Anda di halaman 1dari 2

PRO DAN KONTRA MENGENAI PIDANA MATI BAGI KORUPTOR DALAM

PANDANGAN HAM

Dalam survei GCB ‘Global Corruption Barometer-Asia' Indonesia merupakan


negara nomor tiga paling korup di Asia. Sekarang masalahnya apakah korupsi
termasuk pelanggaran HAM? Universal Declaration of Human Right, The
International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) dan The International
Covenant on Economic, Social Dan Cultural Right (ICESCR) menyebutkan bahwa
korupsi sesungguhnya merupakan suatu bentuk dari pelanggaran HAM. Secara
yuridis, pengertian korupsi, telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No 3 tahun
1971, Undang – Undang No 31 Tahun 1999, Undang-Undang No 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang rumusannya adalah korupsi
tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik yang dapat
merugikan keuangan Negara, tetapi meliputi juga perbuatan- perbuatan yang
memenuhi rumusan delik yang merugikan masyarakat atau perseorangan. Lalu
bagaimanakah usaha pemerintah dalam menyikapi permasalahan korupsi yang
terjadi di Indonesia? Negara harus mengambil kebijakan tentang hal ini.

Proses membuat penjahat korupsi menjadi sadarpun butuh waktu


yang sangat lama, karena lembeknya bentuk hukuman yang diterima. Hukum pidana
yang domeinnya sebagai hukum publik membuat perkembangan hukum pidana
selalu menjadi sorotan di tengah masyarakat. Contoh kecil yang dapat kita lihat ialah
bagaimana respon masyarakat yang sangat antusias terhadap wacana penegasan
ancaman pidana mati terhadap terhadap para koruptor.

Pro dan kontra mengenai pidana mati bukanlah suatu pertentangan yang
baru timbul di tengah masyarakat luas dan para ahli hukum. Dari sudut pandangan
kontra terdapat berbagai pendapat terkait dengan ketidaksepakatan dalam
penjatuhan pidana mati salah satunya menurut Cesare Becaria, dalam tulisannya
“de delliti e delle penne” (on crimes and punishment). Ia meragukan apakah negara
mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana mati. tidak seorangpun mempunyai hak
untuk menyerahkan/mengorbankan kehidupannya sendiri. Oleh karena itu, tidak
seorangpun dapat memberikan hak hidup dan mati atas dirinya kepada para raja
atau penguasa. Kontrak sosial tidak dapat membenarkan pidana mati. menurutnya
Pidana mati tidak dapat mencegah kejahatan dan bahkan merupakan kebrutalan.
Sehingga ia yakin bahwa pidana mati menyianyiakan sumberdaya manusia yang
merupakan modal utama bagi negara. Sistem peradilan pidana tidaklah sempurna.
Peradilan pidana dapat saja keliru dalam menghukum seseorang yang tidak
bersalah. Polisi, jaksa, maupun hakim adalah manusia yang bisa saja keliru ketika
menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan hukuman mati maka kekeliruan tersebut
dapat berakibat fatal karena penerapan hukuma mati bersifat irreversibel. Orang
yang telah dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan kembali lagi walaupun di
kemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah . Disamping itu
oleh karena perkembangan pemahaman HAM yang demikian luas, maka kedudukan
stelsel pidana mati secara internasional dibeberapa negara mulai dihapuskan
dengan alasan bahwa pidana mati bersifat tidak rasional, kejam, dan tidak dapat
menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. beberapa orang
berpendapat bahwa penerapan hukuman mati bertentangan dengan HAM. Mantan
Hakim Mahkamah Konstitusi Ahmad Rostandi berpendapat: “Bahwa setiap orang
berhak untuk hidup serta mempertahankan kehidupannya sesuai dengan Pasal 28A
UUD 1945. Ditegaskan pula dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945, hak untuk hidup itu
merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Frasa
yang menyatakan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun artinya mutlak, tidak
dapat dibatasi, tidak dapat dikurangi, dan tidak dapat ditunda. Dengan, demikian
pembatasan yang dimungkinkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tidak bisa
diberlakukan terhadap hak hidup. Tujuan utama pidana mati adalah mencabut hak
hidup seseorang dengan sengaja, oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28A
juncto Pasal 28I ayat (1).
Sementara dari sudut pandangan Pro, berbendapat bahwa hukuman mati
masih relevan untuk diterapkan, kelompok ini menganggap bahwa hukuman mati
akan memberikan efek jera (detteren effect), sehingga akan mencegah terulangnya
tindak pidana serupa oleh oleh orang lain. Maria Farida (Hakim Mahkamah
Konstitusi dan Pakar Ilmu perundang-undangan Fakultas Hukum UI)mengingatkan:
“Penjatuhan hukuman mati atas diri seseorang terjadi karena dalam
menjalankan hak asasinya orang yang bersangkutan telah melanggar hak
asasi orang lain di lingkungannya. Dengan demikian, penerapan hukuman
mati bertujuan untuk melindungi masyarakat yang takut tindak pidana
tertentu terulang kembali baik oleh pelaku yang sama maupun orang lain”. Bahkan
dalam Pasal 36 dan 37 Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan
HAM ditegaskan bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM. Namun demikian
menurut Undang- Undang ini penerapan hukuman mati tersebut hanya untuk
beberapa jenis kejahatan, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. maka dapat disimpulkan bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM
karena Undang-Undang tentang pengadilan HAM juga memuat tentang hukuman
mati.

KESIMPULAN
Kelompok yang berpandangan kontra terhadap hukuman mati, perjuangannya
adalah upaya perlindungan hak hidup, permasalahanya upaya tersebut hanya
bersifat sepihak yaitu kepada hak hidup pelaku kejahatan(koruptor), sedangkan
kelompok yang berpandangan pro terhadap hukuman mati memperjuangkan hak
asasi kemanusiaan rakyat. Kelompok yang berpandangan pro terhadap hukuman
mati memiliki argument yang kuat seperti Terutama jika pelaksanaan eksekusi di
depan umum diharapkan timbulnya rasa takut yang lebih besar untuk berbuat
kejahatan. Dengan dijatuhkan serta dilaksanakan pidana mati diharapkan adanya
seleksi buatan sehingga masyarakat dibersihkan dari unsur-unsur jahat.

Penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi jika hanya dikaji secara
tekstual, maka penerapan hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
sebagaimana dicantukan dalam Pasal 28A ayat (1), 28I ayat(1), jo Pasal 4 Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999, jo Pasal 3 DUHAM(deklarasi universal hak asasi
manusia) . Namun jika dikaji secara kontektual dengan menggunakan penafsiran
extentif dan teleologis, maka sebenarnya penerapan hukuman mati tidak
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Argumentasi yang diberikan adalah
bahwa akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi jauh lebih besar dari
kejahatan genosida, terorisme, narkotika, dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai