Anda di halaman 1dari 9

Subscribe to DeepL Pro to translate larger documents.

Visit www.DeepL.com/pro for more information.

http://ijssrr.com
Jurnal Internasional Penelitian dan editor@ijssrr.com
Volume 6, Edisi 2
Kajian Ilmu Sosial Februari, 2023
Halaman: 353-358

Reformulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia


Fendi Setiawan Ntaki; Eko Soponyono

Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro,

Indonesia E-mail: sps@live.undip.ac.id

http://dx.doi.org/10.47814/ijssrr.v6i2.1006

Abstrak

Hukuman mati merupakan salah satu sanksi pidana yang masih diberlakukan di Indonesia.
Ketentuan pidana mati diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ernest van
den Hag, dalam artikelnya mengenai deterrence and the death penalty, memberikan lima catatan krusial
dalam penerapan pidana mati, pertama, tuntutan penghapusan pidana mati karena tidak memberikan efek
jera, kedua, terhadap negara-negara tertentu untuk kejahatan tertentu dan kondisi yang menyertainya,
pidana mati dapat memberikan efek jera, ketiga, tidak ada data statistik yang signifikan apakah hukuman
mati dalam kasus tindak pidana pembunuhan akan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan itu
sendiri, keempat, terkadang hukuman mati lebih disukai daripada hukuman penjara karena memberikan
efek jera, kelima, hukuman mati dianggap penting untuk memberikan keseimbangan bagi korban. Pisau
analisis dalam penelitian ini adalah teori sistem penegakan hukum dan teori pemidanaan. Hasil penelitian
ini menjelaskan penerapan kebijakan formulasi hukum pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi
di Indonesia saat ini mengikuti penerapan pidana mati di beberapa negara seperti China, Iran, Pakistan,
Arab Saudi, dan lain-lain. Namun, kebijakan yang tertuang dalam regulasi tersebut masih menyisakan
kesulitan dimana masih banyak penolakan terhadap kebijakan tersebut dan dalam proses implementasinya
pun belum mampu. Dalam Pasal 67 RKUHP yang berbunyi tindak pidana khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 huruf c adalah pidana mati yang selalu diancam dengan alternatif. Berbeda dengan KUHP
yang menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok, RKUHP menempatkan pidana mati
sebagai pidana terakhir yang dijatuhkan untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Artinya, keberadaan
pidana mati sesuai dengan asas ultimum remedium, yaitu bahwa hukum pidana harus digunakan sebagai
upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.

Kata kunci: Hukuman Mati; Korupsi; Hukuman Pidana

Reformulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 353
Jurnal Internasional Volume 6, Edisi 2
Penelitian dan Kajian Ilmu Februari, 2023

Sosial
Pendahuluan

Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Bukan berdasarkan kekuasaan belaka, melainkan hukum di negara ini ditempatkan
secara strategis dalam konvergensi strategis. Agar hukum sebagai sebuah negara dapat berjalan dengan
baik dan benar dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, maka diperlukan institusi
penegak hukum sebagai instrumen penegakannya.

Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, oleh karena itu segala aspek kehidupan baik dalam
bidang sosial, politik, budaya, ekonomi dan lain-lain diatur dan di atur dengan hukum, baik yang bersifat
tertulis, yaitu hukum positif yang dibuat dan diatur oleh lembaga legislatif maupun yang bersifat tidak
tertulis, hukum yang hidup dan ditaati serta dijunjung tinggi oleh semua pihak, baik penguasa maupun
masyarakat dalam menjalankan hak dan kewajibannya.

Hukuman mati adalah salah satu hukuman pidana yang paling umum yang masih berlaku di
Indonesia. Hukuman mati diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hukuman mati merupakan pengecualian dari prinsip konkordansi dalam penerapan hukum Belanda pada
sistem Hindia Belanda pada tahun 1918, karena kejahatan Belanda yang sebenarnya telah dihapuskan
dalam sistem pidana Belanda sejak tahun 1870.1

Saat ini, hukuman mati telah dihapuskan di banyak bagian dunia, tetapi ada beberapa negara yang
masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem pencegahannya. Roger Hood mengelompokkan
empat kelompok negara dalam hukum pidana. Pertama negara yang telah menghapuskan hukuman mati
untuk semua kejahatan, kedua negara yang menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan biasa, ketiga
negara yang menghapuskan hukuman mati secara de facto, keempat negara yang mempertahankan
hukuman mati.2

Salah satu negara yang menganut pengaturan hukuman mati adalah Indonesia. Kebijakan tentang
hukum mati di Indonesia ini didasarkan pada tahun 2001 pada perubahan undang-undang no. 20 tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang ditujukan untuk tindak pidana korupsi. Namun,
banyak pihak di Indonesia yang lebih cenderung untuk menghapuskan hukuman mati di Indonesia,
dengan alasan efektivitas undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang
nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, untuk membuat efek jera bagi pelaku
tindak pidana korupsi.

Mars icitur ultimum ultilictium, kematian adalah hukum yang terkutuk. Ce's le crime fait la
honter, et non pas vechfaus, kejahatan yang memalukan, bukan kematiannya. Bahwa dua argumen utama
adalah hukuman mati sebagai pembalasan atau balas dendam dan keselamatan3 . Bahkan retribusi bukan
hanya bagian dari penjahat yang mati itu sendiri yang mematahkan kunci dalam sistem peradilan pidana,
terutama aliran klasik dalam hukum pidana itu sendiri.4 Bahwa hukuman mati dikurangi sebagai
reklamasi pengorbanan bagi para penjahat yang memiliki moral yang buruk.

Ernest van den hag, dalam artikelnya tentang pencegahan dan hukuman mati, memberikan lima
catatan penting dalam penerapan hukuman mati, pertama, penghapusan hukuman mati tidak dapat
dilakukan dengan mudah, kedua, terhadap tindak pidana tertentu dan kondisi yang menyertainya,
hukuman mati dapat menjadi saksi yang abadi, Ketiga, belum ada data stastistik yang signifikan apakah
pidana mati dalam tindak pidana pembunuhan dapat memberikan efek jera yang nyata bagi pelaku,
keempat, pidana mati seringkali lebih disukai daripada pidana penjara karena memberikan efek jera,
kelima, pidana mati dipandang perlu untuk disimpulkan

1 Sahetapy, JE. dan Pohan. Agustinus. 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm. 14
Reformulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 354
Jurnal Internasional Volume 6, Edisi 2
Penelitian dan Kajian Ilmu Februari, 2023

Sosial
2 Andi Hamzah. 2005. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan. Internasional. Jakarta: PT: Grafindo Persada.
Hlm. 226
3 Charles L. Black jr, 1974, Capital Punishment: The Inevitable of Caprice And Mistake, Secod Edition, Augmenetd, W.W Norton
& Company Inc, New York, Hlm 24.
4 Victor Streib, 2008, Hukuman Mati Singkatnya, Edisi Ketiga, Thomson West, Hlm 10

Reformulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 355
Jurnal Internasional Volume 6, Edisi 2
Penelitian dan Kajian Ilmu Februari, 2023

Sosial
bagi para korbannya.5 Bahwa dari pertimbangan tersebut dapat dilihat bahwa hukuman mati tidak akan
selamanya memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan dan kemudian tidak ada data yang sangat
spesifik bahwa hukuman mati akan memberikan efek jera yang nyata terhadap kejahatan korupsi di
Indonesia.

Namun di sisi lain, penerapan kebijakan hukuman mati juga ditujukan untuk merespon isi RUU
tersebut yang juga menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang meluas, tidak hanya berdampak pada
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga perlu mengklasifikasikan tindak pidana korupsi sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime), dan untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari
keragaman penafsiran terhadap hukum dan melindungi hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, maka
diperlukan perlakuan yang adil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah
diubah dan dimuat dalam pasal 1 UU No. 20 tahun 2001, juga menentukan masing-masing pasal tersebut
dalam hal perbuatan korupsi tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pidana mati.

Hukuman mati dalam UU di atas harus menjadi fenomena baru dalam upaya pencegahan korupsi
di Indonesia, karena dengan dijatuhkannya hukuman mati diharapkan dapat memberikan efek jera bagi
pelaku maupun calon pelaku lainnya. Hal ini harus menjadi jangkar bagi aparat penegak hukum di masa
depan untuk dapat menjatuhkan pidana mati bagi pelaku korupsi yang memenuhi unsur dalam pasal 1
ayat (1).
(1) undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang no. 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi.

Romli Atmasasmita juga menjelaskan bahwa penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana
korupsi secara efektif diterapkan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan terbukti cukup berhasil dalam
mengurangi tindak pidana korupsi. Hal ini tentu layak dilakukan oleh Indonesia dalam memberikan
hukuman mati bagi koruptor. Bahwa di Republik Rakyat Tiongkok dalam datanya mengatakan hukuman
mati cukup memberikan efek jera terhadap eksekusi mati di negaranya, yang mana harus diketahui bahwa
Tiongkok adalah negara komunis yang kemudian memiliki perbedaan yang cukup jauh baik secara
politik, budaya, nilai, sosial ataupun sistem kenegaraan kita yang tunduk pada pancasila, Meskipun dalam
peraturan perundang-undangan memberikan dasar yang cukup tegas, namun peraturan tersebut sampai
saat ini realisasinya tidak ada apa-apanya dan hanya sebatas wacana saja, dan oleh karena itu belum
mampu memberikan efek jera kepada para koruptor, sehingga perlu ditinjau kembali kebijakan penerapan
hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu pembaharuan dalam menyikapi hukuman mati
di Indonesia. Penulis tertarik untuk membuat makalah ini dengan judul "formulasi hukum dalam pidana
mati terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana kebijakan hukuman mati terhadap pelaku korupsi di Indonesia?


2. Bagaimana hukuman mati dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia
dalam reformasi hukum pidana?

Metode Penelitian

Penelitian ini dikategorikan ke dalam jenis penelitian hukum normatif karena didasarkan pada isu
dan atau tema yang diangkat sebagai topik penelitian. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan
adalah pendekatan konseptual, perundang-undangan, komparatif

Reformulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 356
Jurnal Internasional Volume 6, Edisi 2
Penelitian dan Kajian Ilmu Februari, 2023

Sosial
5 HugoAdam Bedau, 1977, The Courts, The Constitution And Capital Punishment, Lexington Books D.C. Heah and Company Lexington,
Toronto, Hlm 45.

Reformulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 357
Jurnal Internasional Volume 6, Edisi 2
Penelitian dan Kajian Ilmu Februari, 2023

Sosial
penelitian yang menitikberatkan pada pandangan-pandangan rasional, analisis kritis dan filosofis, serta
diakhiri dengan kesimpulan yang bertujuan untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru sebagai
jawaban atas pokok permasalahan yang telah ditetapkan. Dan akan dianalisis dengan menggunakan
analisis analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan teori hukum
dan praktik penegakan hukum positif yang terkait dengan permasalahan.6

Diskusi

1. Implementasi Kebijakan Mematikan Hukum Pidana Korupsi di Indonesia Saat Ini

Penerapan kebijakan pidana mati bagi koruptor di Indonesia saat ini mengikuti penerapan pidana
mati di beberapa negara, seperti China, Iran, Pakistan, Arab Saudi, Somalia, Mesir, Chad, Yaman,
Taiwan, Sudan Selatan, Bangladesh, Singapura, Sudan, Yordania, Afganistan, Korea Utara, Malaysia,
Korea Utara, dan Vietnam. Kebijakan ini diambil karena kejahatan yang dilakukan oleh koruptor
memenuhi kriteria kejahatan yang sangat serius yang merugikan negara, yang merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, dan merupakan kejahatan yang tidak dapat
ditolerir, sehingga penjatuhan hukuman terhadap koruptor ini sesuai dengan penjelasan pasal 6 konvensi
internasional tentang hak-hak sipil dan politik.

Formulasi hukum pidana ini diadopsi sebagai respon dari pemerintah yang selanjutnya digunakan
untuk mengatasi ancaman nyata terhadap keamanan negara dan keselamatan publik dalam semua aspek
baik politik, ekonomi, sosial dan keamanan, terlepas dari kecaman terhadap hukuman mati saat ini.
Penerapan hukum pidana ini lebih lanjut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi
yang dilakukan sendiri dan tindak pidana berikutnya yang diharapkan dapat memberikan efek jera kepada
para pelaku tindak pidana korupsi lainnya, yang harapannya dapat efektif dalam mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi.

Kebijakan perumusan formulasi undang-undang tentang korupsi di Indonesia saat ini antara lain
adalah UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi. Namun kebijakan yang tertuang dalam kebijakan tersebut masih menyisakan
kesulitan untuk menolak kebijakan tersebut, sementara dalam mendefinisikan standar idomi pelaku tindak
pidana korupsi yang baik, "baik" masih belum memberikan efek jera yang nyata bagi para pelakunya. Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya bukti-bukti bahwa hukuman mati telah dijatuhkan namun sampai saat ini
terpidana masih hidup dan bebas bergerak, seperti yang dapat dilihat oleh para koruptor. Ia mengatakan
bahwa rupiah diperkirakan akan menguat menjadi rp9.100 per dollar di pasar spot antar bank Jakarta pada
hari Selasa.

2. Apakah Perlu Menerapkan Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia Sebagai Imbalan Atas Hukum Pidana di Indonesia

Kebijakan PPN terhadap penerimaan negara dari penerimaan cukai pada semester pertama 2007
mencapai rp779,9 triliun, menurut laporan yang dipublikasikan di Jakarta, Selasa. Untuk pengecualian
hukuman, dapat dilihat dengan menggunakan model berbasis nilai kerugian ekonomi. Dimana model
tersebut telah menjamin bobot sanksi yang diberikan dapat dihitung secara rasional dan memiliki
kesetaraan dengan kerugian yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana korupsi. Pada contoh terakhir,
hukuman yang rasional seperti itu membuat pelaku kejahatan tidak jera.

Dalam usulan rumusan RHP terdapat perubahan dalam KUHP, bahwa pidana mati dalam RUU
masih berada di dalam ancaman pidana namun tidak lagi dicantumkan bersama kelompok pidana pokok
lainnya. Dalam pasal 67 RHP yang berbunyi pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 huruf
c adalah pidana mati yang diancamkan secara alternatif. Berbeda dengan KUHP yang menempatkan
pidana mati di antara pidana pokok, RHP menempatkan pidana mati sebagai pidana yang paling akhir
Reformulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 358
Jurnal Internasional Volume 6, Edisi 2
Penelitian dan Kajian Ilmu Februari, 2023

diancamkan.
Sosial

6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm. 22

Reformulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 359
Jurnal Internasional Volume 6, Edisi 2
Penelitian dan Kajian Ilmu Februari, 2023

Sosial
dijatuhkan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Artinya, keberadaan pidana sesuai dengan prinsip
ultimum remedium dalam hukum pidana, biarlah pidana dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan
hukum.

Oleh karena itu, ancaman pidananya harus selalu diancam dengan pidana alternatif, yaitu pidana
penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Pendapat guru besar hukum pidana Dr,
s.h. yang menyatakan "pertimbangan utama disposisi posisi pidana mati didasarkan pada pemikiran,
bahwa sesuai dengan tujuan dari pada perumusan dan penggunaan hukum pidana (sebagai salah satu
sarana dari pada "criminal policy" dan "social policy"), maka pidana mati tidak harus merupakan sarana
yang utama dalam mengatur, mengayomi, dan merehabilitasi masyarakat itu sendiri, karena pidana mati
hanya merupakan suatu pengecualian.

Hukum pidana merupakan kode yang terakumulasi dalam sebuah dokumen atau buku sebagai
sebuah seragam atau sebagai sebuah kode. Ini mencakup tindakan kriminal pencurian, pembunuhan,
pemerkosaan, penipuan, penyerangan, pemalsuan, dll. Dengan kata lain, undang-undang adalah kumpulan
dari berbagai tindak pidana yang disusun secara sistematis ke dalam satu dokumen. Dengan memahami
KUHP sebagai sebuah kode atau himpunan tindak pidana, maka tujuan dari identifikasi ini adalah untuk
memudahkan penegak hukum dan masyarakat umum dalam mencari tindak pidana karena sudah
terkumpul dalam satu buku.

Bahwa jika dalam RHP yang telah disahkan saat ini dan akan disahkan oleh pembentuk undang-
undang menjadi kitab undang-undang hukum pidana dalam waktu dekat ini akan menjadi langkah awal
pembaharuan hukum pidana Indonesia, yang mana kemudian hukum RHP tersebut, khususnya hukum
pidana dalam konteks akademis, akan lebih baik jika hukum pidana memiliki asas yang seragam dan
dapat dipraktekkan pada seluruh aturan hukum pidana. Namun ternyata, harus ada aturan khusus yang
mengatur atau mengecualikan asas-asas hukum pidana umum karena kebutuhan yang mendesak. Namun
demikian, hal ini harus didasarkan pada dasar atau pertimbangan yang cukup, bukan semata-mata pada
konstituen hukum, yang jika hukuman mati tetap ada dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi, maka harus dimuat dalam RUU RHP yang akan disahkan DPR pada tahun 2022, dan
pemerintah dalam prosesnya, di Indonesia, harus memperhatikannya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil perubahan tersebut, kebijakan yang merumuskan pidana mati terhadap pelaku
tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini diimplementasikan dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan dimuat dalam pasal 1 angka 1
UU No. 20 tahun 2001. Selain itu, penyebutan masing-masing pasal tersebut pada dasarnya merumuskan
dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
maka pidana mati dapat dijatuhkan. Kebijakan perumusan formulasi hukum tindak pidana korupsi di
Indonesia saat ini antara lain adalah UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Namun kebijakan yang tertuang dalam kebijakan tersebut masih menyisakan kesulitan untuk menolak
kebijakan tersebut, ketika mendefinisikan standar idomi bagi pelaku tindak pidana korupsi yang baik,
"baik" masih belum memberikan efek jera yang nyata bagi para pelakunya.

Dalam usulan rumusan RHP terdapat perubahan dalam KUHP, bahwa pidana mati dalam RUU
masih berada di dalam ancaman pidana namun tidak lagi dicantumkan bersama kelompok pidana pokok
lainnya. Dalam pasal 67 RHP yang berbunyi pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 huruf
c adalah pidana mati yang diancamkan secara alternatif. Berbeda dengan KUHP yang menempatkan
pidana mati di antara pidana pokok, RHP menempatkan pidana mati sebagai pidana yang paling akhir
dijatuhkan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Artinya, keberadaan pidana menurut asas ultimum
remedium dalam hukum pidana biarlah dijadikan sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.
Reformulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 360
Jurnal Internasional Volume 6, Edisi 2
Penelitian dan Kajian Ilmu Februari, 2023

Sosial
Referensi

Andi Hamzah. 2005. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan. Internasional.
Jakarta: Grafindo Persada. Hlm. 226.

Arief, Barda N. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenada Grup.

Charles L. Black jr, 1974, Capital Punishment: The Inevitable of Caprice And Mistake, Secod Edition,
Augmenetd, W.W Norton & Company Inc, New York, Hlm 24.

Hugo Adam Bedau, 1977, The Courts, The Constitution And Capital Punishment, Lexington Books D.C.
Heah and Company Lexington, Toronto, Hlm 45. Sahetapy, JE. dan Pohan. Agustinus. 2007. Hukum
Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm. 14.

Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, serta Disertasi, Bandung: Alfabeta, 2017,
hlm. 45.

Ndriyanto Seno Adji. 2001. Pidana Mati Bagi Koruptor Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi, Jurnal
Keadilan. Vol. 1 No. 1. Jakarta. Hlm. 31 Victor Streib, 2008, Death Penalty In A Nutshell, Third
Edition, Thomson West, Hlm. 10.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm. 22

Oerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:
Rajawali Pers. Hlm. 52.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kombinsasi. Bandung: Alfabeta. Hlm. 5.

Lidya Suryani Widayati. 2016. Pidana mati dalam ruu kuhp perlukah diatur sebagai pidana yang bersifat
khusus. Jakarta.

Paulinus soge. 2016. Tinjauan yuridis eksekusi pidana mati di Indonesia.

Hak Cipta

Hak cipta untuk artikel ini dipegang oleh penulis, dengan hak publikasi pertama diberikan kepada jurnal.

Ini adalah artikel akses terbuka yang didistribusikan di bawah syarat dan ketentuan lisensi Atribusi Creative
Commons (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/).

Reformulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 361

Anda mungkin juga menyukai