Anda di halaman 1dari 25

SEJARAH PIDANA MATI DI INDONESIA DAN KONTRADIKTIFITAS

DENGAN HAK ASASI MANUSIA

DISUSUN OLEH : DIDI ROSADI, ST


NIM : 734220004

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR
BANTEN
2023
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN………………..……………………………………………… 1

1.1. Latar Belakang………………..……………………………………………... 1

1.2. Rumusan Masalah………………………………………………………….... 4

1.3. Tujuan Masalah…………………………………………………………….... 4

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………….... 5

2.1. Sejarah Hukum Pidana Mati di Indonesia………………………………..... 5

2.2. Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia……………………………........ 12

2.3. Hukum Pidana Mati Dalam Perspektif HAM………………………..…… 15

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………... 20

3.1. Kesimpulan………………………………………………………………..… 20

3.2. Saran…………………………………………………………………………. 20

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………. 21

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan limpahan rahmat-Nya
serta telah memberikan kemudahan dan kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini.Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing kita kejalan yang benar dengan segala kebenarannya,
begitu juga kepada para sahabat dan umatnya yang selalu mengikuti jejaknya sampai akhir
zaman.
Perdebatan mengenai hukuman mati sudah terjadi sejak hukuman ini lahir. Penerapan
hukuman mati bertujuan untuk mencegak tindak pidana yang terjadi di masyarakat karena
hukuman mati sebagai hukuman dengan mengakhiri nyawa seseorang akan memberikan efek
yang menakutkan. Tetapi dalam penerapannya banyak problem yang terjadi seperti angka
kejahatan yang dihukum mati yang justru meningkat sehingga efek menakutkan dari hukuman
mati dipertanyakan, hukuman mati yang jauh semangat zaman (tren dunia) yang menuju ke
penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), dan masih banyak lagi aspek yang
melatarbelakangi problem hukuman mati yang perlu untuk dibahas dalam makalah ini.
Problematika hukuman mati memunculkan kelompok-kelompok yang pro/setuju terhadap
hukuman mati (retensionisme) dan kelompok kontra/menolak hukuman mati (abolisionisme),
sehingga perlu untuk membahas dasar-dasar pemikiran dari kelompok pro dan kontra hukuman
mati tersebut, yang tidak kalah pentingnya juga untuk membahas hambatan yang dihadapi dalam
penerapan ancaman hukuman mati. Hukuman mati sering dikaitkan dengan pelanggaran Hak
Asasi Manusia sejak tren dunia internasional menuju pada penghapusan hukuman mati dengan
lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Hal tersebutlah yang akan dibahas dalam
penelitian ini, karena problematika hukuman mati dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sejarah
hukuman mati, pro-kontra hukuman mati, dan hokum pidana mati dalam perspektif HAM.
Sehingga ketiga hal tersebut yang akan dibahas dalam penulisan makalah yang berjudul
“Sejarah Pidana Mati di Indonesia dan Kontradiktifitas dengan Hak Asasi Manusia”.
Makalah ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan baik secara teknis maupun
isinya namun dengan kerendahan hati semoga makalah ini tidak akan mengurangi kegunaan dan
manfaat bagi pembaca dan masyarakat.

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hukum yang ada di tengah-tengah masyarakat tidak terlepas dari perenungan dan
perumusan nilai-nilai yang bersifat esensial dari hukum itu sendiri. Upaya ini dilakukan agar
dapat memberikan solusi dari masalah-masalah hukum yang muncul nantinya baik itu
persoalan penerapan maupun penafsiran bahasa hukum dalam penerapan nantinya. Hukum
pada intinya adalah cara orang menangani berbagai urusan dalam masyarakat, cara
mengatasi perselisihan, hal apa saja yang dapat membantu bagaimana hubungan fungsi-
fungsi tersebut secara sistemik, dan sumber kekuasaan apa yang dimiliki. Dalam persoalan
itulah berbagai sistem hukum, di mana pun dan kapan pun, selalu memiliki berbagai fungsi
dengan bermacam lembaga lain yang harus diteliti.
Salah satu jenis penegakkan hukum pidana yang masih dalam kontroversi yaitu pidana
mati (dood straf), pidana mati sudah dikenal sejak zaman dahulu kala, dan bisa dikatakan
sebagai pidana yang sudah lama digunakan selain pidana penjara. Pada zaman perundang-
undangan atau hukum Nabi Musa (Mozaische wetgecing), demikian juga pada zaman
hukum Yunani, Romawi dan Jerman, pidana mati telah di kenal 1. Pidana mati masih
digunakan sebagai salah satu sanksi bagi mereka yang terbukti melakukan satu tindak
kejahatan. Hukuman mati sudah dikenal sebelum Indonesia menjadi daerah koloni Belanda,
walaupun kemudian oleh Daendels (seorang pejabat perwakilan pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia), hukuman mati yang sudah ada dalam hukum adat kemudian
dijadikan sebagai hukuman tertulis yang tercantum dalam Plakat tertanggal 22 April 1808,
di mana pengadilan di perkenankan menjatuhkan pidana berupa: dibakar hidup-hidup pada
suatu tiang (paal), di matikan dengan menggunakan keris (kerissen), dicap bakar
(brandmerken), dipukul (geeselen), dipukul dengan rantai, ditahan (dimasukkan) ke dalam
penjara (confinement) dan kerja paksa pada pekerjaan umum2.
Lambroso dan Grofalo, berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak harus
ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki

1
S. R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penintensia di Indonesia, Alumni Ahaem-Petehaem, (Jakarta,
1996), hal. 51.
2
E. Utrecht, Rangkuman Sari Kuliah : Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, (Surabaya, 1986), hal. 19.

1
lagi3. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang – orang yang
tak dapat diperbaiki lagi perilakunya, dan dengan adanya pidana mati ini maka dapat
menghilangkan kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara – penjara yang demikian
besarnya.
Kehidupan demokrasi terasa makin mencuat terlebih mengenai Hak Asasi Manusia
(HAM), meski pemahaman terhadap konsepsi Hak Asasi Manusia masih dipahami secara
beragam mulai dari orang/masyarakat awam hingga kalangan yang 'melek' HAM. HAM
yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu pada hakikatnya berisi pesan moral yang
menghendaki setiap orang baik secara individu ataupun kelompok bahkan
penguasa/pemerintah (negara) harus menghormati dan melindunginya. Pesan moral yang
ada, memang belum mengikat atau belum mempunyai daya ikat secara hukum untuk
dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimuat (dicantumkan dan ditegaskan) melalui
berbagai piagam dan konvensi internasional, maka semua orang harus menghormatinya.
Paling tidak Negara yang ikut terlibat dalam atau sebagai peserta konvensi dan terlibat
dalam penandatanganannya, juga terhadap piagam yang telah disetujui bersama itu, akan
terikat dan berkewajiban untuk meratifikasinya ke dalam peraturan perundangan masing-
masing negara bersangkutan. Dalam proses demikian, HAM telah diakomodasi ke dalam
hukum.
Berbagai pro dan kontra terjadi karena pandangan yang berbeda-beda pada setiap orang
atau kelompok tentang penerapan hukuman mati yang dihubungkan dengan Hak Asasi
Manusia. Adapun salah satu Hak Asasi Manusia ialah hak untuk hidup. Hak untuk hidup
sebagaimana termuat di dalam Human Rights yang telah ditetapkan oleh Majelis Umum
PBB pada 10 Oktober 1948 yang kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang No. 5
Tahun 1998 pada tanggal 28 Oktober 1998, dikatakan bahwa hak untuk hidup merupakan
salah Hak untuk hidup sebagaimana termuat di dalam Human Rights yang telah ditetapkan
oleh Majelis Umum PBB pada 10 Oktober 1948 yang kemudian diratifikasi dengan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1998 oleh RI pada tanggal 28 Oktober 1998, dikatakan bahwa hak
untuk hidup merupakan salah satu hak asasi manusia. Berbagai macam peraturan yang
melindungi hak asasi manusia bukan berarti menjadikan hak asasi manusia menjadi alat

3
Andi Hamzah dan Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 27.

2
untuk bisa melakukan apa saja dengan semena-mena. Walaupun hak asasi manusia tidak
dapat diganggu gugat oleh siapapun juga.
Di Indonesia, sampai saat ini pidana mati masih diterapkan dengan acuan utama adalah
KUHPidana, akan tetapi Indonesia juga sudah mengeluarkan Undang-Undang yang
mengatur masalah hak asasi manusia yaitu dalam Pasal 1 Butir 1 Undang Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Nomor 165 Tahun 1999,
Tambahan Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 3886, selanjutnya di singkat UU HAM
disebutkan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sedangkan dalam Pasal 4 disebutkan Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasa pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Negara dalam perspektif HAM diposisikan untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan
bukan sebaliknya, justru negara yang melakukan pelanggaran HAM. Gagasan perlindungan
HAM dari negara terhadap warga negaranya, dikonstruksikan berdasarkan konsep hubungan
kontraktual antara negara dengan masyarakatnya dimana penguasa (negara) diberikan
kewenangan untuk mengatur serta membatasi hak relatif dari individu anggota masyarakat,
namun negara tidak memiliki kewenangan atas hak asasi dari individu masyarakat (HAM)
karena tidak pernah diserahkan oleh masyarakat kepada negara. Oleh karenanya, terdapat
hak-hak yang tetap melekat pada individu anggota masyarakat yang berlaku universal dan
tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apapun (non derogable) dan negara harus
menghormati serta melindunginya. Hak hidup dalam perspektif ini merupakan bagian hak-
hak asasi yang tidak diserahkan kepada negara, oleh karenanya negara tidak memiliki
kewenangan untuk menghilangkan hak tersebut4.

4
Yahya Ahmad Zein, S.H, M.H, Problematika Hak Asasi Manusia (HAM), (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2012),
hal. 121-122

3
Kontroversi inilah yang akan di bahas dalam makalah ini dengan tujuan dapat menjawab
kontradiktifitas hukuman mati dapat diterapkan dalam KUHP Indonesia serta dalam tatanan
HAM Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah hukum pidana mati di Indonesia?
2. Bagaimanakah pro kontra pidana mati di Indonesia?
3. Bagaimana hukum pidana mati dalam perspektif HAM ?

1.3. Tujuan Masalah


1. Mengetahui sejarah hukum pidana mati di Indonesia
2. Mengetahui pro kontra pidana mati di Indonesia
3. Mengetahui hukum pidana mati dalam perspektif HAM

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Hukum Pidana Mati di Indonesia

Berdasarkan sejarah, bahwa pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di
Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan – kerajaan di Indonesia. Hal ini
dapat dibuktikan dengan memperhatikan jenis – jenis pidana menurut hokum adat atau
hukum para raja – raja zaman dahulu, umpanya mencuri milik orang lain dihukum dengan
potong tangan atau pidana mati dilakukan dengan memotong – motong dari bagian badan,
kepala ditumbuk (sroh), dengan cara dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan
gantar (tanjir), dan sebagainya.
Hukuman mati di Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan kolonial Belanda. Sanksi
hukuman mati pertama kali dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Henry
Willem Daendels pada tahun 1808. Pada waktu kepemimpinan Daendels, hukuman mati
diberikan kepada warga pribumi yang menolak untuk menjadi suruhan atau menentang
perintah Daendels. Bahkan Daendels tak tega-tega memberitakan apabila ada yang hendak
dihukum mati. Perjalanan hukuman mati berlanjut hingga orde Demokrasi Liberal tahun
1951. Meski pada tahun-tahun tersebut terdapat gejolak atas penolakan hukuman mati,
nyatanya sanksi tersebut tetap saja berlanjut. Terbukti, hukuman mati masih diberlakukan
pada orde Demokrasi Terpimpin tahun 1956-1966. Dalam rentang waktu 1956-1966, bahkan
Presiden Soekarno mengeluarkan UU Darurat tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Bahkan Soekarno juga mengeluarkan Penpres No.5
Tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 21 Tahun 1959 dengan ancaman
maksimal hukuman mati5. Berlanjut ke Orde Baru, hukuman mati tetap diberlakukan. Pada
waktu tersebut, hukuman mati diterapkan dalam mencapai stabilitas politik. Selain itu juga
menjadi pengaman atas agenda pembangunan pemerintah6.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia diberlakukan
berdasarkan pemberlakuan “Wet boekvan Strafrecht” yang mulai berlaku pada 1 Januari
1918. Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang

5
https://www.instagram.com/reel/CqKI1YrgAJb/?igshid=MTc4MmM1YmI2Ng
6
https://www.tiktok.com/@doctorfirmancandra/video/7214001672819920154?_r=1&_t=8cImAMM3zne

5
tertuang dalam pasal 10 KUHP. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan
hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad
1945 Nomor 123 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda bahwa pidana mati dijatuhkan
dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun
1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara
menembak mati terpidana. Meskipun berasal dari Belanda, ternyata dalam
perkembangannya penerapannya di Belanda dan Indonesia banyak berbeda. Di Belanda,
hukuman mati sudah ditiadakan, bahkan sejak tahun 1870, kecuali dalam keadaan perang7.
Sementara itu, Indonesia masih mengakui dan mempertahankan eksistensi hukuman mati di
beberapa undang-undang. Penghapusan hukuman mati di Belanda tidak diikuti Indonesia
karena beberapa pertimbangan, sebagaimana dikemukakan Satochid Kartanegara, yaitu:
a. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Pada masa kolonial, dengan adanya
penduduk yang terdiri dari berbagai suku tersebut, sangat mudah menimbulkan berbagai
pertentangan antar suku. Untuk menghidari pertentangan-pertentangan dan akibatnya,
hukuman mati dipertimbangkan perlu dipertahankan.
b. Indonesia terdiri dari sejumlah besar pulau dan pada waktu itu aparatur pemerintah
kolonial kurang sempurna, disamping sarana perhubungan antar pulau yang juga tidak
sempurna.
c. Terlepas dari alasan yang berhubungan dengan keadaan geografis, beberapa ahli
berpendapat bahwa daerah kolonial memerlukan kekuasaan yang mutlak untuk menjaga
ketertiban umum, sehingga dapat dipertanggungjawabkan8.

A. Hukuman Mati Zaman Dulu


Zaman dulu hukum adat dibeberapa daerah di Indonesia mengenal pidana mati
dengan cara yang kejam. Misalnya di Aceh, seorang istri yang berzinah akan di bunuh.
Pada zaman kesultanan, terdapat lima macam pidana utama, yaitu memotong tangan
pencuri, membunuh dengan pentungan, menyalib, memotong bagian tubuh tertentu, dan

7
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Dua (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa
tahun), hlm. 341.
8
Ibid., hlm. 344.

6
menembak kepala dalam lesung9. Pada zaman Kerajaan Majapahit, hukuman mati
merupakan salah satu hukuman pokok yang dapat dijatuhkan kepada orang yang
bersalah. Kerajaan-kerajaan menerapkan pidana mati dengan berbagai cara, seperti
digantung, dipancung, ditikam dengan keris, dicekik, dan ditenggelamkan ke laut.
Seseorang yang melanggar hukum adat pun dapat dikenakan sanksi berupa hukuman
mati yang dilakukan secara diam-diam, yaitu dengan black magic10.
Di Sulawesi Selatan, pada masa pemerintahan Aru Palaka, orang yang
membahayakan kekuasaan negara, seperti lasuni, dipancung. Kepalanya diletakkan
diatas baki dan dihadapkan kepada Aru Palaka sebagai bukti eksekusi telah
dilaksanakan11. Terpidana pemberontakan yang tidak mau pergi ke tempat
pembuangannya pun boleh dibunuh oleh setiap orang yang menemukannya. Jadi, semua
tersangka kejahatan berat yang dilakukan terhadap raja dan adat harus dipidana mati. Di
Tana Toraja terpidana dihukum dengan cara dipenggal kepalanya 12.
Di kalangan masyarakat Wajo di kenal dengan tradisi pelayaran dan perdagangan,
terdapat pengecualian hukuman untuk nahkoda. Seorang nahkoda dapat bertindak
sebagai tirani diatas perahunya, dan walaupun bersalah kepada raja ia tidak akan
dipidana13. Menurut undang-undang Amanna Gappa, jika seorang merdeka membunuh
raja di atas kapal, namun anak nahkoda yang mengadilinya tidak memberikan putusan
pidana mati yang seharusnya dijatuhkan dan hanya menjatuhkan pidana denda, nahkoda
tidak dapat dipidana karena keputusannya. Menurut Matthes, saksi kejadian hal tersebut
merupakan pengecualian. Raja memang sangat berkuasa di daratan, apalagi di istana,
namun tidak di lautan. Matthes juga pernah melihat raja Aru Padali dari Tempe
menjatuhkan pidana mati dengan keris terhadap orang yang mencuri sarung raja.

9
Andi Hamzah, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Hukuman Mati di Indonesia. (Jakarta: BPHN
Departemen Kehakiman dan HAM, 2003), hlm. 21-22. Lihat juga E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Bandung: Penerbit
Universitas, 1967), hlm. 20.
10
Werdono Soewardi, dkk., Hukum Adat Laut di Teluk Yos Sudarso dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Ekonomi.
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hlm. 20, sebagaimana dikutip Andi Hamzah dalam Sistem Hukuman dan
Pemidanaan (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 14-15.
11
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi. (Jakarta: Pradnya Paramita,
1985), hlm. 14.
12
Andi Hamzah dan Andi Swuangelipu, Pidana Mati di Indonesia: Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 53.
13
Ibid., hlm. 56.

7
Mungkin hukuman dijatuhkan karena pencurian itu mempermalukan raja. Menurut
Latoa, terdapat 11 alasan seseorang dijatuhi hukuman mati, yaitu:
1. Lejja Sutappere: memasuki kamar tidur seorang wanita ketika suaminya sedang
berpergian.
2. Gegok Paso: menggoyang tiang negara, berarti makar terhadap raja atau
pemimpin negara dan pemimpin-pemimpin adat.
3. Poppo Gamaru: mengacaukan rapat adat.
4. Suloi Liang: menerangi gua, berarti menunjukkan tempat persembunyian raja
(berkhianat).
5. Mappolo Lila: mematahkan lidah, berarti dengan sengaja melanggar perintah-
perintah raja.
6. Mukah dengan seorang ratu.
7. Sapa Tanah: mengotori tanah, berarti berbuat cabul.
8. Lewu Sepe: menutup jalan air, berarti merusak pendapat raja.
9. Mapaiboko: membelakangi, berarti menyalahgunakan nama raja untuk
melakakukan kejahatan yang sama sekali bertentangan dengan maksud raja.
10. Pelo Weloi Arajeng: mencoba untuk mendapatkan keuntungan sendiri dari
penguasa raja.
11. Makkai ResaliwengengArunge Anrenge Tanah Naonroie: makkai berarti
menggali; resaliwengeng berarti diluar arung raja; anrenge dan tanah naonroie
berarti tanah tempat tinggalnya. Artinya bekerja sama dengan musuh diluar
negeri terhadap raja dalam negeri (berkhianat)14.

Dalam masyarakat Batak, jika pembunuh tidak dapat membayar uang salah dan
keluarga korban menyerahkannya untuk dipidana mati, maka pidana matipun segera
dilaksanakan. Namun, denda atau ganti rugi tidak diberlakukan untuk kejahatan-
kejahatan terhadap negara atau orang-orang yang memerintah, demikian juga mukah
dengan istri raja. Hukuman yang dijatuhkan dalam kasus tersebut hanya hukuman

14
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 41-42.

8
mati15. Pidana mati juga dijatuhkan pada orang yang melanggar sistem perkawinan
eksogami.
B. Hukuman Mati Saat Ini
Ada dua peraturan yang mengatur pidana mati, yaitu pasal 11 KUHP yang
mengatur penjatuhan hukuman mati dengan menggantung orang yang bersalah dan satu
peraturan yang diundangkan oleh pemerintah Jepang, yang menghendaki pidana mati
dilaksanakan dengan tembakan. Salah satu contoh pelaksanaan pidana mati peradilan
militer Jepang ialah tembak mati pelaku-pelaku pemberontakan Blitar yang dipimpin
oleh Suprijadi pada 14 Februari 1945.
Dualisme ini berlansung selama beberapa bulan pertama setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Namun, semua peraturan Jepang di daerahdaerah yang
diduduki Belanda dianggap tidak sah setelah pendudukannya berakhir. Di daerah-daerah
itu berlaku peraturan baru yang sesuai dengan pidana mati dengan cara ditembak.
Sebelum pengakuan kedaulatan, terjadi suatu perubahan tetap di daerah-daerah teritorial.
Peraturan itu berlaku di wilayah Republik Indonesia dan daerah kekuasaan Hindia
Belanda. Setelah 27 Desember 1949, perubahan ini terus berlansung selama masa
pengembalian daerah-daerah Republik Indonesia, yang saat itu menjadi negara bagian
Republik Indonesia Serikat (RIS) 16.
Setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terwujud, hukuman mati
dilakukan dengan cara menggantung terpidana. Pada 29 September 1958 Badan
Legislatif menetapkan UU No. 73 Tahun 1958 untuk mencapai kesatuan dalam
menetapkan hukum pidana dengan mengumumkan UU No. 1 Tahun 1946 yang
mengikat seluruh wilayah Indonesia. Namun, UU ini merupakan hukum pidana pada
umumnya. Keduanya telah diundangkan dan hukum pidana di luar kode kriminal.
Akibatnya, UU itu memiliki efek pada peraturan dari lembaran Negara 1945 No. 123
pasal 1 dari UU No. 1 Tahun 1946 yang menetapkan berlakunya peraturan-peraturan dari
Stbl. 1945 No. 123. Mr. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa Stbl. 1945 No. 123
hanya berlaku didaerahdaerah tertentu, bukan di seluruh Indonesia. Keberadaan dua
peraturan mengenai cara pelaksanaan pidana mati yang berbeda, dalam praktiknya, dapat

15
A. L. Van Hassett, Midden Soematra (1882), hlm. 233, sebagaimana dikutip Andi Hamzah, Ibid., hlm. 14.
16
Yon Artiono Arba’i, Aku Menolak Hukuman Mati, Telaah Atas Penerapan Pidana Mati (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2012), hlm. 21-22.

9
dengan mudah dikesampingkan. Stbl. No. 123 dapat dilaksanakan untuk pidana mati
yang dijatuhkan semua pengadilan negeri di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Pasal 11 KUHP tidak menentukan daerah yang harus melaksanakan pidana mati.
Tidak disebutkan juga bahwa pidana mati harus dilakasanakan di daerah hukum hakim
yang memutuskan, begitu pula dengan pidana penjara yang dapat dilaksanakan di
wilayah Republik Indonesia mana pun. Sementara itu, pidana mati oleh pemerintah
selalu dilaksanakan di daerah Jakarta, sesuai Stbl. 1945 No. 123. Keadaan ini sudah tentu
tidak dihentikan oleh UU No. 73 Tahun 1958. Ada juga yang beberapa keberatan
mengenai pelaksanaan pidana mati menurut ketentuan pasal 11 KUHP, yaitu, pertama,
sulitnya menemukan algojo. Kalaupun ada pasti tidak tahan menghadapi tekanan, baik
dari diri sendiri maupun hinaan orang lain. Kedua, seseorang yang dihukum gantung
kemungkinan mengalami di luar perikemanusiaan karena proses menuju kematian yang
lama. Ketiga, hukum gantung menimbulkan trauma bagi orang-orang yang
menyaksikannya.
Perlu diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap pidana mati harus benar –
benar dilaksanakan setalah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya mempunyai
kekuatan hukum tetap (Incraht). Namun demikian pada kenyataannya setiap putusan
yang diberikan tentang hukuman mati para terdakwa tidak langsung dieksekusi,
terpidana diberi kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Pelaksanaan
eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executive (persetujuan
Presiden).
Dengan demikian bahwa pidana mati pada dasarnya dijadikan sebagai sarana penal
penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang – orang yang tidak
dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan sangat membahayakan kehidupan
masyarakat luas bahkan Negara sekalipun.

C. Pelaksanaan Hukuman Pidana Mati di Indonesia


Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan menurut
ketentuan dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “pidana mati dijalankan oleh
algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada
tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.

10
Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah dengan
ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 agustus 1945. Pasal 1
aturan itu menyatakan bahwa: “menyimpang dari apa tentang hal ini yang ditentukan
dalam undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan
militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur jenderal dilakukan dengan cara
menembak mati”.untuk ketentuan pelaksanaannya secara rinci di jelaskan pada UU No.
2 (PNPS) tahun 1964.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi
hukuman mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara menembak mati
bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.
Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati adalah sebagai
berikut:17
1) Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang
bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak
terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh
jaksa;
2) Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga
melahirkan;
3) Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di daerah
hukum pengadilan hukum pengadilan tingkat 1 yang bersangkutan;
4) Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai
pelaksanaannya;
5) Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di bawah
pimpinan seorang perwira polisi;
6) Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
7) Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
8) Penguburan jenazah diserahkan pada keluarga;

17
Lilik Muliadi, Hukum Acara Pidana; Teoritik, Praktik dan Permasalahannya, PT.Alumni, Bandung : 2007,
hal.289-291.

11
9) Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus
membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan
surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.

2.2. Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia


Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai
pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi
hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi
manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga
pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.
Kecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya,
umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu kebutuhan pidana mati sangat
dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan
umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra
terhadap pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak
asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah
eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim.
Adapun beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung eksistensi pidana mati ialah
Jonkers, Lambroso, Garofalo, Hazewinkel Suringa, Van Hanttum, Barda Namawi Arief,
Oemar Senoadji, dan T.B Simatupang. Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya
bahwa “alasan pidana tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan” bukanlah
alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di
pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar.”18.
Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat
yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak
mungkin dapat diperbaiki lagi19. Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan
kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary crime).
Pada kesempatan lain, Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu bentuk
hukuman yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama dalam hal transisi

18
. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia,
Jakarta: 1985., hlm 25 & 26.
19
Ibid., hlm.27.

12
kekuasaan yang beralih dalam waktu yang singkat. Penulis bergumen seperti itu didasarkan
pendapat Suringa yang menyatakan bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal
yang pada setiap masa revolusioner kita cepat dapat mempergunakannya 20.
Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional Barda
Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih
perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis
gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan :
“bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya
perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan
masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan
berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana)”21.
Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab
dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang
diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan
dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor
22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
secara tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun
1997 Tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat
ditrik sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.
Untuk memperkuat argumen di atas, maka alangkah baiknya penulis memperkuatnya
dengan menyajikan bunyi dari Konklusi dari Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
permohonan tersebut, yang menyatakan :
Ketentuan Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) huruf (a), Ayat (3) huruf a; Pasal 81 Ayat (3)
huruf (a); Pasal 82 Ayat (1) huruf a, Ayat 2 (huruf) a dan Ayat (3) huruf a dalam UU
Narkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentatangan dengan
Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bahwa pidana mati
tidaklah bertentangan dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak dipertahankan

20
Ibid., hlm.27.
21
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. hlm 89.

13
keberadaannyanya dalam hukum pidana positif. Hanya saja berdasarkan putusan tersebut
pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan pidana mati hendaknya untuk ke depan
memperhatikan sungguh-sungguh hal sebagai berikut :
1) pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat
khusus dan alternatif;
2) pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila
terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 20
puluh tahun;
3) pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
4) eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana mati yang sakit
jiwa tersebut sembuh.

Jadi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa para pendukung
pidana mati pada zaman modern ini semata-mata menjadikan pidana mati sebagai instrumen
untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif.
Represif di sini bukanlah menjadikan mereka yang diperintah menjadi rentan dan lemah
layaknya kekuasaan otoriter yang menjadikan pidana mati sebagai alat untuk menyingkirkan
orang-orang yang bersebrangan dengan penguasa. Selain itu, dalam perumusan KUHP
Nasional yang baru, dalam hal pidana mati haruslah memperhatikan bunyi putusan di atas.
Demikian sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra terhadap pidana mati pun
tidaklah sedikit dan menyandarkan argumennya pada sebuah landasan berpikir yang ilmiah.
Seorang tokoh aliran klasik yang sangat terkenal karena kevokalannya menetang pidana
mati ialah seorang berkebangsaan Italia yang bernama Beccaria. Alasan Beccaria menentang
pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali terhadap
seseorang yang dituduh membunuh anaknya sendiri (beberapa waktu setelah eksekusi dapat
dibuktikan bahwa putusan tersebut salah).22

22
Hamzah & A. Sumangelipu, Op.cit., hlm 37.

14
Ferri yang juga seorang berkbangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati
berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan
cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.23
Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945
yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat empat
pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah
Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi
H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit
menyampaikan alasan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :
Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat
dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi
bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi
karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang
dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan
ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang
diwajibkan.
Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak
asasi manusia. Hal ini sesuai dengan perkembangan penolakan terhadap pidana mati dewasa
ini (masa sebelumnya penolakan pidana mati ditekankan atas pelaksanaan eksekusi yang
kejam dan efektivitas pidana mati tersebut).
Maka jelaslah, permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati merupakan suatu
permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola pikir yang sama
pada setiap orang.

2.3. Hukum Pidana Mati Dalam Perspektif HAM

Istilah hak-hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits de


I‟hommedalam bahasa Perancis yang artinya “hak manusia”, atau dalam bahasa Inggrisnya
human rights, dan dalam bahasa Belanda disebut menselijke rechten. Di Indonesia umumnya
dipergunakan istilah “hak-hak asasi”, yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam
23
Ibid., hlm. 38.

15
bahasa Inggris, dan grondrecten dalam bahasa Belanda. Sebagian orang menyebutkannya
dengan istilah hak-hak fundamental24.
Secara umum HAM adalah hak-hak yang secara inheren melekat dalam diri manusia,
yang tanpanya manusia tidak dapat hidup sebagai manusia 25. HAM didasarkan pada prinsip
fundamental bahwa semua manusia memiliki martabat yang inheren tanpa memandang jenis
kelamin, ras, warna kulit, bahasa, asal-usul bangsa, umur, kelas, keyakinan politik, dan
agama, semua orang berhak menikmati haknya tersebut.Menurut Miriam Budiarjo, hak asasi
adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan
kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak
itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar negara, ras, agama, dan kelamin dan karena itu
bersifat asasi dan universal. Dasar ini dari semua hak asasi adalah bahwa manusia harus
memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-cita26.
Prof. Darji Darmodiharjo, S. H., dalam buku A. Masyur Effendi menyatakan bahwa hak
asasi manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.6 Sedangkan R. Kirk dalam buku A. Masyur
Effendi memberi defenisi, “human rights as signifying all privileges and ammunities
prosseces by human being in a civil social order”27.
Setelah dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir seluruh dunia dan dimana
hak-hak asasi diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu
dalam satu naskah internasional. Usaha ini pada tahun 1948 berhasil dengan diterimanya
Universal Declaration of Human Right (pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia)
oleh negara-negara yang tergabung dalam perserikatan bangsa-bangsa28.
Peraturan-peraturan HAM internasional berakar dalam Piagam PBB. Ditetapkan dengan
prinsip-prinsip yang secara universal dapat diterima mengenai harkat dan martabat manusia.
Pendirian PBB mempersentasikan titik kritis dalam perkembangan kesadaran manusia.
Trauma perang dunia II, kejahatan yang secara luas menimpa manusia termasuk
pembersihan suku (genocide), pembunuhan massa, dan bentuk-bentuk kekerasan lain

24
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1983), hlm. 7.
25
Yahya Ahmad Zein, Problematika Hak Asasi Manusia (HAM), (Yogyakarta: Liberty, 2012), hlm. 165.
26
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 57-58.
27
A. Masyur Effendi, Tempat Hak-hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional dan Nasional, (Bandung: Alumni,
1980), hlm. 20
28
Miriam Budiarjo, Op. Cit., hlm. 58.

16
terhadap kemanusiaan merangsang pemerintah-pemerintah menuntut dan membentuk
standar perlindungan warga negara oleh pemerintahannya secara masing-masing29.
Upaya pertama untuk mengkodifikasi standar-standar semacam itu adalah Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1947. Deklarasi diakui sebagai standar
bagi semua manusia dan semua bangsa untuk memperjuangkan penegakkan martabat
manusia. Diantara hak-hak yang termuat dalam deklarasi itu adalah hak kesetaraan, bebas
diskriminasi, hidup, kebebasan dan keamanan jiwa, bebas dari perbudakan, siksaan dan
perlakuan kejam, perlakuan kesetaraan didepan hukum dan pengadilan, dan kebebasan
berekspresi dan partisipasi politik30. Majelis umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal itu
pada tanggal 10 Desember 1948. Seperti kebanyakan rekomendasi Majelis Umum PBB
lainnya, DUHAM sifatnya tidak mengikat. Sebagian besar negara tidak meratifikasi
DUHAM karena mereka menginginkan traktat formal yang secara hukum mengikat. Kendati
demikian semua komentator sekarang sepakat bahwa pasal-pasal deklarasi itu telah menjadi
mengikat ketika menjadi bagian hukum hukum nasional31.
Jika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia atau DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak
memperbolehkan hukuman mati, antara lain :
Berdasarkan Pasal 3 ” Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan
pribadi ”.Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah
pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( Leah
Levin, 1987: 45). Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi
hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan pribadinya.
Bagaimanapun juga hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup
bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan.Dapat dilihat banyak orang yang telah dijatuhi
hukuman mati, antara lain koruptor di Cina, Saddam Hussein, ataupun lainnya. Namun
seperti kasus Rwanda dan Yugoslavia pelaku pelanggaran HAM hanya diganjar dengan
hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena hukuman mati di jaman modern ini mulai
ditinggalkan oleh negara-negara di dunia, meskipun masih ada beberapa negara yang masih

29
Mohammad Yasir Alimi, Advokasi Hak-Hak Perempuan (Membela Hak Mewujudkan Perubahan), (Yogyakarta:
LkiS, 1999), hlm. 19.
30
Ibid,
31
Ibid., hlm. 20.

17
melaksanakannya dengan berbagai cara, seperti digantung, ditembak, dan disuntik.
Bagaimanapun caranya hukuman mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari
seseorang.
Jika pidana mati ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil politik
yaitu Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus
dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh
dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa
pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya
menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang
bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Meskipun banyak
negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia, Cina dan negara Irak
belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya
pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik
itu dalam proses penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan,
sehingga hal tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law dimana terdapatnya
pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya
peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakiman
yang merdeka.
Pasal 6 ayat (2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan bahwa Di
negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan
hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada
waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari Kovenan
ini dan Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan (suku)
Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan
yang berwenang. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (4) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
Politik mengatur bahwa Seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk
memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau
keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala bab. Dalam hal ini menurut uraian
diatas penulis mencoba berpendapat dengan memperhatikan beberapa aspek, karena dalam
memahami suatu peraturan hendanknya diperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis
dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam HAM hukuman

18
mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga banyak dari negara di
dunia yang telah menghapuskan hukuman mati.
Di samping pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam
DUHAM tersebut yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat
pengecualian terhadap pelaksanaan hak tersebut yaitu dengan adanya pemahaman mendalam
terhadap adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama ”a public emergency which
treatens the life of nation” dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak
kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi keadaan darurat (public emergency) tersebut
harus diumumkan secara resmi (be officially proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh
diskriminatif. (Muladi, 2004 : 101). Hal tersebut diatur secara limitatif dalam Kovenan
Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan,
dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan
darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak pada kovenan ini dapat
mengambil upaya-upaya yang menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan
kovenan ini, sejauh hal itu dituntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa
upaya-upaya tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban negara-negara pihak itu menurut
hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial, sehingga vonis mati yang dijatuhkan terhadap
Saddam tidak bertentangan dengan Pasal 3 DUHAM, karena kejahatan yang dilakukan
adalah kejahatan HAM berat.

19
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pidana mati merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai
bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya
masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan
terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum. Perdebatan hukum terhadap absah
tidaknya pidana mati berangkat dari perbedaan pendapat mengenai hukum mati dalam
pandangan HAM, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui
hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara
hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan
peraturan perundangan di Indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh
bertentangan dengan yang di atasnya. Undang-undang yang memuat pidana mati
bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup.
Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar
mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu;
 Penerapan hukuman mati di Indonesia sangat efektif. Ini dibuktikan dengan
meningkatnya vonis hukuman mati setiap tahunnya. Penerapan fungsi hukum
dalam pidana mati secara simbolis menjawab kegusaran moral yang disebabkan
kejahatan. Dengan cara ini, hukum menegaskan dan menyusun kembali
konsensus moral yang mengikat seluruh anggota masyarakat. Sebagian penerapan
hukuman mati setidaknya tetap menjadi suatu usaha pembalasan.
 Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup seseorang
yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh
mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-
undangan yang ada.
3.2. Saran
Bagi seluruh masyarakat hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan untuk mencapai
keadilan dal ketertiban, karena dengan tertibnya hukum dapat tercipta suatu kondisi yang
nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional hak asasi manusia dalam penerapan
pidana mati.

20
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di
Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985.
Ahmad Zein, Yahya. Problematika Hak Asasi Manusia (HAM), Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2012.
Alimi, Mohammad Yasir, Advokasi Hak-Hak Perempuan (Membela Hak Mewujudkan
Perubahan), Yogyakarta: LkiS, 1999.
Arba’i, Yon Artiono. Aku Menolak Hukuman Mati, Telaah Atas Penerapan Pidana Mati.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2005.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1999.
Effendi, A. Masyur, Tempat Hak-hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional dan
Nasional, Bandung: Alumni, 1980.
Hamzah, Andi dan Andi Swuangelipu, Pidana Mati di Indonesia: Masa Lalu, Kini, dan
di Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi.
Jakarta: Pradnya Paramita, 1985.
Hamzah, Andi. Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Hukuman Mati di
Indonesia. Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.
Muliadi, Lilik. Hukum Acara Pidana; Teoritik, Praktik dan Permasalahannya. Bandung:
PT.Alumni, 2007.
Naning, Ramdlon. Cita Dan Citra Hak- Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Yogyakarta:
Liberty, Offset. 1983
Sianturi, S. R. dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penintensia di Indonesia. Jakarta:
Alumni Ahaem-Petehaem, 1996
Soewardi, Werdono, dkk.. Hukum Adat Laut di Teluk Yos Sudarso dan Pengaruhnya
Bagi Kehidupan Ekonomi. Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.

21
Utrecht, E. . Hukum Pidana I. Bandung: Penerbit Universitas, 1967.
Zein, Yahya Ahmad. Problematika Hak Asasi Manusia (HAM). Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta. 2012.

Sumber Peraturan Perundang-Undangan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.

Sumber Website
https://www.tiktok.com/@doctorfirmancandra/video/7214001672819920154?_r=1&_t=8cImAMM3zne
https://www.instagram.com/reel/CqKI1YrgAJb/?igshid=MTc4MmM1YmI2Ng

22

Anda mungkin juga menyukai