Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HUKUM PIDANA

Disusun oleh :

ASNIAR
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang hukum

pidana.

Dan tidak lupa juga shalawat dan salam penulis hanturkan kepada Rasulullah

SAW karena Baginda lah kita dapat merasakan nikmatnya islam pada saat ini

Tidak lupa juga penulis mengucapakn banyk terima maksih kepada dosen

yang telah memberikan tugas ini serta para teman-teman dan juga sahabat yang

telah turun serta membantu penulis menyelesaikan malaklah ini

Adapun makalah yang dibuat oleh penulis yaitu tentang hukum pidana yang

berada di indonesia maka berkat adanya malakah ini dapat membantu para

mahasiswa atau mahasiswa mengetahui pengertian, sebab terjadinya hukum dan

ketetpan hukumn pidana yang ada di indonesia.

Dengan adanya malakah yang kurang sempurna maka dosen dapat

memberikan masukan dan juga keritik agar kiranya dapat menyempurkan makalah

yang telah dibuat penulis dan tidak lupa penulis ucapakan terima kasih kepada

dosen yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan

makalah ini.

TTD

Asniar
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….

DAFTAR ISI………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………

A. Latar Belakang……………………………………………………………

B. Tujuan……………………………………………………………………..

C. Manfaat…………………………….……………………………………..

BAB II PEMABAHSAN…………………………………………………………..

1. Pengertian Hukum Pidana……………………………………………….

2. Unsur-unsur Tindakan Pidana…………………………………………..

3. Tujuan Pemidanaan………………………………………………………

4. Jenis-jenis Pemidanaan…………………………………………………...

BAB III PENUTUP………………………………………………………………..

A. Kesimpulan………………………………………………………………...

B. Saran………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum pidana merupakan bagian dari ranah hukum publik. Hukum

pidana di indonesia diatur secara umum dalam kitab undang-undang hukum

(KUHP), yang merupakan lex generalis bagi peraturan hukum pidana di indonesia

diaman asa-asa umum dan terjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur

KUHP.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional

mengamanatkan asa setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan. Hal ini terbukti dengan adanya ketidakseimbangan antara

perlindungan hukum antara perlindungan korban kerjahatan dengan pelaku

kejahatan masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan diatur pada perundang-

undangan nasional. Segala aktivitas manusia dalam segala aspek kehidupan

sosial, politik, dan ekonomi dapat menjadi sebab terjadinya kejahatan. Kejahatan

akan selalu hadir dalam kehidupan ataupun lingkungan sekitar, sehingga

diperlukanupaya untuk menanganisnya. Dengan upaya penanggulangan kejahatan,

diharapkan dapat menekan baik dari kualitas maupun kuantitasnya hingga pada

titik yang paling rendah sesuai dengan keadaanya.

Upaya untuk menekan kejahatan secara gratis besar dapat dilalui

dengan 2 (dua) cara yaitu, upaya penal (hukum pidana) dan non penal (di luar
hukum pidana). Penanggulangan kejahatan melalui jalur penal, lebih menitik

beratkan pada sifat represif (merupakan tindakan yang diambil setelah kejahatan

terjadi). Pada upaya non panel menetik beratkan pada sifat preventif (menciptkan

kebijaksanaan sebelum terjadinya tindakan pidana).

Menurut Andi Hamzah, dalam perkara tindakan pidana korban

kejahatan sebenarnya merupakan pihak yang paling menderita. Dalam

penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak

tersangka atau dakwa, sedangkan hak-hak korban diabaikan, salah satunya ialah

hak ganti kerugian yang merupakan suatu hakyang mengharuskan seseorang yang

telah bertindak merugikan orang lain untuk membayar sejumlah uang ataupun

barang yang dirugikan, sehingga kerugian yang telah terjadi dianggap tidak

pernah terjadi. Ganti kerugian sebenarnya merupakan rana hukum perdata, akan

tetapi untuk menwujudkan asas peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan

ganti ini dapat digabungkan dengan pemeriksaan pidana.

B. Tujuan

Berdasarkan pokok latar belakang diatas, ada beberapa tujuan yang

melandasi hukum pidana yaitu :

1. Untuk mengetahui pengertian hukum pidana

2. Untuk mengetahui unsur-unsur tindakan pidana

3. Untuk mengetahui tujuan pemidanaa

4. Untuk mengetahui jenis-jenis pemindanaan


C. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Hasil makalah ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran bagi

mahasiswa dan sebagai bahan acuan untuk makalah sejenis secara

mendalam

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para mahasiswa, makalah ini dapat dijadikan sebagai masukan

mengambil kebijakan publik terutama berkaitan dengan masalah

kejahatan pada umumnya, khasusnya dalam memahami proses retitusi

bagi korban kerjahatan di kota kolaka

b. Bagi pribadi penulis, makalah ini merupakan langka awal dalam

menyusun tugas dengan baik sehingga dapat terguna bagi mahasiswa.


BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Pidana

Bahwa pada kenayataannya, hukum pidana yang mempunyai lebih dari satu

pengertian. Hal ini diakui oleh para ahli hukum bahwa hukum pidana sulit unutk

didefinisikan karena masing-masing hukum memiliki pandangan yang berbeda.

Namun, berikut ini penulis mengutip beberapa pandangan dari para serjana

tentang pengertian hukum pidana.

Menurut para ahli sebagaimana dikutip tongat, hukum pidana berpangkal dari

dua pokok, yaitu :

Van Hamel: hukum pidana adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut

oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan

melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa

(penderitaan).

Simons: hukum pidana adalah keseluruhan larangan atau perintah yang oleh

negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati, dengan

syarat-syarat tertentu dan memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan

pidana.

Mezger: hukum pidana adalah aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan menimbulkan suatu akibat

yang berupa pidana.


Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik

merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak

zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin

keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan

(bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku

pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang

ada di setiap masanya.

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang

dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang

dilarang dalam hukum pidana adalah pembunuhan, pencuri, perampok,

penganiyaan, pemerkosaan dan korupsi.

Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu

Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan

kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang

dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya,

prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman

yangditetapkanatasterdakwa.”

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di

suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

• Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi

siapa yang melanggarmelarangantersebut


• Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar

larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang

telahdiancamkan.

• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan

apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh

Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-

ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai

nestapa.

2. Unsur-unsur Tindakan Pidana

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya denganistilah

“perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang

diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi dari pengertian tindak

pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Sebagai gambaran

umum pengertian kejahatan atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Djoko

Prakoso bahwa secara yuridis pengertian kejahatan atau tindak pidana adalah

“perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan pelanggarannya dikenakan

sanksi”, selanjutnya Djoko Prakoso menyatakan bahwa secara kriminologis

kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang melanggar norma-norma

yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat,

dan secara psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia
yang abnormal yang bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-

faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan ”strafbaarfeit”

untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) tanpa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan

perkataan strafbaarfeit, sehingga timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat

tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti

yang dikemukakan oleh Hamel dan Pompe. Hamel mengatakan bahwa :

”Strafbaarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan

dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan

dilakukan dengan kesalahan”25 Sedangkan pendapat Pompe mengenai

Strafbaarfeit adalah sebagai berikut : ”Strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai

suatu pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku.

Dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari

kata ”straf” ini dan istilah ”dihukum” yang berasal dari perkataan ”wordt

gestraft”, adalah merupakan istilah konvensional. Moeljatno tidak setuju dengan

istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu

”pidana” untuk menggantikan kata ”wordt gestraft”. Jika ”straf” diartikan

”hukuman” maka strafrecht seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman.

Selanjutnya dikatakan oleh Moeljotno bahwa ”dihukum” berarti ”diterapi

hukuman” baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil

atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana,

sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata27


Menurut Sudarto, bahwa ”penghukuman” berasal dari kata ”hukum”, sehingga

dapat diartikan sebagai ”menetapkan hukum” atau ”memutuskan tentang

hukum”(berechten).

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud

dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di

dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan

lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan

tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah Sifat melanggar hukum, Kualitas

si pelaku dan Kausalitas yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 30 Berkaitan dengan

pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit) ada beberapa pendapat para

sarjana mengenai pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis

dan menurut aliran dualistis.

Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu :

Simons, sebagai menganut pandangan monistis Simons mengatakan bahwa

pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) adalah ”Een strafbaar gestelde,


onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een

toerekeningsvatbaar persoon”. Atas dasar pandangan tentang tindak pidana

tersebut di atas,

unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah :

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau

membiarkan);

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

3) Melawan hukum (onrechtmatig);

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar persoon)

Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut Simons membedakan adanya

unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah:

1) Yang dimaksud dengan unsur subyektif ialah : perbuatan orang;

2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;

3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatanperbuatan itu seperti

dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar” atau ”dimuka umum” Selanjutnya unsur

subyektif dari strafbaarfeit adalah :

1) Orangnya mampu bertanggung jawab;

2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dari perbuatan

atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

3. Tujuan Pemidanaan

Pemidanaan didalam hokum Indonesia merupkan suatu cara atau proses untuk

menjatuhkan sangsi atau hukuman untuk seseorang yang telah melakukan tindak
pidana ataupun pelanggaran. Pemidanaan adalah kata lain dari sebuah

penghukuman. Menurut Prof Sudarto, bahwa penghukuman berasal dari kata

dasar “ hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum” atau “

memutuskan tentang hukumanya Dalam artian disini menetapkan hukum tidak

hanya untuk sebuah peristiwa hukum pidana tetapi bisa juga hukum perdata.

Pemidanaan adalah suatu tindakan terhadap seorang pelaku kejahatan, dimana

pemidanaan ditujukan bukan karena seseorang telah berbuat jahat tetapi agar

pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan

kejahatan serupa. Jadi dari pernyataan diatas bisa kita simpulkan bahwa

pemidanaan ataupun penghukuman itu adalah sebuah tindakan kepada para pelaku

kejahatan yang mana tujuannya bukan untuk memberikan balas dendam kepada

para pelaku melainkan para pelaku diberikan pembinaan agar nantinya tidak

mengulangi perbuatannya kembali

Teori pemidanaan dapat digolongkan dala tiga golongan pkok yaitu golongna

teori pembalasan, golonngan teori tujuan, dan golongan teori gabungan.

1. Teori Pembalasan Teori pembalasan atau juga bisa disebut dengan teori

absolut adalah dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena

kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi orang lain maka sipelaku kejahatan

pembalasannya adalah harus diberikan penderitaan juga. Teori pembalasan ini

menyetujui pemidanaan karna seseorang telah berbuat tindak pidana. Pencetus

teori ini adalah Imanuel Kant yang mengatakan “ Fiat justitia ruat coelum” yang

maksudnya walaupun besok dunia akan kiamat namun penjahat terakhir harus

tetap menjalakan pidananya. Kant mendasarkan teori ini berdasarkan prinsip


moral dan etika. Pencetus lain adalah Hegel yang mengatakan bahwa hukum

adalah perwujudan kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah tantangan kepada

hukum dan keadilan. Karena itu, menurutnya penjahat harus dilenyapkan.

Sedangkan menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran tuhan

karena itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat. Jadi dalam teori ini

adalah pembalasan itu ditujukan untuk memberikan sebuah hukuman kepada

pelaku pidana yang mana nantinya akan memberikan efek jera dan ketakutan

untuk mengulangi perbuatan pidana tersebut. Teori pembalasan atau teori absolut

dibsgi dalam dua macam, yaitu:

a. Teori pembalsan yang objektif, berorientasi pada pemnuhan kepuasan dari

perasaan dendam dari kalangan masyarakat. Dalam hal ini perbuatan

pelaku pidana harus dibalas dengan pidana yang berupa suatu bencana

atau kerugian yang seimbang dengan kesengsaraan yg diakibatkan oleh si

pelaku pidana.

b. Teori pembalasan subjektif, berorientasi pada pelaku pidana. Menurut

teori ini kesalahan si pelaku kejahatanlah yang harus mendapat balasan.

Apabila kerugian atau kesengsaraan yg besar disebabkan oleh kesalahan

yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana

yang ringan.

2. Teori Tujuan Berdasarkan teori ini, pemidanaan dilaksanakan untuk

memberikan maksud dan tujuan suatu pemidanaan, yakni memperbaiki

ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat perbuatan kejahatan tersebut. Dalam hal

ini teori ini juga dapat diartikan sebagai pencegahan terjadinya kejaatan dan
sebagai perlindungan terhadap masyarakat. Penganjur teori ini yaitu Paul Anselm

van Feurbach yang mengemukakan “ hanya dengan mengadakan ancaman pidana

pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan pemjatuhan pidana kepada

si penjahat”.

Mengenai tujuan – tuujuan itu terdapat tiga teori yaitu : untuk menakuti,

untuk memperbaiki , dan untuk melindungi. Yang dijelaskan sebagai berikut :

a. Untuk menakuti; Teori dari Anselm van Feurbach, hukuman itu harus

diberikan sedemikian rupa, sehingga orang takut untuk melakukan kejahatan.

Akibat dari teori itu ialah hukuman yang diberikan harus seberat – beratnya

dan bisa saja berupa siksaan.

b. Untuk memperbaiki; Hukuman yang dijatuhkan dengan tujuan untuk

memperbaiki si terhukum sehingga sehingga di kemudian hari ia menjadi

orang yang berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar peraturan

hukum.

c. Untuk melindungi; Tujuan pemidanaan yaitu melindungi masyarakat terhadap

perbuatan kejahatan.

Dengan diasingkannya si penjahat itu untuk semntara, maka masyarakat akan

diberikan rasa aman dan merasa di lindungi oleh orang – orang yang berbuat jahat

tersebut. Dengan demikian dalam teori tujuan ini yang tertua adalah tero

pencegahan umum yang mana didalamnya tertuang teori yang bersifat menakut –

nakuti. Pengertian dari teori ini yaitu bahwa untuk melindungi masyarakat

terhadap kejahatan atau suatu tindak pidana maka pelaku yang tertangkap harus

diberikan sebuah hukuman, yang diamana nantinya hukuman itu sebagai sebuah
contoh bahwa dengan berbuat tindak pidana merekan akan mendapakan sebuah

imbalan berupa hukuman sehingga meraka takut untuk berbuat perbuatan pidana

tersebut.

Sedangkan tori tujuan yang lebih modern dengan teori pencegahan yang

khusus. Menurut Frans von Liszt, van Hamel, dan D. Simons bependapat :

“Bahwa untuk menjamin ketertiban, negara menentukan berbagai peraturan

yang mengandung larangan dan keharusan peratuaran dimaksudkan untuk

mengatur hubungan antar individu di dalam masyarakat, membatasi hak

perseorangan agar mereka dapat hidup aman dan tenteram. Untuk itu negara

menjamin agar peraturan – praturan senantiasa dipatuhi masyarakat dengan

memberi hukuman bagi pelanggar”. Jadi dalam teori tujuan yang lebih modern

memilki artian bahwa pemidanaan memebrikan efek jera kepada si pelaku agar

tidak berbuat tindak pidana lagi.

3. Teori Gabungan Teori gabungan ini lahir sebagai jalan keluar dari teori

absolut dan teori relatif yang belum dapat memberi hasil yang memuaskan. Aliran

ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban

masyarakat secara terpadu.8 Artinya penjatuhan pidana beralasan pada dua alasan

yaitu sebagai suatu pembalasan dan sebagai ketertiban bagi masyarakat.

Adapun teori gabungan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalsan itu tidak

boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya

diperthankan tat tertib masyarakat.


2. Tori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyrakat, tetapi

penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang

dilakukan terpidana.

Teori gabungan yang menitik beratkan pada pemblasan ini didukung oleh

Zevenbergen yang bependpat bahwa :

“ makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud

melindungi tat tertib hukum, sebab pidana itu adalah mengembalikan dan

mempertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintah. Oleh sebab itu pidana

baru dijatuhkan jika jika memang tidak ada jalan lain untuk memperthankan tata

tertib hukum itu”.

Jadi menitik beratkan pada pembalasan itu artinya memberikan hukuman atau

pembalsan kepada penjahat dengan tujuan untuk menjaga tata tertib hukum agar

supaya dimana masyarakat ataupun kepentingan umumnya dapat terlindungi dan

terjamin dari tindak pidana kejahatan.

Teori gabungan yng mengutamakan perlindungan tata tertib hukum didukung

antara lain oleh Simons dan Vos. Menurut Simons, dasar primer pidana yaitu

pencegahan umum dan dasar sekundernya yaitu pencegahan khusus. Dalam artian

pidana primer ialah bertujuan pada pencegahan umum yang terletak pada

ancaman pidananya dlam undang – undang, apabila hal ini tidak cukup kuat atau

tidak efektif dalam hal pencegahan umum, maka barulah diadakan pencegahan

khusus yang bertujuan untuk menakut – nakuti, memperbaikin dan membuat tidak

berdayanya penjahat. Dalam hal ini harus diingat bahwa pidana yang dijatuhkan

harus sesuai dengan undang – undang atau berdasarkan hukum dari masyarakaat.
Sedangkan menurut Vos berpendapat bahwa daya menakut – nakuti dari

pidana terletak pada pencegahan umum yaitu tidak hanya pada ancaman

pidananya tetapi juga pada penjatuhan pidana secara kongkrit oleh hakim.

Pencegahan khusus yang berupa pemenjaraan masih dipertanyakan efetifitasnya

untuk menakut – nakuti, karena seseorang yang pernah dipidana penjara tidak lagi

takut masuk penjara, sedangkan bagi seseorang yang tidak dipenjara ia takut

untuk masuk penjara.

Jadi teori gabungan yang mengutamakan perlindungan dan tata tertib hukum

ini dalam artian memberikan keadilan bagi para korban kejahatan demi

melindungi hak hak mereka, dan untuk penhat sendiri bertujuan memberikan efek

jera agar tidak mengulangi perbuatan kejahatannya kembali.

4. Jenis-jenis Pemidanaan

Berdasarkan ketentuan yang ada di KUHP menyangkut tentang sangsi pidana

atau jenis pemidanaan hanya terdapat 2 macam hukuman pidana, yaitu pidana

pokok dan pidana tambahan.

Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 10 berbunyi sebagai

berikut:Pidana terdiri atas:

a. Hukuman pokok ( hoofd straffen ) :

1. Pidana Mati

2. Pidana penjara

3. Pidana kurungan

4. Pidana denda
b. Hukuman tambahan ( bijkomende straffen ) :

1. Pencabutan hak – hak tertentu

2. Perampasan barang – barang tertentu

3. Pengumuman Putusan Hakim

Pidana pokok adalah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari hukuman

hukuman – hukuman lain. Sedangakan pidana tambahan adalah hukuman yang

hanya dapat dijatuhkan bersama – sama dengan hukuman pokok.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpualan

Bahwa pada kenayataannya, hukum pidana yang mempunyai lebih dari satu

pengertian. Hal ini diakui oleh para ahli hukum bahwa hukum pidana sulit unutk

didefinisikan karena masing-masing hukum memiliki pandangan yang berbeda.

Namun, berikut ini penulis mengutip beberapa pandangan dari para serjana

tentang pengertian hukum pidana.

Van Hamel: hukum pidana adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut

oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan

melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa

(penderitaan).

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya denganistilah

“perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang

diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi dari pengertian tindak

pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Sebagai gambaran

umum pengertian kejahatan atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Djoko

Prakoso bahwa secara yuridis pengertian kejahatan atau tindak pidana adalah

“perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan pelanggarannya dikenakan

sanksi”, selanjutnya Djoko Prakoso menyatakan bahwa secara kriminologis

kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang melanggar norma-norma


yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat,

dan secara psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia

yang abnormal yang bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-

faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian dan penulisan laporan penelitian ini, maka saran

yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

1. Hukum pidana Indonesia harus berkembang, karena masyarakat Indonesia pun

telah berkembang. Hanya dengan penjatuhan pidana pokok yang diatur dalam

pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP saja kurang cukup karena hanya

unsur pembalasan yang menjadi tujuan pemidanaan. Dengan pemikiran

konsekualis dan pendekatan keadilan restoratif serta dimuatnya pidana kerja

sosial dalam Rancangan KUHP sebagai alternatif jenis pemidanaan yang

mengantikan pidana penjara jangka pendek diharapkan masyarakat Indonesia

mendapatkan edukasi dan pembinaan atas konsekuensi yang akan mereka

dapat bila melakukan tindak pidana.

2. Pembahasan Rancangan KUHP ditingkat legislasi selayaknya harus

memperhatikan kebutuhan dan perkembangan masyarakat yang berjalan cepat.

Tarik ulur kepentingan kelompok dan partai atas Rancangan Undang-undang

tersebut segera disudahi dan mempecepat pembahasan dan finalisasi untuk

segera disahkan sebagai undang-undang.

3. Kelak jika pidana kerja sosial benar-benar diterapkan di dalam sistem

pemidanaan Indonesia sebaiknya pemerintah perlu mempersiapkan lebih


lanjut mengenai pedoman pelaksanaan pidana kerja sosial secara lebih detail

dan mempersiapkan ketentuan-ketentuan yang mendukung pelaksanaan

pidana ini dalam bentuk peraturan perundang-undangan lain. Serta

membentuk lembaga atau badan khusus atau suatu direktorat yang

membidangi dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pidana kerja sosial ini,

dalam upaya pembentukan lembaga ini pemerintah Indonesia dapat

mencontoh Negara lain yang sudah menerapkan pidana kerja sosial di dalam

sistem pemidanaannya.

4. Dalam hal edukasi dan pembinaan narapidana kerja sosial perlu kiranya

pemerintah mengadopsi perkembangan ide-ide pemikiran dan standarstandar

yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan etika praktis kerja sosial yang

dikembangkan organisasi-organisasi internasional yang bergerak dibidang

profesional kerja sosial seperti National Association of Social Workers

(NASW) dan Internasional Federation of Social Workers dalam rangka

pemenuhan kapasitas dan pengetahuan kerja sehingga jika telah

menyelesaikan hukumannya, terpidana yang menjalani kerja sosial sudah

memiliki prinsip kerja yang baik.

5. Bagi masyarakat, diperlukan usaha dalam memahami kembali kearifan nilai-

nilai sosio-budaya dan falsafah bangsa yang hidup di dalam masyarakat

Indonesia, guna mempersiapkan diri mengadapi perubaha


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sofian, 2018, Ajaran Kausalitas Hukum Pidana, Jakarta :

Prenadamedia Group

Andi Hamzah, 2017, Hukum Pidana Indonesia , Jakarta Timur : Sinar

Gerafika

Lukman Hakim, 2020, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta : Deepublish

Rahmanuddin Tomalili, 2019, Hukum Pidana, Yogyakarta : Deepublish

Anda mungkin juga menyukai