Anda di halaman 1dari 5

PIDANA MATI BERDASARKAN HUKUM POSITIF

DAN PERSPEKTIF HAM


Adelia Noorvila Pangestu
170111100118@student.trunojoyo.ac.id

ABSTRAK

Pidana mati diatur dalam KUHP yang mana merupakan


warisan kolonial Belanda dan tetap ketika dinasionalisasikan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Hingga saat ini Indonesia
merupakan salah satu negara yang masih konsisten memberlakukan
pidana mati dalam hukum nasionalnya ditengah maraknya
perdebatan terkait eksistensi pidana mati. Dalam perkembangannya,
pidana mati seringkali menjadi perbincangan yang cukup serius di
tingkat nasional maupun internasional. Oleh sebagian kalangan,
hukuman mati khususnya di Indonesia dianggap sebagai hukuman
yang kontroversial karena dianggap tidak manusiawi dan Melawan
Hak Asasi Manusia, dengan merujuk kepada pasal 28I ayat (1) UUD
NRI 1945 yang menekankan hak untuk hidup. Namun ada juga yang
membenarkan penerapan hukuman mati, guna untuk mengatasi dan
memberikan efek jera terhadap calon pelaku kejahatan berat. Pidana
mati masih menjadi pilihan yang efektif dalam memberantas
kejahatan-kejahatan berat.
Kata kunci: Pidana Mati, Perspektif HAM

I. Pidana Mati Berdasarkan Hukum Positif

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan


dan mengakui legalitas pidana mati sebagi salah satu cara untuk menghukum
pelaku tindak kejahatan. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia
Nomor 12 Tahun 2010 pasal 1 angka 3 berbunyi “Hukuman mati yang
selanjutnya disebut pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang
dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap”. Lombroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu
adalah “alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan
individu yang tidak mungkin untuk diperbaiki lagi”. Pidana mati masih
menjadi hukum positif di Indonesia meskipun hal tersebut telah banyak
diperdebatkan karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Pidana mati secara tegas tercantum dalam KUHP yang diwarisi dari
Pemerintah Kolonial, dan tetap ketika dinasionalisasikan dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946. Pidana mati sendiri termasuk dalam pidana
pokok dalam KUHP sesuai dengan pasal 10 huruf b. KUHP membatasi
hukuman mati hanya untuk kejahatan berat, yakni :

1. Pasal 104 KUHP


2. Pasal 111 ayat (2) KUHP
3. Pasal 124 ayat (3) KUHP
4. Pasal 140 ayat (3) KUHP
5. Pasal 340 KUHP
6. Pasal 365 ayat (4) KUHP
7. 368 ayat (2) KUHP, dsb.

Dalam pelaksanaanya, pidana mati harus dilakukan sesuai dengan


Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dalam Peraturan Kepala Kepolisian
Republik Indonseia Nomor 12 Tahun 2010. Adapun tahapan-tahapan dalam
pelaksanaan pidana mati sesuai dengan peraturan tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Persiapan, dilakukan setelah adanya perintah tertulis dari Kejaksaan


kepada Kapolda sesuai dengan daerah hukum pengadilan yang
menjatuhkan putusan. Setelah itu Kapolda memerintahkan kepada
Kepala Satuan Brimob Daerah untuk menyiapkan pelaksanaan pidana
mati. Dalam hal penentuan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati
diluar wilayah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan, Kapolda
dan Kejaksaan setempat harus berkoordinasi dengan Kapolda dan
Kejaksaan yang menjadi tempat pelaksanaan pidana mati. Persiapan
pidana mati meliputi, personel, materiil dan pelatihan untuk lebih
lanjutnya diatur dalam pasal 5 dan pasal 6 Perkapolri Nomor 12 Tahun
2010.
2. Pengorganisasian, terdiri dari regu penembak yang berjumlah 14 orang
yang bertugas untuk mengecektempat pelaksanaan pidana mati;
menyiapkan dan mengecek senjata api serta amunisinya; mengatur posisi
personel regu penembak; serta menyiapkan fisik dan mental seluruh
personel regu penembak, adapun regu pendukung yang terdiri atas 5 regu
regu lagi yang memiliki tugas masing-masing yang berasal dari anggota
Brimob Polri, ketentuan lebih lanju diatur dalam pasal 7-14 Perkapolri
Nomor 12 Tahun 2010.
3. Pelaksanaan, meliputi tata cara mengenai rincian kegiatan yang
dilakukan hingga detik-detik penembakan dilakukan dalam pidana mati.
dalam hal pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan kepada beberapa
orang terpidana dalam satu putusan, dilaksanakan serempak pada waktu
dan tempat yang sama tetapi dilaksanakan oleh regu penembak yang
berbeda, untuk lebih jelasnya diatur dalam pasal 15, 16 dan 17 Perkapolri
Nomor 12 Tahun 2010.
4. Pengakhiran, setelah pelaksanaan pidana mati selesai, komandan
memerintahkan komandan regu penembak membawa regu penembak
keluar dari lokasi penembakan untuk konsolidasi; lalu jaksa eksektor
memerintahkan komandan regu 2 dengan anggota regunya untuk
membawa dan mengawal jenazah bersama tim medis menuju rumah
sakit serta pengawalan sampai dengan proses pemakaman jenazah;
setelah itu regu 1 mengumpulkan peralatan dan perlengkapan yang
digunakan untuk pelaksanaan pidana mati dan membersihkan lokasi
penembakan; dan yang terakhir semua regu melaksanakan konsolidasi
dipimpin oleh komandan regu masing-masing (pasal 18 Perkapolri
Nomor 12 Tahun 2010).
II. Pidana Mati Dalam Perspektif HAM dan Perbaikan Masa Depan

Banyak pro dan kontra mengenai pidana mati yang masih menjadi
hukum postif di Indonesia. Pidana mati menjadi salah satu upaya untuk
menekan terjadinya tindak pidana yang terjadi. Mengenai efektifitas hukuman
mati dalam menimbulkan efek jera masih menjadi perdebatan di antara para
ahli hukum serta pegiat Hak Asasi Manusia. Perdebatan tersebut antara lain
dapat kita simak dalam kasus pengujian pasal tentang hukuman mati dalam
Undang-Undang Narkotika yang lama yaitu Undang-undang No.22 Tahun
1997 di Mahkamah Konstitusi pada 2007. MK dalam putusan perkara akhirnya
mempertahankan hukuman mati karena kejahatan narkotika termasuk
“kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary crime)
sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal”. Salah
satu perlakuan khusus itu menurut MK antara lain, dengan cara menjatuhkan
hukuman berat yakni pidana mati. MK menyatakan bahwa pidana mati tidak
bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD NRI 1945 lantaran jaminan
Hak Asasi Manusia dalam UUD NRI 1945 tidak menganut asas kemutlakan.
Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan
menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan
keadilan sosial. Dengan demikian, Hak Asasi Manusia harus dibatasi dengan
instrumen Undang-Undang, yakni Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi
kecuali diputuskan oleh pengadilan.

Prof. Dr. Achmad Ali, S.H. menyatakan bahwa “Penerapan pidana


mati sangat dibutuhkan khususnya di Indonesia, tetapi harus diterapkan secara
spesifik dan selektif”. Spesifik aritinya hukuman mati diterapkan untuk
kejahatan-kejahatan serius mencakupi korupsi, pengedar narkotika, teroris,
pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana. Dan yang
dimaksudkan selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati
harus yang benar-benar telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan
bahwa memang dialah sebagai pelakunya. Dalam pasal 28J ayat (1) UUD NRI
1945 menjelaskan bahwa HAM seseorang dibatasi oleh HAM orang lain dan
juga peraturan perundang-undangan. Jelaslah bahwa orang-orang yang
melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana mati, telah melanggar HAM
orang lain dan juga peraturan perundang-undangan yang membatasi HAM itu
sendiri.

Dalam implementasinya, penerapan pidana mati tidak dapat berdiri


sendiri, melainkan harus diimbangi dengan perbaikan sistem peradilan.
Peradilan harus bersih dari praktek-praktek manipulatif karena masih banyak
kita temui kasus dimana aparat penegak hukum melakukan kesalahan dalam
melakukan penangkapan ataupun dalam menjatuhkan hukuman. Sebelum
seseorang dihukum, haruslah benar-benar terbukti bahwa dialah pelakunya dan
bersalah. Apabila dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga ke
proses persidangan tidak dilakukan dengan baik dan professional hal tersebut
memungkinkan terjadinya kesalahan vonis hukuman yang dijatuhkan oleh
hakim kepada terdakwa. Maka dari itu perbaikan dalam sistem peradilan harus
selalu diutamakan demi tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

III. Kesimpulan

Pidana mati merupakan pidana yang masih sangat efektif dalam


mencegah kejahatan yang dapat dikualifikasikan dalam kejahatan berat. Hal
tersebut terlihat dari ditempatkannya pidana mati sebagai pidana pokok
dalam KUHP, juga terlihatnya pidana mati dalam peraturan perundang-
undangan di luar KUHP. Pengaturan dan pelaksanaan pidana mati bukanlah
suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, seperti yang telah dijelaskan
diatas bahwa dalam perspektif HAM pidana mati bukanlah suatu bentuk
pidana yang melanggar Hak Asasi Manusia apabila penggunaan atau
pelaksanaannya tidak dilakukan secara sewenang-wenang dan berdasarkan
peraturan yang berlaku. Dan dengan uraian diatas juga menegaskan bahwa
HAM seseorang dibatasi dengan HAM orang lain sehingga sangat
diperlukan untuk saling menghargai dan meghormati sesama manusia demi
ketertiban umum dan keadilan sosial.

Anda mungkin juga menyukai