Anda di halaman 1dari 11

VONIS HUKUMAN MATI TERHADAP TINDAK PIDANA

KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA DAN


HUKUM PIDANA

Oleh:

Ahmad Fadlan Andriyansyah, Elan Jaelani, Utang Rosidin


Fakultas Syariah dan Hukum Sunan Gunung Djati Bandung
Email: ahmadfadlandaulay@gmail.com, elanjaelani@uinsgd.ac.id,
utangrosidin@uinsgd.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis terhadap vonis hukuman mati yang jika
dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan peradilan ataupun hukum pidana
yang ada di Indonesia. Adapun metode yang diterapkan dalam penelitian ini adala
menggunakan penelitian hukum secara yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini
menjelaskan hubungan vonis hukuman mati jika dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia
(HAM) dan juga peradilan ataupun hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hak Asasi
Manusia yang mengadopsi piagam Hak Asasi Manusia berusaha menghapuskan pidana
mati terhadap pelaku tindak pidana. Hukuman mati di Indonesia tujuannya menimbulkan
efek jera kepada pelaku tindak pidana yang diharapkan agar tidak mengulangi
perbuatannya lagi. Hukuman mati merupakan sanksi yang sudah lama diterapkan bahkan
sampai sekarang masih saja ada hakim yang memvonis hukuman mati kepada pelaku tindak
pidana. Hukuman mati yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht atau
sering dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Secara umum, vonis
hukuman mati adalah bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana
dengan melakukan penyiksaan atau nestapa terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

Kata kunci: Hak Asasi Manusia, Hukuman mati, Hukum pidana

Abstract
This study aims to analyze the death penalty if it is connected with human rights
(HAM) and the judiciary or criminal law in Indonesia. The method applied in this research
is to use legal research in a juridical-normative manner. The results of this study explain the
relationship between the death penalty when it is associated with human rights (HAM) and
also the judiciary or criminal law in force in Indonesia. Human Rights which adopts the
Human Rights charter seeks to abolish the death penalty against perpetrators of criminal
acts. The death penalty in Indonesia aims to create a deterrent effect on perpetrators of
criminal acts who are expected not to repeat their actions again. The death penalty is a
sanction that has been applied for a long time and even today there are still judges who
sentence the perpetrators of crimes to death. The death penalty that applies in Indonesia
comes from Wetboek van Strafrecht or often known as the Criminal Code. In general, the
death penalty aims to give a deterrent effect to the perpetrators of crimes by torturing or
tormenting the perpetrators of these crimes.

Keywords: Human Rights, Death Penalty, Criminal law

A. PENDAHULUAN

Suatu vonis pidana kepada seorang pelaku tindak pidana merupakan suatu
kewenangan yang dimiliki oleh hakim dengan mempertimbangkan segala aspek yaitu
secara yuridis dan sosiologisnya, agar vonis pidana tersebut dapat bermanfaat baik bagi
terpidana maupun masyarakat. Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana merupakan
kewenangan hakim dengan mempertimbangkan secara yuridis dan sosiologis agar pidana
yang dijatuhkan dapat bermanfaat baik bagi terpidana maupun masyarakat.(Anjari, 2015)
Untuk itu penerapan pidana harus memperhatikan tujuan pemidanaan (straf soort), berat
ringan pidana (straf maart). Dan cara penjatuhan pidana (straf modus).

Ketentuan pidana sendiri diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP) yaitu dalam pasal 10 KUHP. Dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa
pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Satu diantaranya adalah hukuman
dengan pidana mati. Hukuman pidana mati merupakan hukuman yang paling berat yang
dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana sebagai sanksi atas perbuatan pidana yang
dilakukannya. Pidana mati berstatus sebagai pidana pokok, merupakan jenis pidana yang
mengandung pro dan kontra. Pada tingkat internasional pidana jenis ini dilarang untuk
dijatuhkan kepada terpidana.(Arief, 2019) Menghormati tentang pidana mati (hukuman
mati) di Indonesia sebagai suatu negara yang mempunyai falsafah Pancasila sampai saat
sekarang ini adalah merupakan suatu pembicaraan yang dapat menimbulkan problematika
(antara yang pro dan yang kontra), karena masih banyak diantara para ahli hukum yang
mempersoalkannya hal ini disebabkan antara lain karena adanya perbedaan dan
tinjauan.(Sumanto, 2004)

Secara tegas bahwa hukuman mati dapat dikatakan adalah sebuah sistem atau cara
untuk melindungi masyarakat dan negara dalam bentuk penanganan secara preventif
maupun represif. Indonesia merupakan negara yang masih mempertahan hukuman pidana
mati sebagai vonis hukum kepada pelaku tindak pidana. Di Indonesia sendiri ancaman
hukuman mati berada di tingkat teratas yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana salah
satunya adalah pembunuhan berencana. Namun dewasa ini pidana mati cukup menjadi
pembicaraan dikalangan ahli hukum karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Sistem hukum pidana Indonesia berusaha melepaskan pidana mati di luar pidana pokok,
dengan mengaturnya sebagai pidana alternatif Pidana mati tidak lagi merupakan pidana
pokok pertama, tetapi menjadi pidana yang bersifat khusus. Bagi kalangan yang menolak
pidana mati, hukuman mati dianggap bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
(HAM).(Kholiq, 2007) Pidana mati memiliki daya tangkal terhadap pelaku kejahatan,dan
sangat dibutuhkan untuk mencegah semakin meraja lelanya kejahatan,yang telah membawa
korban yang besar jumlahnya,serta membahayakan masa depan bangsa.(Hutapea, 2016)

Jika berbicara mengenai pidana mati dengan dikaitkannya dengan hak asasi manusia
merupakan suatu hal yang sangat erat kaitannya. Karena pidana mati yang dijatuhkan
kepada seseorang berarti mencabut haknya untuk hidup di muka bumi ini. Dalam hal ini
penjatuhan vonis pidana mati harus dikaji secara lebih dalam lagi, mengingat vonis
hukuman pidana mati adalah merupakan vonis hukuman yang paling berat yang dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan dilihat dari hak hidup
seseorang. Walaupun pidana mati banyak yang menentang namun tidak satupun negara
berkembang yang telah menghapuskan pidana mati. Selanjutnya apabila pidana mati
dikaitkan dengan ideologi pancasila yang dijabarkan pada UUD 1945 dan dijelaskan pada
pasal 28 A, pada pasal tersebut menjelaskan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dan tidak
bisa dikurangi meskipun terdapat suatu kondisi atau keadaan apapun. Yang mana hak
tersebut merupakan sesuatu yang menjadi tanggung jawab suatu negara, dan yang paling
bertanggung jawab atas hal untuk hidup tersebut adalah pemerintah pada negara itu
sendiri.(Hutapea, 2016)

Proses penerapan pidana mati terhadap terdakwa masih menjadi sorotan dari
masyarakat baik terhadap tindak pidana yang dilakukan dan hukuman yang diberikan,
artinya tidak semua tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati dilaksanakan secara
paksa oleh penegak hukum, baik dalam penyiksaan, penyidikan Oleh karena itu agar
hukum dapat diterapkan dengan baik dalam penerapan proses pidana, maka ketentuan
mengenai penerapan pidana tersebut harus diperhatikan.(Muzakkir et al., 2014)

Namun sampai saat ini putusan vonis pidana mati masih saja diputus oleh hakim.
Meskipun dalam prakteknya hukuman mati belum pasti untuk dilaksanakan walaupun
vonis hukuman mati telah dibacakan oleh hakim dalam sidangnya dan putusannya bersifat
tetap dan mengika (in kracht van gewisjd). Akan tetapi pelaksanaanya masih saja
menunggu upaya hukum yang sering disebut juga dengan peninjauan kembali yang mesti
dan harus dijalani oleh sang terpidana. (Anjari, 2015)Adapun kasus yang cukup
menggemparkan Indonesia dewasa ini adalah kasus pembunuhan Brigadir Joshua yang
ditembak mati oleh Ferdy Sambo yang pada saat itu menjabat sebagai mantan Kepala
Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri. Tepatnya pada Senin (13/2/2023)
hakim saat membacakan amar putusan terhadap Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan
berencana Brigadir Joshua, di PN Jaksel, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan. Ketua
Majelis Hakim PN Jaksel Wahyu Iman Santoso menyampaikan, tidak ditemukan adanya
alasan pemaaf atas perbuatan Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua.
Pada saat pembacaan amar putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim PN Jaksel
Wahyu Iman Santoso, "Menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan
berencana dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak
bekerja senbagaimana mestinya yang dilakukan secara bersama-sama”. Terdakwa Ferdy
Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pidana
melanggar ketentuan Pasal 340 KUHP junto 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan melanggar Pasal 49
Junto Pasal 33 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1
KUHP.Atas perbuatannya, Majelis Hakim PN Jaksel menjatuhkan putusan berupa
hukuman mati kepada Ferdy Sambo. Selanjutnya atas putusan ini, Majelis Hakim
mempersilakan penasihat hukum dan penuntut umum serta terdakwa mengajukan banding.
(Liputan6.com)

B. METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif.


Dengan begitu penulis tidak memerlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial,
dikarenakan pada metode yuridis normatif mengenal data atau fakta sosial yang ada hanya
bahan hukum. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan dengan
menggunakan metode pendekatan undang-undang (status approach) atau pendekatan
yuridis yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum. Adapun pendekatan ini perundang-
undangan ini dilakukan untuk menelaah semua undang- undang yang berkaitan dengan
penelitian yang akan diteliti.

C. HASIL DAN ANALISIS


1. Hukuman pidana mati dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)

Pidana mati adalah suatu hukuman atau vonis yang di jatuhkan pengadilan (atau
tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang di jatuhkan atas seseorang akibat
perbuatanya.(Aeni & Bawono, 2021) Adapun pandangan yang menyatakan setuju atau
tidaknya terhadap penerapan hukuman pidana mati sampai saat ini terus saja bergulir.
Kontroversi seputar pendapat yang menyatakan setuju dan tidak setuju terhadap pidana
mati. Aliran abolitionist adalah merupakan yang anti terhadap hukuman pidana mati
sedangkan aliran retentionist adalah merupakan aliran yang setuju terhadap penerapan
pidana mati. Beberapa negara di benua Eropa sampai saat ini sebagian dari negara yang ada
di benua tersebut sudah mentiadakan pidana mati sebagai salah satu pidana yang diterapkan
di negara tersebut. Termasuk negara yang pernah menjajah Indonesia selama kurang lebih
350 tahun yaitu negara Belanda yang juga menghapuskan pidana mati sebagai salah satu
jenis pidana yang sebelumnya diterapkan di negaranya.

Adapun 8 negara yang termasuk kedalam Association of Southeast Asian Nations


atau ASEAN sampai saat ini yang masih menerapkan hukuman pidana mati diantaranya
adalah, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Laos, Myanmar, dan
Thailand sedangkan 3 negara di ASEAN yang sudah menghapus hukuman pidana mati
yaitu Philina, Kamboja dan Timor Leste. Sementara sejauh ini adapun negara yang masih
menerapkan sistem hukuman mati terdapat 68 negara termasuk salah satunya adalah negara
Indonesia yang mana ketentuan pidana mati tersebut diatur pada pasal 10 KUHP.
Sedangkan negara yang sudah menghapus pidana mati sebagai hukuman atau sanksi adalah
75 negara. Beberapa negara menganggap bahwa pidana mati tidak manusiawi dan juga
tidak efektif apabila diterapkan.

Dalam perspektif Universal Declaration Of Human Rights, deklarasi umum tentang


hak asasi manusia (DUHAM) hukuman mati dilarang. (Daming, 2016) Hal tersebut
ditegaskan dengan isi daripada pasal 3 Deklarasi Universal yang berbunyi: "every human
being has the right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily
deprived of his life". (Setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan dan
keselamatan seseorang).(Arief, 2019)

Dari pasal Deklarasi Universal diatas dapat disimpulkan bahwa secara tegas dalam
perspektif DUHAM terkait hukuman pidana mati adalah dilarang dan tidak boleh
diterapkan. Hal ini dilandasi pada 3 Deklarasi Universal yang pada intinya berisi semua
orang mempunyai hak atas penghidupan. Adapun berdasarkan padangan HAM versi PBB
terkait hukuman pidana mati masuk kepada kategori sebagai bentuk hukuman yang
kejam/keji dan tidak manusiawi. Meskipun dilarang berdasarkan pasal yang disebut
sebelumnya akan tetapi masih ada saja negara yang memberlakukan hukuman pidana mati
sebagai sanksi daripada tindak pidana yang dilakukan seorang pelaku tindak pidana.

Negara Indonesia akhir-akhir ini mulai mengadopsi pemikiran yang berkembang di


dunia tentang HAM, dan mengadopsi DUHAM PBB masuk dalam konstitusi dan juga
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sekaligus
pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada Konstitusi
Republik Indonesia setelah perubahan (amandemen) termaktub dalam Pasal 28A
disebutkan: "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya." Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupan (Pasal 28A)
mirip sekali dengan isi dari Pasal 3 DUHAM PBB.

2. Hukuman pidana mati dalam perspektif Hukum Pidana Indonesia

Hukuman mati yang diterapkan di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Masalah pidana khususnya yang melibatkan penggunaan menggunakan hukuman mati pada
hukum Indonesia, merupakan masalah yang dapat dikatakan sensitif. Hukuman mati
menurut hukum Indonesia adalah subyek yang sensitif . Hukuman hukuman mati tetap
ditegakkan masih dijunjung tinggi oleh berbagai peraturan perundang-undangan serta
Undang oleh Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. berbagai peraturan perundang-
undangan serta UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 . pada Pasal 1 ayat ( 3 ) UUD
1945, Indonesia adalah negara hukum, namun dalam praktiknya belum sepenuhnya berlaku
melawan hukum.(Muzakkir et al., 2014)

Secara umum adapun pengertian dari pidana mati adalah suatu penyiksaan atau
penestapaan yang berikan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan tindak
pidana yang diharapkan dapat memberikan kesengsaraan dan dengan begitu efek jera akan
dirasakan oleh terpidana itu sendiri. Vonis tersebut diberikan karena pelaku tindak pidana
telah melanggar batas-batas norma yang seharusnya dihindari agar tidak terjerat dan tidak
divonis hukuman mati. Jika dikaitkan antara pidana dan pemidanaan sangat erat hubungan
antara keduanya, Pidana adalah merupakan pemberian sanksi kepada pelaku tindak pidana,
sedangkan pemidanaan berarti yang dibebankan adalah kepada pelaku tindak pidana
tersebut yang diharapkan merasakan efek jera dan tidak akan mengulamgi perbuatannya
dikemudian hari.(Novita Eleanora Universitas Mpu Tantular Jakarta, 2012)

Vonis pidana mati adalah merupakan hukuman yang paling terberat yang diberikan
kepada pelaku tindak pidana kejahatan dan sampai sekarang ini masih saja diberlakukan
oleh hakim-hakim yang menangani kasus-kasus kejahatan.(Adisaputra & Subroto, 2022) Di
Indonesia sampai saat ini masih memberlakukan hukuman mati sebagai alternatif terberat
yang diberikan kepada pelaku kejahatan luar biasa. Meskipun negara-negara lain banyak
yang sudah mencabut ataupun menghapus vonis hukuman mati dari daftar hukuman yang
diberikan kepada pelaku tindak pidana kejahatan tapi negara kita Indonesia sendiri masih
saja memberlakukan vonis tersebut sampai saat ini. Dalam beberapa pasal yang ada pada
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa pasal yang mengatur
terkait penerapan pidana mati yang ada di Indonesia. Sedangkan diluar Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat enam peraturan atau regulasi yang mengatur
terkait pidana mati yang ada di Indonesia. Penerapan pidana mati di Indonesia terdapat
dalam beberapa pasal di dalam kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Di luar
KUHP, tercatat setidaknya ada enam peraturan perundang-undangan yang didalamnya
terdapat ancaman hukuman mati, semisal Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang
Pengadilan, adapun peraturan yang dimaksud anatara lain adalah Undang-Undang
Narkotika, Undang-Undang Anti Terorisme, Undang-Undang Pengadilan HAM, Undang-
Undang Darurat Senjata Api dan Undang-undang Psikotropika, Undang- Undang Darurat
Senjata Api.(Rosita Roring, 2023)

Didalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia setidaknya ada beberapa tindak
pidana kejahatan yang pelakunya dapat dijatuhin vonis hukuman mati, antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Tindak pidana makar, tindak pidana ini dijelaskan pada pasal 104 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang mana tindak pidana ini berupa pembunuhan terhadap
presiden dan juga wakilnya.
b. Tindak pidana pembunuhan secara berencana, hal ini dimuat pada Pasal 340 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
c. Tindak pidana korupsi, hal initerdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Und undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dengan syarat korupsi yang dimaksud merupakan korupsi dalam
keadaan-keadaan terrentu.
d. Tindak pidana kejahatan terhadap manusis dan genosida, hal tersebut dimuat pada
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia.
e. Tindak pidana Narkotika, tindak pidana Narkotika dijelaskan pada Pasal 114, 116,
118, 119, dan 121 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Inti
pada Pasal yang dimaksud menjelaskan dan menyatakan menawar, membeli,
menjual, menukar dan menyerahkan narkotika dapat dipidana.
f. Tindak pidana Mobilisasi Anak dalam Perdangangan Narkotika, hal ini dimuat pada
Pasal 89 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal
tersebut menjelaskan setiap orang yang dengan sengaja mengikutsertakan anak
dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika atau psikotropika dapat
dipidana.(Arief, 2019)

Berdasarkan data yang didapat oleh penulis terkait vonis hukuman mati yang pernah
diputus oleh hakim dalam persidangan adalah sebagai berikut:

a. Kasus Muhammad Abdul Hafeez, terpidana yang membawa heroin sebanyak 1020
gram yang ditangkap pada tahun 2001 dan dieksekusi mati pada 17 November 2013.
b. Pembunuhan yang disertai dengan menyodomi korban yang korban adalah anak
dibawah umur, terpidana atas nama Baekuni yang kasus tesebut diputus pada tanggal
21 April 2011.
c. Pembunuhan berencana sebagaimana diatur pada Pasal 340 KUHP yang dilakukan
oleh terpidana Verry Idham Henyansah, kasus tersebut diputus oleh hakim pada
tangga 21 April 2011.
d. Pembunuhan dan pemerkosaan secara sadis yang dilakukan oleh terpidana Herris
Marbun, diputus pada 8 Januari 2014.
e. Pembunuhan terhadap istri dan 2 orang anaknya, terpidana Herman Jumat Masan
yang diputus 11 Februari 2014
f. Pencurian disertai dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang lain,
terpidana atas nama Wawan pada 5 Agustus 2013.(Arief, 2019)

Hukum Pidana Indonesia yang berisikan aturan-aturan atau regulasi pada


hakikatnya adalah merupakan sebuah sarana yang ditujukan untuk menjami perlindungan
dan juga terciptanya ketertiban sosial pada masyarakat Indonesia. Sebagaimana dijelaskan
pada Undang-Undang Dasar 1945 di alenia keempat yang merupakan tujuan daripada
hukum pidana Indonesia adalah mengorientasikan pada aspek social welfare dan social
defence.(Ferawati, 2015)

D. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, setidaknya ada dua


kesimpulan yang dapat diambil. Pertama, terkait hukuman mati yang mana terdapat
beragam macam pandangan yang setuju dengan penjatuhan pidana mati dan adapula yang
tidak sepakat dengan pemberlakukan vonis hukuman mati itu sendiri. Dengan alasan vonis
hukuman mati disebut melanggar hak hidup seseorang. Sebagaimana hal tersebut diatur
pada (DUHAM) yang secara tegas menyatakan bahwa hukuman mati dilarang. Kedua, pada
hukum pidana Indonesia yang mana didalam KUHP hukuman mati masih dipertahankan
meskipun banyak kritikan dari para tokoh yang menentang hukuman mati itu sendiri. Oleh
karena itu, didalam KUHP baru yang direncanakan akan diberlakukan pada awal tahun
2026 hukuman mati tidak lagi diberlakukan sebagai hukuman pokok melainkan sebagai
alternatif yang akan diterapkan pada tindak pidana kejahatan luar biasa.
DAFTAR PUSTAKA

Adisaputra, M. N., & Subroto, M. (2022). PENERAPAN HUKUMAN MATI TERHADAP


NARAPIDANA DITINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA. HUKUM RESPONSIF,
13(1), 126–133. http://jurnal.ugj.ac.id/index.php/Responsif
Aeni, M. D. N., & Bawono, B. T. (2021). penjatuhan pidana mati dalam persepektif hak
asasi manusia. Prosiding Konstelasi Ilmiah Mahasiswa Unissula (KIMU) Klaster
Hukum.
Anjari, W. (2015). PENJATUHAN PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA. Journal WIDYA Yustisia, 107.
www.hukumonline.com
Arief, A. (2019). PROBLEMATIKA PENJATUHAN HUKUMAN PIDANA MATI
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM PIDANA.
KOSMIK HUKUM, 19(1). www.hukumonline.com
Daming, S. (2016). KONFIGURASI PERTARUNGAN ABOLISIONISME VERSUS
RETENSIONISME DALAM DISKURSUS KEBERADAAN LEMBAGA PIDANA
MATI DI TINGKAT GLOBAL DAN NASIONAL. YUSTISI, 3(1), 37–77.
Ferawati. (2015). Kajian Hukum dan HAM terhadap Penjatuhan Pidana Mati Bagi
Terpidana Narkotika. Jurnal Ilmu Hukum Riau, 5(1), 9153.
Hutapea, B. (2016). Alternatif Penjatuhan Hukuman Mati di Indonesia Dilihat dari
Perspektif HAM. Penelitian Hak Asasi Manusia, 7(2), 69–83.
Kholiq, M. A. (2007). Kontroversi Hukuman Mati dan Kebijakan Regulasinya dalam RUU
KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam). Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM, 14(2).
Muzakkir, Rani, F. A., & Ali, D. (2014). Pidana Mati Dalam Perspektif Peradilan Di
Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, 2(2), 67–76.
Novita Eleanora Universitas Mpu Tantular Jakarta, F. F. (2012). EKSISTENSI PIDANA
MATI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA. WIDYA. www.google.com
Rosita Roring, F. (2023). PENERAPAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA DALAM
SUDUT PANDANG PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA. Lex Privatum,
XI(4).
Sumanto, A. (2004). KONTRADIKSI HUKUMAN MATI DI INDONESIA DIPANDANG
DARI ASPEK HAK ASASI MANUSIA. AGAMA DAN PARA AHLI HUKUM
Oleh: Perspektif, Volume IX(3), 192–215.

Anda mungkin juga menyukai