Disusun Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan
demokrasi kita terasa makin mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum
memuaskan karena banyak konsepsi yang dikembangkan masih dipahami secara
beragam mulai dari orang/masyarakat awam hingga kalangan yang 'melek' HAM.
HAM yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu pada hakikatnya berisi pesan
moral yang menghendaki setiap orang baik secara individu ataupun kelompok
bahkan penguasa/pemerintah (negara) harus menghormati dan melindunginya.
Pesan moral yang ada, memang belum mengikat atau belum mempunyai daya ikat
secara hukum untuk dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimuat (dicantumkan
dan ditegaskan) melalui berbagai piagam dan konvensi internasional, maka semua
orang harus menghormatinya. Paling tidak Negara yang ikut terlibat dalam atau
sebagai peserta konvensi dan terlibat dalam penandatanganannya, juga terhadap
piagam yang telah disetujui bersama itu, akan terikat dan berkewajiban untuk
meratifikasinya ke dalam peraturan perundangan masing-masing negara
bersangkutan. Dalam proses demikian, HAM telah diakomodasi ke dalam hukum.
Pidana mati merupakan salah satu pidana bawaan dari pidana buatan
belanda dalam masa penjajahan dahulu yang sampai sekarang terkadang masih di
implikasikan terhadap pidana di Indonesia walopun sebenarnya dalam masa
kerajaan dahulu pidana mati juga sempat di terapkan untuk suatu tindakan pidana
tertentu, dan dalam UUD 45 juga terdapat aturan tentang pidana mati tersebut
maka sebenarnya pidana mati salah jika di anggap tidak sesuai dengan pancasila
sebagai dasar ideology bangsa.
Kontroversi inilah yang akan di bahas dalam makalah ini yang sekiranya
hukuman mati akan pas atau tidaknya jika di terapkan dalam KUHP Indonesia
serta dalam tatanan HAM Indonesia. Yang sekiranya menurut penulis pidana mati
merupakan pidana yang mungkin layak untuk di terapkan dalam system hukum
pidana yang ada di Indonesia.
II. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia?
b. Hukum pidana mati dalam perspektif HAM?
BAB II
PEMBAHASAN
2 Azyumardi azra, Demokrasi HAM dan masyarakat madani, Tim ICCE UIN
Jakarta,2003: hlm. 202.
3R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta,
2005: hlm. 187.
4 Lilik Muliadi, Hukum Acara Pidana; Teoritik, Praktik dan Permasalahannya,
PT.Alumni, Bandung: 2007, hal.289-291
dapat dibuktkan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat
atau huum para raja dahulu, umpamanya:
a. mencuri dihukum potong tangan
b. pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan
(sayab), kepala ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya
ditusuk dengan gantar (tanjir), dan sebagainya.5
Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpatok pada
keterangan di atas. Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing,
di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada
suku batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak
membayar uang salah maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam
jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan
hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati
dikenal oleh semua suku di Indonesia. Hingga penulis menarik kesimpulan bahwa
bukan Belanda lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia
diberlakukan berdasarkan pemberlakuan “Wet boek van Strafrecht” yang mulai
berlaku pada 1 Januari 1918. Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai
salah satu jenis pidana pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi
pidana mati dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal
10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad 1945 Nomor123 yang dikeluarkan oleh
pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini
diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tahun 1964,
Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang
nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara
menembak mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala
Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi
dilakukan oleh regu tembak kepolisian.
7A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di
Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1985., hlm 25 & 26.
8 Ibid., hlm.27
9 Ibid., hlm.27
10 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya