Anda di halaman 1dari 9

UAS PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

PAPER
“Perubahan Hukuman Mati dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang Undang
Hukum Pidana”

Oleh:
I Made Deni Dwi Nuarthawan
NIM 2014101045

HALAMAN SAMPUL

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2023
Pembahuran Hukuman Mati dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
Tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Oleh : I Made Deni Dwi Nuarthawan
Abstrak
Masalah yang terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir adalah
implementasi sanksi pidana mati, khususnya perubahan dari ketentuan hukum
pidana lama ke hukum pidana baru. Respons masyarakat terhadap transformasi
pidana mati ini sangat beragam dalam berbagai aspek, dan perubahan ini
diharapkan memiliki dampak besar terhadap keberlangsungan masyarakat dalam
konteks bernegara di Republik Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
menyajikan pandangan dan pemahaman mengenai transformasi sanksi pidana
mati dalam kerangka hukum positif di Indonesia, dengan merujuk pada Undang-
Undang No. 02/Pnps/1964 mengenai Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di
Pengadilan Umum dan Militer, serta Pasal 100 Undang-Undang No. 01 Tahun
2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kata Kunci: Hukuman Mati, KUHP terbaru, Pembahuran Hukum Pidana
Pendahuluan
Selama kurang lebih 77 tahun, masyarakat Indonesia telah menggunakan
Kitab Undang-Undang yang diperoleh dari masa penjajahan Belanda. Kitab
tersebut dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda atau
wetboek van strafrecht for Netherlands indies dalam bahasa Belanda. Dalam
implementasinya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dianggap tidak
komprehensif karena isi materi pasal dan sanksinya seringkali hanya
menguntungkan satu pihak dan dianggap tidak memberikan kepastian hukum,
yang pada akhirnya menghasilkan berbagai penafsiran yang beragam terhadap
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda. Hal ini tidak dapat disangkal
karena kedatangan Belanda ke Indonesia membawa aturan-aturan yang bersifat
balas dendam dan hanya menguntungkan pihak Belanda. Berdasarkan kondisi
tersebut, tercetuslah rencana pembuatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang dimulai sejak tahun 1963. Setelah
melalui proses yang panjang, pada tahun 2022 DPR memutuskan bahwa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda akan digantikan oleh Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana buatan anak negeri sendiri.
Salah satu perubahan dalam implementasi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda adalah terkait pelaksanaan sanksi bagi terpidana mati. Pidana mati
di Indonesia hingga saat ini menjadi topik perbincangan yang kontroversial,
dengan sejumlah tokoh yang mengutarakan pandangan pro dan kontra, didasarkan
pada perspektif yang berbeda. Dalam buku "J.E. Jonkers Her Nederlandsch-Indie
Straftesel," dijelaskan bahwa hukuman mati di Indonesia masih dianggap penting,
dengan argumen bahwa "negara mempunyai segala hak, yang tanpa itu negara
tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya, termasuk pertama
mempertahankan tertib hukum."Perdebatan mengenai eksistensi pidana mati
sering kali terkait dengan konsep hak asasi manusia. Di satu sisi, setiap individu
memiliki hak untuk hidup, sementara di sisi lain, manusia harus menghadapi
ancaman pidana mati sebagai konsekuensi dari suatu tindak pidana yang telah
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (Taqiyuddin, 2012).
Salah satu bentuk hukuman yang paling berat adalah pidana mati, yang
sering dianggap bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Jika dalam
persidangan terbukti dengan sah dan meyakinkan bahwa pelaku kejahatan
bersalah, Judex Factie akan bertindak sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pidana mati dikenakan terhadap kejahatan berat yang diatur dengan jelas dalam
undang-undang. Indonesia, yang sedang melakukan pembaharuan dalam sistem
hukum pidananya, juga menghadapi perdebatan seputar pidana mati. Tentu saja,
ini akan mempengaruhi pembentukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) baru yang merupakan cita-cita lama bangsa Indonesia.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, pengaturan
mengenai pidana mati dari KUHP Belanda akan tetap ada, namun tidak lagi
sebagai pidana pokok. Sebaliknya, pidana mati diatur sebagai hukuman yang
bersifat khusus, diancamkan secara alternatif, dan menjadi opsi terakhir untuk
melindungi masyarakat sesuai dengan Pasal 100 KUHP baru. Penerapan pidana
mati hanya dapat dilakukan setelah melalui berbagai upaya hukum. Perubahan ini
menunjukkan bahwa pengaturan pidana mati masih menjadi isu yang
kontroversial, dengan pihak yang mendukung dan menentangnya. Selain itu,
perkembangan regulasi pidana mati mencerminkan respons terhadap evolusi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Langkah ini diambil karena penerapan
pidana mati dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Hukuman mati
berarti mencabut hak hidup seseorang, yang sejatinya setiap individu memiliki
hak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Pemberian hukuman mati
dianggap sebagai pelanggaran HAM berat karena melanggar nilai-nilai hak asasi
manusia. Hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia paling dasar,
menandakan bahwa tidak ada pihak lain yang berhak mengambil hak tersebut
(Prakoso, 2019).
Kedepannya, terdapat sejumlah perubahan signifikan terkait hukuman
mati, khususnya melalui pembaharuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022. Dalam Pasal 100 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2023 mengenai KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana
mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Ketentuan ini diatur dalam Pasal
100 Ayat 1 KUHP, yang menegaskan bahwa hakim mempertimbangkan rasa
penyesalan terdakwa dan harapan untuk perbaikan diri atau peran terdakwa dalam
tindak pidana. Namun, Pasal 100 Ayat 2 KUHP menjelaskan bahwa pidana mati
dengan masa percobaan, seperti yang diatur dalam Ayat 1, harus dicantumkan
dalam putusan pengadilan. Apabila terdakwa menunjukkan sikap dan perbuatan
yang terpuji selama masa percobaan, pidana mati dapat diubah menjadi pidana
penjara seumur hidup. Proses ini melibatkan Keputusan Presiden (Keppres)
setelah mempertimbangkan saran dari Mahkamah Agung (MA), sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 100 Ayat 4 KUHP. "Pidana penjara seumur hidup
sebagaimana dimaksud pada Ayat 4 dihitung sejak Keputusan Presiden
ditetapkan," demikian bunyi Pasal 100 Ayat 5 KUHP. Pasal 100 Ayat 6 KUHP
menegaskan bahwa jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan
sikap dan perbuatan yang terpuji, serta tidak ada harapan untuk perbaikan, pidana
mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Perubahan ini mencerminkan
upaya untuk memberikan peluang rehabilitasi kepada terpidana mati, dengan
mempertimbangkan penyesalan dan potensi perubahan perilaku selama masa
percobaan.
Hasil dan Pembahasan
A. Mekanisme Hukuman Mati
Hukuman mati merupakan salah satu bentuk pidana yang paling berat
yang diterapkan dalam sistem pidana, baik di Indonesia maupun di negara-negara
lain di seluruh dunia. Pidana ini melibatkan tindakan eksekusi yang dilakukan
oleh negara terhadap pelaku tindak pidana yang telah dinyatakan bersalah melalui
putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Meskipun hukuman
mati mengalami transformasi dalam penerapannya dalam hukum positif
Indonesia, isu terkait hukuman mati tetap menjadi permasalahan yang belum
sepenuhnya terpecahkan dan terus menjadi topik yang kontroversial. Masalah
hukuman mati seringkali menjadi isu politik yang melibatkan batasan-batasan
negara. Terdengar sering kali adanya protes dari suatu negara terhadap
pelaksanaan hukuman mati yang dilakukan di negara lain (Sukam, 2014).
Transformasi hukuman pidana mati di Indonesia dimulai pada tahun 1980
dengan pelaksanaan hukuman mati terhadap Kusni Kasdut, seorang penjahat kelas
kakap yang dihukum karena perampokan dan pembunuhan. Berdasarkan data
yang dikumpulkan oleh Kejaksaan Agung dari tahun 1945 hingga 2015, meskipun
ada 303 orang yang dijatuhi hukuman mati, hanya 91 orang yang benar-benar
dieksekusi selama periode 70 tahun tersebut. Pelaksanaan eksekusi hukuman mati
diatur oleh Undang-Undang No.2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati yang diberlakukan oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum
dan Militer. Tata pelaksanaannya kemudian diatur oleh Peraturan Kapolri No.12
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Dalam pengaturannya, terdapat kriteria cara pelaksanaan hukuman mati
yang dianggap sesuai dengan norma masyarakat beradab. Pertama, pelaksanaan
harus cepat, sederhana, dan bebas dari elemen yang meningkatkan ketakutan dan
penderitaan. Kedua, proses tersebut harus secepat mungkin membawa terpidana
menuju kematian. Ketiga, metode yang digunakan harus sesuai dengan norma-
norma kemanusiaan dalam masyarakat beradab. Keempat, perlu dihindari
perusakan anggota tubuh. Semua kriteria ini mencerminkan prinsip kemanusiaan
yang adil dan beradab, serta jaminan bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak
melibatkan penyiksaan. Penting untuk dicatat bahwa standar tersebut sesuai
dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang menegaskan perlunya pelaksanaan
hukuman mati yang adil dan beradab di Indonesia (Peraturan Kapolri No.12
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, 2010).
Perubahan mekanisme penerapan hukuman mati dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang lama ke yang baru dapat diidentifikasi sebagai
transformasi signifikan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama,
hukuman mati dianggap sebagai sanksi pidana pokok yang menduduki urutan
pertama dalam hierarki sanksi pidana, mengindikasikan tingkat keberatan sanksi.
Sebaliknya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru, regulasi mengenai
hukuman mati tidak lagi mengategorikannya sebagai sanksi pidana pokok.
Melainkan, hukuman mati dianggap sebagai opsi alternatif untuk tindak pidana
tertentu yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang.
Pengaturan semacam ini dijelaskan dalam Pasal 98 Undang-Undang No.1
Tahun 2023, yang menegaskan bahwa hukuman mati disusun sebagai alternatif
terakhir untuk melindungi masyarakat. Artinya, hukuman mati diterapkan hanya
pada kasus-kasus kriminal tertentu yang telah ditentukan dalam ketentuan hukum,
dan menjadi solusi paling akhir untuk menjaga keselamatan masyarakat. Berikut
adalah perbandingan di antara pengaturan pidana mati dari kedua aturan tersebut :
(Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2023)
1. Jenis Sanksi Pidana dalam KUHP lama
Pidana Pokok (Pasal 10) Pidana Tambahan (Pasal 10)
 Pidana Mati  Pencabutan hak-hak tertentu
 Pidana Penjara  penyitaan benda-benda tertentu
 Pidana Kurungan  Pengumuman dari putusan
 Pidana Denda hakim
 Pidana Tutupan
2. Jenis Sanksi Pidana dalam KUHP baru
Pidana Pokok Pidana Tambahan (Pasal Pidana yang bersifat khusus
(Pasal 65) 66) untuk pidana tertentu yang
ditentukan dalam UU (Pasal
67)
 Pidana  Pencabutan  Pidana mati yang
penjara haktertentu selalu diancamkan
 Pidana  perampasan secara alternatif
tutupan barangtertentu (Pasal 98- 102)
 Pidana  pengumuman
pengawasan putusan hakim
 Pidana  pembayaran ganti
denda rugi
 Pidana kerja  pencabutan izin
sosial tertentu
 pemenuhan
kewajiban adat
setempat

B. Bentuk dan Konsep Pidana Mati yang Dikategorikan dalam KUHP Baru
Dikeluarkannya pidana mati dari kategori pidana pokok dan
pengubahannya menjadi pidana khusus alternatif (eksepsional), menurut Prof. Dr.
Barda Nawawi, SH, anggota Tim Penyusun UU KUHP No.1 Tahun 2023,
didasarkan pada tiga konsep utama. Pertama, dari perspektif tujuan pemidanaan,
pidana mati bukanlah sarana utama atau inti untuk mengatur, menertibkan, dan
memperbaiki individu atau masyarakat. Pidana mati dianggap sebagai
pengecualian, serupa dengan sarana amputasi atau operasi di bidang kedokteran
yang pada dasarnya bukan obat utama tetapi hanya merupakan tindakan terakhir.
Kedua, konsep pidana mati sebagai pidana khusus berasal dari ide keseimbangan
monodualistik. Ide ini berfokus pada keseimbangan antara kepentingan umum
atau perlindungan masyarakat dan perhatian terhadap kepentingan atau
perlindungan individu. Dengan kata lain, sanksi pidana mati tidak hanya bertujuan
untuk melindungi masyarakat, tetapi juga mempertimbangkan hak-hak individu,
seperti penundaan pelaksanaan pidana mati bagi wanita hamil dan individu yang
menderita gangguan jiwa (Pasal 81 ayat (3)). Contoh lain adalah kemungkinan
penundaan pelaksanaan pidana mati, dikenal sebagai "pidana mati bersyarat,"
dengan masa percobaan selama 10 tahun (Pasal 82 ayat (1)). Ketiga, keberlanjutan
pidana mati, meskipun sebagai pidana khusus, juga didasarkan pada ide untuk
menghindari tanggapan atau reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam atau
eksekusi di luar hukum. Oleh karena itu, penyelenggaraan pidana mati melalui
Undang-Undang dimaksudkan untuk mencegah reaksi emosional dari masyarakat
(AMALIA, 2012).
Pelaksanaan pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang baru melibatkan beberapa tahapan. Tahapan pertama, upaya
dilakukan sejauh mungkin untuk menghindari pidana mati dengan memilih pidana
alternatif seperti pidana seumur hidup atau penjara dengan durasi tertentu,
maksimal 20 tahun. Tahapan kedua, memungkinkan penundaan pelaksanaan
pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Dalam periode penundaan
tersebut, terdapat kemungkinan perubahan pidana mati menjadi pidana seumur
hidup atau penjara dengan batas waktu maksimal 20 tahun. Tahapan ketiga,
terpidana memiliki hak untuk mengajukan grasi. Penerapan pidana mati sendiri
hanya dilakukan setelah Presiden menolak permohonan grasi. Jika grasi ditolak
dan pidana mati tidak dilaksanakan dalam kurun waktu 10 tahun, pidana mati
dapat diubah menjadi pidana seumur hidup (Widyaningrum Hesti, 2016).
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis pada hasil dan pembahasan, dapat
disimpulkan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang dirumuskan bahwa
pidana mati masih tetap terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan di luar KUHP karena pemerintah Indonesia, melalui politik
hukumnya, mendukung keberadaan pidana mati ini. Sementara dalam konsep
Undang-Undang No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
pidana mati tetap disertakan meskipun bersifat khusus dengan ancaman pidana
alternatif. Hal ini disebabkan tim perancang KUHP mempertimbangkan pidana
mati sebagai upaya perlindungan masyarakat, dan penerapannya bersifat selektif
dengan berorientasi pada perlindungan atau kepentingan individu, yaitu pelaku
tindak pidana.
B. Saran
Disarankan kepada pemerintah atau pihak berwenang untuk melaksanakan
penyuluhan dan penginformasian kepada masyarakat terkait hukuman pidana mati
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Hal ini
dianggap penting karena dapat memberikan pemahaman yang informatif kepada
masyarakat, sehingga mereka dapat memahami konsep dan implementasi pidana
mati sesuai dengan regulasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Sikap tegas dari
pemerintah dalam menjalankan dan mengimplementasikan ketentuan yang telah
diatur perlu diterapkan untuk memastikan kejelasan dan kepatuhan terhadap
hukuman pidana mati sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyuluhan dan
informasi yang tepat dapat menjadi langkah awal untuk mencegah misinterpretasi
atau ketidakpahaman terkait dengan aspek hukuman pidana mati dalam konteks
hukum positif Indonesia.
Daftar Pustaka
AMALIA, M. (2012). MASALAH PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Jurnal
Wawasan Hukum, 27.
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata-Cara Pelaksanaan Pidana
Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum
Dan Militer.
Peraturan Kapolri No.12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Prakoso, P. (2019). Hukuman Mati Terpidana Terorisme Di Indonesia: Menguji
perspektif stratejik dan hak asasi manusia (ham) (Death Penalty for
Terrorism Offence in Indonesia: Testing Strategic and Human Rights
Perspective). Desember, 10(2), 127–144.
https://doi.org/10.30641/ham.2019.10.127-142
Soge, P. (2012). TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI PIDANA MATI DI
INDONESIA (Vol. 1, Nomor 3).
Sukam, N. (2014). JURNAL ILMIAH EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM
SISTEM HUKUM INDONESIA. http://e-journal.uajy.ac.id/5236/
Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (2023). Taqiyuddin,
M. (2012). PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN.
widyaningrum hesti. (2016). Ancaman Pidana Mati Yang Bersifat Khusus dan
Alternatif Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kajian Ilmiah
UBJ, 16.

Anda mungkin juga menyukai