saat ini.
Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat ancaman
hukuman mati, yaitu:
- Pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara (makar).
- Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
- Pasal 111 ayat (2) tentang melakukan hubungan dengan negara asing
sehingga terjadi perang.
- Pasal 124 ayat (3) tentang penghianatan di waktu perang.
- Pasal 124 (bis) tentang menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara.
- Pasal 140 ayat (3) tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara
sahabat.
- Pasal 149 k ayat (2) dan Pasal 148 ayat (2) tentang kejahatan penerbangan
dan sarana penerbangan.
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan ini sebagai berikut:
1. Mengapa pidana mati belum pernah diterapkan terhadap pelaku pidana
korupsi di Indonesia?
2. Bagaimana pembaruan hukum pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
korupsi di Indonesia?
C. Pembahasan
1. Pidana Mati Belum Pernah Diterapkan Terhadap Pelaku Pidana
Korupsi di Indonesia
Menurut Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak
resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk
dirinya sendiri atau orang lain.1 Sedangkan menurut David H. Bayley,
korupsi (Webster’s Third New International Dictionary) adalah
perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan iktikad buruk
misalnya suap) agar melakukan pelanggaran kewajibannya.2
Menurut Roeslan Saleh, pidana mati adalah suatu upaya yang
radikal untuk meniadakan orang-orang yang tidak bisa diperbaiki lagi. 3
Sebagai suatu bentuk hukuman, pidana mati merupakan bagian dari sistem
hukum pidana (criminal law system) yang juga terkait dengan teori-teori
tentang pidana dan pemidanaan pada umumnya.4
Menurut Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, hukuman mati adalah
sebagai suatu social defence, yaitu suatu pertahanan sosial untuk
1
Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Depok, hlm. 2.
2
Mochtar Lubis & James C. Scott, 1995, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta, hlm. 86.
3
Roeslan Saleh, 1978, Masalah Pidana Mati, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 12.
4
Arie Siswanto, 2009, “Pidana Mati Dalam Perspektif Hukum Internasional”, Makalah Seminar
Nasional, “Legalisasi Pidana Mati Dan Tuntutan Membangun Masyarakat Humanis di Indonesia:
Peranan MK”, FH Universitas Kristen Satya Wacana, 21 Februari, hlm. 10.
4
5
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, 2005, Pidana Mati Di Indonesia, Dimasa Lalu, Kini Dan Di
Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 29.
5
6
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Science Perspective, Russel Sage, New
York, p. 5.
6
7
Lukman Santoso & Yahyanto, 2018, Pengantar Ilmu Hukum, IAIN Ponorogo, Ponorogo, hlm.
141.
7
8
Tiap Hari Antikorupsi di Tiongkok, 11 Desember 2019, https://antikorupsi.org/id/article/tiap-
hari-antikorupsi-di-tiongkok
8
9
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 388.
13
10
Sufmi Dasco Ahmad, 2021, Eksistensi Hukuman Mati Antara Realita dan Desiderata, Refika
Aditama, Jakarta, hlm. 78.
14
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Itu berarti, bahwa penerapan pidana mati di berbagai undang-undang
tersebut adalah merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Karena
penerapan pidana mati telah mempunyai legitimasi konstitusional, maka
pemberlakuan hukuman mati di Indonesia pun tidak melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM) terpidana mati, sebab kriteria atau elemen/unsur-unsur
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) telah secara
eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, Pasal 9.
Sekalipun penerapan pidana mati bukan jaminan terjadinya efek jera
para penjahat tindak pidana korupsi, namun penerapan pidana mati di
Negara Indonesia yang beraneka-ragam suku, ras, agama, setidaknya akan
dapat meminimalisir berbagai angka kejahatan korupsi di Indonesia.
Menyikapi penerapan hukuman mati di Indonesia, kita tidak boleh
berpandangan sempit hanya tertuju kepada kepentingan terpidana mati
saja, tetapi juga harus melihat kepentingan secara nasional, khususnya
rakyat Indonesia yang terdampak akibat perbuatan korupsi yang tidak
berperikemanusiaan dan tidak beperikeadilan.
Secara sederhana sebenarnya dapat dibayangkan bahwa akibat
perbuatan korupsi tersebut mengakibatkan kerugian secara sistemik dan
kompleks bagi rakyat Indonesia. Contohnya dampak sistemik korupsi
proyek jalan raya. Dampak sistemik dan kompleks adalah jalan raya yang
seharusnya kuat bertahan 5 tahun, hanya dalam 1 tahun rusak jalannya
berlubang-lubang. Jalan berlubang-lubang tersebut akhirnya menimbulkan
kecelakaan lalu lintas yang dapat mengakibatkan kematian dan cacat
seumur hidup seseorang yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas akibat
jalan berlubang yang dikarenakan dikorupsi. Akibatnya banyak anak yang
menjadi yatim atau piatu karena orang tuanya menjadi korban laka lantas,
sehingga anak-anaknya yang masih kecil tidak terurus dan tidak jelas masa
19
depannya. Demikian pula orang menjadi cacat seumur hidup menjadi tidak
dapat mencari nafkah keluarganya. Karena hal tersebut istrinya meminta
cerai dan anaknya terlantar. Karena terlantar menjadi kurang gizi atau
menjadi anak yang nakal dan akhirnya menjadi seorang kriminal, yang
sebenarnya tidak perlu terjadi akibat korupsi tersebut. Belum lagi sejumlah
rakyat kelaparan atau kurang gizi karena haknya diambil oleh koruptor
serta dampak sistemik lainnya. Apakah penjahat koruptor semacam itu
masih perlu dibiarkan hidup? Apakah terdakwa koruptor semacam ini
tidak melanggar hak hidup orang lain yang justeru dapat dikualifisir
melanggar HAM.
Jika disebut Pemerintah melakukan pelanggaran HAM di saat
mengeksekusi terpidana mati adalah keliru, karena Pemerintah
melaksanakan eksekusi terpidana mati telah berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht van
gewijsde).
Hukuman mati yang dipraktikkan negara terhadap warga negaranya
yang melakukan tindak pidana adalah merupakan wujud konkrit dari
upaya negara untuk menciptakan harmonisasi dan perlindungan hak hidup
warga negaranya dari tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa
atau extra ordinary crime maupun kejahatan kemanusiaan yang telah
merampas hak-hak orang lain atau kesejahteraan masyarakat luas,
sehingga diperlukan cara-cara pemberantasannya yang luar biasa pula.
Dari paparan di atas, maka perlunya rekonstruksi pengaturan
penerapan pidana mati terhadap pelaku pidana korupsi di Indonesia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Bab II, Pasal 2 ayat (2), yang merumuskan: “Dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”, di mana dalam
penjelasannya dijelaskan bahwa:
20
D. Penutup
1. Kesimpulan
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 dinyatakan bahwa
ancaman pidana mati itu diadakan dalam rangka mencapai tujuan yang
lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
21
2. Saran
Perlunya sikap tegas dan tidak main-main dalam memberantas tindak
pidana korupsi dengan mengadopsi sistem pemberantasan tindak pidana
korupsi di negara China dengan menerapkan nilai atau jumlah kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara minimal di atas satu milyar
rupiah sebagai unsur utama dalam menerapkan hukuman mati.
Juga perlunya Pemerintah merumuskan kembali unsur keadaan tertentu
secara spesifik terhadap penggunaan dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan
akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan
moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi, sehingga
mempermudah Hakim menerapkan hukuman mati bagi para pelaku tindak
pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Lukman Santoso & Yahyanto, 2018, Pengantar Ilmu Hukum, IAIN Ponorogo,
Ponorogo.
Mochtar Lubis & James C. Scott, 1995, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta.
Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media,
Depok.
Sufmi Dasco Ahmad, 2021, Eksistensi Hukuman Mati Antara Realita dan
Desiderata, Refika Aditama, Jakarta.