Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA

Nama :
Semester :
NPM :
Jurusan :
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
SISTEM PIDAAN DI INDONESIA bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya
menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Manokwari, 16 Mei 2022

 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan......................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN......................................................................................................
1. Pengertian Sistem Pemidanaan di Indonesia..................................................
2. Teori-teori Pemidanaan...................................................................................
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan..............................................................
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan........................................................................
c. Teori Gabungan................................................................................................
3. Perumusan Pemidanaan dalam KHUP di Indonesia........................................
a. Perumusan ancaman.......................................................................................
b. Sudut pandang Pemindanaan.........................................................................
BAB III
PENUTUP.............................................................................................................
KESIMPULAN........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Sistem Pemidanaan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari


aturan tertulis yang bersumber dari hukum pidana peninggalan
kolonial Belanda, yaitu Wetboek van starfrecht voor Nederlandsch
Indie (WVS NI). WVS NI) ditetapkan sebagai hukum pidana materil
di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun1946
tentang Peraturan Hukum dan secara resmi diberi nama Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pemberlakuan WVS NI
sebagai KUHP Indonesia dilakukan dengan berapa perubahan dan
penyesuaian, namun demikian sumber pokoknya tetap saja berasal
dari KUHP warisan Pemerintahan Kolonial Belanda. Bahkan teks
resmi KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia, hingga saat ini
masih dalam bahasa Belanda.
Pemidanaan merupakan salah satu aspek hukum pidana yang
seringkali menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Ada kalanya
pemidanaan itu dirasakan sangat ringan atau sangat berat jika
dibandingkan dengan perbuatan pelaku. Padahal dalam penjatuhan
pidana,banyak hal yang turut dipertimbangkan, baik dari aspek
yuridis maupun sosiologis. Terlebih lagi jika yang melakukan tindak
pidana itu adalah seorang yang masih dikategorikan anak oleh
undang-undang.

Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara


Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen
ke empat Pasal lima. 1.Negara hukum, maka Indonesia selalu
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selalu menjamin segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya.2.Sebagai negara hukum, Indonesia
menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban,
keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya.
Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap
tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Tujuan Negara
Republik Indonesia secara jelas dituangkan dalamUndang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 bahwa Negara
bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruhtumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, ikut serta dalam upaya perdamaian dunia
berdasarkankemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sehubungan dengan hal tersebut, sudah sepatutnya masyarakat
Indonesia mendapatkan perlindungan dalam aspek-aspek
kehidupannya.
Menilik latar sejarah berlakunya KUHP, maka pembaharuan hukum
pidana(criminal law reform) melalui perubahan KUHP menjadi
sebuah keniscayaan. Perlunya pembaharuan KUHP pun sejalan
dengan hasil Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan.
Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang selama
ini berlaku di berbagai negara pada umumnya berasal dari hukum
asing dari zaman yang telah usang dan tidak adil (obsolete and
injustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan
(outmoded and unreal). Hal ini dikarenakan hukum pidana tersebut
tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan tidak sesuai dengan
aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial
masa kini. Disisi lain, di negara asalnya, hukum pidana tersebut
sebenarnya telah mengalami beberapa kali perubahan yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiaman sistem pemidanaan di Indonesia?
2. sistem pemidanaan terdiri dari apa sja?
3. apa yang di maksud dengan system dan pemidanaan?
4. Indonesia menganut system pemidanaan apa?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mendeskrispsikan pengertian Sistem Pemindanaan di Indonesia.
2. Mendeskripsi teori-teori yang ada di dalam Pemindanaan di
Indonesia.
3. Mendeskripsi apa saja politik pemindanaan dalam KUHP di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Sistem Pemidanaan di Indonesia.

Andi Hamzah memberikan arti system pidana dan pemidanaan


sebagai susunan (pidana) dan cara pemidanan. M.Sholehuddin
menyatakan, bahwa masalahsanksi merupakan hal yang sentral dalam
hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilainilai sosial
budayasuatu bangsa. Artinya pidana maengandung tata nilai (value)
dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik,
apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan
dan apa yang dilarang. Sistem pemidanaan adalah suatu aturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan
pemidanaan. Apabila pengertian system pemidanaan diartikan secara
luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup
keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur
bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara
konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum
pidana subtantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan
pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pemidanaan tidak dapat
terlepas dari jenis-jenis pidana yang diatur dalam hukum positif suatu
negara. Pemidanaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat yang
teratur terhadap pelaku kejahatan dapat berbentuk menyingkirkan atau
melumpuhkan para pelaku tindak pidana, sehingga pelaku tersebut
tidak lagi menggangu di masa yang akan datang.
Prof, van Hammel mengartikan pidana (straf) menurut hukum
positifsebagai suatu penderitaan yang bersifat khusus. Penderitaan
tersebut menurut van Hammel dijatuhkan oleh kekuasaan yang
berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penangung jawab ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar,
penderitaan itu dikenakan semata-mata karena orang tersebut telah
melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.
2. Teori-teori Pemidanaan

Teori Pemidanaan
Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan
dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan
(vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien),
dan teori menggabungkan (verenigings theorien).

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan


Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan
kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti
dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana
menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan.
Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan
keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant
dalam bukunya Filosophy of Law,18 bahwa pidana tidak pernah
dilaksanakan semata-matasebagai sarana untuk mempromosikan
tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi
masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanyakarena
orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap
orang seharunya menerima ganjaran seperti perbuatannya dan
perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarkat.
Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan. Mengenai teori
pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut: Teori
pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang
praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang
mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara
mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu
memikirkan manfaat penjatuhan pidana. Apabila manfaat penjatuhan
pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh
penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yangmenjadi
sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan
mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang
pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai
kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan
bagaimana membina si pelaku kejahatan. Teori pembalasan atau
absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif.
Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku.
Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah
diciptakan pelaku di dunia luar.Mengenai masalah pembalasan itu J.E.
Sahetapy menyatakan: Oleh karena itu, apabila pidana itu dijatuhkan
dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan,
maka belum pasti tujuan ini akan tercapai,karena dalam diri si
terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal,
mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam. Menurut
hemat saya, membalas atau menakutkan si pelaku dengan suatu
pidana yang kejam memperkosa rasa keadilan.
Ada beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan
oleh Karl O. Cristiansen, yaitu:22
a. tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;
b. pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-
sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat;
c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana;
d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;
e. pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni
dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau
memasyarakatkan kembali pelanggar.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir
sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana
menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk
mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari
pemidanaan yaitu :24
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van
demaatschappelijke orde);
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat
sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de
misdaad onstanemaatschappelijke nadeel);
3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);
4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de
misdadiger);
5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad)
Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief
menjelaskan,bahwa:
Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu
teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi
dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak
pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena
orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang
jangan melakukan kejahatan). Jadi tujuan pidana menurut teori relatif
adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak
terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku
kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk
mempertahankan ketertiban umum.
Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang
pendapatnya dapat dijadilan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy
Bantham bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang
akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan.
Oleh karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan
sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat dari pada
kesenganan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuan-
tujuan dari pidana adalah:
1. mencegah semua pelanggaran;
2. mencegah pelanggaran yang paling jahat;
3. menekan kejahatan;
4. menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua
yaitu:
a) prevensi umum (generale preventie),
b) prevensi khusus (speciale preventie).
Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan
sebagai berikut: “Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan
supaya orang pada umumnya tidak melanggar. Prevensi khusus
bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar”.
Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat.
Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat
lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori
prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan
agar narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini
pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana
agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna. Dari uraian
di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari teori relatif atau
teori utilitarian, yaitu:
a. tujuan pidana adalah pencegahan
b. pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang
memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan.
e. pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur
pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan
tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan
kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.28
Selanjut Muladi dan Arief mengatakan bahwa teori relatif (teori
tujuan) berporos pada tiga tujuan utama pemidanan, yaitu: Preventif,
Deterrence, dan Reformatif. Teori ini diadopsi di Indonesia dan
dijadikan dasar teori pemasyarakatan. Namun ternyata teori
pemasyarakatan banyak juga kelemahannya. Karena latar belakang
pelaku kejahatan dan jenis kejahatan yang beragam.
c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas
kesalahanpenjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat,
dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori
tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar
pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut
memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :
1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena
dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti
yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang
melaksanakan.
2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan
karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat;
kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki
masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit
dilaksanakan. Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan
sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak
dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana
untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian
juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk
memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di
masyarakat. Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan,
yaitu:
a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak
boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat
mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib
masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang
beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh
narapidana.
c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara
kedua hal di atas.
Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan
perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap
perbuatan melanggar hukum. Disamping itu Roeslan Saleh juga
mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa
pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan
dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang
dapat diterima kembali dalam masyarakat. Dalam konteks itulah
Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap
cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis,
danyuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak
pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan
keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan
kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka
tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual
dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat tujuan
pemidanaan tersebut adalah: (a) pencegahan (umum dan khusus), (b)
perlindungan masyarakat, (c) memelihara solidaritas masyarakat, (d)
pengimbalan/pengimbangan.

3. Perumusan Pemidanaan dalam KHUP di Indonesia.


Perumusan politik pemidanaan dalam KUHP dilihat dari sudut kajian,
yaitu ketentuan umum hukum pidana dalam Buku I KUHP dan
perumusan ancaman sanksi pidana dalam Buku II dan Buku III
KUHP.
a. Perumusan ancaman
pidana dalam Buku I KUHP mengacu kepada norma pemidanaan
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu :
Pasal 10
Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Ketentuan pidana tersebut metode pengamanannya dalam norma
hukum pidana diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 43 KUHP.
Ketentuan pemidanaan dalam Buku I KUHP ini diformulasikan
secara konsisten dalam norma hukum pidana dalam Buku II dan Buku
II KUHP. Fungsi ketentuan umum hukum pidana dalam Buku I
benar-benar menjadi pedoman dalam memformulasikan ancaman
pidana dalam norma hukum pidana dan dalam pelaksanaan pidana.

Dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman


pidana, paling tidak terdapat 3(tiga) hal yang ingin dicapai dengan
pemberlakuan hukum pidana di dalam masyarakat, yaitu:
a. Membentuk atau mencapai cita kehidupan masyarakat yang ideal
atau masyarakat yang dicitakan,
b. Mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai luhur dalam
masyarakat,
c. Mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan diikuti oleh
masyarakat dengan teknik perumusan norma yang negatif.
Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh alasan yang
dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidana, dalam konteks
ini alasan pemidanaan adalah pembalasan, kemanfaatan, dan
gabungan antara pembalasan yang memiliki tujuan atau pembalasan
yang diberikan kepada pelaku dengan maksud dan tujuan
tertentu. Filsafat pemidanaan sebagai landasan filosofis merumuskan
ukuran atau dasar keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana.
Dalam konteks ini, pemidanaan erat hubungannya dengan proses
penegakan hukum pidana.
b. Sudut pandang Pemindanaan.
Sebagai sebuah sistem, telaahan mengenai pemidanaan dapat ditinjau
dari 2 (dua) sudut, yaitu sudut fungsional dan sudut norma substantif.
Dari sudut fungsional, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionali-
sasi/operasionalisasi/ konkretisasi pidana dan keseluruhan sistem
(aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum
pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret, sehingga
seseorang dijatuhi sanksi(hukum) pidana. Dari sudut ini maka sistem
pemidanaan identik dengan system penegakan hukum pidana yang
terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiil/Substantif, sub-sistem
Hukum Pidana Formil dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana.
Sedangkan dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-
norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan
sebagai keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiil
untuk pemidanaan; atau Keseluruhan sistem aturan/norma hukum
pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.
Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-
undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun
undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan
satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum”
(“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum
terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam
Buku II dan III KUHP maupun dalam undang-undang khusus di luar
KUHP,1 baik yang mengatur hukum pidana khusus maupun yang
mengatur hukum pidana umum.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Satjipto Rahardjo.1986. Ilmu Hukum . Alumni Bandung.


Sholehuddin.2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide
Dasar Double TrackSystem & Implementasinya, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Utrecht, E.1958. Hukum Pidana I, Universitas Jakarta,
Jakarta.
Van Bemmelen.1980. Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta.
Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan
Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta.
__________. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana, Rinneka Cipta,
Jakarta.

Undang-Undang.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995


Tentang Sistem Pemasyarakatan.
Departememen Kehakiman RI. RUU KUHP Tahun 2005.

Anda mungkin juga menyukai