Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS PENJATUHAN PIDANA MATI TERHADAP PUTUSAN NO.

37
PK/PID.SUS/ 2011 DITINJAU DARI TUJUAN PEMIDANAAN DALAM
RUUKUHP

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Penitensier

DISUSUN OLEH :

NAMA : ANDRE KEVIN ALFAREZA PANDIANGAN

NPM : 194301096

KELAS / SEMESTER : B / VI

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat-Nya sehingga karya tulis ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak
lupa saya mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar karya tulis
ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi saya sebagai
penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Dengan ini saya ucapkan terimakasih.

Bandung, 17 Maret 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.............................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pidana Mati..........................................................................................................3
B. Sanksi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika..........................4
C. Teori Pemidanaan Dalam RUUKUHP................................................................5
BAB III CONTOH KASUS..................................................................................10
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pertimbangan Hukum Yang Mendasari Hakim Terhadap Pidana Mati Dalam
Putusan No. 37 PK/PID.SUS/2011 Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan dan
RUUKUHP............................................................................................................13

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................................22
B. Saran..................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan bermasyarakat seringkali terjadi benturan-benturan yang


mengakibatkan seseorang bisa dikenakan sanksi, jenis-jenis sanksinya bisa
beragam tergantung dengan kejahatan yang dilakukan. Sanksi pidana yang
dijatuhkan berupa penderitaan dari negara kepada pelaku tindak pidana dan telah
terbukti bersalah oleh hakim (Barda Nawawi Arief and Muladi 2005). Setiap
penjatuhan pidana memiliki tujuan tersendiri untuk pelaku tindak pidana yang
merupakan dijatuhkan dan berupa kewenangan dari hakim sebagai yang mengadili
dengan mempertimbangkan berbagai aspek agar bermanfaat bagi semua pihak yang
terkait dan masyarakat secara umum . Penerapan sanksi pidana harus
memperhatikan berat ringannya pidana, tujuan pemidanaan, dan bagaimana cara
penjatuhan pidananya . Sistem hukum pidana Indonesia mengenal adanya sanksi
pidana mati.

Pidana mati sanksi terberat dalam aturan yang ada di Indonesia dan
dicantumkan di dalam Pasal 10 KUHP. Dalam sejumlah peraturan yang ada di
Indonesia mencantumkan pidana mati terutama dalam Undang-undang khusus di
luar KUHP. Hukum pidana Indonesia dalam sistemnya terdapat tiga belas Undang-
undang yang memuat sanksi pidana mati dalam Undang-undang khusus di luar
KUHP. Dalam KUHP, yang terberat adalah sanksi pidana mati sebagai pidana
pokok, dikarenakan pelaksanaannya berkaitan hak asasi sebagai manusia, dimana
sebetulnya hanya Tuhan yang bisa memberikan kematian pada seseorang, maka
menjadi sebuah pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat bahkan di dunia
pun menjadi perdebatan aktivis HAM, tergantung dari bagaimana cara kelompok-
kelompok tersebut memandang pidana mati. Selain itu, pidana mati memiliki
kelemahan bahwa tidak bisa diperbaiki lagi jika sudah dieksekusi . Adanya pidana
mati dikarenakan timbul kejahatan berat dan merugikan masyarakat secara
umum . Keberadaan pidana mati dapat diartikan sebagai aspek untuk membangun
ketertiban masyarakat. Pidana mati menuai pro dan kontra, yang kontra
mengatakan bahwa pidana mati melanggar hak seseorang untuk hidup.Salah

1
satunya adalah Tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 1memberikan sanksi pidana cukup berat bahkan sampai dengan
penjatuhan sanksi pidana mati, namun dalam kenyataannya para pelakunya justru
semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sanksi pidana tidak
memberikan dampak atau «deterrent effect» terhadap pelakunya. Mengingat betapa
besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, Tidak tanggung-tanggung ancaman
pidana mati diberikan pada pelaku tindak pidana Narkotika yang melakukan
kegiatannya diIndonesia.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman
pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Salah satu
contoh kasus tindak pidana narkotika yang menarik untuk dibahas adalah «Kasus
Bali 9» yang cukup menyita perhatian masyrakat Indoensia. Hal yang menjadi
perhatian adalah bagaimana putusan penjatuhan pidana mati tersebut menuai
banyak pro dan kontra di tengah masyarakat, tidak hanya dikancah nasional
melainkan internasional. Betapa penjatuhan pidana mati merupakan pilihan yang
harus diambil dengan pertimbangan yang matang.

Pasalnya banyak peraturan-peraturan dan bahkan beberapa negara telah


mengahapus pidana mati dalam peraturan di negaranya. Apakah penjatuhan pidana
mati menjadi langkah akhir yang tepat dalam memutus kasus tindak pidana
narkotika tanpa melihat hak hidup seseorang.2

B. Identifikasi Masalah

Adapun pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini,


diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertimbangan hukum yang mendasari Hakim terhadap


pidana mati dalam kasus putusan No. 37 PK/PID.SUS/2011 jika ditinjau
dari tujuan pemidanaan dan RUUKUHP ?

1
UU N0. 35 tahun 2009
2
Michael Thomson, “Pertimbangan hakim terhadap Putusan Pidana Mati Dalam Kasus Tindak
pidana Narkotika (studi kasus Putusan No. 37 Pk/Pid.sus/2011)”,Volume 5, Nomor 3, Universitas
Diponegoro 2016

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pidana Mati

Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu
mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam
pendapat dan alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana
mati. Di Indonesia yang berlaku KUHP buatan pemerintah Belanda sejak 1 Januari
1918, dalam pasal 10 masih mencantumkan pidana mati dalam pidana
pokoknya, padahal di Belanda sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun
1870. Hal tersebut tak diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia
menuntut supaya penjahat yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati.
De Bussy membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di
Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan yang
sangat terhadap ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar.
Jonkers membela pidana mati dengan alasan bahwa walaupun ada keberatan
terhadap pidana mati yang seringkali dajukan adalah bahwa pidana mati itu tak
dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan dan diakui bahwa ada kekhilafan
atau kekeliruan dalam putusan hakim, lalu tak dapat diadakan pemulihan hak yang
sesungguhnya. Terhadap orang mati ketidakadilan yang dialaminya tidak dapat
diperbaiki lagi.

Hazewinkel-Suringa mengemukakan bahwa pidana mati adalah suatu alat


pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita dapat
menggunakannya. Bichon van Tselmonde menyatakan : saya masih selaiu
berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-
tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hakum
maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya, kedua-duanya jure divino
humano. Pedang pidana seperti juga pedang harus ada pada negara. Hak dan
kewajiban in! tak dapat diserahkan begitu saja. Tap! haruslah dipertahankannya dan
juga digunakannya.

3
Lombrosso dan Garofalo juga termasuk yang mendukung pidana
mati. Mereka berpendapat bahwa pidana mati adalah alat mutlak yang harus ada
pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tak mung kini dapat diperbaiki
lagi. Para sarjana hukum di Indonesia juga ada yang mendukung pidana
mati. Diantaranya adalah Bismar Siregar yang menghendaki tetap
dipertahankannya pidana mati dengan maksud untuk menjaga sewaktu-waktu kita
membutuhkan masih tersedia. Sebab beliau menilai kalau seseorang penjahat sudah
terlalu keji tanpa perikemanusiaan , pidana apa lagi yang mesti dijatuhkan kalau
bukan pidana mati.

Sedangkan Oemar Seno Adji menyatakan bahwa selama negara kita masih
meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh
bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-
anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana
mati.Hartawi AM memandang ancaman dan pelaksanaan pidana matf sebagai suatu
social defence.

Is Cassutto menyatakan bahwa pada pidana mati ditemui kesukaran-


kesukaran yang serius, pertama-tama terbentur pada kemungkinan terjadinya
kekhilafan yang tak mungkin dapat diperbaiki. J.E Sahetapy juga dianggap sebagai
penentang pidana mati, walaupun terbatas hanya mengenai pembunuhan berencana.
Dalam desertasinya yang berjudul Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana
Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa :

1. Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP dewasa ini dalam praktek
merupakan suatu ketentuan abolisi de facto
2. Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP tidak akan mengenai
sasarannya selama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga
kasasi, lembaga grasi, kebebasan hakim dan "shame culture"
3. Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana mati.3

B. Sanksi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika

3
HANS C. TANGKAU, “ Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia” Universitas Sam
Ratulangi Manado, 2008

4
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merumuskan
ancaman pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Uraian terkait
dengan ancaman pidana mati yang terhadap perbuatan yang dilarang dalam
Undang-undang Narkotika adalah sebagai berikut.

Pertama, Pasal 114 ayat (2): Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau
menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Kedua, Pasal 116 ayat (2): Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang
lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Ketiga, Pasal 118 ayat (2): Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).4

C. Teori Pemidanaan Yang Dianut Dalam RUUKUHP


Sebelum mempersoalkan tentang teori-teori yang dianut dalam RUUKUHP,
terlebih dahulu tulisan ini sekedar untuk mengingatkan kembali, bahwa dalam

4
file:///C:/Users/msanp/Downloads/bab-ii-putusan-hukuman-mati-duo-bali-nine-a-kronologi-
putusan-hukuman-mati-dua-bali-nine_compress.pdf

5
perkembangan hukum pidana telah berkembang berbagai teori pemidanaan seirama
dengan perkembangan aliran-aliran yang terdapat di dalam hukum pidana itu
sendiri.

Teori pemidanaan yang selama dikenal pertama adalah Teari Absolut atau
sering juga disebut dengan Toer Pembalasan (retributive/vergeldings theorieen).
Teori ini mengajarkan bahwa pidana adalah akibat mutiak yang harusada sebagai
suatu pembalasan kepada orangyang melakukan kejahatan. Menurut
JohannesAndenes tujuan utama (primer) dari pidanamenurut teori absolute ialah
"untukmemuaskan tuntutan keadilan" (to satisfy theclaims of justice) sedangkan
pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalahsekunder.?

Teori Absolut adalah dikembangkan dalam aliran klasik yang muncul


sebagai reaksi terhadap ancient regime yang banyak menimbulkan ketidakpastian
hukum. Ketidaksamaan dalam hukum dan ketidak-adilan. Aliran ini menganut
paham Indetnerministik yang mengakui adanya kebebasan kehendak manusia
untuk menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk itulah sebabnya
maka aliran ini lebih cenderung menitik beratkan pada perbuatan bukannya pada
orang yang melakukan perbuatan itu. Aliran Klasik ini berpijak pada tiga tiang:

a. azas legalitas, yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang,


tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa
undang-undang;
b. azas kesalahan, yang berisi, bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak
pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan;
c. azas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler, yang berisi bahwa pidana
secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu
hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat ringannya
perbuatan yang dilakukan.

Teori pemidanaan kedua adalah Teori Relative. Teori ini berpandangan bahwa
memidana bukanlah untuk pembalasan sebagai tuntutan absolut keadilan melainkan
pemidanaan hanyalah sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu teori ini dapat disebut pula sebagai "teori perlindungan masyarakat"'
(the theory of social defence). Selain itu teori ini menyebutkan bahwa pidana

6
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau peng-imbalan kepada orang
yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tujuan.5

Pangaturan tertentu yang bermanfaat. Dengan tujuan seperti itu, maka teori ini pun
sering juga disebut teori tujuan (Utilitarian tวeory). Menurut teor relalif, maka dasar
hukum dari hukuman adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu
tujuan dari hukuman adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu
pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari hukuman itu dapat berupa "prevensi umum"
(generale preventie) dan prevensi khusus (speciale preventie). Prevensi umum
bertujuan agar supaya orang pada umumnya tidak melanggar atau melakukan
perbuatan yang dilarang. Sedangkan prevensi khusus bertujuan agar supaya pelaku
kejahatan (dader) tidak lagi mengulangi perbuatan yang melanggar hukum.

Jika teori absolut muncul dan dikembangkan di dalam Aliran Klasik, maka
teori relatif muncul dan dikembangkan dalam Aliran Modern. Aliran ini juga
disebut aliran positif karena mencoba memahami kejahatan dengan menggunakan
metode ilmu alam dan bermaksud mendekati dan mempengaruhi penjahat secara
positif sejauh penjahat tersebut masih dapat diperbaiki. Aliran Modern muncul
sebagai reaksi terhadap Aliran Klasik yang bertitik tolak pada pandangan
determinisme, yakni memandang manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak,
perbuatannya dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun
faktor lingkungannya. Oleh karena ia tidak dapat dipersalahkan atau
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Kalau toh digunakan istilah pidana, maka
menurut aliran ini pidana harus diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Jadi
aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan
resosialisasi si pembuat.

Teori pemidanaan yang ketiga adalah Teori Gabungan. Teori ini pertama
kali diajukan oleh Pellegrino Rossi (1787-1848) la mengatakan bahwa pembalasan
sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu
pembalasan yang adil, selain itu pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain
perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general Sejalan

5
E. Ultrecht, Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana I. (Surabaya:Penerbit Pustaka Tinta Mas, 1986),
hlm 179

7
dengan itu Pompe menyebutkan bahwa teori gabungan selain menitik beratkan pada
pembalasan, tetapi hukuman harus juga bermaksud mempertahankan tata tertib
masyarakat supaya kepentingan umum dapat diselamatkan. Teori gabungan dapat
dibagi dalam tiga golongan :

a. teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi pembalasan itu


tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat
mempertahankan tata tertib masyarakat;
b. teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat,
tetapi hukuman tidak lebih berat dari pada suatu penderitaan yang beratnya
sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh si terhukum.
c. Teori gabungan yang menganggap kedua asas tersebut harus dititikberatkan
sama.

Persoalannya adalah teori mana yang dianut oleh Konsep RUUKUHP ? Untuk
menjawab hal tersebut dapat ditelusuri dengan memperhatikan rumusan tujuan
pemidanaan yang dikembangkan di dalam Konsep RUU KUHP tersebut. Adapun
tujuan pemidanaan dalam Pasal 51 RUU KUHP dirumuskan sebagai berikut:

Pemidanaan bertujuan :

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum


demi perlindungan dan pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan
pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna.
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat;
d. menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada
terpidana.

Memperhatikan rumusan tujuan pidana tersebut, Jelas sekali


memperhatikan bahwa teori pemidanaan yang mendasari tujuan tersebut adalah
teori relatif. Hal ini ditandai dengan adanya tujuan prevensi umum (generale
preventie) sebagaimana terlihat pada poin a dan c serta prevensi khusus (speciale
preventie) sebagaimana pada poin b dan d, Pertanyaannya adalah, apakah sudah

8
tepat jika cukup dengan hanya menggunakan teori relatif dalam menyusun tujuan
pemidanaan? Jika mengamati perkembangan kejahatan yang terjadi yang
cenderung meningkat, maka ada keraguan jika hanya mengandalkan teori relatif
saja, sebab jangankan hanya mengandalkan satu teori, lebih dari satu teori pun
belum tentu mampu mencegah terjadinya kejahatan.

Diakui bahwa telah banyak pemikir hukum mencoba meninggalkan teori


absolut mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya, namun tidak dapat
dilupakan bahwa teori ini pun tidak kurang pula pendukungnya. Selain itu dalam
teori ini memperlihatkan suatu ajaran yang berdasarkan suatu pandangan hidup
yang religius. Dalam hukum Islam misalnya, sebagian hukuman-hukuman
(hukuman had) dilihat sebagal pembalasan Tuhan yang oleh kadi, sebagal wakil
dari Tuhan di dunia, dijatuhkan atas pelanggaran hukum Islam . Selain hukuman
had dikenal pula hukuman qishash yang cenderung memiliki titik persamaan
dengan teori pembalasan, sekalipun dalam lain hal terdapat perbedaan yang
menyolok. Titik persamaannya adalah keduanya menilai bahwa hukuman sebagai
Imbalan (balasan) yang setimpal atau seimbang dengan perbuatan jahat yang
dilakukan erhadap korban. Hukuman qishash ini mutlak dilakukan jika si korban
menghendakinya, namun sesungguhnya pemberian maaf dari sikorban adalah lebih
diutamakan.

Dengan memperhatikan ajaran-ajaran di atas maka mestinya tujuan


pemidanaan yang dirumuskan dalam Konsep RUU KUHP perlu pula disesuaikan
dan mendasarkan pada ajaran-ajaran tersebut, sehingga tidak hanya berdasarkan
pada teori relatif melainkan didasarkan pula pada teori absolut atau dengan teori
gabungan. Oleh karena itu, ke depan tujuan pemidanaan tidak sekedar untuk
kepentingan pencegahan kejahatan dan pembinaan si pelaku melainkan pula
bertujuan untuk memberi balasan (imbalan atau ganjaran) atas perbuatan yang
diakukan sehingga si pelaku merasakan pula bagaimana akibat dari perbuatarnya
itu. 6

6
Rusli Muhamad, “Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Pengaturan Masalah Pidana Dan
Pemidanaan Dalam RUUKUHP”, Jurnal Hukum Vol. 2 , 2006

9
BAB III

CONTOH KASUS

Bali Nine adalah sebutan yang diberikan media massa kepada sembilan
orang Australia yang ditangkap pada 17 April 2005 di Bali, Indonesia dalam usaha
menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia. Kesembilan
orang tersebut adalah : a) Andrew Chan - disebut pihak kepolisian sebagai
"godfather" kelompok ini b) Myuran Sukumaran c) Si Yi Chen d) Michael Czugaj
e) Renae Lawrence f) Tach Duc Thanh Nguyen g) Matthew Norman h) Scott Rush
i) Martin Stephen Empat dari sembilan orang tersebut, Czugaj, Rush, Stephens, dan
Lawrence ditangkap di Bandara Ngurah Rai saat sedang menaiki pesawat tujuan
Australia.

Keempatnya ditemukan membawa heroin yang dipasang di tubuh. Andrew


Chan ditangkap di sebuah pesawat yang terpisah saat hendak berangkat, namun
pada dirinya tidak ditemukan obat terlarang. Empat orang lainnya, Nguyen,
Sukumaran, Chen dan Norman ditangkap di Hotel Melasti di Kuta karena
menyimpan heroin sejumlah 350g dan barang-barang lainnya yang
mengindikasikan keterlibatan mereka dalam usaha penyelundupan tersebut
(Wikipedia, 2016). Orang tua Rush dan Lawrence kemudian mengkritik pihak
kepolisian Australia yang ternyata telah mengetahui rencana penyelundupan ini dan
memilih untuk mengabari Polri daripada menangkap mereka di Australia, di mana
tidak ada hukuman mati sehingga kesembilan orang tersebut dapat menghindari
ancaman tersebut. Eksekusi terhadap terpidana mati asal Australia, Myuran
Sukumaran dan Andrew Chan akan berlangsung di Nusakambangan. Berikut ini
kronologi bagaimana kasus penyelundupan narkoba oleh sembilan warga Australia,
yang dikenal dengan nama kelompok "Bali Nine" tersebut :

Pada tanggal 17 April 2005 Myuran sukumaran dan Adrew chan ditangkap
dibandara Ngurah Rai karena dianggap terlibat dengan penyelundupan heroin 8,3
kilogram ke Australia.

Pada tanggal 14 februari, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dinyatakan


bersalah dengan ancaman hukuman mati. Mereka dianggap telah menyediakan

10
uang, tiket pesawat, dan hotel kepada para penyelundup. Hukuman mati bagi dua
gembong narkoba ini tidak berubah setelah Pengadilan Negeri menolak
permohonan banding keduanya. Tim pengacara dari para terdakwa terus melakukan
upaya banding.

Pada Desember 2006, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddqie


merekomendasikan agar ada perubahan soal hukuman mati yang bisa diperingan
hal ini berlaku jika terpidana menunjukkan perilaku yang baik dalam 10 tahun
terakhir.

Pada bulan Agustus 2008, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran kembali
mengajukan banding agar tidak dihukum mati. Dalam sidang banding, mereka
mengungkapkan penyesalan dan memohon ampun. Kepala penjara kerobokan
bahkan telah bersaksi bahwa keduanya memberikan kontribusi di penjara dengan
menggelar pelatihan komputer dan seni.

Pada 13 Mei 2012 Andrew Chan memohon Grasi kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono agar tidak dieksekusi mati sehingga ia bisa terus hidup dan
memperbaiki diri.kepala penjara Kerobokan, Gusti Ngurah Wiratna mengatakan
permohonan ini didasarkan pada Usia Chan.

Kemudian pada 9 Juli 2012, Myuran Sukumaran juga ikut mengajukan


permohonan grasi. Pada akhir tahun 2012, Kejaksaan Agung memberikan
penangguhan eksekusi mati hingga satu tahun bagi keduanya (CNN INDONESIA,
2015).

11 Desember 2014, Presiden Joko Widodo menyatakan tidak ada ampun


bagi kejahatan narkoba Dalam sebuah pidato yang disampaikan di hadapan
sejumlah mahasiswa, Presiden Joko Widodo mengatakan, tidak ada pengampunan
bagi mereka yang terlibat dalam kasus narkoba. Ia mengatakan, sejumlah
permintaan grasi telah banyak menanti.

Pada awal Januari 2015, Pemerintah Australia mengatakan bahwa upaya


Myuran Sukumaran untuk mendapat pengampunan Presiden telah berakhir.
Perdana Menteri Tony Abbott tetap berharap eksekusi Myuran Sukumaran dan
Andrew Chan tidak akan terjadi. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Australia Julie

11
Bishop mengatakan, ia menghargai sistem hukum yang berlaku di negara lain,
tetapi tetap mengupayakan lewat jalur diplomatik.

17 Januari 2015 Perdana Menteri Abbott mendekati Presiden Jokowi agar


membatalkan eksekusi. Perdana Menteri Tony Abbott mendekati Presiden Joko
Widodo secara langsung agar memberikan pengampunan kepada Myuran
Sukumaran dan Andrew Chan. Juru Bicara Perdana Menteri mengatakan,
Pemerintah Australia terus berupaya agar mencegah eksekusi kedua warganya di
Indonesia.

Pada 20 Januari 2015, Tony Abbott kembali menyurati Presiden Joko


Widodo untuk menerima permohonan grasi bagi Sukumaran dan Chan.

2 Februari 2015 Sukumaran dan Chan akan dieksekusi. pemerintah


Indonesia. Myuran Sukumaran dan Andrew Chan akan dieksekusi pada bulan
Februari meski belum ditetapkan tanggal pastinya. Sebelumnya, keduanya telah
kembali mengajukan peninjauan ulang kasusnya, tetapi pengadilan terus
menolaknya.

Pada 9 Februari, Todung Mulya Lubis, pengacara keduanya, mencoba


mengugat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas penolakan Presiden Joko
Widodo. Namun, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan, gugatan ini tidak
bisa dilakukan karena grasi adalah hak prerogatif Presiden. Presiden Joko Widodo
dalam pernyataannya mengaku menolak grasi dengan berbagai alasan. "Setiap
harinya, 50 orang meninggal karena narkoba," ujarnya di Yogyakarta. "Ada 4,5 juta
pencandu yang membutuhkan rehabilitasi."Keputusan untuk hukuman mati
bukanlah keputusan Presiden, tetapi keputusan hakim di pengadilan," kata Presiden
Jokowi (kompas, 2015).7

7
file:///C:/Users/msanp/Downloads/bab-ii-putusan-hukuman-mati-duo-bali-nine-a-kronologi-
putusan-hukuman-mati-dua-bali-nine_compress.pdf

12
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hukum Yang Mendasari Hakim Terhadap Pidana Mati


Dalam Putusan No. 37 PK/PID.SUS/2011 Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan
dan RUUKUHP

Putusan yang memberikan sanksi terberat dalam hukum Indonesia yaitu


Pidana Mati, terdakwa yang terbukti sebagai penyalahguna tidak semuanya di
pidana penjara. Pada putusan dengan Nomor 37 PK/PID.SUS/2011 menghukum
terdakwa yang seorang penmbawa/pengantar (kuris) narkotika dengan pidana mati.
Analisis terhadap putusan Nomor 37 PK/PID.SUS/2011.

Pasal 143 KUHAP maka penuntut umum wajib membuat surat dakwaan,
oleh karenanya penuntut umum mengajukan dakwaan atas Terdakwa Achmad
Nurdi Bin H. Sucipto Suharjo, sebagai berikut:

1. Kesatu Terdakwa Andrew Chan pada hari, tanggal, bulan, tahun, waktu dan
tempat yang telah disebutkan diatas, secara tanpa hak atau melawan hukum
mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli,
menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar
Narkotika Golongan I melanggar Pasal 82 Ayat (3) huruf a Undang-Undang
No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
2. Kedua Terdakwa Andrew Chan pada hari, tanggal, bulan, tahun, waktu dan
tempat yang telah disebutkan diatas secara tanpa hak memiliki narkotika
golongan I bukan tanaman sebagaimana dakwaan kedua melanggar Pasal
78 ayat (1) huruf b Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa Andrew Chan sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa Andrew Chan terbukti secara sah dan meyakinkan


bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkot ika yaitu “Tanpa
hak dan melawan hukum mengekspor narkot ika Golongan I yang dilakukan
secara terorganisir ” sebagaimana dakwaan Kesatu Primair melanggar Pasal
82 Ayat (3) huruf a Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkot ika
dan “Secara tanpa hak memiliki narkotika Golongan I bukan tanaman”

13
sebagaimana dakwaan kedua melanggar Pasal 78 Ayat (1) huruf b
UndangUndang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Andrew Chan dengan pidana Mati;
3. Menyatakan barang bukti yang sudah disebutkan di atas dirampas untuk
dimusnahkan.
4. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000
(seribu rupiah)

Amar putusan yang dijatuhkan dalam menangani kasus terhadap Terdakwa


Andrew Chan, sebagai berikut derawal dari pengadilan Tingkat Pertama, Kedua,
dan Peninjuan Kembali:

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 624/Pid.B/2005/ PN.Dps, tanggal14


Februari 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa Andrew Chan tersebut di atas terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak dan melawan
hukum mengekspor narkotika Golongan I yang dilakukan secara
terorganisir ” dan “Secara tanpa hak memilik i narkotika Golongan I bukan
tanaman”
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Andrew Chan dengan pidana Mati;
3. Menyatakan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan sampai dengan
putusan dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
4. Menyatakan barang bukti berupa (sebagaimana disebutkan di atas)
dirampas untuk dimusnahkan .
5. Menghukum terdakwa agar membayar biaya perkara sejumlah Rp1.000
(seribu rupiah)

Putusan Mahkamah Agung RI No. 1690 K/Pid/2006, tanggal 16 Agustus 2006


yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : Andrew


Chan tersebut .
2. Membebankan Terdakwa tersebut membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);

14
Putusan Mahkamah Agung RI No.37 PK/Pid.Sus/2011, tanggal 10 Mei 2011
yang amar putusannya sebagai berikut :

1. Menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan


kembali/terpidana Andrew Chan tersebut
2. Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut
tetap berlaku.
3. Membebankan biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini
kepada negara 8

Dasar pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa dan


mengadili perkara ini terhadap unsur tanpa hak dan melawan hukum mengekspor
narkotika golongan I, yang dilakukan secara terorganisir pada pokoknya adalah
sebagai berikut :

1. Adapun yang dimaksud “tanpa hak dan melawan hukum” dalam unsur ini
adalah bahwa terdakwa tidak mempunyai kewenangan atau tidak memiliki
ijin dari yang berwenang dalam mengimpor, mengekspor, menawarkan
untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima
menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I.
2. Menurut ketentuan Pasal 82 Ayat (3) huruf a UndangUndang No. 22 Tahun
1997 tentang Narkotika apabila dilakukan dengan terorganisasi, dalam
penjelasan UndangUndang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 78
ayat (3) yang dimaksud dengan dilakukan secara terorganisasi adalah tindak
pidana narkotika tersebut dilakukan oleh sekelompok orang, secara rapih,
tertib, dan rahasia serta mempunyai jaringan nasional dan internasional.
3. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan
dengan adanya barang bukti telah nyata bahwa terdakwa Andrew Chan telah
ditangkap pada tanggal 17 April 2005 bertempat di Terminal Keberangkatan
Internasional Bandara Ngurah Rai, atau setidak-tidaknya di suatu tempat
yang masih termasuk ke dalam wilayah hukum pengadilan Negeri
Denpasar.

8
Putusan No. 37 PK/Pid.sus/2011

15
4. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik No. Lab :
220/KNF/200s tanggal 15 Juni 2005 menyimpulkan bahwa :Bahwa barang
bukti berupa heroin yang disita dari Renae Lawrence, Martin Eric Stephens,
Michael William Czugaj, Scoth Anthony Rush, Myuran Sukumaran, Tan
Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen dan Matthew James Norman adalah identic
dengan serbuk heroin milik terdakwa Andrew Chan. Terhadap uraian
pertimbangan tersebut di atas, Majelis berpendapat unsur mengimpor,
mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli,
menyerahkan, menerima,menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar
narkotika Golongan I secara terorganisir telah terpenuhi dalam perbuatan
diri terdakwa.

Tanpa hak disini maksudnya adalah melakukan perbuatan yang bukan haknya
serta tanpa izin dari yang berwenang.

Fakta perkara ini yakni terdakwa Andrew Chan berusaha mengeskpor narkotika
golongan I jenis herois dan ingin membawanya menuju Australia. Terdakwa dan
delapan rekannya yang lain ditangkap saat berusaha membawa Narkotika golongan
I ke Australia di Bandara Internasional Ngurah Rai. Pada saat ditangkap terdakwa
tidak memiliki ijin dari pihak yang berwenang untuk menggunakan Narkoba jenis
heroin. Menurut Sudarto, pengertian sifat melawan hukum, ada 2 (dua) pendirian
yaitu :

1. Menurut ajaran sifat melawan hukum formal Suatu perbuatan itu berifat
melawan hukum, apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan
sebagai suatu delik dalam undang-undang. Sifat melawan hukumnya
perbuatan itu dapat dihapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-
undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan
atau bertentangan dengan undangundang (hukum tertulis).
2. Sifat melawan hukum yang material Suatu perbuatan itu melawan hukum
atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undangundang saja, akan tetapi
harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan
hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik harus
berdasarkan ketentuan undangundang dan juga berdasarkan aturan-aturan

16
yang tidak tertulis. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan
bertentangan dengan undangundang (hukum tertulis) dan juga dengan
hukum yang tidak tertulis.

Dalam pertimbangan hakim pada perkara pidana Nomor: 37


PK/PID.SUS/2011 diperoleh fakta bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa
adalah merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum yang formil, dari hasil
pemeriksaan Laboratorium Forensik Polri Cabang Denpasar bahwa heroin yang
ditemukan adalah kepemilikan Andrew Chan terdaftar dalam Golongan I lampiran
Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentanag Narkotika. Perbuatan terdakwa telah
terbukti melawan hukum karena terdakwa mempunyai niat untuk mengekspor
heroin tersebut ke Australia, dimana terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak
berwenang dalam memiliki barang tersebut. Terhadap uraian pertimbangan tersebut
di atas, Majelis berpendapat unsur pernyalahgunaan Narkotika golongan I bagi
dirinya sendiri telah terpenuhi dalam perbuatan diri terdakwa.

Dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang


memeriksa dan mengadili perkara ini terhadap unsur setiap orang pada pokoknya
adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang adalah menunjuk kepada subjek hukum yaitu seseorang atau
siapa saja selaku subjek hukum pendukung yang melakukan suatu tindak
pidana serta dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum,
in cassu Terdakwa Andrew Chan yang oleh Jaksa Penuntut Umum diajukan
ke persidangan di dakwa telah melakukan tindak pidana.
2. Terdakwa Andrew Chan diajukan dalam perkara ini yang identitas
lengkapnya tercantum secara jelas dan lengkap dalam surat dakwaan
penuntut umum telah dibenarkan oleh Terdakwa maupun saksi-saksi di
persidangan dan Terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta
dapat menjawab dan menerangkan dengan tegas dan jelas atas semua
pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Terhadap uraian pertimbangan tersebut di atas, Majelis berpendapat unsur


setiap orang telah terpenuhi pada diri Terdakwa. Unsur setiap orang adalah orang
atau manusia sebagai subjek hukum yang mampu bertanggungjawab dan dapat

17
dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan. Dalam
perkara ini yang dimaksud dengan subjek hukum adalah menunjuk kepada
terdakwa Andrew Chan yang identitasnya telah diakui secara tegas oleh terdakwa
di persidangan. Terdakwa selalu hadir dalam keadaan sehat jasmani dan rohanim
selalu siap menjalani tahap-tahap pemeriksaan serta dalam setiap pemeriksaan
terdakwa selalu dapat menanggapi keterangan yang disampaikan oleh saksi maupun
ahli terdakwa juga dapat dengan jelas dan lancar memberkan keterangan sewaktu
diperiksa sebagai terdakwa.

Unsur dilakukan secara teorganisasi, yang dimaksud dengan dilakukan secara


terorganisasi adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa terlebih dahulu sudah
dengan perencanaan yang matang dan melibatkan orang lain dalam menjalankan
kejahatannya. Berdasarkan keterangan terdakwa dan saksi lain dalam persidangan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan apabila perbuatan ini dilakukan secara
terorganisasi.

Berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, tidak ditemukan


adanya alasan pemaaf maupun pembenar dari diri terdakwa, sehingga terdakwa
adalah merupakan subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
perbuatan yang telah dilakukannya. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri
Denpasar dalam menjatuhkan sanksi pidana mati terhadap perbuatan terdakwa
dalam putusan Nomor 624/Pid.B/2005/ PN.Dps, sebagai berikut :

1. Hal-hal yang memberatkan Perbuatan Terdakwa tidak mendukung program


pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memerangi atau memberantas
penyalahgunaan narkotika.
2. Hal-hal yang meringankan
a. Terdakwa sopan dipersidangan, mengakui perbuatannya dan merasa
bersalah
b. Terdakwa belum pernah dihukum
3. Terdakwa Andrew Chan memiliki heroin tersebut adalah untuk diekspor
dan dibawa ke Australia untuk dijual. Selain itu dalam perbuatan yang

18
dilakukan terdakwa tidak ditemukan adanya alasan yang dapat
menghapuskan pidana.9
4. Terpenuhinya unsur-unsur dalam dakwaan yang diajukan oleh Penuntut
Umum dan tidak adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf dalam
kasus ini.
5. Meskipun dalam menjalani masa penjara terdakwa Andrew Chan telah
menunjukkan perubahan atas sikap dan menyesali perbuatannya namun
kejahatan yang dilakukan terdakwa adalah kejahatan serius dan menyangkut
Kejahatan Internasional yang diancam dengan hukuman pidana mati.

Pertimbangan tentang tujuan yang ingin dicapai dengan penjatuhan pidana


merupakan salah satu masalah pokok dalam hukum pidana. Secara normatif
terbukti dengan adanya undang-undang yang mencatumkan ketentuan hukuman
mati. Secara praktis terlihat dalam berbagai sidang di pengadilan, hakim berulang
kali menjatuhkan putusan hukuman mati, terutama perkara narkotika. Dilihat dari
tujuannya teori pemidanaan dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu teori absolut
(teori pembalasan), teori relatif (teori tujuan), dan teori gabungan.

Dan kalau kita melihat dalam teori pemidanaan dalam RUUKUHP dilihat
bahwa teorinya menganut teori relatif. Berdasarkan Teori Relatif atau disebut juga
dengan teori tujuan, melihat penjatuhan sanksi pidana dari sisi lain. Menurut teori
ini pidana tidak dijatuhkan demi pidana itu sendiri, tetapi untuk suatu tujuan yang
bermanfaat, yaitu melindungi atau mengayomi masyarakat agar kesejahteraan
mereka terjamin. Sebagai ganti dari pembalasan yang disebut sebagai dasar dan
pembenaran pidana oleh kebanyakan sarjana hukum. Teori di atas menggambarkan
bahwa penjatuhan pidana tidak hanya sekedar dalam menjatuhkan pidana untuk
membalaskan perbuatan terdakwa, tetapi juga untuk memberikan pelajaran bagi
terpidana untuk tidak mengulangi perbuatannya kembali.

Membandingkan dengan studi kasus di atas, kita dapat mengetahui bahwa


penjatuhan sanksi pidana mati yang dijatuhkan sudah sesuai dengan Undang-

9
Michael Thomson, “Pertimbangan hakim terhadap Putusan Pidana Mati Dalam Kasus Tindak
pidana Narkotika (studi kasus Putusan No. 37 Pk/Pid.sus/2011)”,Volume 5, Nomor 3, Universitas
Diponegoro 2016

19
Undang yang berlaku, namun , peetanyaan besarnya adalah apakah penjatuhan
pidana mati dalam putusan No. 37 Pk/Pid.sus/2011 sudah sesuai dengan tujuan
pemidanaan dalam RUUKUHP ?

Kalau kita melihat dalam Pasal 51 RUU KUHP dirumuskan sebagai berikut:

Pemidanaan bertujuan :

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum


demi perlindungan dan pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan
pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna.
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat;
d. menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada
terpidana.

Memperhatikan rumusan tujuan pidana tersebut, Jelas sekali memperhatikan


bahwa teori pemidanaan yang mendasari tujuan tersebut adalah teori relatif. Namun
dari rumusan pasal di atas menujukan bahwa pidana mati yang diputuskan dalam
studi kasus di atas jika di tinjau dari tujuan pemidanaan dalam RUUKUHP sudah
tepat dikarenakan, bahwa :

a. Bahwa terpidana yang sudah dijatuhi pidana mati akan dapat mencegah
dilakukannya tindak pidana lain maupun serupa , karena ada ancaman
pidana yang dapat mengambil hak hidup seseorang jika melakukan
tindak pidana tersebut, dengan tujuan demi perlindungan dan
pengayoman masyarakat.
b. Dengan adanya pidana mati dapat menyelesaikan konflik yang ditimbul
akibat tindak pidana dan mendatangkan rasa aman dan damai dalam
masyarakat.
c. Dan terpidana mati yang sudah dijatuhi pidana mati dapat
menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan dari rasa bersalah
pada terpidana atas perbuatan yang dilakukannya.

20
Kendati pun bahwa dalam studi kasus tersebut sudah tepat dan sesuai
dengan tujuan pemidanaan, akan tetapi dalam huruf (b) pasal 51 RUUKUHP jelas
bahwa terpidana yang sudah dijatuhi pidana mati tidak dapat memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang
yang baik dan berguna, karena jelas bahwa terpidana sudah dijatuhi pidana mati
dan sudah diambil hak hidupnya.

Dengan demikian walaupun penulis pro terhadap pidana mati, jelas yang
terutama bahwa suatu tindak pidana khususnya pidana mati dapat dijatuhkan
apabila dilihat dari tindak pidana seperti apa yang dilakukan, apakah tindak
pidananya berat atau tindak pidana yang ringan. Dengan memerhatikan hal tersebut
dapat menjadi dasar dalam penjatuhan hukuman terhadap pelaku.

Penjatuhan sanksi pidana kembali lagi pada tujuan dari dijatuhkannya


hukuman tersebut. Tujuan dari suatu untuk merubah struktur sosial dalam
masyarakat. Dimana hukum seharusnya menjadi social engineering (sarana
perubahan sosial atau sarana rekayasa masyarakat). Kembali dengan teorii
pemidanaan yang selama ini terfokus dalam membalas perbuatan yang dilakukan
oleh terpidana. Dalam sistem hukum yang maju dengan pembuatan dan
perkembangan hukum didesain secara professional dan logis, tidak diasingkan lagi
bahwa produk hukum dapat mempengaruhi, bahkan dapat mengubah sendi-sendi
kehidupan masyarakat.

21
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pertimbangan hakim dalam menolak permohonan PK dan tetap menjatuhkan


sanksi pidana mati terhadap pelaku pengedar narkotika dalam putusan nomor 37
PK/PID.SUS/2011, didasarkanpada ketentuan Pasal 82 ayat (3) dan Pasal 78 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Putusan hakim dalam putusan
nomor 37 PK/PID.SUS/2011 tersebut selain bertujuan untuk menjeratkan terdakwa, juga
bertujuan untuk menghukum terdakwa atas perbuatannya dan untuk memberikan
peringatan kepada pelaku kejahatan narkotika lain. Memperhatikan rumusan tujuan
pidana tersebut, Jelas sekali memperhatikan bahwa teori pemidanaan yang
mendasari tujuan tersebut adalah teori relatif. Namun dari rumusan pasal di atas
menujukan bahwa pidana mati yang diputuskan dalam studi kasus di atas jika di
tinjau dari tujuan pemidanaan dalam RUUKUHP sudah tepat dikarenakan, bahwa :
Bahwa terpidana yang sudah dijatuhi pidana mati akan dapat mencegah
dilakukannya tindak pidana lain maupun serupa , karena ada ancaman pidana yang
dapat mengambil hak hidup seseorang jika melakukan tindak pidana tersebut,
dengan tujuan demi perlindungan dan pengayoman masyarakat. Dengan adanya
pidana mati dapat menyelesaikan konflik yang ditimbul akibat tindak pidana dan
mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat. Dan terpidana mati yang
sudah dijatuhi pidana mati dapat menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan
dari rasa bersalah pada terpidana atas perbuatan yang dilakukannya. Dengan
demikian walaupun penulis pro terhadap pidana mati, jelas yang terutama bahwa
suatu tindak pidana khususnya pidana mati dapat dijatuhkan apabila dilihat dari
tindak pidana seperti apa yang dilakukan, apakah tindak pidananya berat atau tindak
pidana yang ringan. Dengan memerhatikan hal tersebut dapat menjadi dasar dalam
penjatuhan hukuman terhadap pelaku.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa penulisan dan makalah ini jauh dari kata sempurna oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar
membangun penulisan karya ilmiah lebih baik untuk ke depannya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang N0. 35 tahun 2009 tentang Narkotika

Michael Thomson, “Pertimbangan hakim terhadap Putusan Pidana Mati

Dalam Kasus Tindak pidana Narkotika (studi kasus Putusan No.

37Pk/Pid.sus/2011)”,Volume 5, Nomor 3, Universitas Diponegoro 2016.

HANS C. TANGKAU, “ Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia”

Universitas Sam Ratulangi Manado, 2008

file:///C:/Users/msanp/Downloads/bab-ii-putusan-hukuman-mati-duo-bali-

nine-a-kronologi-putusan-hukuman-mati-dua-bali-nine_compress.pdf

E. Ultrecht, Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana I. (Surabaya:Penerbit

Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm 179

Rusli Muhamad, “Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Pengaturan


Masalah Pidana Dan Pemidanaan Dalam RUUKUHP”, Jurnal Hukum Vol. 2 ,
2006

Putusan No. 37 PK/Pid.sus/2011

Atmasasmita, Romli “Sistem Peradilan Pidana Kontemporer” (Jakarta:


Kencana) 2010

Muladi dan Barda Nawawi Arief, “Teori-teori dan Kebijakan Pidana”,


Bandung: Alumni, 1998

Soponyono Eko , “Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan yang


Berorientasi pada Korban dalam Bidang Hukum Pidana Formil”, (Yogyakarta:
Pohon Cahaya), 2011.

Asshiddiqie. Jimly, “Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”. Bandung:

Penerbit Angkasa 1995.

23

Anda mungkin juga menyukai