Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Paper l ini di buat guna memenuhi suatu syarat dalam penyelesaian Mata Kuliah
Pengantar Hukum Indonesia Kelas B / BT.02, dengan
Dosen Pengampuh: Dr. Muhammad Hatta Roma Tampubolon, SH., MH.
Pada Perkuliahan Semester Ganjil Tahun Ajaran 2022/2023

Disusun Oleh:

KELOMPOK 7

Syaikhul Firdaus ( D10122340 )

Abd Razak ( D10122140 )

Moh Syafar.J ( D10122241 )

Ningsi Agustin ( D10122073 )

Nadiva ( D10122481 )

Suci yani puteri ( D10122422 )

Dewi Nurnaningsi U.Lopi ( D10122399 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Palu, 23 Oktober 2022


Ketua Kelompok

Syaikhul Firdaus
NIM.D10122340
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................. i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................
1.1. Latar Belakang ......................................................................................
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................
1.3. Tujuan....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................
2.1. Dasar- dasar Hukum Pidana
2.2. Dasar-dasar HukumAcara Pidana
2.3. Dasar-dasar Hukum Perdata
2.4. Dasar-dasar Hukum Acara Perdata
BAB III PENUTUP......................................................................................
3.1. Kesimpulan ...........................................................................................
3.2. Saran......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
BAB 1
PENDAHHULUAN
1.1. Latar Belakang

Hukum Pidana merupakan bagian dari ranah hukum publik. Hukum


Pidana di Indonesia diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda.
KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia,
dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan
pidana yang diatur di luar KUHP.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional
mengamanatkan asas setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum
dan pemerintahan. Hal ini tidak terbukti dengan adanya ketidakseimbangan
antara perlindungan hukum antara perlindungan korban kejahatan dengan
pelaku kejahatan karena masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan diatur
pada perundang-undangan nasional.
Segala aktivitas manusia dalam segala aspek kehidupan sosial, politik,
dan ekonomi dapat menjadi sebab terjadinya kejahatan. Kejahatan akan selalu
hadir dalam kehidupan ataupun lingkungan sekitar, sehingga diperlukan upaya
untuk menanganinya. Dengan upaya penanggulangan kejahatan, diharapkan
dapat menekan baik dari kualitas maupun kuantitasnya hingga pada titik yang
paling rendah sesuai dengan keadaannya.

Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan


hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang
lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.¹
Timbulnya
hukum karena manusia hidup bermasyarakat. Hukum mengatur hak dan
kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan juga mengatur bagaimana cara
melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Hukum perdata
yang mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat disebut
“hukum perdata material”. Sedangkan, hukum perdata yang mengatur
bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban
disebut “hukum perdata formal”. Hukum perdata formal lazim disebut hukum
acara perdata. ²
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, manusia adalah sentral.
Manusia adalah penggerak kehidupan masyarakat karena manusia itu adalah
pendukung hak dan kewajiban. Dengan demikian, hukum perdata material
pertama kali menentukan dan mengatur siapakah yang dimaksud dengan orang
sebagai pendukung hak dan kewajiban itu. ³

¹ C.S.T.Kansil, 1986, Pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
hal. 214.
² Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal.
3-4.
³Ibid.
1.2 Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud hukum Pidana ?
B. Apa saja faktor-faktor pembentukan Hukum Pidana ?
C. Bagaimana sifat Hukum Pidana ?
D. Apa yang dimaksud Hukum Perdata ?
E. Apa saja faktor-faktor pembentukan Hukum Perdata ?
F. Bagaimana sifat Hukum Perdata ?
1.3 Tujuan
A. Untuk mengetahui pengertian hukum Pidana dan Hukum Perdata
B. Untuk megetahui faktor pembentukan hukum Pidana dan
Hukum Perdata
C. Untuk mengetahui sifat hukum Pidana dan Hukum Perdata
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Pidana

Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik
merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman
dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan
masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan)
merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana.
Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap
masanya.

Le 3 basi per rafforzare la zona lombare – Sportlife dostinex cabergolina la


migliore routine di 20 esercizi da fare a casa – classifica maratona.A. Definisi Hukum
Pidana
Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang
melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam
Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain
sebagainya. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa
yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang
dilarang dalam hukum pidana adalah:
• Pembunuhan
• Pencurian
• Penipuan
• Perampokan
• Penganiayaan
• Pemerkosaan
• Korupsi
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-
nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah
Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-
Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur yang harus dilalui
oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
• Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
• Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara
kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.
A. Sejarah Hukum Pidana
Sejarah Hukum Pidana terbagi atas beberapa masa diantaranya:
1. Zaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)
Hukum Barat (Belanda) masuk ke Indonesia seiring dengan gerakan kolonialisme.
Dengan dalih memperluas wilayah perdagangan, maksud semula untuk berdagang
berubah menjadi menjajah. Agar maksud ini lancar, Pemerintah Hindia Belanda
memberi wewenang penuh kepada perusahaan perdagangan Belanda, VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk mendirikan benteng-benteng
pertahanan dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Indonesia. Oleh karena
itu, VOC mempunyai dua wewenang, yakni sebagai pedagang dan sebagai badan
pemerintah.26
Kedatangan pedagang-pedagang Belanda (VOC) di Indonesia membawa
suasana penjajahan. Untuk kepentingan-kepentingan perdagangan mereka,
berdasarkan oktorooi Staten General di negeri Belanda, VOC telah melaksanakan
berlakunya peraturan-peraturan sendiri di Indonesia. Semula peraturan-peraturan
tersebut berbentuk plakaat-plakaat. Kemudian plakaat-plakaat itu dihimpun dengan
nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi) pada tahun 1642, tetapi belum
merupakan kodifikasi, dan pada tahun 1848 diadakan Interimaire Strafbepalingen,
merupakan dua peraturan pidana tertulis pertama yang diterapkan oleh Belanda
walaupun dalam bentuknya yang sederhana, yang memuat aturan pidana yang
berlaku bagi orang Eropa.27

Hukum yang berlaku pada waktu itu adalah sistem hukum Belanda. Pada
mulanya hanya berlaku bagi orang Eropa saja, tetapi dengan berbagai peraturan dan
upaya, akhirnya dinyatakan berlaku bagi bangsa Asia, termasuk Indonesia yang
menundukkan diri pada hukum Barat secara sukarela atau karena ada perbuatan
hukum yang berkenaan dengan keuangan dan perdagangan. Hukum Belanda yang
diberlakukan oleh VOC pada waktu itu antara lain hukum tatanegara, perdata dan
pidana. VOC tidak mengenal hukum lain selain hukumnya sendiri. Tidak ada
perbedaan antara orang Indonesia dengan orang Belanda, semuanya termasuk ke
dalam peradilan Belanda, yaitu Raad van Justitie dan Schepenbank. Pengadilan Asli
yang dilakukan oleh kepala-kepala rakyat dianggap tidak ada.28

Bagi orang bumiputera atau orang asli Indonesia asli, meskipun adanya
peraturan-peraturan hukum pidana yang tertulis tersebut, tetap berlaku hukum adat
pidana yang sebagian besar tidak tertulis, dan pengadilan bekerjanya masih bersifat
arbitrair. Menjelang periode akhir abad ke 19 mulai dirasakannya perlu unifikasi
hukum pidana. Maka pada tahun 1881 pemerintah Belanda mengadakan kodifikasi
hukum pidana baru, yaitu Wetboek van Strafrecht 1881 (Stb.1881 nomor 35) dan
diberlakukan secara nasional mulai tanggal 1 September 1886 serta sekaligus
menggantikan Code Penal Prancis. Pada tahun 1866 barulah dikenal kodifikasi dalam
arti sebenarnya, yaitu pembukuan segala peraturan hukum pidana.

Kodifikasi hukum pidana itu oleh pemerintah Belanda dikandung maksud


untuk menyapu bersih dan menghapuskan hukum adat, sehingga hanya berlaku
hukum pidana asing yang didatangkan untuk penduduk negara jajahan. Sejarah
kolonial pada saat itu menunjukkan keadaan sikap penduduk asli sukar ditaklukkan
oleh orang asing, oleh karena itu perlu ditempuh berbagai jalan antara lain dengan
kolonisasi hukum pidana. Pada tanggal 10 Februari 1886 berlaku dua kitab Undang-
Undang Hukum pidana di Indonesia yaitu Het Wetboek Van Strafrecht Voor
Europeanen (S. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai pada
tanggal 1 Januari 1867, kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 ditetapkan
pula berlakunya KUHP untuk golongan Bangsa Indonesiaa dan Timur Asing, yaitu
Het Wetboek Van Strafrecht Voor Inlands en Daarmede Gelijkgestlede S. 1872
Nomor 85 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1873.29

2.Zaman Hindia Belanda


Pada tahun 1918 sampai dengan tahun 1814 Indonesia pernah jatuh dari
tangan Belanda ke tangan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814,
maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Pada tahun
1881 di negeri Belanda dibentuk suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru
yang mulai diberlakukan pada tahun 1886 yang bersifat nasional dan sebagian besar
mencontoh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Jerman. Sikap semacam ini bagi
Indonesia baru diturut dengan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie stbl Nomor 732)30 dengan
firman Raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang
sekaligus menggantikan kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut di atas
untuk berlaku bagi semua penduduk di Indonesia.

Bersamaan dengan hal tersebut diatas, diberlakukan juga beberapa pengaturan


seperti Gestichten Reglement Stb 1917/708. Wijzigings Ordonantie Stb 1917/732,
Dwang opvoeding Regeling Stb 1917/741, Voorwaardelijke invrijheidstelling stb
1917/149.31 Dengan demikian berakhirlah dualism hukum pidana di Indonesia yang
pada mulanya hanya untuk daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Belanda
dan akhirnya untuk seluruh Indonesia.

3. Zaman Pendudukan Jepang


Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum
pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali
peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.
Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1
Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan
pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang
dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan
pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang
mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya,masih tetap
menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163
Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi
semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische
Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische
Staatregeling.32
Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan
militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu
Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei
Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang
hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14
Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.33
B. Tujuan Hukum Pidana
Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
• Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak
baik.
• Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi
baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap
gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah
terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang
mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran
kepentingan umum. The drugstore-catalog.com duration of treatment depends on the
type of therapy used and factors that may increase the risk of side effects. Tetapi
kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan tidak
baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya
sebagai akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab
timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.
Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa sampai seseorang melakukan suatu
tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sosial. Di samping itu
juga ada ilmu lain yang membantu hukum pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi,
kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu hukum pidana bertugas
mempelajari sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan pidana, apa motivasinya,
bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meniadakan
perbuatan itu.

C. Klasifikasi Hukum Pidana


Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan hukum pidana
Dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan
atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”.
Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:
• Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan
kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang
ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan bagian dari Hukum
Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti
Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.
• Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan
hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara
agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek
yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum
materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara
pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus
dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya
memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang
mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya sejak waktu terjadinya
pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari prosedur tersebut—baik yang berkaitan
dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari
dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya.”. Dari sini, jelas bahwa substansi
Hukum Acara Pidana meliputi:
• Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai berakhirnya hukum
atasnya dengan beragam tingkatannya.
• Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana dan yang diangkat
sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
• Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan
yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum
Publik, karena sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan karena
terkait dengan kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh
sebab itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-
permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, karena harus menjamin keselarasan
antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana
tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan jika memungkinkan juga,
berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para ahli telah bersepakat
bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku
pidana dan korban.
Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut juga “Ius Puniendi”,
yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang
yang melakukan perbuatan yang dilarang”.

D. Ruang Lingkup Hukum Pidana


Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan
peristiwa pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana
ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan
seseorang yang mampu bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu:.
• Sikap tindak atau perikelakuan manusia
. Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran; Didasarkan pada kesalahan,
kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan.
Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai sanksi adalah
– Perilaku manusia ; Bila seekor singa membunuh seorang anak maka singa tidak
dapat dihukum
– Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut melanggar hukum,
misalnya anak yang bermain bola menyebabkan pecahnya kaca rumah orang.
– Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut
merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya kaca jendela rumah orang tersebut
tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan menimbulkan kerugian orang
lain.
– Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap tindak
tersebut.Orang yang memecahkan kaca tersebut adalah orang yang sehat dan bukan
orang yang cacat mental.
Dilihat dari perumusannya, maka peristiwa pidana/delik dapat dibedakan dalam :
• Delik formil, tekanan perumusan delik ini ialah sikap tindak atau perikelakuan yang
dilarang tanpa merumuskan akibatnya.
• Delik materiil, tekanan perumusan delik ini adalah akibat dari suatu sikap tindak
atau perikelakuan.
Misalnya pasal 359 KUHP :
Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : “Nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum
tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Ketentuan inilah
yang disebut sebagai asas legalitas .
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai
asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang
lingkup berlakunya aturan hukum pidana, ialah
1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)
2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel)
3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)

E. Sistem Hukuman
Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 tentang pidana pokok dan
tambahan, menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang
pelaku tindak pidana terdiri dari :

a. Hukuman Pokok (hoofd straffen ).


1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.

F. Tindak Pidana
Hukum Pidana adalah salah satu dari sub sistem dalam sistem
hukum yang ada disuatu negara, apa itu hukum pidana ?, ada dua
istilah yaitu hukum dan pidana. Hukum menurut Prof,Dr.Van Kan
Hukum adalah keseluruhan peratuan hidup yg bersifat memaksa
untuk melindungi kepentingan manusia dalam masyarakat.

Pidana juga terdapat beberapa pengertian menurut para ahli.


Menurut Profesor Van Hamel pidana atau straf adalah : “Suatu
penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan olehkekuasaan yang
berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama
negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi
seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah
melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh
negara”.6

Menurut profesor Simons, pidana atau straf adalah: ”Suatu


penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan
pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim
telah dijatuhkan bagi seserang yang bersalah”7.

Untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tentu perlu


ditetapkan perbuatan apa saja yang termasuk dalam kategori tindak
pidana, sesuai dengan Prinsip atau asas legalitas : Tiada satu
perbuatanpun yang dapat dipidana melainkan karena kekuatan aturan
pidana yang ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan.8
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung
suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, yang di bentuk oleh
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum
pidana.9

Didalam perundang-undangan, dipakai istilah perbuatan


pidana, peristiwa pidana, dan tindak pidana, yang juga sering di sebut
delict.10 Apa yang dimaksud dengan istilah tindak pidana itu atau
dalam bahasa Belanda Strafbaar feit sebenarnya merupakan peristiwa
resmi yang terdapat dalam straf weitboek atau dalam kitab undangundang hukum
pidana yang sekarang berlaku di Indonesia. Adapun
dalam istilah bahasa asing adalah delict.

Menurut Wirjono Prodjodikoro,Tindak pidana berarti suatu


perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana, dan
pelakunya ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.11
Didalam WVS dikenal dengan istilah Strafbaar feit, sedangkan dalam
kepustakaan dipergunakan istilah delik. Pembuat undang-undang
menggunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak
pidana.12
Istilah-istilah itu mendapat tanggapan dari Prof. Moeljatno
yaitu : perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu
bagi mereka yang melanggar aturan tersebut. Menurut Simons, tindak
pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan
pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan
dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung
jawab. Sementara moeljatno menyatakan bahwa tindak pidana adalah
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang
siapa melanggar aturan tersebut. Perbuatan itu harus dirasakan pula
oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicitacitakan oleh
masyarakat.13
Dengan demikian, menurut Moeljatno seperti dikemukakan
diatas, diketahui unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :
1. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia,
2. perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan pidana,
3. perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang,
4. harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung
jawabkan,
5. perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada si pembuat.14

6 P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Penerbit Amrico, Bandung : 2018, hal.
47. 7 ibid,hal 48 8 Pasal 1 ayat 1 KUHP 9 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia,
Penerbit. Pustaka Setia, Bandung : 2017, Hal.51. 10 Ibid
11 Wirjono Prodjodjokro, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit. Eresco,
JakartaBandung : 2019, Hal. 50 12 Samidjo, Ringkasan dan Tanya Jawab Hukum Pidana,
Penerbit. Armico, Bandung : 2018,
Hal. 77. 13 Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,Sinar Grafika Jakarta.2020.hal 122

Anda mungkin juga menyukai