Anda di halaman 1dari 22

PENEGAKAN HAM

Oleh:
Wahyu, Nouvil, Kafi
Fakultas Sosial dan Humaniora Universitas Bhinneka PGRI

Abstract

There needs to be serious and firm efforts to protect human rights for every citizen.
Even though there are laws that protect human rights, there are still many cases of
human rights violations that occur in Indonesia, such as violations of civil and
political rights, discrimination against minority groups, and efforts to limit human
rights. Therefore, it is important to pay attention to this problem and take
appropriate steps to overcome it, such as providing education about human rights,
ensuring strict law enforcement, establishing independent institutions, establishing
cooperation between agencies, and encouraging active participation of the
community.

Keyword: Law, Human Rights

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Penegekan hak asasi manusia (HAM) merupakan hal yang penting bagi
setiap negara. Dalam hal ini, Indonesia memiliki peran yang sangat besar dalam
menegakkan hak-hak paling dasar bagi setiap warganya. Namun, meskipun ada
berbagai undang-undang yang diterapkan untuk melindungi hak asasi manusia,
masih banyak kasus-kasus yang menunjukkan bahwa hak asasi manusia di
Indonesia masih sering dilanggar.
Salah satu contoh kasus yang menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia
di Indonesia adalah kasus pelanggaran hak asasi sipil dan politik. Kasus ini
melibatkan aksi intimidasi dan pembatasan terhadap aktivitas sipil dan politik
masyarakat, termasuk aksi intimidasi terhadap aktivis hak asasi manusia dan
jurnalis. Kasus ini menunjukkan bahwa masih ada upaya untuk membatasi
kebebasan berekspresi dan berorganisasi bagi warga negara Indonesia.
Lebih jauh lagi, masih banyak kasus-kasus lain yang menunjukkan
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa
masih ada upaya untuk membatasi hak asasi manusia bagi kelompok-kelompok
tertentu di Indonesia.
Oleh karena itu, penting untuk menegakkan hak asasi manusia dengan serius
dan tegas. Ini bisa dilakukan dengan cara memberikan edukasi tentang hak asasi
manusia kepada masyarakat, serta memberikan sanksi bagi pelanggar hak asasi
manusia. Selain itu, juga penting untuk membangun sistem yang kuat dan
independen untuk melindungi hak asasi manusia, seperti ombudsman, lembaga
independen pengawas, dan hakim yang independen.
Dengan demikian, dengan serius dan tegas menegakkan hak asasi manusia,
Indonesia akan memiliki masyarakat yang lebih merdeka, adil, dan sejahtera. Ini
akan membantu menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi setiap
warganya, serta membantu menciptakan negara yang lebih demokratis dan inklusif
bagi semua warganya.

2. Batasan Masalah
Pembahasan maslah HAM di sini hanya membahas HAM dan peradilan umum dan
peradilan HAM. Tulisan ini tidak membahas kasus-kasus HAM dan pelanggaran
HAM serta solusinya atau kajian filosofis tentang HAM.

3. Maksud dan Tujuan


Karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan deskripsi objektif untuk
mendapatkan gambaran awal tentang HAM dan peradilan umum dan peradilan
HAM.

4. Metode
Metode penulisan karya ilmiah ini adalah deskripsi analitis, menggambarkan apa
adanya konsep-konsep HAM dari berbagai pendapat dan peradilan umum dan
peradilan HAM. Sedangkan metode pemikiran karya ilmiah ini menggunakan
metode logika deduktif.
B. PEMBAHASAN

1. Penegakan HAM

Secara teoritis HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang
bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah SWT yang harus
dihormati, dijaga dan dilingungi.
Menurut Wilujeng dalam jurnya bahwa dipaparkan berbagai pendapat
tentang HAM. Dari beberapa pendapat ini walaupun ada perbedaan namun pada
dasarnya mempunyai prinsip-prinsip yang sama antara lain:
1. Mariam Budiardjo
HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya dalam hidup
masyarakat. Hak ini ada pada manusia tanpa membedakan bangsa, ras, agama,
golongan, jenis kelamin, karena itu bersifat asasi dan universal. Dasar dari
semua hak asasi adalah bahwa semua orang harus memperoleh kesempatan
berkembang sesuai dengan bakat dan citacitanya. (Mariam Budiardjo, 1982,
120)
2. Thomas Jefferson HAM pada dasarnya adalah kebebasan manusia yang tidak
diberikan oleh Negara. Kebebasan ini berasal dari Tuhan yang melekat pada
eksistensi manusia individu. Pemerintah diciptakan untuk melindungi
pelaksanaaan hak asasi manusia. (Majalah What is Democracy, 8)
3. Universal Declaration of Human Right Dalam pembukuan dari deklarasi ini
dinyatakan bahwa HAM adalah hak kodrati yang diperoleh oleh setiap manusia
berkat pemberian Tuhan Seru Sekalian Alam, sesungguhnya tidak dapat
dipisahkan dari hakekat manusia. Oleh karena itu setiap manusia berhak
memperoleh kehidupan yang layak, kebebasan, keselamatan dan kebahagiaan
pribadi. (Majalah What is Democracy, 20)
4. Filsuf-filsuf jaman Auflarung abad 17 – 18 HAM adalah hak-hak alamiah
karunia Tuhan yang dimiliki oleh semua manusia dan tidak dapat dicabut baik
oleh masyarakat maupun oleh pemerintah.
5. Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Hak asasi adalah hak dasar yang
melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati, universal dan abadi sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang berfungsi untuk menjamin kelangsungan
hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat yang tidak boleh
diganggu gugat dan diabaikan oleh siapapun.

Hakekat HAM sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan


eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu pula upaya menghormati,
melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab
bersama antara invididu. Pemerintah (aparatur pemerintah baik sipil maupun
militer) dan negara.
HAM diperoleh dari penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Esa, merupakan
hak yang tidak dapat diabaikan sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang
mempunyai yang tinggi. HAM ada dan melekat pada setiap manusia, oleh karena
itu bersifat universal, artinya berlaku dimana saja dan untuk siapa saja serta tidak
dapat diambil oleh siapapun.
Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat
kemanusiaannya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau
berhubungan dengan sesama manusia. Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena
itu selain ada HAM, ada juga kewajiban yang harus dilaksanakan demi
terlaksananya atau tegaknya HAM. Dalam menggunakan HAM, kita wajib untuk
memperhatikan, menghormati dan menghargai hak asasi yang dimiliki oleh orang
lain, Kesadaran terhadap HAM, harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya
yang sudah ada sejak manusia itu diahirkan dan merupakan hak kodrati yang
melekat pada diri manusia.
Menurut Triwahyuningsih dalam jurnalnya memaparkan bahwa dalam
hukum dasar negara Indonesia yaitu dalam UUD RI 1945 (sebelum diamandemen),
istilah Hak Asasi Manusia (HAM) tidak terdapat baik dalam Pembukaan, Batang
Tubuh maupun Penjelasannya, tetapi tercantum Hak Warga Negara dan Hak
Penduduk yang dikaitkan dengan kewajibannya, antara lain tercantum dalam pasal
27, 28, 29, 30, dan 31. Meskipun demikian, bukan berarti HAM kurang mendapat
perhatian, karena susunan peraturan UUD 1945 tersebut adalah inti-inti dasar
kenegaraan. Dari pasal-pasal tersebut terdapat 5 (lima) pokok mengenai HAM yang
terdapat dalam Batang Tubuh UUD RI 1945, yaitu:
1. Kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan
pemerintahan (Pasal 27 ayat 1).
2. Hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27
ayat 2).
3. Hak kemerdekaan berserikatdan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lesan dan tulisan sebagaimana yang ditetapkan dengan UU (pasal 28).
4. Hak kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk dijamin negara
(pasal 28 ayat 1).
5. Hak atas pengajaran (pasal 31 ayat 1).
UUD 1945 (sesudah diamandemen), HAM tercantum di dalam pasal 28 a
sampai pasal 28 j. HAM adalah sebagai hak-hak dasar atau pokok yang melekat
pada manusia yang tanpa hak-hak dasar tersebut menusia tidak dapat hidup sebagai
manusia.

2. Penegakan HAM dan MK (Mahkamah Konstitusi)

Menurut Isra dalam jurnalnya Pembentukan MK sejalan dengan dianutnya


paham negara hukum dalam UUD 1945. Dalam negara hukum harus ada paham
konstitusionalisme, di mana tidak boleh ada undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Untuk memastikan tidak ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD,
maka salah satu jalan yang ditempuh adalah memberikan wewenang atau hak uji
materil kepada lembaga kekuasaan kehakiman. Apabila warga negara, baik
perorangan maupun komunitas atau badan hukum yang merasa atau menganggap
hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya undang-undang, mereka dapat
mengajukan pengujian atas undang-undang yang bersangkutan kepada Mahkamah
Konstitusi. Khusus untuk perorangan warga negara dan kesatuan masyarakat
hukum adat, mekanisme uji materil juga ditujukan untuk menjamin terlindunginya
HAM yang dijamin UUD 1945.
Beberapa putusan MK dapat dijadikan bukti untuk menilai bahwa uji materil
yang dilakukan MK adalah untuk melindungi dan memajukan HAM di antaranya:
(1) Putusan No 011-017/PUU-VIII/2003 tentang pengujian UndangUndang No
12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (2) Putusan No 6-13-
20/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia; (3) Putusan No 55/PUU-VIII/2010 tentang
pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; (4) Putusan
No 27/PUU-IX/2011 tentang pengujian Undang-Undang No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
Pertama, hak untuk memajukan diri, hak atas pengakuan dan jaminan atas
kepastian hukum, hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam
pemerintahan dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
merupakan HAM yang dijamin dan dilindungi melalui Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945. Sementara,
melalui ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang No 12 Tahun 2003, yang berisi
larangan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten atau Kota
bagi mereka yang “bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,
termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun
tak langsung dalam G.30.S/ PKI atau organisasi terlarang lainnya, hak-hak asasi
yang dijamin UUD 1945 di atas justru dilanggar.
Di sini, putusan MK menyatakan tindakan diskriminasi berdasarkan
perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik tidak dibenarkan. Dalam ranah
sipil dan politik, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right
to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-
undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan,
peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap
hak asasi dari warga Negara. Atas dasar pertimbangan tersebut, MK menyatakan
Pasal 60 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD
1945. Berdasarkan putusan tersebut, hak warga negara yang dicap pernah terlibat
baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI telah dipulihkan.
Putusan MK ini dinilai sebagai sebuah tonggak baru dalam sejarah Indonesia yang
bisa jadi akan memiliki implikasi-implikasi luas bagi masa depan demokrasi di
Indonesia. Tidak hanya itu, salah satu hal penting dari putusan ini menurut Todung
Mulya Lubis, MK berjaya keluar dari pertimbangan politis dengan menggunakan
argumen-argumen dan penjelasan pasal-pasal HAM yang dimuat dalam standar dan
norma domestik dan internasional.
Kedua, hak untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara
lisan dan tulisan, hak atas pengakuan dan jaminan atas kepastian hukum, hak untuk
memiliki hak milik pribadi, hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi merupakan hak yang diakui dan dijamin dalam Pasal 28E
ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 H ayat (4) dan Pasal 28 F UUD 1945.
Sementara itu, Pasal 30 Ayat (3) huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI menyatakan “Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman
umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: pengawasan peredaran
barang cetakan”.
Atas dasar ketentuan itu, pejabat berwenang diberikan otoritas untuk
memprediksi sesuatu sebagai hal yang berpotensi meresahkan masyarakat dan atau
berpotensi mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Sehingga, Kejaksaan
Agung sebagai lembaga yang diberikan otoritas pun telah melarang beredarnya
Buku Enam Jalan Menuju Tuhan. Kewenangan larangan peredaran buku sebagai
langkah preventif ini cenderung hanya bersifat prediktif bahkan ramalan, karena
tidak memiliki parameter objektif sebagai rambu-rambu agar kewenangan tersebut
tidak bertentangan dengan hukum dasar yang ada di UUD 1945. Prediksi yang
memperkirakan keresahan dapat timbul di masyarakat akibat peredaran buku
tersebut, tidak serta merta menjadi alasan pembenar untuk merugikan hak
konstitusional warga negara. Sehingga kewenangan itu menimbulkan kesewenang-
wenangan dan pelanggaran terhadap HAM.
Dalam pertimbangannya, MK menilai, pelarangan pengedaran bukubuku
sebagai suatu sumber informasi, penyitaan tanpa proses pengadilan, merupakan
tindakan yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.
Selain itu, pemberian kewenangan untuk melakukan pelarangan atas sesuatu yang
merupakan pembatasan hak asasi tanpa melalui due process of law, jelas tidak
termasuk dalam pengertian pembatasan kebebasan seperti yang dimaksud Pasal 28J
Ayat (2) UUD 1945.57 Menurut MK, pengawasan atas peredaran barang cetakan
dapat dilakukan Kejaksaan melalui upaya penyelidikan, penyidikan, penyitaan,
penggeledahan, penuntutan, dan penyidangan sesuai dengan due process of law,
yang berujung pada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
yang kemudian dieksekusi kejaksaan. Atas dasar pertimbangan itu, MK
menyatakan Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang No 16/ 2004 tentang
Kejaksaan RI bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan putusan tersebut, hak seseorang untuk bebas mengeluarkan
pikiran secara lisan dan tulisan serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi sebagaimana dijamin UUD 1945 telah
dijaga dan dilindungi dari penyelenggaraan kekuasaan negara secara sewenang-
wenang.
Ketiga, hak atas pengakuan dan jaminan atas kepastian hukum, hak
mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidup dijamin dan dilindungi
dengan instrumen Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. Dari
jaminan konstitusional dimaksud, maka setiap orang berhak mengembangkan diri
demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya
pembatasan terhadak hak ini. Sementara, Pasal 21 dan dan Pasal 47 Ayat (1) dan
(2) Undang-Undang No 18/2004 tentang Perkebunan dinilai memiliki rumusan
yang luas dan telah membatasi HAM untuk mengembangkan diri, dalam rangka
memenuhi basic needs sebagai manusia.
Dalam pertimbangannya, MK menilai rumusan Pasal 21 yang diikuti dengan
Pasal 47 Undang-Undang Perkebunan sangat luas dan tidak terbatas. Rumusan
pasal tersebut tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang potensial
melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Pertimbangan di atas, MK
menyatakan Pasal 21 beserta penjelasannya dan Pasal 47 Ayat (1) dan (2) Undang-
Undang No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Keempat, UUD 1945 menjamin hak setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal
itu sesuai dengan ketentuan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pasal 27
Ayat (2) UUD 1945 juga memperkuat keberadaan hak tersebut dengan menyatakan,
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Sementara dalam pelaksanaannya, Pemerintah dan DPR justru
menerbitkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
dimana beberapa ketentuan Undang-Undang dimaksud dinilai telah melanggar hak
konstitusional yang dimuat dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945. Ketentuan yang
dimaksud adalah : Pasal 29 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), dan (8); Pasal 64;
Pasal 65 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), dan(9); Pasal 66 Ayat (1), (2), (3)
dan (4). Pada pokoknya, ketentuan tersebut mengatur tentang sistem outsourcing.
Sistem ini menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, tidak adanya kelangsungan
pekerjaan karena seorang pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti
tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi
disitu, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinitas
pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsourcing dengan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu.
Dalam permohonan ini, MK berpendapat, ketentuan-ketentuan tersebut
mengakibatkan terancamnya hak setiap orang dan hak-hak pekerja yang dijamin
konstitusi. Untuk itu, MK memutuskan bahwa frasa “…perjanjian kerja waktu
tertentu” dalam Pasal 65 Ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu
tertentu” dalam Pasal 66 Ayat (2) huruf b Undang-Undang No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak
disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang
objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang
melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh.
Kasus-kasus uji materil di atas merupakan contoh nyata di mana dalam
proses pembuatan sebuah undang-undang, para pembuatnya tidak luput dari
kesalahan. Bisa jadi kesalahan itu karena sesuatu yang disengaja atas dorongan
kepentingan tertentu atau bisa jadi kesalahan dimaksud merupakan kelalaian
pembuat undang-undang. Idealnya, kesalahan yang berakibat terlanggarnya hak
asasi manusia semestinya tidak terjadi. Namun praktik yang terjadi membukti
bahwa kesalahan tersebut banyak terjadi. Karena itu pentingnya keberadaan
mekanisme uji materiil yang dilaksanakan MK. Selain itu, dari contoh di atas,
terlihat bahwa MK tidak saja bertindak sebagai lembaga pengawal konstitusi
(guardian of the constitution), melainkan juga sebagai lembaga pengawal tegaknya
HAM. Melalui kewenangan uji materil yang dimilikinya, MK tampil sebagai
lembaga penegak hukum yang mengawal berjalannya kekuasaan negara agar tidak
terjebak pada tindakan sewenang-wenang dan melanggar HAM.

3. Pengadilan Umum dan Pengadilan HAM

Pengadilan Umum dan Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah dua jenis
pengadilan yang ada di Indonesia. Kedua jenis pengadilan ini memiliki tugas dan
fungsinya masing-masing. Pengadilan Umum adalah pengadilan yang memiliki
tugas untuk mengadili perkara-perkara yang melibatkan tuntutan atau gugatan
hukum antara individu atau organisasi. Perkara-perkara ini meliputi tuntutan ganti
rugi, perceraian, tuntutan pidana, dan lain-lain.
Pengadilan Umum memiliki hak dan kewenangan untuk mengadili dan
memutuskan perkara-perkara hukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Pengadilan Hak Asasi Manusia, sebaliknya, memiliki tugas untuk mengadili dan
memutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi
manusia. Perkara-perkara ini meliputi tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak
dasar manusia seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas keadilan, dan lain-
lain. Pengadilan Hak Asasi Manusia memiliki hak dan kewenangan untuk
menyelidiki dan memutuskan perkara-perkara yang melibatkan pelanggaran hak
asasi manusia.
Kedua jenis pengadilan ini memiliki tugas dan fungsinya masing-masing,
tetapi mereka juga saling berkaitan dan memiliki hubungan yang erat. Dalam
perkara-perkara yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, Pengadilan
Umum juga dapat mengadili dan memutuskan perkara tersebut. Namun, dalam hal
ini, Pengadilan Hak Asasi Manusia memiliki hak dan kewenangan untuk
memberikan rekomendasi kepada Pengadilan Umum dalam hal penanganan
perkara tersebut. Proses pengadilan di kedua jenis pengadilan ini juga berbeda.
Pengadilan Umum memiliki prosedur pengadilan yang lebih formal dan
berstruktur, serta memiliki hak dan kewenangan untuk memanggil saksi dan ahli
untuk membantu dalam memutuskan perkara. Sedangkan Pengadilan Hak Asasi
Manusia memiliki prosedur pengadilan yang lebih ringkas dan cepat, serta memiliki
hak dan kewenangan untuk melakukan penyelidikan secara langsung dan
mengumpulkan bukti-bukti yang relevan. Pengadilan Umum dan Pengadilan Hak
Asasi Manusia juga memiliki perbedaan dalam hal putusan yang diterbitkan.
Putusan Pengadilan Umum dapat digugat ke Mahkamah Agung, sementara putusan
Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak dapat digugat lagi. Putusan Pengadilan Umum
memiliki kekuatan hukum yang tetap, sedangkan putusan Pengadilan Hak Asasi
Manusia lebih bersifat rekomendatif dan harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang
terkait. Kedua jenis pengadilan ini sangat penting bagi pengembangan dan
perlindungan hukum di Indonesia.
Pengadilan Umum membantu menyelesaikan tuntutan-tuntutan hukum
antara individu atau organisasi, serta memastikan bahwa setiap orang dapat
memperoleh keadilan dan perlindungan hukum yang sama. Sedangkan Pengadilan
Hak Asasi Manusia membantu memastikan bahwa hak asasi manusia setiap orang
dapat terlindungi dan dilindungi, serta membantu mengatasi pelanggaran-
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masyarakat. Namun, kedua jenis
pengadilan ini juga memiliki beberapa kritik dan masalah. Beberapa orang
meragukan efektivitas dan keberlanjutan Pengadilan Hak Asasi Manusia, serta
mempertanyakan kemampuannya untuk melindungi hak asasi manusia secara
efektif. Ada juga kritik terhadap proses pengadilan di Pengadilan Umum, termasuk
masalah birokrasi yang rumit dan lamanya waktu pengadilan. Namun, meskipun
memiliki beberapa masalah dan kritik,
Pengadilan Umum dan Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap penting bagi
pengembangan dan perlindungan hukum di Indonesia. Kedua jenis pengadilan ini
harus terus ditingkatkan dan dikembangkan agar dapat memenuhi tugas dan
fungsinya dengan baik dan efektif, serta memastikan bahwa setiap orang dapat
memperoleh keadilan dan perlindungan hukum yang sama.
Peradilan HAM adalah sistem pengadilan yang membahas dan mengatur
kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tujuan
dari peradilan HAM adalah untuk memastikan bahwa pelanggar hak asasi manusia
diproses dan dikenakan sanksi sesuai hukum, dan bagi korban untuk memperoleh
ganti rugi dan keadilan.
Peradilan HAM memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari
sistem peradilan biasa. Pertama, peradilan HAM memiliki jangkauan yang lebih
luas dan meliputi pelanggaran hak asasi manusia seperti kekerasan terhadap
perempuan, diskriminasi rasial, ekstraksi, dan tindakan kejam lainnya. Kedua,
peradilan HAM lebih menekankan pada hak-hak individu dan melindungi hak asasi
manusia, sedangkan sistem peradilan biasa lebih menekankan pada kepentingan
negara dan hukum.
Berdasarkan penjellasan diatas peradilan HAM memainkan peran penting
dalam memastikan bahwa pelanggar hak asasi manusia dikenakan sanksi sesuai
hukum dan bahwa korban menerima ganti rugi dan keadilan yang layak lalu
menurut Zainal Abidin dalam jurnalnya gambaran umum mengenai pengadilan
HAM sebagai berikut:
1. Pengadilan HAM
Gambaran Umum Berdasarkan UU No. 26/2000, Pengadilan HAM
merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum, dan
merupakan lex specialis dari Kitab Undang Hukum Pidana. Pengadilan ini
dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah
secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan
pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu. Kejahatan-
kejahatan yang merupakan yurisdiksi pengadilan HAM ini adalah kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan
pelanggaran HAM yang berat. Penamaan Pengadilan HAM yang mengadili
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak
tepat, karena Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut
adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana internasional
(international crimes) sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi
“pengadilan pidana.”
Namun terlepas dari penamaan Pengadilan HAM yang kurang tepat
tersebut, pembentuk undang-undang menyadari bahwa bahwa penanganan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida kejahatan ini adalah
kejahatan luar biasa yang tidak bisa ditangani dengan sistem peradilan pidana
biasa. Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik
kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan
mekanisme yang juga sifatnya khusus. Pengaturan yang berbeda atau khusus
ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas
HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda
denga pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim
adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad
hoc. Namun, meskipun terdapat kekhususan dalam penangannya, hukum acara
yang digunakan, masih menggunakan hukum acara pidana terutama prosedur
pembuktiannya. Pengadilan HAM ini juga mengatur tentang kekhususan
penanganan terhadap kejahatan-kejahatan yang termasuk gross violatioan of
human rights dengan menggunakan norma-norma yang ada dalam hukum
internasional. Norma-norma yang diadopsi itu diantaranya adalah mengenai
prinsip tanggung jawab individual (Individual Criminal Responsibility) yang
dielaborasi dalam ketentuan dalam UU No. 26/2000 dalam pasal 1 ayat (4).
Tanggung jawab indvidual ini ditegaskan bahwa tanggung jawab dikenakan
terhadap semua orang namun tidak dapat dikenakan kepada pelaku yang
berusia dibawah 18 tahun. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Statuta Roma yang juga mengatur tentang tangung jawab individual dan
pembatasan atas tanggung jawab atas keadaan tertentu Penjelasan Umum
mengenai UU No. 26/2000 menyatakan Pelanggaran hak asasi manusia yang
berat merupakan "extra ordinary crimes" dan berdampak secara luas baik pada
tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana
yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta menimbulkan
kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak
aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera
dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian,
ketertiban, ketenteraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan yang bersifat khusus.
Prinsip tanggung jawab pidana secara individual ini dalam praktek
pengadilan telah diakui oleh majelis hakim dalam beberapa putusannya,
terutama dalam membuktikan unsur atasan (baik sipil maupun militer) yang
mampu bertanggung jawab. Mejelis Hakim menggunakan doktrin hukum dan
prinsip hukum serta praktek pidana internasional untuk memperkuat
argumentasi tentang terpenuhinya unsur tersebut. Pertimbangan majelis hakim
terhadap terdakwa Abilio Soares dalam bagian unsur atasan sipil mampu
bertanggung jawab secara pidana ini juga mengacu pada praktik internasional
di Pengadilan Nurenberg dan Tokyo yang mengesampingkan beberapa prinsip
hukum umum yakni a) bahwa seserang pejabat tidak dapat dihukum sebagai
orang perorangan (individu) karena kebijaksanaan yang dilakukannya, b)
bahwa seorang pejabat tidak dapat dihukum sebagai orang perorangan terhadap
tindakan yang dilakukan sebagai pejabat negara, dan c) bahwa seseorang tidak
dapat dituntut melakukan kejahatan berdasarkan ketentuan yang baru
ditentukan sebagai kejahatan setelah perbuatan dilakukan.
a. Pengadilan HAM : Setelah disyahkannya UU No. 26/ 2000
Berdasarkan ketentuan UU No. 26 tahun 2000, Pengadilan HAM
mengatur tentang yurisidksi atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang
berat baik setelah disyahkanya UU ini maupun kasus-kasus pelanggaran
HAM yang berat sebelum disyahkannya UU ini. Prosedur pembentukan
pengadilan ini mempunyai perbedaaan yang cukup mendasar. Dalam
penanganan kasuskasus pelanggaran HAM yang berat setelah
disyahkannya UU ini tanpa melalui rekomendasi dan keputusan presiden
sebagaimana dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc (mengenai
pengadilan HAM ad hoc akan diuraikan dibagian bawah). Prosedur
pembentukan pengadilan HAM adalah berdasarkan adanya dugaan telah
terjadi kasus pelanggaran HAM yang berat. Dugaan adanya kasus
pelanggaran yang berat ini kemudian diselidiki oleh Komnas HAM dengan
membentuk komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM). Hasil
penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat dugaan adanya
pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan
Agung untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari
hasil penyidikan menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka
diteruskan untuk tahap penuntutan yang juga di lakukan oleh Kejaksaan
Agung. Berdasarkan bukti-bukti dan penuntutan yang diwujudkan dalam
surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan HAM berdasarkan
kompetensi relatif pengadilan. Tempat pengadilan ini berada di pengadilan
negeri dimana locus dan tempos delictie terjadinya pelanggaran HAM
yang berat. Pengalaman pembentukan pengadilan HAM setelah
disyahkannya UU ini adalah Pengadilan HAM Abepura yang disidang di
Pengadilan Negeri Makassar. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di
Abepura Papua terjadi pada tanggal 7 Desember 2000, yang kemudian
oleh Komnas HAM di tindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan pro
yustisia pada tanggal 5 Februari 2001. Setelah penyelidikan KPP HAM ini
selesai kemudian hasil penyelidikan ini diserahkan ke Jaksa Agung.
Kejaksaan Agung berdasarkan atas Laporan KPP HAM, kemudian
melakukan serangkaian penyidikan dengan membentuk Tim Penyidik
Pelanggaran HAM di Abepura. Setelah adanya kelengkapan penuntutan
maka Pengadilan ini akhirnya sidang pertama dilaksanakan pada tanggal 7
Mei 2004 di Pengadilan Negeri Makassar. Pemilihan pengadilan HAM di
Makassar ini berdasarkan pada ketentuan pasal 45 UU No. 26/2000
dimana untuk pertama kalinya pengadilan HAM dibentuk di Jakarta,
Medan, Surabaya dan Makassar. Wilayah yurisdiksi pengadilan HAM
Makassar meliputi Papua/Irian Jaya. Kasus lain yang dilakukan
penyelidikan berdasarkan adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM di
Wasior yang berawal pada tanggal 13 Juni 2001 dan Wamena Papua yang
berawal dari peristiwa pada tanggal 4 April 2003. Komnas HAM
membentuk KPP HAM Papua yang bekerja pada tanggal 17 Desember
2003 sampai dengan 31 Juli 2004. Laporan KPP HAM Papua ini, setalah
menyimpulkan bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM yang berat di
dua wilyah tersebut kemudian menyerahkan hasil laporan tersebut ke
Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Proses pembentukan pengadilan HAM ini adalah proses peradilan
yang tidak melibatkan adanya intervensi pihak lain, misalnya DPR,
sebagaimana pengadilan HAM ad hoc. Namun dari pengalaman proses
pengadilan HAM Abepura juga terdapat beberapa permasalahan misalnya
mengenai pelaksanaan pengadilan HAM di Makassar untuk kasus yang
terjadi di Papua. Konsekuaensinya adalah keterbatasan dalam
menghadirkan para saksi korban dari Papua ke Makassar.
b. Pengadilan HAM ad hoc : Sebelum adanya UU No. 26/2000
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus
untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat
yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000, berbeda dengan
Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan mengadili
perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah
diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000.
Ketentuan mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc
menurut pasal 43 UU No. 26/2000 adalah:
a. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc.
b. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
c. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berada di lingkungan Peradilan Umum.
Penjelasan pasal 43 ayat (2) menyatakan:
“Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan
telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini.”
Pasal 44 UU No. 26/2000 menentukan tentang prosedur hukumnya :
“Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya
dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini”

Penjelasan pasal 43 UU No. 26/2000 menyatakan bahwa Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga sebagai pihak yang mengusulkan
dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada
dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus
delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini. Masalah rumusan sebagaimana dalam pasal 43 diatas
menimbulkan masalah yang cukup serius terutama berkaitan dengan
kewenangan DPR untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM
yang berat berdasarkan pada penjelasan pasal 43 ayat (2). Rumusan ini
bisa ditafsirkan bahwa DPR yang dapat menentukan dugaan ada tidaknya
pelanggaran HAM yang berat. Dari ketentuan dalam pasal 43 berkenaan
dengan pengadilan HAM ad hoc ini terdapat beberapa hal yang
menjadikan proses pengadilan HAM ad hoc sulit diaplikasikan dalam
pembentukannya. Beberapa persoalan tersebut adalah a) penerapan
tentang asas retroaktif, b) proses pembentukan pengadilan HAM ad hoc
dan c) kewenangan DPR dalam menentukan pembentukan pengadilan
HAM ad hoc.

Gambar 2.1 Skema alur pengadilan HAM Ad hoc

Ketentuan tentang adanya beberapa tahap untuk pembentukan


pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang
berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang
merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :

1. adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil


penyelidikan kasus masa lalu oleh Komnas HAM.
2. adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
3. adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk
mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempos dan locus
delicti tertentu.
4. adanya keputusan presiden (keppres) untuk berdirinya
pengadilan HAM ad hoc

Dengan alur proses menuju pengadilan HAM ad hoc yang pernah


terjadi untuk kasus Timor-timur dan Tanjung Priok ini dalam prakteknya
ternyata tidak bisa menjadi yurisprudensi untuk kasus yang lainnya.
Beberapa kasus yang sampai saat ini belum bisa dibawa ke pengadilan
HAM ad hoc masih terganjal karena tidak jelasnya mekanisme tentang
bagaimana sebuah kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang
berat sebelum UU No. 26/2000 ini. Pengalaman kasus Trisaksi dan
Semanggi menunjukkan bahwa pola hubungan kerja antara DPR dengan
Komnas HAM tidak jelas dimana pada saat yang bersamaan kedua institusi
ini melakukan tindakan penyelidikan untuk kasus tersebut. Komnas HAM
membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) untuk
kasus Trisaksi dan Semanggi pada tanggal 5 Juni 2001 sementara DPR
membentuk Panitia Khusus yang menentukan bahwa kasus Trisaksi dan
Semanggi bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat dan pada
tanggal 28 Juni 2001 (melalui Bamus) merekomendasikan agar
penanganan ketiga kasus tersebut dilakukan melalui pengadilan umum dan
pengadilan militer. 31 Dari kasus ini menunjukkan bahwa ada
ketidakjelasan yang mempunyai implikasi atas kekacauan dalam
penerapan UU No. 26/2000 terutama dalam membentuk pengadilan HAM
ad hoc.
Peradilan HAM juga memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui,
seperti penyelidikan, pendakwaan, dan pengadilan. Dalam setiap tahap,
hak-hak korban dan pelaku harus diakui dan dilindungi sesuai dengan
hukum. Peradilan HAM juga menjamin bahwa pengadilan berjalan secara
adil dan transparan, dan memastikan bahwa hak asasi manusia selalu
diutamakan.
Secara umum, peradilan HAM memainkan peran penting dalam
memastikan bahwa pelanggar hak asasi manusia dikenakan sanksi sesuai
hukum dan bahwa korban menerima ganti rugi dan keadilan yang layak.
Ini juga membantu menjaga stabilitas dan kedamaian sosial, serta
memastikan bahwa hak asasi manusia selalu diutamakan dan dilindungi.
C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil pada masa sekarang adlaah bahwa


menegakkan hak asasi manusia dengan serius dan tegas sangat penting
untuk menciptakan masyarakat yang merdeka, adil, dan sejahtera. Hal ini
dapat dilakukan dengan memberikan edukasi tentang hak asasi manusia,
memberikan sanksi bagi pelanggar hak asasi manusia, dan membangun
sistem yang kuat dan independen untuk melindungi hak asasi manusia. Oleh
karena itu, penting untuk memperhatikan permasalahan pelanggaran hak
asasi manusia yang terjadi di Indonesia dan mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk mengatasinya.

2. Saran

Ada beberapa saran dalam berbagai bidang diantaranta:


1. Edukasi: Menyebarluaskan informasi tentang hak asasi manusia kepada
masyarakat melalui berbagai media seperti sekolah, media massa, dan
kampanye publik. Ini akan membantu masyarakat untuk memahami hak
mereka dan membangun budaya yang menghormati hak asasi manusia.
2. Penegakan hukum yang tegas: Memastikan bahwa pelanggar hak asasi
manusia diberikan sanksi yang tepat dan tegas, untuk memotivasi orang
lain untuk tidak melanggar hak asasi manusia.
3. Pembentukan lembaga independen: Mendirikan lembaga independen
yang memiliki mandat untuk melindungi hak asasi manusia dan
memberikan bantuan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.
4. Koordinasi antar-instansi: Menjalin kerja sama antar-instansi yang
berperan dalam menegakkan hak asasi manusia, seperti Kementerian
Hukum dan HAM, Polisi, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
5. Partisipasi aktif masyarakat: Mendorong masyarakat untuk turut
berperan dalam menegakkan hak asasi manusia, dengan cara
melaporkan pelanggaran hak asasi manusia, menyebarluaskan
informasi tentang hak asasi manusia, dan menyuarakan pendapat
mereka secara bijaksana dan konstruktif.
DAFTAR PUSTAKA

Isra, Saldi. 2016. “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penguatan Hak Asasi
Manusia Di Indonesia”. Jurnal Konstitusi 11 (3):409-27.
https://doi.org/10.31078/jk1131.
S. R. Wilujeng, 2013. "HAK ASASI MANUSIA: TINJAUAN DARI ASPEK
HISTORIS DAN YURIDIS," HUMANIKA, vol. 18, no. 2, Juli.
2013. https://doi.org/10.14710/humanika.18.2.
Triwahyuningsih, Susan.2018. PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HAK
ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.2
No.2. hal 113-120. http://dx.doi.org/10.24269/ls.v2i2.1242
Zainal Abidin. 2014. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia : Regulasi,
Penerapan dan Perkembangannya.
https://referensi.elsam.or.id/2014/09/pengadilan-hak-asasi-manusia-di-
indonesia-regulasi-penerapan-dan-perkembangannya/

Anda mungkin juga menyukai