Anda di halaman 1dari 28

Makalah

“Hak Asasi Manusia dan Pidana Mati”


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Hukum Indonesia

Dosen Pengampu: Dr. Sholih Mu'Adi, SH., M. Si

Ilham Setiawan Ali


175120407121019

Jurusan Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada hakikatnya hak asasi manusia (HAM) adalah sesuatu nilai atau hal yang begitu
penting dalam kehidupan umat manusia. Setiap Individu dalam masyarakat sedari lahir
sudah melekat hak asasinya. Dalam hal ini orang lain tidak boleh mengganggu hak asasi
masing-masing individu. Sehingga oleh karena itu, hak asasi ini kemudian wajib
dipahami bagi setiap orang. Karena begitu penting nilainya sehingga hak asasi manusia
(HAM) juga menjadi salah satu materi dalam perkuliahan yaitu Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Dari situlah sebabnya untuk menjadi masyarakat negara yang baik
tentu berkewajiban dalam memahami dan menyadari pentingnya nilai-nilai hak asasi
manusia. 68 tahun berlalu sejak ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) atau yang disebut dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
tahun 1948, nilai yang terus dipertahankan adalah manusia hidup dalam sebuah
kebebasan, sebuah persamaan dan juga perlindungan. Setiap individu dalam hal ini jelas
diakui hak dasarnya. Hal ini mewajibkan untuk semua orang tanpa terkecuali untuk
mengakui hak dasar atau kodrati orang lain, termasuk negara beserta penguasanya
sekalipun. Sebagaimana yang diungkapkan Muhtaj (2008:19), “DUHAM adalah puncak
konseptualisasi HAM universal”, yang dapat dimaknai di mana isi DUHAM berlaku
untuk semua negara di dunia, termasuk negara Indonesia.

Dalam era kontemporer ini yang ada ialah kecenderungan global negara-negara di
dunia tidak lagi melakukan dan menerapkan sanksi pidana mati dalam sistem hukumnya
sesuai yang dinyatakan dari Resolusi PBB pada tahun 2007 perihal kesepakatan
pelarangan hukuman mati.1 Sekalipun demikian, namun dalam praktiknya, hal yang
ternyata terjadi yaitu sebaliknya. Dalam praktik penerapan hukuman mati sebagai salah
satu bentuk sanksi pidana masih terjadi. Seperti sepanjang tahun 2015, penerapan
eksekusi pidana mati secara global ternyata meningkat tajam dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Tahun 2015 Setidaknya 1.634 orang sudah dieksekusi mati ini, ini kemudian
meningkat 573 kasus eksekusi atau 54 persen dibandingkan 2014.2 Jika merujuk kepada

1
Roger Hood, Introduction, dalam Jon Yorke (ed), Againts the Death Penalty: Intenational Initiatives and
Impications, (Farnham: Ashgate Publishing Limited, 2008), hlm. 1.
2
Ibid.

2
histori penerapan pidana mati ditingkat global sejak tahun 2008 sampai dengan tahun
2015 yang dihimpun Amnesty Internasional, terdapat tren yang terbilang fluktuatif.
Semisal pada tahun 2010 dan 2014, terjadi penurunan eksekusi mati dari tahun-tahun
sebelumnya. Sekalipun demikian, jika dibandingkan dengan tren dalam lima tahun
terakhir yaitu tahun 2010 sampai 2015, sulit katakan bahwa ada terdapat peningkatan

eksekusi mati di tingkat global (lihat Tabel 1.1).

Kemudian tidak jauh berbeda dengan tren histori tingkat global, praktik penerapan eksekusi
hukuman mati di Indonesia juga memperlihatkan peningkatan yang signifikan pada era
kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Situasi ini kemudian tidak terlepas dari kebijakan
Presiden yang menegaskan bahwa negara Indonesia dalam kondisi darurat nasional terhadap
narkotika sehingga kemudian langkah yang perlu diambil perlu sanksi yang tegas. 3 Pada awal
era pemerintahan, Presiden sudah melakukan penerapan eksekusi kepada 18 orang terpidana
mati (lihat Tabel 1.2).

3
Indra Akuntono, Presiden Jokowi: Indonesia Gawat Darurat Narkoba, Kompas.com, 4 Februari 2015
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/10331931/Presiden.Jokowi.Indonesia.Gawat.Darurat.Narkoba.
Diakses pada 25 Maret 2020.

3
Kecenderungan pada tingkat global negara-negara dalam merespon pidana mati dalam
kebijakan pemidanaan mereka juga dilihat jumlahnya antara lain yaitu: (i) menghapuskan
hukuman mati untuk segala jenis tindak pidana berjumlah 102 negara; (ii) menghapuskan
hukuman mati hanya terkhusus bagi tindak biasa berjumlah 6 negara; (iii) menghapuskan
penerapan hukuman mati dalam praktik berjumlah 32 negara; dan (iv) mempertahankan
penerapan hukuman mati berjumlah 58 negara.4 Dalam sistem hukum Indonesia, setidaknya
terdapat tiga belas (13) peraturan perundangan-undangan yang masih mencantumkan
hukuman mati sebagai ancaman pemidanaan di luar ketentuan yang diatur Kitab undang-
undang Hukum Pidana (KUHP).5
Dalam titik ini kemudian menjadi penting untuk membuat sebuah tulisan untuk
memetakan argumentasi utama masuknya sanksi pidana hukuman mati di sejumlah regulasi
di Indonesia yang kemudian bersinggungan langsung dengan hak asasi manusia. Tanpa
memahami akar, historis dan latar belakang serta argumentasi atas masih dipertahankan
hukuman mati di Indonesia di sejumlah UU, maka kemudian tidak menutup kemungkinan,
bahwasanya penggunaan hukuman mati akan menjadi sebagai salah satu bagian dari sanksi
pidana akan terus dipertahankan dan digunakan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mendeskripsikan hak asasi manusia melalui tinjauan aspek historis
dan yuridis ?
2. Bagaimana kebijakan formulasi serta penerapan pidana mati berdasarkan tinjauan
hukum hak asasi manusia berdasarkan hukum yang ada ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui deskripsi hak asasi manusia melalui tinjauan aspek historis dan
yuridis.
2. Mengetahui kebijakan formulasi serta penerapan pidana mati berdasarkan tinjauan
hak asasi manusia dengan hukum yang ada .

4
“Amnesty International, Global Report”, Op.Cit., hlm. 65.
5
http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2018/01/Politik-Kebijakan-Hukuman-Mati-Indonesia-Dari-Masa-ke-
Masa.pdf. Diakses pada 25 Maret 2020.

4
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Perkembangan Hak Asasi Manusia

Konsepsi mengenai hak asasi manusia atau yang disingkat HAM pada awalnya terus
bertumbuh berkembang dalam sejarah Eropa bermula dari Yurisprudensi Romawi kemudian
meluas pada etika teori alam (natural law). Dalam hal ini kemudian seorang ahli Robert
Audi mengatakan:6

“the concept of right arose in Roman Jurisprudence and was


axtended to ethics via natural law theory. Just a positive law
makers, confers legal right, so the natural confers natural right.”

Menjelaskan bahwa konsep HAM di mana sekarang ini telah diakui oleh PBB berasal dari
peristiwa pergolakan sosial yang ada di Eropa. Yang pertama, di mana dikeluarkannya
Piagam Magna Charta (Inggris) tahun 1215 dengan membentuk sebuah kekuasaan monarki
yang terbatas. Pada saat itu hukum mulai berlaku bukan hanya untuk rakyat, melainkan juga
diberlakukan terhadap kaum-kaum bangsawan serta keluarga kerajaan. Piagam Magna
Charta atau disebut juga dengan Magna Charta Libertatum (The Great Charter of
Freedoms) dituliskan dan disahkan pada masa pemerintahan Raja John (King John of
England) dan berlaku untuk raja-raja Inggris yang berkuasa dimasa yang akan datang.

Pokok dokumen tersebut ialah mengharuskan raja untuk tidak melakukan pelanggaran
dalam penggunaan hak milik dan kebebasan individu seorang dari rakyatnya. Selain itu pula
Magna Charta ini membuatkan sebuah penegasan bahwa “tiada seorang pun yang boleh
ditangkap atau dipenjarakan atau diusir dari negerinya atau dibinasakan tanpa secara sah
diadili oleh hakim-hakim yang sederajat dengannya” (judicium parjum suorum)7. Yang
kedua, di mana dikeluarkannya Bill of Right tahun 1628 yang memuat sebuah penegasan
tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihapuskannya hak raja dalam menjalankan
kekuasaan kepada siapa pun tanpa dasar hukum yang jelas. Yang ketiga yaitu menyatakan

6
Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia,
Kencana: Jakarta, hal. 50.
7
Ibid, hal 52.

5
sebuah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence) tahun 1778.
Dalam pernyataan ini menggmbarkan HAM di Amerika Serikat yang sebenarnya tidak
terpisahkan dari rumusan sebelumnya dalam Virginia Bill of Right. Dalam deklarasi ini
kemudian dapat ditemukan kalimat yaitu:

“kita menganggap kebenaran-kebenaran berikut ini sebagai eviden berikut


saja, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi
oleh pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tidak tak terasingkan”.

Hal ini kemudian diperkuat dengan adanya pencantuman ketentuan untuk setiap individu
dilahirkan dalam persamaan dan memiliki kebebasan dengan hak untuk hidup serta
mengejar dan mendapatkan kebahagiaan, juga terdapat keharusan mengganti pemerintahan
yang tidak mengindahkan ketentuan dasar tersebut. Yang keempat yaitu membuat sebuah
deklarasi mengenai hak manusia dan warga negara yang di mana dilontarkan oleh negara
Perancis saat peristiwa pecahnya Revolusi Perancis tahun 1789 dan juga ini dipengaruhi
oleh pernyataan-pernyataan hak asasi yang di lontarkan dari Amerika Serikat.

Dengan adanya pernyataan deklarasi ini kemudian terus masih mencoba untuk
mengaitkan keasasian nilai dari hak-hak tersebut dengan Tuhan. Hal ini di gambarkan saat
ketika Majelis Nasional Perancis mengumumkan deklarasi yang didahului dengan kalimat
“di hadapan wujud tertinggi dan di bawah perlindungan-Nya”. Sekalipun semangat pada
revolusi Perancis begitu menggebu dalam mengobarkan tendensi propaganda anti Kristen
dan mengedepankan propaganda semangat pencerahan (Aufklarung), tetapi mereka masih
mendasarkan pemikiran atau ideologi mereka tentang hak asasi manusia terhadap kodrat
Tuhan. Pemikiran-pemikiran dari kaum foundationalism yang kental ini masih sangat
mempengaruhi adanya deklarasi tentang hak asasi manusia dan masyarakat negara Perancis
sebagaimana yang ada dalam Declaration of Independence atau deklarasi kemerdekaan di
Amerika Serikat.

Dengan membuat fokus terhadap kelima hak asasi yaitu pemilikan harta (property),
kebebasan (liberty), persamaan (egalite), keamanan (security), dan perlawanan terhadap
penindasan (resistence al’oppresstion). Akhirnya kelima fokus tersebut menjadi deklarasi
universal mengenai hak asasi manusia yang kemudian di umumkan pada sidang umum PBB

6
10 Desember 1948. Hal yang baru dalam deklarasi ini adalah adanya pergeseran pendasaran
HAM dari kodrat Tuhan kepada pengakuan akan martabat manusia.

Dalam deklarasi tersebut dikatakan bahwa pengakuan terhadap martabat manusia


yang melekat dan pemberian hak yang sama serta tak ada yang terasingkan dari semua
anggota masyarakat menjadi dasar untuk menjawab arti sebuah kebebasan, keadilan, dan
perdamaian di dunia. Dari deklarasi universal tentang hak asasi manusia tersebut kemudian
memiliki perbedaan mendasar dari deklarasi yang sebelumnya ada. Louis Henkin dan James
W. Nickel dalam tulisannya yaitu making senses of Human Rights tahun 1996 mengatakan
bahwasanya manifesto hak asasi manusia Mutakhir sudah melunakkan nilai individualisme
dalam teori-teori klasik terhadap hak-hak kodrati (hak yang berasal dari Tuhan), dan
kemudian lebih menekankan kepada sifat persamaan (egaliterianisme). Setelah itu
perkembangan nilai penegakan HAM menjadi semakin gencar di seluruh dunia. HAM yang
ada ialah telah mengalami internasionalisasi.8 Menurut Philipus M.Hadjon menjelaskan
bahwa hak asasi manusia konsep Barat pada dasarnya merupakan sebuah bentuk
pembatasan terhadap tindak tanduk negara dan organ-organnya dan peletakan kewajiban
negara terhadap warganya sehingga prinsip yang terkandung dalam konsep hak asasi
manusia adalah tuntutan (claim) akan hak terhadap negara dan kewajiban yang harus
dilakukan oleh negara.9
Lebih lanjut lagi dalam menjelaskan hak asasi manusia kemudian harus melihat
terlebih dahulu bahwa hak asasi memiliki nilai fundamental dalam memahami hakikat Hak
Asasi Manusia, sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu apa itu sebenarnya dasar
tentang hak. Secara definitif “hak” adalah suatu unsur normatif yang memiliki fungsi
sebagai sebuah pedoman dalam berperilaku, menjadi pelindung sebuah kebebasan,
kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan
martabatnya.10 Hak individu memiliki unsur-unsur sebagai berikut:11
a. Pemilik hak;
b. Ruang lingkup penerapan hak;
c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.

8
Ibid.
9
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 2010), hal 61.
10
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Prenada
Media,2003) hal. 199.
11
Ibid. Hal 199.

7
Ketiga unsur tersebut menyatukan definisi tentang dasar tentang hak. Sehingga
kemudian hak merupakan sebuah unsur normatif yang begitu melekat pada diri setiap orang
yang di mana dalam implementasinya ada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak
kebebasan serta mengikuti pula terhadap interaksinya antara individu atau dengan kelompok.
Hak dalam teori dan implementasinya merupakan sesuatu yang wajib diperoleh. Menurut
teori McCloskey memberikan pernyataan bahwasanya pemberian hak ialah untuk dilakukan,
dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan dalam penjelasan teori oleh Joel Feinberg
memberikan pernyataan bahwasanya pemberian hak penuh ialah sebuah kesatuan dari klaim
yang absah. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa keuntungan dapat diperoleh dari
implementasi dari hak itu sendiri bila disertai dengan pelaksaan terhadap kewajiban. Dengan
penjelasan tersebut itu akhirnya dapat mendeskripsikan antara hak dan kewajiban di mana
kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dalam perwujudan implementasi. Sehingga bahwa
setiap individu dalam masyarakat memiliki hak untuk menuntut hak-hak namun juga di satu
sisi harus melakukan kewajiban.12 John Locke memberikan pernyataan bahwa hak asasi
manusia merupakan hak-hak yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak
yang kodrati. Sehingga dari situ, tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang dapat
mencabutnya. Hak ini memiliki sifat mendasar (fundamental) untuk kehidupan manusia dan
menjadi sebuah hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia. 13
Dalam undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1
dijelaskan yaitu :

“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat


pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.”

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, kemudian diperoleh suatu


kesimpulan atau pemaknaan bahwasanya HAM ialah hak yang harus dihormati, dijaga dan
dilindungi oleh setiap individu, masyarakat bahkan negara. Dengan demikian hakikat sebuah

12
Ibid. hal. 200
13
Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional,
(Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), hal. 3.

8
penghormatan dan perlindungan dalam HAM adalah untuk menjaga keselamatan dan
keberadaan eksistensi individu yang sempurna secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu
keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan umum.14 Dalam implementasinya upaya untuk menghormati,
melindungi, dan menjunjung tinggi yang namanya HAM, tentu sebuah kewajiban dan
tanggung jawab bersama baik itu antar individu, pemerintah, ataupun negara. Sehingga dalam
memenuhi dan menuntut hak tersebut tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus
dilaksanakan. Disisi lain juga begitu di mana dalam memenuhi kepentingan individu tidak
boleh pula merusak kepentingan orang banyak lain atau kepentingan umum. Karena itu untuk
melakukan pemenuhan, perlindungan dan penghormatan dalam HAM harus diikuti dengan
kewajiban asas manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, dan bernegara.15
Hak asasi manusia terdiri dari beragam hak antara lain16
a. Hak Asasi Pribadi (Personal Right),
- hak kebebasan memeluk, menjalankan dan memilih kepercayaan dan agama yang
dianut.
- Hak kebebasan berpergian, berpindah tempat dan bergerak.
- Hak kebebasan ikut aktif organisasi
- Hak kebebasan mengeluarkan pendapat
b. Hak Asasi Politik (Political Right)
- Hak untuk mengajukan dan membuat usulan yang bersifat petisi
- Hak untuk ikut aktif dalam pemerintahan
- Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
- Hak untuk mendirikan atau membuat partai politik dan organisasi politik
c. Hak Asasi Hukum ( Legal Equality Right )
- Hak untuk memperoleh dan mendapatkan pelayanan hukum
- Hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam pemerintahan dan hukum
- Hak menjadi PNS
d. Hak Asasi Ekonomi ( Property Right )
- Hak kebebasan dalam memiliki sesuatu
- Hak kebebasan dalam menjalin perjanjian kontrak

14
Tim ICCE UIN Jakarta . Op. Cit. hal. 201.
15
Ibid. Hal. 201
16
Aris.”Pengertian HAM, Macam-Macam HAM, Contoh dan Jenis HAM di Indonesia”.

9
- Hak kebebasan melakukan aktivitas jual beli
- Hak kebebasan penyelenggaraan utang piutang, penyewaan dan sebagainya
- Hak memperoleh pekerjaan yang layak
e. Hak Asasi Peradilan ( Procedural Right )
- Hak untuk memiliki persamaan dalam melakukan penangkapan,
penyelidikan,penggeledahan, dan penahanan yang bersifat hukum
- Hak untuk memperoleh pembelaan hukum dalam pengadilan
f. Hak Asasi Sosial Budaya ( Social Culture Right )
- Hak untuk memperoleh pengajaran
- Hak dalam pengembangan budaya yang sesuai bakat dan minat masing-masing
- Hak untuk memperoleh dan menentukan pendidikan.

Hingga saat kini, negara Indonesia sudah memberlakukan empat konstitusi yaitu di
antara lain:
1. UUD 1945
2. UUD Republik Indonesia Serikat
3. UUDS 1950
4. UUD 1945 dengan perubahan I sampai dengan perubahan IV,

sebagai bentuk konstitusi yang berlaku saat ini. Dalam sejarah Indonesia terhadap
perkembangan Konstitusi Indonesia, pemberian hak untuk hidup juga mewarnai pembahasan
dalam pembentukan Konstitusi di Indonesia. Seperti dalam pembentukan UUD 1945, di
mana memiliki sumber yang menggambarkan konsistensi Supomo yaitu sebagai aktor yang
diperkirakan telah menyusun rancangan UUD di 1942 berisi perihal pasal-pasal yang
mengatur hak penduduk yang di dalamnya terdiri dari 74 pasal, di mana sebanyak 15 Pasal
sebuah rumusan perihal “Hak dan Kewajiban Penduduk” (identik dengan Hak Asasi
Manusia). Sebagai upaya perbandingan sendiri, jumlah ketentuan tersebut bahkan dua kali
lebih banyak dari pada yang tercantum dalam nilai UUD 1945. Akan tetapi, pengaturan
mengenai perlindungan HAM dalam UUD 1945 begitu minim dan juga bahasan tentang
jaminan hak hidup tidak di cantumkan dalam UUD 1945. Hal ini kemudian berbeda dengan
UUD RIS dan UUDS 1950 yang di mana penuh dengan rumusan hak asasi manusia, di mana
hampir keseluruhan isi rumusan dalam UDHR di terangkan dalam pasal-pasal Konstitusi.
Namun meskipun demikian bahwa rumusan secara eksplisit tentang hak hidup tidak
disampaikan dalam kedua UUD tersebut, akan tetapi dari konstitusi tersebut menyebutkan

10
pengakuan sebagai pribadi di hadapan undang-undang dan kesepakatan mengenai larangan
agar diberi hukuman secara ganas yang memang jelas tidak mengenal perikemanusiaan.

B. Formulasi dan Penerapan Pidana Mati Berdasarkan Tinjauan Hukum Hak Asasi
Manusia

Dalam membahas penerapan hukum pidana mati perlu dilihat terlebih dahulu tinjauan
menurut pandangan hak asasi manusia di level Internasional. Yang pertama adalah jenis-jenis
kejahatan yang diancam menggunakan hukuman pidana mati atau pelanggaran HAM berat
1) Genosida
Keberadaan istilah genosida sendiri awalnya diperkenalkan oleh Dr. Raphael
Lemkin17 pada tahun 1944. Secara etimologis istilah genosida ini ialah berasal dari
kata Yunani yaitu geno yang memiliki makna ras dan kata latin cidium yang memiliki
pemaknaan membunuh. Sekalipun memiliki berbagai macam pemaknaan ataupun
definisi terhadap istilah genosida tetapi sebagian besar pemaknaan tersebutlah yang
kemudian mengatur tentang genosida ialah tetap mencerminkan kedua elemen
etimologi tersebut. Kejahatan genosida ini sering kali dikaitkan terhadap peristiwa-
peristiwa pembunuhan baik itu berupa masalah etnis ataupun ras, menurut Goldstein 18
menjelaskan bahwa kejahatan genosida dengan pembersihan etnis (ethnic cleansing)
yang ialah tindakan mencegah atau memusnahkan kelompok-kelompok religius serta
juga termasuk kelompok etnis tertentu.

Sekalipun terdapat berbagai macam pemaknaan serta juga perbedaan di


dalamnya, tetapi seharusnya dapat diketahui bahwasanya jenis kejahatan genosida
dapat berkaitan terhadap dua hal yaitu yang pertama, secara obyektif istilah genosida
tersebut merujuk kepada tindakan atau perbuatan pemusnahan masal, dan yang kedua
secara subyektif buat yang menjadi target ataupun korban merupakan kelompok
tertentu. Pemaknaan Genosida yang lebih komprehensif dapat ditemukan di dalam
Convention on The Prevention and Punishment of The Crime of Genocide 19 yang
kemudian diterima dan disepakati dalam forum Majelis Umum PBB pada tanggal 9
Desember 1948. Konvensi yang membahas tentang kejahatan genosida tersebut
17
Arie Siswanto. 2005. Yuridiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional. Bogor : Ghalia Indonesia.
18
Ibid. Hlm 48
19
Ibid. Hlm 49

11
menjadi salah satu cara masyarakat internasional untuk mengurangi ataupun
menghilangkan segala macam bentuk kejahatan genosida yang kemudian di dianggap
sebagai suatu kejahatan internasional, bertentangan dengan arah gerak atau tujuan
PBB bersama masyarakat dunia (crime under international law, contrary to the spirit
and the aims of The United Nations and condemned by civilized world).
Adapun pengertian tentang genosida yang terdapat dalam Konvensi Genosida
menyatakan bahwa20

“In the present convention, genocide means any of the following act
commited with intent to destroy, in whole or in part, a national,
ethnical, racial or religius groups such as : killing members of the
group, causing serious bodily or mental harm to members of the
group, deliberetly inficting on the group condition of life calculated
to bring about its physical destruction in whole or in part, imposing
measures intended to prevent births within the group, forcibly
treansfering children of the group to another group.”

Berdasarkan pernyataan di atas, agar memudahkan untuk mempelajari dapat


terjemahkan sebagai berikut: Genosida merupakan sebuah perbuatan untuk
menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras atau agama yang
mempunyai unsur-unsur seperti:
a. Melakukan pembunuhan dalam anggota kelompok.
b. Menyebabkan suatu penderitaan fisik ataupun penderitaan mental yang berat dalam
anggota kelompok.
c. Dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan dalam kelompok yang
mengakibatkan kemusnahan.
d. Melakukan tindakan paksa pencegahan kelahiran dalam anggota kelompok.
e. Pemindahan paksa anak-anak dari suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lain.

Jika berfokus terhadap definisi tersebut, Yoram Dienstein 21 mengatakan


bahwasanya esensi dari kejahatan genosida bukanlah suatu tindakan pemusnahan
pada kelompok target secara aktual, tetapi sebagai kehendak untuk melakukan
20
Ibid. Hlm 49
21
Ibid. Hlm 50

12
pemusnahan terhadap kelompok tersebut sehingga akhirnya menimbulkan dua
konsekuensi logis. Yang pertama yaitu saat suatu kelompok dimusnahkan tanpa
tersangka tidak mempunyai kehendak untuk menyebabkan akibat tersebut maka
kemudian genosida dianggap tidak ada. Yang kedua, perlakuan pembunuhan kepada
seseorang individu bisa saja dikatakan sebagai genosida jika memang pembunuhan
tersebut merupakan bagian dari rangkaian tindakan yang memiliki tujuan untuk
melakukan sebuah memusnahkan kelompok tempat individu tersebut menjadi
bagiannya.

Menurut isi konvensi tentang kejahatan genosida pada tahun 1948


menjelaskan bahwa sebuah kelompok yang dapat menjadi target genosida bisa
merupakan suatu kelompok rasial, kelompok berbasis latar belakang agama,
kelompok nasional, dan juga kelompok etnis yang memiliki berbagai macam kriteria.
Keenam kriteria tersebut yaitu sebagai berikut.
a. Kelompok tersebut memiliki nama atau identitas sendiri sebagai cerminan identitas
kolektif.
b. Yang menjadi anggota kelompok tersebut terbentuk karena memiliki keyakinan
bahwa mereka berasal dari latar belakang nenek moyang yang sama.
c. Yang menjadi anggota kelompok tersebut merasa bahwasanya mereka mempunyai
hisotri dan pengalaman sejarah yang sama.
d. Kelompok tersebut memiliki histori budaya yang sama.
e. Kelompok tersebut merasa kesatuan mereka karena memiliki keterkaitan dengan
wilayah tertentu.
f. Mereka yang menjadi anggota kelompok menganggap dirinya sebagai suatu
kelompok biasanya kebanyakan orang memiliki sebuah keyakinan bahwasanya
konflik etnis dipicu oleh karena masalah yang kecil, sederhana, dan jelas, yakni
seperti persoalan kebencian turun temurun (ancient hatreds) yang melekat pada
kelompok tersebut terhadap kelompok etnis yang lain.

Dalam penjelasan Statuta Roma 1998 sendiri mengadopsi pemaknaan


genosida yang dinyatakan pada konvensi 1948. Dalam Artikel 6 Statuta Roma antara
lain mengatakan bahwasannya.

13
“…genocide means any of the following acts committed with intent to destroy,
inwhole or in part, a national, etnical, racial or religious group, as such:
a. killing members or group.
b. Causing serious bodily or mental harm to member of the group.
c. Deliberately inflicting on the group conditional of life calculated to bring
about its physical destruction in whpole or in parts.
d. Imposing measures intented to prevent births within the group.
e. Forcibily transferring children of the group to another group. ”

Jika dibahas lebih jauh lagi dalam pernyataan Statuta Roma 1998 juga memberikan
sebuah penegasan bahwa yang dapat mendapatkan pertanggung jawaban pidana tidak
hanya mereka yang secara individual melakukan tindakan genosida, melainkan juga:
a. Mereka yang dengan bersama-sama melakukan kejahatan genosida serta mereka
yang melakukan kejahatan genosida tersebut melalui orang lain.
b. Mereka yang memberikan perintah, meminta ataupun mendorong dilakukannya
sebuah tindakan atau perlakuan genosida yang pada akhirnuya benar-benar terjadi
atau dicoba untuk dilakukan.
c. Mereka yang membantu atau terlibat dalam pelaksanaan genosida atau percobaan
genosida, termasuk menyediakan sarana untuk itu.
d. Mereka yang dengan cara sengaja memberikan bantuan sumbangan terhadap
pelaksanaan atau percobaan genosida.
e. Mereka yang secara langsung dan secara terbuka mendorong orang lain untuk
melakukan genosida.
f. Mereka yang mencoba berusaha dan melakukan kejahatan genosida serta telah
memulai dan melakukan tindakan mewujudkan tindakan genosida, tetapi tindakan
genosida yang dikehendaki itu kemudian tidak dapat terwujud karena adanya faktor-
faktor di luar diri pelaku. Dalam konteks ini dimaksudkan ialah di mana seseorang
individu ataupun kelompok yang dengan cara sengaja dan sukarela menarik diri dari
perlakuan percobaan genosida pada akhirnya tidak akan dijatuhi pidana.

Dalam penjelasan yang lebih singkat, substansi Statuta Roma 1998 ini
kemudian bersinggungan langsung kepada permasalahan mana di dalamnya terdapat
persekongkolan, penyertaan, pembantuan, dan percobaan dalam bertindak kejahatan
genosida juga dimuat pada konvensi genosida, statuta ICTY, serta statuta ICTR.

14
Dengan pemaknaan yang sama di antara ketiga kemudian mempertegas lagi ketiga
instrumen hukum itu dalam mewujudkan bahwasanya yang dapat dikenai pidana
adalah mereka yang melakukan.
a. Genocide.
b. Conspiracy to commit genocida.
c. Direct and public incitement to commit genocide.
d. Attempt to commit genocide.
e. Complicity in genocide.
2) Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Yang kedua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against
humanity. Kejahatan ini dapat dilihat sebagai sebuah kategori dari jenis kejahatan
internasional di mana mulai dikenal dalam peristiwa join declaration pemerintah
Perancis, Inggris, dan Rusia pada 28 Mei 1915. Dalam pernyataan tersebut disepakati
bersama-sama dari ketiga negara tersebut untuk dibuat mengutuk perlakuan Turki
yang sudah melakukan pembantaian terhadap lebih dari satu juta warga Turki yang
berasal dari keturunan Armenia.

Oleh karena itu pernyataan ini dibuat, lalu juga tindakan pembantaian tersebut
kepada orang-orang Armenia itu juga disebut sebagai “kejahatan terhadap peradaban
dan kemanusiaan” (crimes against civilization and humanity). Lebih jelas lagi dalam
kasus dengan tindakan yang tergolong sebagai “kejahatan terhadap peradaban dan
kemanusiaan” tersebut kemudian dimuat di dalam Konstitusi Mahkamah Kejahatan
Perang Nurenberg di mana dibentuk pada penghujung Perang Dunia II. Dengan
sebuah pemaknaan yang menegaskan bahwasanya “kejahatan terhadap kemanusiaan”
ialah nilai dari hukum internasional yang berkembang melalui kebiasaan, Lalu
kemudian Konstitusi Mahkamah Nuremberg menyatakan bahwa “kejahatan terhadap
kemanusiaan” mencakup tindakan-tindakan,

“…..murder, extermination, enslavement, deportation, and another in


humaneacts committed agains any civilian population, before or during the
war, or persecution on political, racial or religious grounds in execution of
or in connection with any crime within the jurisdiction of the tribunal,
whether or not in violation of the domestic law of the country where
perpetrated”.

15
Dalam Statuta Roma 1998 pula isinya terdapat perluasan pengaturan terhadap
pemaknaan tentang kualifikasi kejahatan dalam perkosaan yaitu diperluas dengan
bentuk tindakan seperti kehamilan paksa, prostitusi paksa, perbudakan seksual,
sterilisasi paksa, ataupun tindakan lain dari kekerasan seksual yang sama berat. Dalam
hal ini dapat disampaikan dengan menyatakan pendapat bahwasanya kejahatan
kemanusiaan merupakan sebuah perbuatan dengan sengaja sebagai bagian dari
serangan meyebar luas atau dilakukan dengan formulasi sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil, dan kejahatan-kejahatan tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Pembunuhan
Yaitu serangan yang tunjukkan kepada penduduk sipil yang di mana dapat
diartikan bahwasanya sebagaimana perbuatan tersebut ialah terdiri dari rangkaian
tindakan yang saling berkaitan dengan atau merupakan sebuah tindak lanjut dari
kebijakan negara bahkan juga termasuk organisasi internasional dalam melakukan
kejahatan pembunuhan tersebut.
b. Pemusnahan
Dalam hal ini pemaknaan dari pemusnahan tersebut dapat diartikan sebagai
sebuah perlakuan yang kemudian meliputi implementasi dari kondisi tertentu yang
memiliki sifat berupa ancaman kehidupan secara sengaja, seperti tindakan dengan
menghambat akses terhadap makanan, serta juga obat-obatan yang diperkirakan dapat
memberikan kehancuran bagi sebagian atau seluruh penduduk masyarakat yang
menjadi target.
c. Perbudakan
Perbudakan dalam hal ini kemudian dapat dimaknai sebagai segala bentuk
pelaksanaan hak milik dalam obyek yaitu orang, juga termasuk tindakan menyangkut
obyek tersebut, terkhusus target perempuan ataupun anak-anak.
d. Deportasi
Deportasi merupakan sebuah tindakan pemindahan paksa di mana dalam hal
ini dikenakan kepada penduduk dapat diartikan sebagai upaya untuk melakukan
relokasi suatu penduduk dengan cara pengusiran bahkan dengan cara kekerasan lain
dari tempat di mana penduduk tersebut menetap sebelumnya, tanpa dasar yang bisa
dibenarkan oleh hukum internasional
e. Pencabutan

16
Dalam hal ini menggambarkan sebuah tindakan dengan sewenang-wenang
berupa pencabutan kebebasan yang kemudian dapat diartikan pemotongan ataupun
pengaturan kebebasan individu dalam menentukan nasibnya sendiri, yang dimana
semuanya kemudian diatur dan telah direncanakan secara menyeluruh dengan disertai
ancaman yaitu itu secara fisik maupun psikis.
f. Penyiksaan
Arie Siswanto mengatakan bahwa penyiksaan yaitu tindakan memberikan
rasa sakit atau penderitaan fisik maupun mental secara sengaja terhadap seseorang
individu yang ditahan atau juga memberikan penderitaan berada di bawah kekuasaan
pelaku.22 Sekalipun demikian rasa sakit dan penderitaan yang bersifat inheren dan
incidental,atau dikatakan muncul dari sebuah pemberian sanksi yang sah dan tidak
dapat di kategorikan sebagai penyiksaan.
g. Pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya
Kejahatan yaitu pemerkosaan dalam hal ini kemudian diberikan contoh yaitu
bentuk pemerkosaan yang berujuk kehamilan secara paksa dengan tujuan agar
mendapatkan keturunan etnis baru dan kemudian memusnahkan etnis lama yaitu
penyekapan secara tidak sah terhadap seorang perempuan yang akhirnya hamil secara
paksa, sehingga memiliki maksud untuk mempengaruhi keturunan bahkan komposisi
etnis suatu populasi. Namun kemudian hal tersebut tidak dapat dimaknakan
mempengaruhi suatu hukum nasional yang menyangkut kehamilan.
h. Penganiayaan atau penindasan
Dalam hal ini sebuah perlakuan penindasan dapat dimaknai dengan
penyangkalan secara keras dan sengaja terhadap hak dan dasar manusia memalui cara
yang bertentangan terhadap hukum internasional atas dasar kelompok sendiri ataupun
identitas kelompok serta juga identitas kolektif.
i. Penghilangan paksa
Dalam hal ini tindakan dengan penghilangan secara paksa dapat ditafsirkan
bahwa sebuah pemusnahan ataupun penghilangan dalam kelompok etnis ataupun
individu tertentu dianggap tidak sesuai dengan ras tertentu dan hal tersebut karena
memiliki tujuan agar mengurangi jumlah pada populasi suatu etnis tertentu. Dalam hal
ini kemudian dapat disamakan berupa sebuah penahanan, penangkapan, juga
penculikan kepada seseorang individu ataupun kelompok tertentu dengan dasar
wewenang serta adanya dukungan atau persetujuan pada suatu negara ataupun juga
22
Ibid. Hlm 50

17
termasuk organisasi politik yang kemudian akhirnya diikuti dengan penolakan dari
pelaku untuk melakukan pengakuan perampasan kemerdekaan tersebut agar memberi
keterangan tentang keberadaan korban yang sedang ditahan,ditangkap, ataupun juga
diculik. Tindakan tersebut memiliki maksud untuk menjauhkan orang-orang yang
dirampas kemerdekaannya dari perlindungan hukum dalam waktu yang relatif lama.
j. Apartheid
Merupakan sebuah tindakan tidak yang manusiawi di mana memiliki karakter
yang sama melakukan tindakan pemusnahan masal yang mana dalam hal ini
didasarkan oleh perbedaan warna kulit, yang dilakukan dalam konteks tindakan
penindasan sistematik ini terlembagakan dan dalam konteks dominasi pada suatu
kelompok rasial atas kelompok rasial lain karena memiliki maksud untuk
mempertahankan rezim yang melakukan penindasan tersebut.

Lalu dapat pula dibahas analisis hukuman pidana mati berdasarkan ketentuan-
ketentuan nilai internasional hak asasi manusia. Jika kemudian dikaji lebih mendalam melalui
ketentuan DUHAM, di dalamnya terdapat beberapa pasal yang di mana DUHAM tidak
memperbolehkan hukuman pidana mati yaitu berdasarkan Pasal 3 “ Setiap orang berhak atas
kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi”. Kemudian berikutnya bentuk yang paling
ekstrime dari perbuatan pelanggaran hak untuk hidup ini adalah pembunuhan atau melukai
jasmani atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok. 23 Hukuman pidana mati sangat
jelas sudah melanggar pasal ini, ini dikarenakan orang-orang yang dijatuhi hukuman mati
pada akhirnya dapat disimpulkan telah dirampas hak kehidupannya, hak kemerdekaannya,
dan hak keamanan pribadinya. Bagaimanapun juga hukuman pidana mati merupakan
perbuatan hukuman yang sangat melanggar hak untuk kemudian bisa hidup lagi selayaknya
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Dapat dilihat dari banyak orang yang sudah dijatuhi hukuman mati, antara lain seperti
contohnya koruptor di Cina, Saddam Hussein, ataupun lainnya. Tetapi pada kasus Rwanda
dan Yugoslavia pelaku pelanggaran HAM kemudian hanya diberikan hukuman maksimal
pidana seumur hidup, karena pemberian hukuman mati di zaman modern ini dapat dikatakan
sudah mulai ditinggalkan oleh banyak negara-negara di dunia, sekalipun masih ada beberapa
negara yang masih menerapkan hal tersebut melalui berbagai cara, seperti ditembak,
digantung, dan disuntik. Bagaimanapun bentuk dan cara hukuman mati tersebut dilakukan
23
Levin, Leah. 1987. Tanya Jawab Soal Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pradnya Paramita.

18
tetap saja melukai hak asasi manusia dan mengambil hak hidup dari seseorang. Kemudian
jika pidana mati tersebut ditinjau berdasarkan Kovenan Internasional yaitu tentang Hak Sipil
politik yaitu Pasal 6 ayat (1) dikatakan bahwa pada setiap insan manusia melekat hak untuk
hidup. Hak ini wajib untuk dilindungi oleh hukum bagaimanapun caranya itu. Tidak seorang
pun insan manusia ataupun kelompok bahkan negara sekalipun yang secara seenaknya dapat
merampas kehidupan orang lain.

Sama halnya seperti yang dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwasanya pelaksanaan
eksekusi mati tersebut sudah melanggar pasal 6 ayat (1), di mana eksekusi mati pada
dasarnya menyebabkan rasa penderitaan dan kesakitan fisik serta perlakuan dengan
merampas hak hidup dari seseorang individu, dan ini dikatakan yang bertentangan dengan
Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Sekalipun banyak negara yang masih belum
menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia, Cina dan negara Irak, yang jadi sebuah
masalah adalah tidak ada pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap dalam penerapan
hukum pidana mati tersebut baik itu dalam proses penangkapan ataupun dalam proses
pelaksanaan pemeriksaan dalam persidangan, sehingga kemudian hal tersebut bertentangan
dengan sebuah konsep yaitu the rule of law di mana terdapat sebuah pengaturan yang jelas di
mana itu berbentuk sebuah persamaan kedudukan di depan hukum serta juga terdapatnya
peradilan yang bebas dari hal-hal kecurangan dan juga tidak memihak yang kemudian
memiliki implikasi kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Pada Pasal 6 ayat (2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik memberikan
sebuah menyatakan bahwasanya dalam negara-negara yang belum menghapuskan hukuman
mati, keputusan pidanat tersebut dapat diberikan hanya terhadap kejahatan yang paling berat,
sesuai dengan undang-undang yang berlaku dalam waktu kejahatan demikian dilakukan, dan
juga jelas tidak ada pelanggaran terhadap suatu ketentuan dan kesepakatan dari Kovenan ini
dan Konvensi perihal Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan suatu suku dan
Bangsa. Dalam penerapannya pemberian hukuman ini hanya boleh di lakukan dengan
putusan akhir dari pengadilan yang berwenang.

Kemudian Lebih dalam lagi merujuk Pasal 6 ayat (4) Kovenan Internasional perihal
Hak Sipil Politik menjelaskan dan mengatur bahwa Seseorang individu yang telah di
kenakan hukuman pidana mati harus diberikan hak untuk memohon pengampunan atau
keringanan hukuman. Permohonan tersebut dapat berupa sebuah amnesti, pengampunan,

19
serta keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala bab. Sehingga kemudian dalam
hal ini berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa dengan memperhatikan beberapa
banyak aspek, karena dalam memahami sebuah peraturan memang seharusnya dan seyogya
nya pula diperhatikan melalui aspek sosiologis, filosofis, dan yuridis dalam tindakannya
ataupun juga diterapkannya pidana mati, sekalipun dalam HAM hukuman mati tidak
diperbolehkan karena tidak sesuai terhadap Pasal 3 DUHAM dan juga banyak dari negara di
dunia yang kemudian sudah menghapuskan hukuman mati. Di samping itu pula pengaturan
mengenai hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam DUHAM tersebut yang dalam
perihal ini kemudian dihubungkan dengan hukuman mati, dari sudut panang lain ternyata
terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan hak tersebut di mana dengan adanya pemahaman
mendalam terhadap adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama “a public
emergency which treatens the life of nation” di mana dapat dijadikan sebuah dasar untuk
memberikan batasan pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar, namun dengan syarat bahwa
kondisi keadaan darurat (public emergency) ini kemudian harus diumumkan secara resmi (be
officially proclaimed), lalu juga bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif.24

Hal-hal tersebut kemudian diatur secara limitatif dalam Kovenan Internasional perihal
Hak Sipil dan Politik, yaitu dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR yang memberikan pernyataan,
dalam situasi darurat umum yang ternyata memang mengancam kehidupan bangsa dan
terdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, negara-negara terkait
dalam kovenan ini kemudian pada akhirnya dapat mengambil upaya-upaya yang
menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh hal itu
memang sudah terdapat tuntutan oleh situasi darurat tersebut, dengan kewajiban bahwa
upaya-upaya tersebut kemudian tidak akan bertentangan dengan kewajiban negara-negara
pihak tersebut berdasarkan hukum internasional, dan juga kemudian tidak menyangkut
diskriminasi berdasarkan atas nama bahasa, agama, ras, warna kulit, jenis kelamin, dan asal-
usul sosial, sehingga dapat disimpulkan bahwa memang dalam kasus vonis mati yang
dijatuhkan kepada Saddam tidak bertentangan dengan Pasal 3 DUHAM, dikarenakan
kejahatan yang dilakukan merupakan sebuah jenis kejahatan HAM berat dan memenuhi
ketentuan Pasal 4 ICCPR.

24
“HUKUM TENTANG MODEL PENJATUHAN PIDANA”
https://www.bphn.go.id/data/documents/
model_penjatuhan_pidana_dengan_mempertimbangkan_pelaku_dan_korban.pdf. Diakses pada 25 Maret 2020.

20
Pada tingkat internasional telah di bahas proses dan bentuk yang komprehensif
sehingga kemudian dari situ terciptanya formulasi pidana mati di Indonesia kemudian
dibangun berdasarkan sebagai berikut :
a. Pemidanaan dan Pidana Mati
Pemaknaan dari hukuman atau pidana ialah suatu perasaan tidak enak atau
sengsara yang kemudian dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada orang yang
telah melanggar undang-undang hukum pidana”.25 Jika didalami lagi melalui ilmu
filsafat, tujuan dibuatnya hukuman itu bermacam-macam tergantung dari sudut mana
persoalan tersebut ditinjau dari beberapa pandangan sebagai berikut:
1) Emmanuel Kant
mengatakan bahwasanya sebuah hukuman adalah suatu tindakakan atau
pembalasan berdasarkan atas pepatah kuno “siapa membunuh harus dibunuh”.
Pendapat ini disebut dengan teori pembalasan atau vergelding-theorie.
2). Feurbach
Memiliki pendapat bahwasanya suatu hukuman harus bisa memberi dampak
ketakutan bagi orang lain supaya jangan berbuat jahat. Teori biasa disebut dengan
teori mempertakutkan atau afchrikkings-theorie.
3) Penulis lain
Memiliki pandangan dan berpendapat bahwasanya hukuman itu dibuat agar
untuk memperbaiki orang yang sudah melakukan tindakan kejahatan. Teori ini
disebut dengan teori memperbaiki atau verbeteringstheorie.
4) Penulis-penulis lain
Memberikan pernyataan bahwasanya dasar dari pemberian hukuman ialah
bentuk pembalasan, akan tetapi dengan maksud lainnya yaitu untuk mempertahankan
tata tertib kehidupan bersama, mencegah, menakut-nakuti, dan memperbaiki orang
yang telah berbuat agar tidak kemudian diabaikan. Mereka disebut sebagai penganut
teori yang disebut teori gabungan atau verenigingstheorie.

Kemudian secara sederhana dapat kemudian memberi pembahasan bahwa tujuan adanya
hukum pidana adalah:
1) Untuk menakuti orang agar untuk jangan sampai melakukan tindakan kejahatan,
entah itu secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) ataupun dengan

25
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996.

21
menakuti orang tertentu yang telah menjalankan kejahatan, sehingga kemudian pada
hari berikutnya tidak lagi melakukan kejahatan (speciale preventie)
2) Tujuannya ntuk mendidik dan memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan
suka melakukan tindakan kejahatan, sehingga kemudian akhirnya menjadi orang yang
baik tabiatnya, sehingga juga dapat bermanfaat bagi lingkungan masyarakat.

Sebagai bagian dari masyarakat modern yang beradab maka sudah seharusnya tujuan
generale preventie dari dalam pidana harus kemudian lebih dipertimbangkan daripada
sekedar menjadikan tindakan pidana sebagai cara untuk membalas dendam. Seperti
misalnya dipilihnya penamaan istilah Lembaga Pemasyarakatan dalam undang-undang
untuk menggantikan istilah Penjara.

Demikian juga dengan dikembangkan sebuah sistem pidana alternatif yaitu berupa
“kerja sosial” yang dikembangkan dan diberlakukan di negara Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropa lainnya. Berhubungan dengan pandangan mengenai general
preventie dan teori “tujuan” menurut Leo Polak mengatakan bahwa pidana harus memenuhi
3 syarat:
1) Tindakan atau perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, di mana maksudnya adalah bertentangan dengan
kesusilaan ataupun tata hukum obyektif (objective betreurenswaardigheid).
2) Bentuk hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pada
akhirnya bentuk hukuman tidak boleh kemudian memperhatikan apa yang mungkin
akan atau dapat terjadi. Sehingga, hukuman tidak boleh diberikan dengan suatu
maksud prevensi. Seperti dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka ialah
kemungkinan besar penjahat diberi suatu tindakan penderitaan yang beratnya lebih
maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat.
3). Kemudian sudah tentu beratnya hukuman dalam penerapannya harus seimbang
dengan beratnya delik. Beratnya sebuah jatuhan hukuman tidak boleh melebihi
beratnya delik. Hal ini penting agar supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil,
Sehingga harus ada suatu ‘verdiend leed’, tidak kurang tetapi juga tidak lebih.26

26
https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2015/07/HUKUMAN-MATI-DITINJAU-DARI-
PERSPEKTIF-HUKUM-DAN-HAK-ASASI-MANUSIA-INTERNASIONAL.pdf. Diakses pada 25 Maret
2020.

22
Pertanyaan yang sudah lama belum terjawab ialah apakah tujuan sebenarnya dari adanya
pemidanaan termasuk di dalamnya pidana mati. Dapat dijelaskan bahwasanya tujuan dari
adanya pemidanaan dalam hal ini yaitu pidana mati, antara lain: Tujuannya ialah dengan
pemberlakuan hukuman mati agar memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Di tinjau dari
aspek kemanusiaan, hukuman mati ini masih dan begitu diperlukan guna melindungi
masyarakat dari perbuatan orang jahat. Pengaturan hukuman mati dalam hukum di Indonesia
terdapat dalam Pasal 10 kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di mana membedakan
dua macam pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, antara lain sebagai berikut:
a. Pidana pokok:
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
2. Perampasan barang yang tertentu
3. Pengumuman keputusan Hakim
Sehingga dengan demikian, maka penerapan pidana mati di dalam hukum di Indonesia
merupakan pidana pokok. Dalam hal ini kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman
mati di dalam KUHP ia misalnya:
1) Pasal 104 KUHP: Tentang Makar membunuh kepala Negara;
2) Pasal 111 ayat (2) KUHP: Tentang Mengajak Negara Asing untuk menyerang Indonesia;
3) Pasal 124 ayat (3) KUHP: Tentang Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat
Indonesia dalam keadaan perang;
4) Pasal 140 ayat (4) KUHP: Tentang Membunuh kepala Negara sahabat;
5) Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Tentang Pembunuhan yang direncanakan lebih
dahulu;
6) Pasal 365 ayat (4) KUHP: Tentang Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih
bersekutu pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya, yang
mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati;
7). Pasal 444 KUHP: Tentang Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga
mengakibatkan orang mati;
8). Pasal 124 bis KUHP: Tentang Dalam waktu perang menganjurkan huru hara,
pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara ;

23
9). Pasal 127 dan 129 KUHP: Tentang Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan
keperluan angkatan perang;
10). Pasal 368 ayat (2) KUHP: Tentang Pemerasan dengan pemberatan ;

Sebagai bagian dari bahan yang komparatif sekaligus menerawang jalannya


perkembangan pemikiran dalam pengaturan pidana mati di Indonesia, Sehingga kemudian
harus melihat juga apabila menyimak dan memahami pembahasan tentang ketentuan naskah
Rancangan KUHP baru sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut :
1) Jatuhan sanksi pidana mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak
terpidana sampai mati;
2) Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilaksanakan dan dipertontonkan di muka
umum;
3) Pidana mati tidak boleh dijatuhkan terhadap anak di bawah umur delapan belas
tahun;
4) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda
sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tersebut sembuh;
5) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan Presiden dan
Penolakan Grasi oleh Presiden;
6) Pelaksanaan pidana mati bisa ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh
tahun, jika memang terdapat:
a) Reaksi atau tuntutan masyarakat kepada terpidana mati terlalu besar
b) Terpidana dapat memperlihatkan rasa menyesal dan ada harapan untuk
memperbaiki
c) Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting
d) Ada alasan meringankan
7) Jika terpidana mati selama masa percobaan bisa memperlihatkan sikap dan
perbuatan yang terpuji, maka pidana mati akan dapat diubah menjadi pidana seumur
hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan menteri
kehakiman.
8) Jika terpidana selama masa percobaan tidak bisa memperlihatkan sikap dan
perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk memperbaiki maka terpidana mati
bisa dilakukan atas perintah langsung dari Kejaksaan Agung.
9) Jika setelah permohonan Grasi ditolak, maka pelaksanaan pidana mati tidak
dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri maka

24
terpidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan
Menteri Kehakiman.27

Negara Indonesia sendiri kemudian memiliki alasan yang menyatakan setuju dengan
dilaksanakannya pidana mati terhadap pelaku kejahatan yaitu di antara lain:28
1) Tersangka pidana mati menjamin bahwa si penjahat tidak akan berkutik lagi.
Sehingga masyarakat tidak akan diganggu lagi oleh orang ini karena “mayatnya telah
dikuburkan sehingga tidak perlu takut lagi terhadap terpidana”.
2) Tersangka pidana mati adalah suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah.
3) Dengan alat represi yang kuat ini kemudian kepentingan masyarakat dapat terjamin
sehingga akhirnya dengan demikian menimbulkan dampak kesejahteraan dan
ketertiban hukum dapat dilindungi.
4) Terutama jika saat pelaksanaan eksekusi di depan umum kemudian diharapkan
timbulnya rasa takut yang lebih besar bagi berbuat kejahatan.
5) Dengan diberi sanksi pidana mati serta dilaksanakan pidana mati diharapkan
adanya seleksi buatan dalam masyarakat sehingga kemudian masyarakat dibersihkan
dari unsur-unsur jahat dan buruk dan diharapkan akan terdiri atas warga yang baik
saja.

Dalam hal ini kemudian dapat diambil bahwa hukuman mati dapat dilakukan di
Indonesia karena sudah memiliki hukum yang telah disepakati melalui undang-undang dan
persetujuan pihak-pihak pemangku kebijakan, sekalipun hal tersebut sama saja
menghilangkan nyawa seseorang dan juga bertentangan dengan ketentuan dalam nilai-nilai
hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup dan memperoleh kebahagiaan, tetapi tetap saja jika
yang menjadi adalah jika pelaku tindakan kejahatan telah melakukan kejahatan yang
menghilangkan nyawa.

27
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. hlm: 14-15.
28
Djoko Prakoso. 1987. Masalah Pidana Mati (Soal Jawab). Jakarta: Bina Aksara.

25
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
Dapat disimpulkan kalau memang, hukuman mati tidak selamanya bisa dibenarkan
sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan dan membasmi kejahatan yang telah terjadi,
dimana beberapa hal tersebut sudah diterapkan di beberapa negara, termasuk di Indonesia.
Namun, melihat dari basis hukum dan juga penerapan yang akan diberikan bila harus
melakukan hukuman mati, dapat dikatakan kalau hukuman mati bisa diterapkan selama
sesuai dengan peruntukan dan ketetapan yang sudah terlebih dahulu dirancang.
Walau memang, berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, selalu akan tercipta pro dan
kontra dalam penerapan hukuman ini, dimana tetap saja, akan memakan satu nyawa orang
untuk melaksanakan hukuman mati ini. Namun, bila dilihat dari perspektif dari apa saja
ketentuan untuk menerapkan hukuman mati ke pelaku tindak pidana, bisa dikatakan hal ini
efektif. Mengapa demikian? Karena tujuan dilakukannya hukuman mati, menurut ketetapan
yang sudah dirancang, bisa dengan efektif menekan tindakan kriminal dan efek domino yang
bisa diciptakan apabila pelaku tidak diberikan hukuman mati. Selain itu, dengan hukuman
mati juga bisa memberikan efek jera untuk pelaku lain.

26
DAFTAR PUSTAKA
Website :

“HUKUM TENTANG MODEL PENJATUHAN PIDANA”


https://www.bphn.go.id/data/documents/
model_penjatuhan_pidana_dengan_mempertimbangkan_pelaku_dan_korban.pdf. Diakses
pada 25 Maret 2020.

http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2018/01/Politik-Kebijakan-Hukuman-Mati-
Indonesia-Dari-Masa-ke-Masa.pdf. Diakses pada 25 Maret 2020.

https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2015/07/HUKUMAN-MATI-DITINJAU-
DARI-PERSPEKTIF-HUKUM-DAN-HAK-ASASI-MANUSIA-INTERNASIONAL.pdf.
Diakses pada 25 Maret 2020.

Jurnal atau Buku:


Arie Siswanto. 2005. Yuridiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional. Bogor : Ghalia
Indonesia.

Aris.”Pengertian HAM, Macam-Macam HAM, Contoh dan Jenis HAM di Indonesia”.

Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika

Djoko Prakoso. 1987. Masalah Pidana Mati (Soal Jawab). Jakarta: Bina Aksara.

Levin, Leah. 1987. Tanya Jawab Soal Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pradnya Paramita.

Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994).

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,
2010).

Roger Hood, Introduction, dalam Jon Yorke (ed), Againts the Death Penalty: Intenational
Initiatives and Impications, (Farnham: Ashgate Publishing Limited, 2008.

Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia, Kencana: Jakarta.

27
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta :
Prenada Media,2003).

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya


Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996.

28

Anda mungkin juga menyukai