Anda di halaman 1dari 23

0

PEMBARUAN HUKUM PIDANA MATI TERHADAP PELAKU


TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

TUGAS MATA KULIAH


PEMBARUAN HUKUM PIDANA

Dosen : Prof. Dr. Suparji Ahmad S.H., M.H.

Oleh :

Dwi Tunggal Adi Rahmanto


NIM: 22730514

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR HUKUM
UNIVERSITAS BOROBUDUR
JAKARTA, 2023
1

PEMBARUAN HUKUM PIDANA MATI TERHADAP PELAKU


TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia dalam
sejarahnya berasal dari Code Penal Perancis dan Wetboek Van Strafrecht
Belanda yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Dalam Code Penal dan Wetboek Van Strafrecht, masing-masing
mencantumkan ancaman hukuman mati untuk kasus-kasus menyangkut
keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan kejahatan-kejahatan sadis
lainnya.
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam Pasal 10 KUHP, yang memuat
dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman
kurungan dan hukuman denda; Hukuman tambahan terdiri dari: Pencabutan
hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
Tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam Undang-Undang Nomor
2/PnPs/1964 yang tetap berlaku sampai saat ini.
Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat ancaman
hukuman mati, yaitu:
- Pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara (makar).
- Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
- Pasal 111 ayat (2) tentang melakukan hubungan dengan negara asing
sehingga terjadi perang.
- Pasal 124 ayat (3) tentang penghianatan di waktu perang.
- Pasal 124 (bis) tentang menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara.
- Pasal 140 ayat (3) tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara
sahabat.
- Pasal 149 k ayat (2) dan Pasal 148 ayat (2) tentang kejahatan penerbangan
dan sarana penerbangan.
2

- Pasal 444 tentang pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian dan


- Pasal 365 Ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan secara bersekutu
mengakibatkan luka berat atau mati.
Di dalam perkembangan kemudian, terdapat beberapa Undang-Undang
yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
Artinya, ancaman hukuman mati dalam ketentuan perundang-undangan
di Indonesia masih jelas ada, bahkan semakin dikukuhkan dengan terbitnya
beberapa undang-undang yang diberlakukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan
yang berkembang di Indonesia, walaupun tidak terbebas dari tudingan, bahwa
itu semua dilakukan sebagai langkah kompensasi politik akibat
ketidakmampuan pemerintah membenahi sistem hukum yang korup. Dengan
kata lain, ancaman hukuman mati dalam ketentuan perundang-undangan di
Indonesia masih eksis dan dipertahankan keberadaannya.
Namun walau eksis dan dipertahankan keberadaannya, pada
kenyataannya hanya diterapkan terhadap pelaku pidana tertentu saja, seperti
pembunuhan, narkoba dan terorisme saja. Sedangkan terhadap pelaku pidana
korupsi hingga kini belum pernah diterapkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pengaturan penerapan pidana
mati terhadap pelaku pidana korupsi di Indonesia menjadi sangat menarik dan
penting, serta layak untuk dikaji dan dianalisis serta dibahas secara lebih fokus
dan mendalam dalam sebuah penelitian, yang berjudul: “Rekonstruksi
Pengaturan Penerapan Pidana Mati Terhadap Pelaku Pidana Korupsi di
Indonesia”.
3

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan ini sebagai berikut:
1. Mengapa pidana mati belum pernah diterapkan terhadap pelaku pidana
korupsi di Indonesia?
2. Bagaimana pembaruan hukum pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
korupsi di Indonesia?

C. Pembahasan
1. Pidana Mati Belum Pernah Diterapkan Terhadap Pelaku Pidana
Korupsi di Indonesia
Menurut Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak
resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk
dirinya sendiri atau orang lain.1 Sedangkan menurut David H. Bayley,
korupsi (Webster’s Third New International Dictionary) adalah
perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan iktikad buruk
misalnya suap) agar melakukan pelanggaran kewajibannya.2
Menurut Roeslan Saleh, pidana mati adalah suatu upaya yang
radikal untuk meniadakan orang-orang yang tidak bisa diperbaiki lagi. 3
Sebagai suatu bentuk hukuman, pidana mati merupakan bagian dari sistem
hukum pidana (criminal law system) yang juga terkait dengan teori-teori
tentang pidana dan pemidanaan pada umumnya.4
Menurut Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, hukuman mati adalah
sebagai suatu social defence, yaitu suatu pertahanan sosial untuk

1
Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Depok, hlm. 2.
2
Mochtar Lubis & James C. Scott, 1995, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta, hlm. 86.
3
Roeslan Saleh, 1978, Masalah Pidana Mati, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 12.
4
Arie Siswanto, 2009, “Pidana Mati Dalam Perspektif Hukum Internasional”, Makalah Seminar
Nasional, “Legalisasi Pidana Mati Dan Tuntutan Membangun Masyarakat Humanis di Indonesia:
Peranan MK”, FH Universitas Kristen Satya Wacana, 21 Februari, hlm. 10.
4

menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun


ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa
masyarakat, yang akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu
ketertiban, serta keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup manusia
bermasyarakat dan beragama / bernegara.5
Terlepas dari diskursus mengenai keberadaan pidana mati di
Indonesia, hingga kini Indonesia masih mengenal dan menganut hukuman
mati dalam stelsel pidana nasionalnya. Hal tersebut dapat dilihat tindak
pidana yang diancam hukuman pidana mati dalam KUHP antara lain
adalah:
a. Makar membunuh kepala negara, Pasal 104.
b. Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia, Pasal 111 ayat (2).
c. Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang,
Pasal 124 ayat (3).
d. Membunuh kepala negara sahabat, Pasal 140 ayat (1).
e. Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu, Pasal 140 ayat (3) dan
340.
f. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada
waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang
menjadikan ada orang berluka berat atau mati, Pasal 365 ayat (4).
g. Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai, dan di kali, sehingga ada
orang mati, Pasal 444.
h. Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan, dan
sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan
negara, Pasal 124.
i. Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan
Angkatan Perang, Pasal 127 dan 129.
j. Pemerasan dengan pemberatan, Pasal 368 ayat (2).

5
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, 2005, Pidana Mati Di Indonesia, Dimasa Lalu, Kini Dan Di
Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 29.
5

Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan


pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Dalam sejarah, dikenal
beberapa cara pelaksanaan hukuman mati: dipancung, ditembak mati,
digantung, disetrum pada kursi listrik, dan disuntik. Pemberlakuan
hukuman mati dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Kontroversi
yang terjadi ditimbulkan oleh adanya pihak yang pro dan kontra terhadap
pemberlakuan hukuman mati ini. Terlepas dari kontroversi tersebut,
hukuman mati merupakan hukuman-hukuman pokok yang disebutkan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selain hukuman
penjara, kurangan, dan denda.
Belum diterapkannya hukuman pidana mati terhadap pelaku tindak
pidana korupsi di Indonesia dikarenakan terkendala masalah efektivitas
penegakkan hukum. Sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M.
Friedman, bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum
tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (legal
structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal
culture).6
a. Struktur hukum
Indonesia yang hingga kini dinilai kurang serius, komitmen dan
konsisten menyatakan perang terhadap korupsi, serta lemahnya
keinginan untuk menerapkan hukum mati terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang jelas-jelas merugikan keuangan negara dan
menyengsarakan rakyat.
Ketidakseriusan, komitmen dan, konsistensi untuk menerapkan
hukuman mati terhadap koruptor terutama di kalangan politisi di DPR
yang sebagian besar tidak menginginkan hukuman mati diterapkan
terhadap koruptor. Demikian pula di kalangan Pemerintah yang masih
silang pendapat urgensi tidaknya penerapan hukuman mati terhadap

6
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Science Perspective, Russel Sage, New
York, p. 5.
6

koruptor. Lemahnya hukum untuk menerapkan hukuman mati terhadap


koruptor mengakibatkan semakin banyaknya tindak pidana korupsi di
Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak ada yang ditakuti oleh para
koruptor. Korupsi tak ubahnya tindak pidana ringan, karena memang
ringan hukumannya. Berbeda dengan pencuri sandal yang sudah
digebuki dan dianggap kriminal yang berbahaya. Sedangkan perlakuan
terhadap koruptor, sangat berbeda mereka tidak diperlakukan layaknya
sebagai penjahat kriminal. Bahkan ketika dipenjara pun masih bisa
menikmati kamar sel yang disulap seperti kamar hotel berbintang
dengan segala fasilitasnya.
Hukum sejatinya menjadi alat yang menciptakan keamanan dan
kebahagian bagi subjeknya. Tujuan hukum untuk mewujudkan
keadilan, kepastian dan kemanfaatan merupakan perwujudan sub
kebahagiaan yang tertuang dalam bentuk aturan sebagaimana
pendapat Jeremy Bentham pendiri mahzab hukum utilitarinisme.7
Namun, meskipun suatu hukum dirancang secara sempurna
dalam bentuk undang-undang sekalipun, pada praktiknya, belum tentu
hukum tersebut menjamin keadilan. Sebab kitab hukum dan
perundang-undangan adalah benda mati, manusia-lah yang
“menghidupkannya”. Dengan politik hukumlah, hukum akan menjadi
hidup dalam konteks ini hukuman mati dapat diterapkan.
Berbeda dengan hukum di China dalam penerapan hukuman mati
untuk memerangi korupsi di negaranya. Hal ini dibuktikan dengan
memberlakukan pidana mati. Orang bilang komunis itu kejam, tapi
cara tersebut terbukti sukses memberantas korupsi dan hasilnya terlihat
indikator perekonomian China melesat.
Menurut Guru Besar Universitas Peking, Prof Kong Yuanzhi,
kemajuan Tiongkok tak bisa lepas dari kontribusi Zhu Rong Ji dalam
memberantas korupsi. Perang terhadap korupsi di era Zhu diikuti

7
Lukman Santoso & Yahyanto, 2018, Pengantar Ilmu Hukum, IAIN Ponorogo, Ponorogo, hlm.
141.
7

dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Korupsi memang


membuat uang negara, yang antara lain dihasilkan dari pajak, bisa
mengentas pendidikan bagi orang miskin.8
Perdana Menteri Zhu Rongji pada tahun 1998 dengan lantang
menyatakan “siapkan 100 peti mati untuk para koruptor, dan gunakan
99 peti itu, sisakan 1 peti untuk saya bila saya korupsi"
(https://perpustakaan.kpk.go.id/index.php?h=show_detail&id=4914).
Selain itu pula Presiden Hu Jintao mengatakan bahwa perjuangan
melawan korupsi merupakan urusan hidup dan mati.
b. Substansi hukum
Secara substansi hukuman pidana mati terhadap koruptor di
Indonesia sifatnya fakultatif. Hal ini dapat dilihat pada Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bab II, Pasal 2, yang
berbunyi:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Adapun unsur-unsur pidana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat


(1) adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang yang dimaksud dalam pasal ini sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999, yakni setiap orang atau korporasi.

8
Tiap Hari Antikorupsi di Tiongkok, 11 Desember 2019, https://antikorupsi.org/id/article/tiap-
hari-antikorupsi-di-tiongkok
8

2. Secara melawan hukum.


Secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil,
yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana.
3. Perbuatan memperkaya diri sendiri, memperkaya diri orang lain
atau korporasi.
Memperkaya sebagaimana terdapat dalam pertimbangan hukum
dari yurisprudensi Putusan Pengadilan Tangerang Nomor:
18/Pid/B/1992/PN/TNG, tanggal 31 Mei 1992, yang menyebutkan
bahwa “yang dimaksud dengan memperkaya adalah menjadi kaya
yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya
bertambah kaya”.
Sementara penjelasan keadaan tertentu ditegaskan pada Pasal 2,
ayat (2), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang berbunyi:
“Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini
adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana
bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana
tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan
tindak pidana korupsi".

Namun dengan adanya frasa "keadaan tertentu" tersebut,


ancaman hukuman mati pun semakin jauh dari realita. Dari penjelasan
frasa “tersebut akan sulit dibuktikan secara hukum pidana karena:
1. Penanggulangan Keadaan Bahaya
Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946
tentang Keadaan Bahaya dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960 Tentang Perubahan Pasal
9

43 ayat (5) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, Pasal 1 angka 2
menegaskan, bahwa “keadaan bahaya dinyatakan, jika terjadi
serangan, bahaya serangan, pemberontakan atau perusuhan,
hingga dikhawatirkan pemerintah sipil tidak sanggup menjalankan
pekerjaannya dan bencana alam”. Dari ketentuan tersebut, tidak
menjelaskan secara spesifik pengertian keadaan berbahaya, apa saja
yang menjadi bentuk-bentuk dari keadaan berbahaya maupun apa
yang menjadi unsur-unsur dari pemerintah tidak sanggup
menjalankan pekerjaan, serta indikator dari bencana alam, dan
dalam menentukan unsur keadaan bahaya merupakan sifat subyektif
dari Presiden, sehingga sulit dalam menerapkan hukuman mati.
2. Bencana Alam Nasional.
Bencana alam nasional telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 7 ayat (2)
menegaskan, bahwa penetapan status dan tingkat bencana nasional
dan daerah memuat indikator yang meliputi: a. jumlah korban; b.
kerugian harta benda; c. kerusakan prasarana dan sarana; d. cakupan
luas wilayah yang terkena bencana; dan e. dampak sosial ekonomi
yang ditimbulkan. Kemudian ayat (3) menegaskan lebih lanjut
mengenai penetapan status dan tingkatan bencana diatur dengan
Peraturan Presiden.
Dari ketentuan di atas, tidak secara spesifik dan baku menjelaskan
pengertian bencana alam nasional, berapa jumlah korban jiwa,
berapa jumlah kerugian harta benda, berapa jumlah kerusakan
prasarana, sarana, luas wilayah dan dampak sosial ekonomi, serta
yang menentukan bencana alam nasional adalah bersifat subyektif
dari Presiden, sehingga sulit pula dalam menerapkan hukuman mati.
3. Penanggulangan Akibat Kerusuhan Sosial Yang Meluas.
Belum adanya peraturan perundang-undangan secara spesifik yang
menjelaskan pengertian kerusuhan sosial yang meluas, bentuk-
10

bentuk maupun jenis kerusuhan sosial yang meluas, sehingga sulit


dalam menerapkan hukuman mati.
4. Penanggulangan Krisis Ekonomi dan Moneter.
Belum adanya peraturan perundang-undangan secara spesifik yang
menjelaskan pengertian krisis ekonomi dan moneter, bentuk-bentuk
maupun jenis serta dampaknya, sehingga sulit dalam menerapkan
hukuman mati.
5. Pengulangan Tindak Pidana Korupsi.
Recidive adalah kelakuan seseorang yang mengulangi perbuatan
pidana sesudah dijatuhi pidana dengan keputusan Hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap karena perbuatan pidana yang
telah dilakukanya lebih dahulu. Seseorang yang sering melakukan
perbuatan pidana, dan karena dengan perbuatan-perbuatannya itu
telah dijatuhi pidana bahkan lebih sering dijatuhi pidana, disebut
residivist. Kalau residive menunjukkan pada kelakuan mengulangi
perbuatan pidana, maka residivist menunjuk kepada orang yang
melakukan pengulangan perbuatan pidana. Bilamana di hubungan
dengan pengulangan tindak pidana korupsi menimbulkan suatu
penafsiran bahwa yang menjadi indikator pengulangan tindak
pidana korupsi, apakah korupsi terhadap kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara atau tindak pidana korupsi pada
umumnya, sehingga sulit menerapkan hukuman mati bagi pelaku
pengulangan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 2 ayat (2) di atas, hukuman
mati dapat diterapkan, apabila korupsi dilakukan dalam keadaan
tertentu, sehingga sifatnya adalah fakultatif. Artinya meskipun tindak
pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), terhadap pelaku korupsi dapat saja
tidak dijatuhi hukuman mati. Kata “dapat” adalah bersifat subjektif dan
membuka peluang untuk disalahtafsirkan dalam rangka meringankan
pelaku korupsi. Dalam hal pembentukan UU Korupsi ini tidak tertutup
11

kemungkinan terjadinya penyelundupan hukum yang tidak disadari


oleh semua pihak.
c. Budaya hukum
Secara budaya sebagian masyarakat Indonesia terutama para
politisi termasuk anggota DPR dan sebagian pejabat pemerintahannya
sendiri tidak menginginkan diterapkannya hukuman mati terhadap
pelaku tindak pidana korupsi. Sebab apabila diterapkan hukuman mati
akan menyeret banyak pihak yang terlibat korupsi termasuk para
anggota DPRD dan sebagian pejabat pemerintah mulai tingkat pusat
hingga tingkat RT. Tentunya hal ini menjadi kendala tersendiri
penerapan hukuman mati bagi koruptor.

2. Pembaruan Hukum Pidana Mati terhadap Pelaku Pidana Korupsi di


Indonesia
Pentingnya pemberlakukan hukuman mati bagi pelaku pidana
korupsi didasarkan bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang
sangat amat luar biasa yang bertujuan memiskinkan, menyengsarakan
umat manusia secara perlahan tetapi pasti. Seluruh potensi kehidupan
manusia dirusak secara massal hanya untuk kepentingan pribadi dan
golongan. Dengan kejahatan korupsi, umat manusia dibuat miskin,
sengsara, menderita dalam upaya mencari kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan, sehingga tujuan atau cita-cita nagara Indonesia untuk
mewujudkan kesejahteraan sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945
menjadi terhambat.
Hukuman mati akan terasa sangat berat bagi siapa pun, termasuk
bagi seorang koruptor sekalipun. Pemberlakuan hukuman mati memang
selalu mengundang kontroversi. Hukum merupakan petunjuk mengenai
tingkah laku dan juga sebagai perlengkapan masyarakat untuk
menciptakan ketertiban. Hukum dapat dianggap sebagai perangkat kerja
sistem sosial yang melakukan tugasnya dengan menentukan langkah-
langkah yang harus dilakukan dalam mengatur hubungan antar manusia.
12

Menyikapi tentang hukuman mati, sebagaimana dikemukakan oleh


Gustaf Radbruch, dalam konsep “Ajaran Prioritas Baku” mengemukakan
tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum.9 Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman
mati seimbang dengan tindak pidana yang dilakukannya (terorisme,
perdagangan narkoba, pembunuhan berencana, korupsi dan lain
sebagainya). Dari aspek kepastian hukum, yaitu ditegakkannya hukum
yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan,
bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan tetapi
kenyataan yang dapat diwujudkan dengan tidak pandang bulu. Kepastian
hukum juga hal yang penting bagi terpidana mati, yang sudah barang tentu
berada dalam penantian sejak dijatuhi vonis mati yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) pada tingkat Pengadilan
pertama sampai dengan ditolaknya grasi oleh Presiden. Dari aspek
manfaat/kegunaan, hukuman mati akan membuat efek jera kepada orang
lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat
memelihara wibawa penegakan hukum.
Tindak Pidana Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang
bertujuan menyengsarakan umat manusia secara perlahan tetapi pasti.
Seluruh potensi sumber daya manusia dirusak secara massal untuk
kepentingan pribadi dan golongan. Dengan kejahatan korupsi, manusia
dibuat menderita, sehingga jutaan orang rakyat Indonesia kehilangan
banyak peluang dan kesempatan yang yang seharusnya menjadi haknya
dan masa depan yang lebih baik, oleh karena hak-hak sosial ekonominya
telah dirampas oleh koruptor.
Hukuman mati akan terasa sangat berat bagi siapa pun, termasuk
bagi seorang koruptor sekalipun. Pemberlakuan hukuman mati memang
selalu mengundang kontroversi. Hukum merupakan petunjuk mengenai
tingkah laku dan juga sebagai perlengkapan masyarakat untuk
menciptakan ketertiban. Hukum dapat dianggap sebagai perangkat kerja

9
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 388.
13

sistem sosial yang melakukan tugasnya dengan menentukan langkah-


langkah yang harus dilakukan dalam mengatur hubungan antar manusia.
Tindakan yang dilakukan oleh seorang koruptor sangat merugikan
dan membahayakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
bidang keuangan negara. Tindakan tersebut telah melanggar hukum yang
berlaku di Indonesia. Koruptor merupakan pelaku kejahatan kriminal luar
biasa (extra ordinary crime) dan juga merupakan pelaku kejahatan
kemanusiaan. Oleh karennya pelaksanaan hukuman mati terhadap
koruptor di Indonesia layak diterapkan, selain terhadap tindak pidana
terorisme, pembunuhan sadis dan berencana dan kejahatan perdagangan
narkoba.
Bichon van Ysselmonde, menyetujui tetap adanya pidana mati,
berpendapat bahwa ancaman dan pelaksanaan dari pidana mati itu harus
ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari
sudut kepatutan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya,
Kedua-duanya jure divino et humano. Pedang pemidana, seperti juga
pedang perang harus ada pada negara. Ini menjadi kewajiban daripada
negara. Hak dan kewajiban ini tidak boleh diserahkan begitu saja, tetapi
haruslah dipertahankannya dan juga digunakan.10
Demikian pula dinyatakan oleh De Savornin Lohman, bahwa dalam
Kitab Undang-Undang tidaklah boleh tidak ada pengakuan bahwa negara
mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa dari penjahat yang tidak
mengindahkan zedewet sama sekali. Hukum pidana itu pada hakikatnya
tidak lain dari hukum membalas dendam. Bila suatu kejahatan dilakukan,
maka hal itu masih termasuk orang yang mau mengatakan: kejahatan itu
menghendaki adanya pembalasan. Itu tidak hanya sekarang, tetapi seperti
itulah selalu dan di mana-mana demikian. Bila seseorang menginjak-injak
zedewet sedemikian rupa sehingga dengan perbuatannya itu dia

10
Sufmi Dasco Ahmad, 2021, Eksistensi Hukuman Mati Antara Realita dan Desiderata, Refika
Aditama, Jakarta, hlm. 78.
14

menunjukkan tidak mengakui hukum lagi, maka negara berhak dan


berkewajiban melenyapkannya dari masyarakat.11
Menurut Achmad Ali, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, bahwa penerapan hukuman mati sangat dibutuhkan
khususnya di Indonesia, tetapi harus diterapkan secara spesifik dan
selektif. Spesifik artinya hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-
kejahatan serius (heinous) salah satunya adalah korupsi selain pengedar
narkoba, teroris, pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana.
Dan yang dimaksudkan dengan selektif adalah bahwa terpidana yang
dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar yang telah terbukti dengan
sangat meyakinkan di Pengadilan (beyond reasonable doubt) bahwa
memang dialah sebagai pelakunya. Misalnya terdakwa sendiri secara
gamblang mengakui perbuatannya, seluruh alat bukti memang
“menyatakan” diri terdakwalah sebagai pelakunya. Oleh karenanya
menurut Achmad Ali, pelaksanaan hukuman mati tidak dilarang dan
bertentangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.12
Penerapan hukuman mati, pada dasarnya telah sesuai dengan teori
perjanjian masyarakat atas kehendak bersama atau konstitusi. Dalam UUD
1945 hasil Amandemen, terdapat Pasal 28I ayat (1), yang menyatakan,
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”.
Tetapi Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 harus dilengkapi dengan juga
memahami apa yang terkandung dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi:”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
11
Ibid., hlm. 80.
12
Mahkamah Konstitusi, 2007, Salinan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MKRI, Jakarta, hlm. 206.
15

tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang


dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis”.
Jika hanya bermodalkan membaca Pasal 28I ayat (1) itu saja, maka
memang kesan dan pesan pertama yang akan kita tangkap adalah seolah-
olah konstitusi kita “melarang hukuman mati”, tetapi begitu kita membaca
sebagai satu kesatuan Pasal 28I ayat (1) maupun Pasal 28J ayat (2), maka
dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dibatasi dan bahkan
dihilangkan pelaksanaannya asalkan:
a. Sesuai dengan undang-undang;
b. Sesuai dengan pertimbangan moral;
c. Sesuai dengan nilai agama;
d. Sesuai dengan keamanan dan ketertiban umum.
Dengan demikian pengecualian akan jaminan hak yang ada pada
pasal tersebut dimungkinkan jika berdasarkan undang-undang,
pertimbangan moral, nilai agama, demi keamanan dan ketertiban umum.
Hukuman mati tetap diperlukan karena tindakan dari pelaku yang tidak
memperhatikan aspek kehidupan yang berperikemanusiaan (Sila kedua
Pancasila) dan kehidupan yang penuh dengan berkeadilan sosial (Sila
kelima Pancasila).
Kejahatan tindak pidana korupsi merupakan “most serious crime”
dan “extra ordinary crime” bahkan merupakan ancaman terhadap
kemanusiaan (crime againts humanity) di Indonesia, karena dapat
16

menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan berbangsa dan


bernegara. Filosofi diberlakukannya ancaman pidana yang berat bagi
pelaku tindak pidana korupsi juga dinyatakan dalam penjelasan umum
Undang-Undang Tipikor yang menyatakan perlu memberikan efek jera
kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Alasan bahwa pemidanaan mati adalah melanggar hak asasi manusia
(HAM) adalah tidaklah tepat. Sebab, bukan hanya hukuman mati,
melainkan seluruh jenis pemidanaan pada hakikatnya adalah pelanggaran
HAM, tetapi kemudian menjadi sah karena diperkenankan oleh hukum
yang berlaku. Dalam hal penahanan tidak didasarkan pada suatu ketentuan
hukum yang berlaku dapat pula disebut sebagai pelanggaran Hak Asasi
Manusia, tidak hanya hukuman mati, tetapi semua jenis hukuman pidana
pada hakikatnya merampas atau melanggar HAM dari si terpidana, namun
kemudian sah karena sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Mengacu pada Hukum Islam (sebagai salah satu sumber hukum di
dunia, disamping Sistem Eropa Kontinental, Common Law System,
Sosialis maupun Asia Timur) yang menyatakan, bahwa “Islam
mengajarkan agar umat Islam memelihara akal, keturunan, harta, nyawa,
dan agama, sebagai prinsip Islam yang wajib dijaga dan jangan sampai
dirusak oleh siapapun”. Bahwa tindak pidana korupsi adalah perbuatan
yang merusak, menyengsarakan dan merugikan banyak pihak. Maka
hukuman yang pas bagi pelakunya adalah hukuman mati.
Berkaitan dengan HAM, menurut Hukum Islam bahwa hak asasi
juga mengandung kewajiban asasi. Dimana ada hak di situ ada kewajiban,
yaitu hak melaksanakan kewajiban dan kewajiban melaksanakan hak. Hak
seseorang dibatasi oleh kewajiban menghargai dan menghormati hak
orang lain. Apabila seseorang telah dengan sengaja menghilangkan hak
hidup (nyawa) orang lain, maka hak hidup dia bukan sesuatu yang perlu
dipertanyakan dan dibela.
Bahwa penerapan sanksi pidana mati tepat untuk diterapkan pada
tindak pidana korupsi, dengan alasan sebagai berikut:
17

a. Sanksi pidana mati telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31


Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Pasal 2 ayat (2), yang
memiliki kekuatan hukum mengikat serta berlaku umum.
b. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang digolongkan
sebagai extra ordinary crime, maka dalam penanganannya juga harus
dilakukan dengan ancaman pidana yang terberat sebagai bentuk
prevensi negara terhadap dampak ancaman destruktif dari tindak
pidana korupsi.
c. Penerapan sanksi pidana mati bagi koruptor bukan merupakan
pelanggaran terhadap HAM, akan tetapi justru para pelaku tersebut
telah melanggar HAM bangsa Indonesia, yang memberikan dampak
terhadap kehancuran sosial ekonomi bangsa dan negara di masa yang
akan datang.
d. Secara filosofis hukuman mati bertujuan untuk kepentingan prevensi
umum, agar masyarakat tidak melakukan kejahatan tersebut.
Dengan demikian penerapan hukuman mati tidak bertentangan
dengan UUD 1945 dan HAM. Urgensinya penerapan hukuman mati
dikarenakan sejumlah produk Undang-Undang telah menetapkan secara
eksplisit ancaman maksimal pidana mati seperti dalam: Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Tindak Pidana Korupsi, UU
Narkotika/Psikotropika, UU Terorisme dan UU Pengadilan HAM.
Oleh karena itu membaca UUD 1945 tidak bisa sepotong-sepotong,
tetapi harus secara utuh. Memang menurut Pasal 28A UUD 1945
menyebutkan, "Hak setiap orang untuk hidup", akan tetapi jika dibaca isi
Pasal 28J UUD 1945 secara eksplisit mengatakan: "kebebasan setiap orang
harus dibatasi oleh UU. Isi lengkap Pasal 28J UUD 1945 berbunyi:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
18

dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Itu berarti, bahwa penerapan pidana mati di berbagai undang-undang
tersebut adalah merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Karena
penerapan pidana mati telah mempunyai legitimasi konstitusional, maka
pemberlakuan hukuman mati di Indonesia pun tidak melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM) terpidana mati, sebab kriteria atau elemen/unsur-unsur
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) telah secara
eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, Pasal 9.
Sekalipun penerapan pidana mati bukan jaminan terjadinya efek jera
para penjahat tindak pidana korupsi, namun penerapan pidana mati di
Negara Indonesia yang beraneka-ragam suku, ras, agama, setidaknya akan
dapat meminimalisir berbagai angka kejahatan korupsi di Indonesia.
Menyikapi penerapan hukuman mati di Indonesia, kita tidak boleh
berpandangan sempit hanya tertuju kepada kepentingan terpidana mati
saja, tetapi juga harus melihat kepentingan secara nasional, khususnya
rakyat Indonesia yang terdampak akibat perbuatan korupsi yang tidak
berperikemanusiaan dan tidak beperikeadilan.
Secara sederhana sebenarnya dapat dibayangkan bahwa akibat
perbuatan korupsi tersebut mengakibatkan kerugian secara sistemik dan
kompleks bagi rakyat Indonesia. Contohnya dampak sistemik korupsi
proyek jalan raya. Dampak sistemik dan kompleks adalah jalan raya yang
seharusnya kuat bertahan 5 tahun, hanya dalam 1 tahun rusak jalannya
berlubang-lubang. Jalan berlubang-lubang tersebut akhirnya menimbulkan
kecelakaan lalu lintas yang dapat mengakibatkan kematian dan cacat
seumur hidup seseorang yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas akibat
jalan berlubang yang dikarenakan dikorupsi. Akibatnya banyak anak yang
menjadi yatim atau piatu karena orang tuanya menjadi korban laka lantas,
sehingga anak-anaknya yang masih kecil tidak terurus dan tidak jelas masa
19

depannya. Demikian pula orang menjadi cacat seumur hidup menjadi tidak
dapat mencari nafkah keluarganya. Karena hal tersebut istrinya meminta
cerai dan anaknya terlantar. Karena terlantar menjadi kurang gizi atau
menjadi anak yang nakal dan akhirnya menjadi seorang kriminal, yang
sebenarnya tidak perlu terjadi akibat korupsi tersebut. Belum lagi sejumlah
rakyat kelaparan atau kurang gizi karena haknya diambil oleh koruptor
serta dampak sistemik lainnya. Apakah penjahat koruptor semacam itu
masih perlu dibiarkan hidup? Apakah terdakwa koruptor semacam ini
tidak melanggar hak hidup orang lain yang justeru dapat dikualifisir
melanggar HAM.
Jika disebut Pemerintah melakukan pelanggaran HAM di saat
mengeksekusi terpidana mati adalah keliru, karena Pemerintah
melaksanakan eksekusi terpidana mati telah berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht van
gewijsde).
Hukuman mati yang dipraktikkan negara terhadap warga negaranya
yang melakukan tindak pidana adalah merupakan wujud konkrit dari
upaya negara untuk menciptakan harmonisasi dan perlindungan hak hidup
warga negaranya dari tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa
atau extra ordinary crime maupun kejahatan kemanusiaan yang telah
merampas hak-hak orang lain atau kesejahteraan masyarakat luas,
sehingga diperlukan cara-cara pemberantasannya yang luar biasa pula.
Dari paparan di atas, maka perlunya rekonstruksi pengaturan
penerapan pidana mati terhadap pelaku pidana korupsi di Indonesia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Bab II, Pasal 2 ayat (2), yang merumuskan: “Dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”, di mana dalam
penjelasannya dijelaskan bahwa:
20

“Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini


adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana
bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana
tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan
tindak pidana korupsi".

Norma dalam ketentuan seharusnya diperbaharui bukan dalam


konteks “keadaan tertentu”, namun frasa ini seharusnya dihilangkan,
sehingga norma Pasal 2 ayat (2) diperbarui menjadi “Dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pidana
mati dapat dijatuhkan”. Demikian pula penjelasannya harus diperbarui,
bahwa hukuman mati dapat diterapkan bukan dalam konteks “terhadap
dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter”, akan tetapi dalam
semua keadaan termasuk dalam keadaan norma sekali pun.
Berdasarkan uraian di atas, maka terselamatkannya masa depan
bangsa ini tergantung kepada kita bangsa Indonesia bukan kepada pihak
lain. Oleh karena itu, mari kita pagari negeri ini dengan sistem hukum
yang baik (hukum, lembaga hukum, aparat penegak hukum), serta
dilandasi oleh komitmen yang tinggi terhadap masa depan Indonesia,
sehingga tidak ada alasan lagi bahwa pidana mati terhadap koruptor atau
maling uang rakyat adalah bertentangan dengan konstitusi atau HAM.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 dinyatakan bahwa
ancaman pidana mati itu diadakan dalam rangka mencapai tujuan yang
lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
21

Bahwa hukuman mati dapat diterapkan bagi pelaku tindak pidana


korupsi keuangan negara atau perekonomian negara apabila secara spesifik
dan komprehensif menjelaskan bentuk-bentuk atau indikator-indikator dari
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan
akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan
moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi. Jumlah kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara sangat penting dalam
menentukan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi yang
mencapai milyar hingga triliunan rupiah dalam rangka meminimalisir
tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Saran
Perlunya sikap tegas dan tidak main-main dalam memberantas tindak
pidana korupsi dengan mengadopsi sistem pemberantasan tindak pidana
korupsi di negara China dengan menerapkan nilai atau jumlah kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara minimal di atas satu milyar
rupiah sebagai unsur utama dalam menerapkan hukuman mati.
Juga perlunya Pemerintah merumuskan kembali unsur keadaan tertentu
secara spesifik terhadap penggunaan dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan
akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan
moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi, sehingga
mempermudah Hakim menerapkan hukuman mati bagi para pelaku tindak
pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, 2005, Pidana Mati Di Indonesia, Dimasa


Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta.
22

Arie Siswanto, 2009, “Pidana Mati Dalam Perspektif Hukum Internasional”,


Makalah Seminar Nasional, “Legalisasi Pidana Mati Dan Tuntutan
Membangun Masyarakat Humanis di Indonesia: Peranan MK”, FH
Universitas Kristen Satya Wacana, 21 Februari.

Lukman Santoso & Yahyanto, 2018, Pengantar Ilmu Hukum, IAIN Ponorogo,
Ponorogo.

Mahkamah Konstitusi, 2007, Salinan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang


Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
MKRI, Jakarta.

Mochtar Lubis & James C. Scott, 1995, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta.

Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media,
Depok.

Roeslan Saleh, 1978, Masalah Pidana Mati, Aksara Baru, Jakarta.

Sufmi Dasco Ahmad, 2021, Eksistensi Hukuman Mati Antara Realita dan
Desiderata, Refika Aditama, Jakarta.

Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,


Yogyakarta.

Tiap Hari Antikorupsi di Tiongkok, 11 Desember 2019,


https://antikorupsi.org/id/article/tiap-hari-antikorupsi-di-tiongkok

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai