Oleh:
Wahyu, Nouvil, Kafi
Fakultas Sosial dan Humaniora Universitas Bhinneka PGRI
Abstract
There needs to be serious and firm efforts to protect human rights for every citizen.
Even though there are laws that protect human rights, there are still many cases of
human rights violations that occur in Indonesia, such as violations of civil and
political rights, discrimination against minority groups, and efforts to limit human
rights. Therefore, it is important to pay attention to this problem and take
appropriate steps to overcome it, such as providing education about human rights,
ensuring strict law enforcement, establishing independent institutions, establishing
cooperation between agencies, and encouraging active participation of the
community.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penegekan hak asasi manusia (HAM) merupakan hal yang penting bagi
setiap negara. Dalam hal ini, Indonesia memiliki peran yang sangat besar dalam
menegakkan hak-hak paling dasar bagi setiap warganya. Namun, meskipun ada
berbagai undang-undang yang diterapkan untuk melindungi hak asasi manusia,
masih banyak kasus-kasus yang menunjukkan bahwa hak asasi manusia di
Indonesia masih sering dilanggar.
Salah satu contoh kasus yang menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia
di Indonesia adalah kasus pelanggaran hak asasi sipil dan politik. Kasus ini
melibatkan aksi intimidasi dan pembatasan terhadap aktivitas sipil dan politik
masyarakat, termasuk aksi intimidasi terhadap aktivis hak asasi manusia dan
jurnalis. Kasus ini menunjukkan bahwa masih ada upaya untuk membatasi
kebebasan berekspresi dan berorganisasi bagi warga negara Indonesia.
Lebih jauh lagi, masih banyak kasus-kasus lain yang menunjukkan
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa
masih ada upaya untuk membatasi hak asasi manusia bagi kelompok-kelompok
tertentu di Indonesia.
Oleh karena itu, penting untuk menegakkan hak asasi manusia dengan serius
dan tegas. Ini bisa dilakukan dengan cara memberikan edukasi tentang hak asasi
manusia kepada masyarakat, serta memberikan sanksi bagi pelanggar hak asasi
manusia. Selain itu, juga penting untuk membangun sistem yang kuat dan
independen untuk melindungi hak asasi manusia, seperti ombudsman, lembaga
independen pengawas, dan hakim yang independen.
Dengan demikian, dengan serius dan tegas menegakkan hak asasi manusia,
Indonesia akan memiliki masyarakat yang lebih merdeka, adil, dan sejahtera. Ini
akan membantu menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi setiap
warganya, serta membantu menciptakan negara yang lebih demokratis dan inklusif
bagi semua warganya.
2. Batasan Masalah
Pembahasan maslah HAM di sini hanya membahas HAM dan peradilan umum dan
peradilan HAM. Tulisan ini tidak membahas kasus-kasus HAM dan pelanggaran
HAM serta solusinya atau kajian filosofis tentang HAM.
4. Metode
Metode penulisan karya ilmiah ini adalah deskripsi analitis, menggambarkan apa
adanya konsep-konsep HAM dari berbagai pendapat dan peradilan umum dan
peradilan HAM. Sedangkan metode pemikiran karya ilmiah ini menggunakan
metode logika deduktif.
B. PEMBAHASAN
1. Penegakan HAM
Secara teoritis HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang
bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah SWT yang harus
dihormati, dijaga dan dilingungi.
Menurut Wilujeng dalam jurnya bahwa dipaparkan berbagai pendapat
tentang HAM. Dari beberapa pendapat ini walaupun ada perbedaan namun pada
dasarnya mempunyai prinsip-prinsip yang sama antara lain:
1. Mariam Budiardjo
HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya dalam hidup
masyarakat. Hak ini ada pada manusia tanpa membedakan bangsa, ras, agama,
golongan, jenis kelamin, karena itu bersifat asasi dan universal. Dasar dari
semua hak asasi adalah bahwa semua orang harus memperoleh kesempatan
berkembang sesuai dengan bakat dan citacitanya. (Mariam Budiardjo, 1982,
120)
2. Thomas Jefferson HAM pada dasarnya adalah kebebasan manusia yang tidak
diberikan oleh Negara. Kebebasan ini berasal dari Tuhan yang melekat pada
eksistensi manusia individu. Pemerintah diciptakan untuk melindungi
pelaksanaaan hak asasi manusia. (Majalah What is Democracy, 8)
3. Universal Declaration of Human Right Dalam pembukuan dari deklarasi ini
dinyatakan bahwa HAM adalah hak kodrati yang diperoleh oleh setiap manusia
berkat pemberian Tuhan Seru Sekalian Alam, sesungguhnya tidak dapat
dipisahkan dari hakekat manusia. Oleh karena itu setiap manusia berhak
memperoleh kehidupan yang layak, kebebasan, keselamatan dan kebahagiaan
pribadi. (Majalah What is Democracy, 20)
4. Filsuf-filsuf jaman Auflarung abad 17 – 18 HAM adalah hak-hak alamiah
karunia Tuhan yang dimiliki oleh semua manusia dan tidak dapat dicabut baik
oleh masyarakat maupun oleh pemerintah.
5. Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Hak asasi adalah hak dasar yang
melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati, universal dan abadi sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang berfungsi untuk menjamin kelangsungan
hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat yang tidak boleh
diganggu gugat dan diabaikan oleh siapapun.
Pengadilan Umum dan Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah dua jenis
pengadilan yang ada di Indonesia. Kedua jenis pengadilan ini memiliki tugas dan
fungsinya masing-masing. Pengadilan Umum adalah pengadilan yang memiliki
tugas untuk mengadili perkara-perkara yang melibatkan tuntutan atau gugatan
hukum antara individu atau organisasi. Perkara-perkara ini meliputi tuntutan ganti
rugi, perceraian, tuntutan pidana, dan lain-lain.
Pengadilan Umum memiliki hak dan kewenangan untuk mengadili dan
memutuskan perkara-perkara hukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Pengadilan Hak Asasi Manusia, sebaliknya, memiliki tugas untuk mengadili dan
memutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi
manusia. Perkara-perkara ini meliputi tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak
dasar manusia seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas keadilan, dan lain-
lain. Pengadilan Hak Asasi Manusia memiliki hak dan kewenangan untuk
menyelidiki dan memutuskan perkara-perkara yang melibatkan pelanggaran hak
asasi manusia.
Kedua jenis pengadilan ini memiliki tugas dan fungsinya masing-masing,
tetapi mereka juga saling berkaitan dan memiliki hubungan yang erat. Dalam
perkara-perkara yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, Pengadilan
Umum juga dapat mengadili dan memutuskan perkara tersebut. Namun, dalam hal
ini, Pengadilan Hak Asasi Manusia memiliki hak dan kewenangan untuk
memberikan rekomendasi kepada Pengadilan Umum dalam hal penanganan
perkara tersebut. Proses pengadilan di kedua jenis pengadilan ini juga berbeda.
Pengadilan Umum memiliki prosedur pengadilan yang lebih formal dan
berstruktur, serta memiliki hak dan kewenangan untuk memanggil saksi dan ahli
untuk membantu dalam memutuskan perkara. Sedangkan Pengadilan Hak Asasi
Manusia memiliki prosedur pengadilan yang lebih ringkas dan cepat, serta memiliki
hak dan kewenangan untuk melakukan penyelidikan secara langsung dan
mengumpulkan bukti-bukti yang relevan. Pengadilan Umum dan Pengadilan Hak
Asasi Manusia juga memiliki perbedaan dalam hal putusan yang diterbitkan.
Putusan Pengadilan Umum dapat digugat ke Mahkamah Agung, sementara putusan
Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak dapat digugat lagi. Putusan Pengadilan Umum
memiliki kekuatan hukum yang tetap, sedangkan putusan Pengadilan Hak Asasi
Manusia lebih bersifat rekomendatif dan harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang
terkait. Kedua jenis pengadilan ini sangat penting bagi pengembangan dan
perlindungan hukum di Indonesia.
Pengadilan Umum membantu menyelesaikan tuntutan-tuntutan hukum
antara individu atau organisasi, serta memastikan bahwa setiap orang dapat
memperoleh keadilan dan perlindungan hukum yang sama. Sedangkan Pengadilan
Hak Asasi Manusia membantu memastikan bahwa hak asasi manusia setiap orang
dapat terlindungi dan dilindungi, serta membantu mengatasi pelanggaran-
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masyarakat. Namun, kedua jenis
pengadilan ini juga memiliki beberapa kritik dan masalah. Beberapa orang
meragukan efektivitas dan keberlanjutan Pengadilan Hak Asasi Manusia, serta
mempertanyakan kemampuannya untuk melindungi hak asasi manusia secara
efektif. Ada juga kritik terhadap proses pengadilan di Pengadilan Umum, termasuk
masalah birokrasi yang rumit dan lamanya waktu pengadilan. Namun, meskipun
memiliki beberapa masalah dan kritik,
Pengadilan Umum dan Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap penting bagi
pengembangan dan perlindungan hukum di Indonesia. Kedua jenis pengadilan ini
harus terus ditingkatkan dan dikembangkan agar dapat memenuhi tugas dan
fungsinya dengan baik dan efektif, serta memastikan bahwa setiap orang dapat
memperoleh keadilan dan perlindungan hukum yang sama.
Peradilan HAM adalah sistem pengadilan yang membahas dan mengatur
kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tujuan
dari peradilan HAM adalah untuk memastikan bahwa pelanggar hak asasi manusia
diproses dan dikenakan sanksi sesuai hukum, dan bagi korban untuk memperoleh
ganti rugi dan keadilan.
Peradilan HAM memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari
sistem peradilan biasa. Pertama, peradilan HAM memiliki jangkauan yang lebih
luas dan meliputi pelanggaran hak asasi manusia seperti kekerasan terhadap
perempuan, diskriminasi rasial, ekstraksi, dan tindakan kejam lainnya. Kedua,
peradilan HAM lebih menekankan pada hak-hak individu dan melindungi hak asasi
manusia, sedangkan sistem peradilan biasa lebih menekankan pada kepentingan
negara dan hukum.
Berdasarkan penjellasan diatas peradilan HAM memainkan peran penting
dalam memastikan bahwa pelanggar hak asasi manusia dikenakan sanksi sesuai
hukum dan bahwa korban menerima ganti rugi dan keadilan yang layak lalu
menurut Zainal Abidin dalam jurnalnya gambaran umum mengenai pengadilan
HAM sebagai berikut:
1. Pengadilan HAM
Gambaran Umum Berdasarkan UU No. 26/2000, Pengadilan HAM
merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum, dan
merupakan lex specialis dari Kitab Undang Hukum Pidana. Pengadilan ini
dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah
secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan
pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu. Kejahatan-
kejahatan yang merupakan yurisdiksi pengadilan HAM ini adalah kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan
pelanggaran HAM yang berat. Penamaan Pengadilan HAM yang mengadili
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak
tepat, karena Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut
adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana internasional
(international crimes) sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi
“pengadilan pidana.”
Namun terlepas dari penamaan Pengadilan HAM yang kurang tepat
tersebut, pembentuk undang-undang menyadari bahwa bahwa penanganan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida kejahatan ini adalah
kejahatan luar biasa yang tidak bisa ditangani dengan sistem peradilan pidana
biasa. Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik
kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan
mekanisme yang juga sifatnya khusus. Pengaturan yang berbeda atau khusus
ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas
HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda
denga pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim
adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad
hoc. Namun, meskipun terdapat kekhususan dalam penangannya, hukum acara
yang digunakan, masih menggunakan hukum acara pidana terutama prosedur
pembuktiannya. Pengadilan HAM ini juga mengatur tentang kekhususan
penanganan terhadap kejahatan-kejahatan yang termasuk gross violatioan of
human rights dengan menggunakan norma-norma yang ada dalam hukum
internasional. Norma-norma yang diadopsi itu diantaranya adalah mengenai
prinsip tanggung jawab individual (Individual Criminal Responsibility) yang
dielaborasi dalam ketentuan dalam UU No. 26/2000 dalam pasal 1 ayat (4).
Tanggung jawab indvidual ini ditegaskan bahwa tanggung jawab dikenakan
terhadap semua orang namun tidak dapat dikenakan kepada pelaku yang
berusia dibawah 18 tahun. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Statuta Roma yang juga mengatur tentang tangung jawab individual dan
pembatasan atas tanggung jawab atas keadaan tertentu Penjelasan Umum
mengenai UU No. 26/2000 menyatakan Pelanggaran hak asasi manusia yang
berat merupakan "extra ordinary crimes" dan berdampak secara luas baik pada
tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana
yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta menimbulkan
kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak
aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera
dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian,
ketertiban, ketenteraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan yang bersifat khusus.
Prinsip tanggung jawab pidana secara individual ini dalam praktek
pengadilan telah diakui oleh majelis hakim dalam beberapa putusannya,
terutama dalam membuktikan unsur atasan (baik sipil maupun militer) yang
mampu bertanggung jawab. Mejelis Hakim menggunakan doktrin hukum dan
prinsip hukum serta praktek pidana internasional untuk memperkuat
argumentasi tentang terpenuhinya unsur tersebut. Pertimbangan majelis hakim
terhadap terdakwa Abilio Soares dalam bagian unsur atasan sipil mampu
bertanggung jawab secara pidana ini juga mengacu pada praktik internasional
di Pengadilan Nurenberg dan Tokyo yang mengesampingkan beberapa prinsip
hukum umum yakni a) bahwa seserang pejabat tidak dapat dihukum sebagai
orang perorangan (individu) karena kebijaksanaan yang dilakukannya, b)
bahwa seorang pejabat tidak dapat dihukum sebagai orang perorangan terhadap
tindakan yang dilakukan sebagai pejabat negara, dan c) bahwa seseorang tidak
dapat dituntut melakukan kejahatan berdasarkan ketentuan yang baru
ditentukan sebagai kejahatan setelah perbuatan dilakukan.
a. Pengadilan HAM : Setelah disyahkannya UU No. 26/ 2000
Berdasarkan ketentuan UU No. 26 tahun 2000, Pengadilan HAM
mengatur tentang yurisidksi atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang
berat baik setelah disyahkanya UU ini maupun kasus-kasus pelanggaran
HAM yang berat sebelum disyahkannya UU ini. Prosedur pembentukan
pengadilan ini mempunyai perbedaaan yang cukup mendasar. Dalam
penanganan kasuskasus pelanggaran HAM yang berat setelah
disyahkannya UU ini tanpa melalui rekomendasi dan keputusan presiden
sebagaimana dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc (mengenai
pengadilan HAM ad hoc akan diuraikan dibagian bawah). Prosedur
pembentukan pengadilan HAM adalah berdasarkan adanya dugaan telah
terjadi kasus pelanggaran HAM yang berat. Dugaan adanya kasus
pelanggaran yang berat ini kemudian diselidiki oleh Komnas HAM dengan
membentuk komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM). Hasil
penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat dugaan adanya
pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan
Agung untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari
hasil penyidikan menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka
diteruskan untuk tahap penuntutan yang juga di lakukan oleh Kejaksaan
Agung. Berdasarkan bukti-bukti dan penuntutan yang diwujudkan dalam
surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan HAM berdasarkan
kompetensi relatif pengadilan. Tempat pengadilan ini berada di pengadilan
negeri dimana locus dan tempos delictie terjadinya pelanggaran HAM
yang berat. Pengalaman pembentukan pengadilan HAM setelah
disyahkannya UU ini adalah Pengadilan HAM Abepura yang disidang di
Pengadilan Negeri Makassar. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di
Abepura Papua terjadi pada tanggal 7 Desember 2000, yang kemudian
oleh Komnas HAM di tindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan pro
yustisia pada tanggal 5 Februari 2001. Setelah penyelidikan KPP HAM ini
selesai kemudian hasil penyelidikan ini diserahkan ke Jaksa Agung.
Kejaksaan Agung berdasarkan atas Laporan KPP HAM, kemudian
melakukan serangkaian penyidikan dengan membentuk Tim Penyidik
Pelanggaran HAM di Abepura. Setelah adanya kelengkapan penuntutan
maka Pengadilan ini akhirnya sidang pertama dilaksanakan pada tanggal 7
Mei 2004 di Pengadilan Negeri Makassar. Pemilihan pengadilan HAM di
Makassar ini berdasarkan pada ketentuan pasal 45 UU No. 26/2000
dimana untuk pertama kalinya pengadilan HAM dibentuk di Jakarta,
Medan, Surabaya dan Makassar. Wilayah yurisdiksi pengadilan HAM
Makassar meliputi Papua/Irian Jaya. Kasus lain yang dilakukan
penyelidikan berdasarkan adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM di
Wasior yang berawal pada tanggal 13 Juni 2001 dan Wamena Papua yang
berawal dari peristiwa pada tanggal 4 April 2003. Komnas HAM
membentuk KPP HAM Papua yang bekerja pada tanggal 17 Desember
2003 sampai dengan 31 Juli 2004. Laporan KPP HAM Papua ini, setalah
menyimpulkan bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM yang berat di
dua wilyah tersebut kemudian menyerahkan hasil laporan tersebut ke
Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Proses pembentukan pengadilan HAM ini adalah proses peradilan
yang tidak melibatkan adanya intervensi pihak lain, misalnya DPR,
sebagaimana pengadilan HAM ad hoc. Namun dari pengalaman proses
pengadilan HAM Abepura juga terdapat beberapa permasalahan misalnya
mengenai pelaksanaan pengadilan HAM di Makassar untuk kasus yang
terjadi di Papua. Konsekuaensinya adalah keterbatasan dalam
menghadirkan para saksi korban dari Papua ke Makassar.
b. Pengadilan HAM ad hoc : Sebelum adanya UU No. 26/2000
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus
untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat
yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000, berbeda dengan
Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan mengadili
perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah
diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000.
Ketentuan mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc
menurut pasal 43 UU No. 26/2000 adalah:
a. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc.
b. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
c. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berada di lingkungan Peradilan Umum.
Penjelasan pasal 43 ayat (2) menyatakan:
“Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan
telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini.”
Pasal 44 UU No. 26/2000 menentukan tentang prosedur hukumnya :
“Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya
dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini”
1. Kesimpulan
2. Saran
Isra, Saldi. 2016. “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penguatan Hak Asasi
Manusia Di Indonesia”. Jurnal Konstitusi 11 (3):409-27.
https://doi.org/10.31078/jk1131.
S. R. Wilujeng, 2013. "HAK ASASI MANUSIA: TINJAUAN DARI ASPEK
HISTORIS DAN YURIDIS," HUMANIKA, vol. 18, no. 2, Juli.
2013. https://doi.org/10.14710/humanika.18.2.
Triwahyuningsih, Susan.2018. PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HAK
ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.2
No.2. hal 113-120. http://dx.doi.org/10.24269/ls.v2i2.1242
Zainal Abidin. 2014. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia : Regulasi,
Penerapan dan Perkembangannya.
https://referensi.elsam.or.id/2014/09/pengadilan-hak-asasi-manusia-di-
indonesia-regulasi-penerapan-dan-perkembangannya/