Anda di halaman 1dari 12

Tugas Pengganti UAS Hukum & HAM

LEGAL MOMERANDUM PERLINDUNGAN DAN HAK


ASASI MANUSIA

Oleh:

Khairunisa Agnia Dhia

D1A117137

Kelas B1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Penyebaran Covid 19 telah menjadi salah satu kekhawatiran masyarakat meskipun pada
saat awal keberadaan virus ini, berbagai upaya yang berbentuk himbauan dari pemerintah belum
benar-benar dipatuhi oleh masyarakat. Bahkan sebagian besar masyarakat menganggap bahwa
virus tersebut tidak akan menyebar luas sebagaimana di negara tempat awal penyebarannya.

Berbagai hoax mengenai kondisi cuaca dan iklim di Indonesia sebagai kondisi yang tidak akan
menimbulkan penyebaran luas atau hoax terkait ramuan ataupun obat-obatan yang dianggap
dapat mencegah timbulnya Covid 19 ternyata mampu mempengaruhi masyarakat untuk tidak
sepenuhnya menganggap virus ini sebagai ancaman.

Seiring waktu, keberadaan virus ini mulai meresahkan terutama ketika pemerintah menetapkan
mengenai protokol pemakaman bagi penderita Covid 19 yang oleh masyarakat dianggap sangat
menakutkan.

Karena tidak dapat diperlakukan sebagaimana mestinya oleh keluarga. Selain itu, karantina
terhadap warga yang pernah melakukan perjalanan ke daerah terinfeksi menjadi salah satu
kekhawatiran masyarakat. Sehingga saat ini masyarakat tidak lagi menganggap virus ini sebagai
wabah yang dianggap enteng.

Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, yang belakangan telah dijamin haknya
secara konstitusional. Sesungguhnya jaminan konstitusi terhadap hak atas kesehatan telah ada
sejak masa Konstitusi Republik Serikat (RIS) 1949 “Penguasa senantiasa berusaha dengan
sunguh-sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat”. Setelah bentuk negara
serikat kembali ke bentuk negara kesatuan dan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara
1950 (UUDS), ketentuan Pasal 40 Konstitusi RIS di adopsi ke dalam Pasal 42 UUDS. Sejalan
dengan itu, Konstitusi World Health Organization (WHO) 1948 telah menegaskan pula bahwa
“memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap
orang” (the enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights
of every human being).

Istilah yang digunakan bukan “human rights”, tetapi “fundamental rights”, yang kalau kita
terjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia menjadi “Hak hak Dasar”. Kemudian pada tahun
2000, melalui Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, kesehatan ditegaskan sebagai
bagian dari hak asasi manusia. Dalam Pasal 28H ayat (1) dinyatakan, bahwa: “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Masuknya ketentuan tersebut
ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, menggambarkan perubahan paradigma yang luar biasa.
Kesehatan dipandang tidak lagi sekedar urusan pribadi yang terkait dengan nasib atau karunia
Tuhan yang tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab negara, melainkan suatu hak hukum
(legal rights) yang tentunya dijamin oleh negara .

Berdasarkan Pasal 4 konvenan hak sipil dan politik adalah memberikan legalitas kepada
pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap Hak asasi manusia jika Negara dalam
keadaan darurat. Keadaan darurat atau yang dalam bahasa inggrisnya disebut sebagai state of
emergency menurut Pengadilan Eropa untuk hak asasi manusi adalah situasi krisis yang luar
biasa atau keadaan darurat yang mempengaruhi keseluruhan penduduk dan merupakan
ancaman bagi kehidupan komunitas yang terorganisir (Nihal Jayawickrama, 2002 : 205).

Keadaan darurat dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti penyebab yang timbul dari luar
(eksternal) atau dari dalam negeri (internal). Ancamannya dapat berupa ancaman
militer/bersenjata atau dapat pula tidak bersenjata seperti teror bom dan keadaan darurat lainnya,
tetapi dapat menimbulkan korban jiwa, harta benda di kalangan warga negara yang mutlak harus
dilindungi (Binsar Gultom : 2010 : 4). Dalam kondisi negara tidak normal atau keadaan darurat
sistem hukum yang diterapkan harus menggunakan kekuasaan dan prosedur yang bersifat
darurat lewat hukum keadaan darurat yang dapat mengesampingkan hukum dalam keadaan
normal, tanpa harus mempengaruhi sistem-sistem pemerintahan yang demokratis yang dianut
berdasarkan konstitusi. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa tersebut,
konstitusi memberikan kekuasaan kepada kepala negara atau pemerintah untuk menilai dan
menentukan negara dalam keadaan darurat (A. H. Robertson and J.G Merrills, 1994 : 185)

dalam keadaan darurat semua tindakan yang bersifat luar yang dilakukan oleh pemerintah
termasuk melakukan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia dapat dibenarkan untuk
dilakukan demi mempertahankan integritas negara dan melindungi warga negaranya. Komite
PBB tentang HAM dalam General Comment No 29 on Article 4 of ICCPR. Mensyaratkan Ada dua
kondisi mendasar harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak asasi manusia yaitu : the situation
must amount to a public emergency which threatens the life of the nation, and the State party
must have officially proclaimed a state of emergency (dimana situasi harus berupa keadaan
darurat yang mengancam kehidupan bangsa, dan negara pihak harus menyatakan secara resmi
negara dalam keadaan darurat).

2. Rumusan Masalah
1) Apa yang menjadi batasan Hak Asasi Manusia di masa Pandemic Covid19?
2) Bagaimana landasan hukum kebijakan pemerintah dalam pandemi?

B. LANDASAN TEORI

Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa
semata-mata karena ia manusia. Hak ini melekat pada setiap diri manusia dan bersifat tidak
dapat dicabut (inalienable). Hak ini bukan merupakan hukum positif atau pemberian masyarakat
terhadap satu individu atau dapat dibedakan dengan individu yang lain. Oleh karena itu, apapun
alasan perbedaan suku, bahasa, ras, keyakinan, warna kulit, negara, maupun seseorang
melakukan kejahatan paling berat sekalipun, seseorang tidak akan kehilangan martabatnya dan
hak asasi sebagai manusia. Gagasan mengenai Hak Asasi Manusia bersumber dari teori
hukum kodrati (natural law theory) Thomas Aquinas. Ia membedakan hukum menjadi empat
hal, yaitu:

a. lex aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancar indera
manusia).
b. lex divina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh pancar indera
manusia).
c. lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio
manusia).
d. lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia).

Grotius membuat landasan-landasan pembatasan terhadap hukum yang dibuat


manusia. Pembatasan tersebut dilakukan dengan pembentukan tiang hukum alam yaitu: semua
prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga; prinsip kesetiaan pada janji;
prinsip ganti rugi dan prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam. Dengan
demikian hukum akan ditaati karena hukum akan memberikan suatu keadilan sesuai dengan
porsinya. Pada perkembangan di masa selanjutnya, John Locke dalam bukunya “The Second
Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan pemikiran
bahwa semua individu dikaruniai hak yang melekat untuk hidup, kebebasan dan kepemilikan,
yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara. Prinsip-prinsip Hak
Asasi Manusia merupakan landasan orientasi berpikir dalam penegakan hak asasi manusia
secara universal. Dalam hampir semua perjanjian internasional, prinsip-prinsip ini diaplikasikan
ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip kesetaraan,
pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara
digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu.

1. Prinsip Kesetaraan

Satu gagasan tertinggi dalam hak asasi manusia adalah meletakkan setiap individu di
dunia ini dalam satu tingkatan yang sama dalam penghormatan terhadap martabatnya. Setiap
orang terlahir tanpa ikatan kewajiban apapun dan memiliki hak asasi yang sama dalam
kehidupannya sebagai manusia. Hal ini mensyaratkan bahwa setiap manusia dalam kondisi
yang sama harus diperlakukan secara sama.

2. Prinsip Diskriminasi

Prinsip diskriminasi seolah merupakan antitesis dari prinsip kesetaraan. Namun jika
ditelaah lebih lanjut. Kedua prinsip memiliki perbedaan. Dalam kesetaraan, semua orang
diharapkan memiliki derajat yang sama, namun jika terdapat manusia yang memiliki derajat
yang berbeda, tidak ada tindakan apapun terhadap orang tersebut. Sedangkan dalam
pembahasan prinsip anti-diskriminasi, merupakan tanggapan dari tesis “Jika semua orang
setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif” (selain tindakan afirmatif yang
dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Penekanan dilakukan kepada subyek bawah, bukan
subyek yang menjadi mayoritas.

3. Kewajiban Positif untuk Melindungi Hak-Hak Tertentu

Dalam DUHAM, suatu negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk secara aktif
memenuhi hak-hak dan kebebasan warganya. Negara dilarang melakukan pembiaran terhadap
warganya sehingga sikap pasif ini menyebabkan hak asasi warganya dilanggar. Hak yang
dimaksud adalah hak asasi manusia, sedangkan kebebasan yang dimaksud adalah segala hal
yang menjadi kebolehan perlakuan tanpa ada sanksi tertentu terhadapnya. Hak dibagi menjadi
hak yang bisa dibatasi (derogable rights) serta hak yang tidak dapat dibatasi (non-derogable
rights). Pembatasan hak yang dimaksud diatas dapat berupa pembatasan yang digunakan
untuk melakukan kontrol, karena dengannya negara berada pada kondisi damai demi
memberikan hak yang lebih tinggi bagi warganya. Sedangkan hak yang tidak dibatasi, karena
memang hak tersebut benar-benar tidak dapat dibatasi, seperti hak untuk berkeyakinan dan
berpikir. Atau hak yang memang jika tidak dibatasi tidak akan terindikasi menyebabkan
pelanggaran hak terhadap hak lain.

4. Hak Sipil dan Kewarganegaraan

Hak asasi manusia adalah upaya untuk memperlakukan semua orang sesuai
martabatnya. Istilah kesetaraan gencar dipromosikan demi mewujudkan hal tersebut.
Kesetaraan yang menandakan bahwa setiap manusia memiliki porsi masing-masing untuk
penghargaan dan perlakuan yang pantas atas kehidupannya. Perlakuan sesuai martabat ini
yang kemudian mendorong dihindarinya sikap diskriminatif yang membeda-bedakan semua
orang berdasar jenis kelamin, kelas sosial, agama dan etnis.

C. PEMBAHASAN
1. Yang menjadi batasan HAM di masa Pandemi Covid 19
 Hak atas Kesehatan,

Perlindungan rakyat dari wabah pandemi covid-19 adalah wujud nyata dari pemenuhan hak
atas kesehatan. Hak yang terdekat dengan hak atas hidup yang fundamental, yang telah
dijamin dalam konstitusi Negara (UUD 1945) khususnya dalam Pasal 28H ayat (1). Juga diatur
dalam berbagai Undang-undang, termasuk Kovenan Internasioanal hak Ekonomi Sosial dan
Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi berdasarkan UU No. 11 tahun 2005.

Pasal 12 ayat (1) ICESCR mengatur secara ketat tentang pelaksanaan kewajiban pemerintah
(pusat dan daerah) dalam pemenuhan hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental
yang tertinggi yang dapat dicapai, yang harus dilaksanakan secara optimal dengan
mengeluarkan seluruh sumber daya yang tersedia, termasuk dalam hal ini: anggaran, fasilitas
infrastruktur dan sumberdaya manusia.

Pelaksanaan hak ini haruslah memenuhi empat prinsip yakni

1) Ketersediaan
2) Aksesibiitas
3) Penerimaan
4) Kualitas.
Melanggar salah satu dari empat prinsip tersebut merupakan pelanggaran HAM karena
pemerintah telah dianggap lalai dan/atau abai terhadap kewajibannya (lihat General Comment
No. 14 UN Commite Economkic, Social and Cultur Rights – UN, Geneva 25 April – 12 Mei
2000). Melanggar salah satu apalagi dua bahkan tiga adalah pelanggaran HAM karena
pemerintah dianggap lalai atau dengan sengaja abai memenuhi kewajibannya

Sebaliknya kebijakan yang melonggarkan PSBB yang berdampak seseorang atau beberapa
bahkan secara massif mengakibatkan warga terpapar Covid-19 dan meninggal dunia maka
pemerintah tidak saja gagal melaksanakan kewajibannya melindungi kesehatan publik, namun
telah melanggar hak hidup warganya yang bersifat non-derogable rights yakni hak yang tidak
bisa dicabut dan dikurangi dalam kondisi apapun meski keadaan darurat sekalipun.

 Hak atas Informasi

Dalam pasal 19(2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) serta Paragraf 18 Komentar Umum No. 34
terhadap Pasal 19 ICCPR, negara wajib menjamin hak setiap orang untuk mencari dan
menerima informasi, termasuk informasi yang dimiliki badan publik. Tidak hanya itu, negara
juga wajib menjamin aksesibilitas terhadap informasi kesehatan sesuai pasal 12(1) ICESCR
dan Paragraf 12(b) Komentar Umum No. 14 terhadap Pasal 12 ICESCR.

Informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak, termasuk informasi terkait
epidemik dan wabah, juga wajib diumumkan oleh badan publik yang memiliki kewenangan,
sesuai pasal 12 Peraturan Komisi Informasi No. 1 tahun 2010 tentang Standar Layanan
Informasi Publik. Bahkan, jika kita menilik pasal 154(1) UU Kesehatan, Pemerintah punya
kewajiban untuk menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah
yang dapat menjadi sumber penularan.

Keterbukaan informasi ini penting dan dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama
oleh para tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan dalam penanganan wabah.
Keterlambatan dan rendahnya transparansi informasi terkait penanganan COVID-19 bisa
membahayakan kesehatan, karena masyarakat dan tenaga kesehatan menjadi tidak bisa
mengambil langkah pencegahan yang maksimal.

 Hak atas Privasi


Wabah COVID-19 juga mengancam hak atas privasi. Dalam sejumlah laporan media, dua
pasien pertama positif corona merasa tertekan karena pemberitaan media yang massif tentang
lokasi tempat tinggal mereka yang disampaikan oleh pejabat publik. Belum lagi, dampak dari
pemberitaan itu turut memengaruhi lingkungan terdekat mereka seperti keluarga, teman dan
tetangga. Padahal, Pasal 17 ICCPR dan Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik telah menjamin informasi dan hak-hak pribadi. Adapun
pengecualian untuk dibuka bisa diberikan apabila terkait dengan riwayat, kondisi anggota
keluarga, perawatan kesehatan fisik dan psikis seseorang. Sehingga, pengungkapan identitas
penderita corona secara terbuka tergolong pelanggaran.

 Hak atas Privasi

Wabah COVID-19 juga mengancam hak atas privasi. Dalam sejumlah laporan media, dua
pasien pertama positif corona merasa tertekan karena pemberitaan media yang massif tentang
lokasi tempat tinggal mereka yang disampaikan oleh pejabat publik. Belum lagi, dampak dari
pemberitaan itu turut memengaruhi lingkungan terdekat mereka seperti keluarga, teman dan
tetangga.

Padahal, Pasal 17 ICCPR dan Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik telah menjamin informasi dan hak-hak pribadi. Adapun pengecualian untuk
dibuka bisa diberikan apabila terkait dengan riwayat, kondisi anggota keluarga, perawatan
kesehatan fisik dan psikis seseorang. Sehingga, pengungkapan identitas penderita corona
secara terbuka tergolong pelanggaran.

 Hak atas Pekerjaan

Dengan diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan kebijakan jarak
sosial (social-distancing) dan bekerja dari rumah (work from home), para pekerja -di sektor
formal hingga informal, dari pekerja industri rumahan maupun usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM), hingga pekerja harian lepas maupun pekerja berpenghasilan rendah
lainnya -rentan menghadapi risiko pemotongan upah, penolakan hak cuti, dirumahkan tanpa
upah, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika perusahaan memilih untuk memotong cuti
bagi pekerja yang tidak masuk sebagai salah satu cara pengendalian COVID-19, maka
Pemerintah wajib memastikan perusahaan tetap membayarkan upah pekerja, sesuai dengan
Paragraf 41 Komentar Umum No. 23 tahun 2016 mengenai hak atas pekerjaan.

Pekerja yang mengalami pengurangan pemasukan akibat penyakit juga memiliki hak untuk
mengakses manfaat-manfaat (tunai dan non-tunai), yang setidaknya mencakup pelayanan
kesehatan, air dan sanitasi, serta makanan sesuai paragraf 2 dan paragraf 59 Komentar Umum
No. 19 tahun 2007 mengenai Hak atas Jaminan Sosial. Yang terpenting, penanganan kondisi
darurat -apapun penyebabnya dan bagaimanapun dampak yang dihasilkan -tidak boleh
melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Di tengah kepihatinan, kerjasama, solidaritas dan
kemanusiaan hendaknya dijadikan semangat bersama.

2. Landasan hukum kebijakan Pemerintah

Dalam paradigma hukum di Indonesia, social distancing maupun lockdown memiliki landasan
hukum berupa UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kekarantinaan
Kesehatan menurut UU No. 6 Tahun 2018 merupakan upaya mencegah dan menangkal keluar
atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Pemberlakuan social distancing maupun
lockdown sebenarnya merupakan upaya dari adanya Kedaruratan Kesehatan. Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan
ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir,
pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya
kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Dalam UU No. 6 Tahun
2018 respon dari keadaan darurat kesehatan diantaranya Karantina rumah, Karantina rumah
sakit, Karantina Wilayah dan yang kini digagas oleh Presiden adalah Pembatasan sosial
berskala besar.

Jika dilihat dari ketentuan umum dari masing-masing penyelenggaraan Kedaruratan


Kesehatan, pun disertai dengan peninjauan terhadap beberapa pasal di dalamnya, seperti pada
Pasal 15 ayat 2 tersurat bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan salah satu
bentuk tindakan dalam menjalani Karantina Kesehatan. Dalam ketentuan umum, Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam
suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Jika kita meninjau lebih jauh
definisi PSBB yang tertuang dalam ketentuan umum memiliki prinsip yang hampir sama dengan
Physical Distancing, yakni adanya pembatasan kegiatan masyarakat.

Karantina Wilayah dalam ketentuan umum merupakan pembatasan penduduk dalam suatu
wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya, yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau
terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi. Pintu Masuk yang dimaksud disini memiliki arti sebagai tempat masuk dan
keluarnya segala jenis kendaraan, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar
udara, maupun pos lintas batas darat negara. Mekanisme mengenai Karantina Wilayah diatur
pada Pasal 54 dan Pasal 55 dalam UU No. 6 Tahun 2018.

Pasal 54 dijelaskan mengenai mekanisme Karantina Wilayah dalam ayat:

(2) perlunya pemberian garis pada wilayah yang dikarantina, serta wilayah tersebut harus terus
dijaga oleh pejabat karantina kesehatan dan pihak kepolisian

(3) anggota masyarakat yang dikarantina tidak diperbolehkan untuk keluar masuk wilayah yang
sedang karantina.

Pasal 55 dijelaskan adanya kewajiban yang harus ditanggung pemerintah guna mendukung
pelaksanaan Karantina Wilayah dalam ayat:

(1) kebutuhan hidup dasar selama masa Karantina Wilayah menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat. Kebutuhan hidup dasar tersebut mencakup kebutuhan hidup dasar
seseorang dan makanan hewan ternak yang berada dalam wilayah karantina.

(2) tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah pada ayat (1)
dapat melibatkan Pemerintah Daerah.

Dari mekanisme penyelenggaraan Karantina Wilayah sesuai Pasal 54 dan Pasal 55 UU No. 6
Tahun 2018 dapat disimpulkan bahwa Karantina Wilayah merupakan nama lain dari kebijakan
lockdown.

D. PENUTUP
1. Kesimpulan

Kasus Covid-19, yang merupakan pandemi global jelas menimbulkan kekhawatiran dari
beragam kalangan, khususnya masyarakat. Kekhawatiran masyarakat semakin menjadi-jadi
dengan melihat lonjakan kasus yang cukup cepat, serta melihat kurangnya kesiapan beberapa
ranah yang cukup vital guna “memerangi” virus corona. Maka dengan itu, masyarakat menuntut
pemerintah agar dapat memberikan perlindungan, sesuai amanat UUD 1945. Salah satu bentuk
perlindungan yang dapat diberikan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, yakni
adalah sebuah kebijakan guna menyikapi kasus Covid-19 ini.

Namun, kebijakan yang dikeluarkan oleh sektor pusat dan daerah sering kali mengalami
“tumpang-tindih” atau dengan kata lain, berlainan. Hal ini dilihat karena kurangnya kordinasi
yang jelas antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Disisi lain Pemerintah Daerah
merupakan pejabat publik yang sifatnya paling dekat dengan masyarakat di wilayahnya,
sehingga Pemerintah Daerah lebih mengetahui kebutuhan dan karakteristik daerahnya. Namun,
di sisi lain adanya aturan dalam UU No. 6 Tahun 2018 mengisyaratkan bahwa Pemerintah
Pusat yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan suatu kebijakan kedaruratan kesehatan.
Maka, hal ini mengakibatkan penerapan kebijakan guna menyikapi adanya Covid-19 menjadi
cukup pelik. Padahal kasus yang sedang dihadapi masyarakat saat ini merupakan virus yang
telah menelan banyak korban jiwa. Akan tetapi, kepelikan tersebut ternyata cukup teredakan
dengan adanya pernyataan secara tegas dari Presiden Jokowi mengenai kebijakan
Pembatasan Sosial Berskala besar yang dipilihnya. Tetapi, dengan melihat proses penetapan
PSBB dalam suatu daerah maka dikhawatirkan PSBB hanya akan menjadi seongok kebijakan
saja, tanpa adanya pelaksanaan secara seragam di seluruh wilayah. Jika hal ini terjadi, maka
akan menyebabkan dampak yang sangat fatal yakni berdampak kepada lambannya Pemerintah
untuk menangani kasus Covid-19.

Selain itu, instrumen hukum yang diterbitkan seiring diterapkannya PSBB masih belum menjadi
titik terang akan segala tanda tanya yang tercipta dari keadaan yang dialami masyarakat saat
ini. Seperti kebijakan lain terkait dengan pelaksaan operasional PSBB oleh berbagai kalangan
dan hak-hak masyarakat selama PSBB belum tercantum didalam instrumen hukum tersebut.
Begitupun realisasi kebijakan yang sampai saat ini belum berjalan secara seragam terkait
dengan PSBB, pun bantuan sosial yang belum diterima secara langsung oleh masyarakat.
Maka, kita perlu menuntun, mengontrol, dan memantau besama-sama terkait proses
pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah. Sebab, sebaik-
baiknya regulasi merupakan regulasi yang terealisasi.

2. Saran
 Sebaiknya pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa lebih kompak untuk membuat
kebijakan yang sangat serius supaya pandemic ini cepat selesai dan dengan
mempertimbangkan hak asasi manusia agar masyaraka bisa melakukan aktifitas
dengan normal dan bisa bekerja lagi. Dikarenakan kebijakan pemerintah untuk WFH
beberapa perusahaan melakukan PHK terhadap pekerja-nya sehingga Hak masyarakat
untuk bekerja hilang.
 Sebaikan pemerintah pusat memiliki kebijakan yang sangat tegas untuk melindungi hak
asasi manusia atas kesehatan dengan tidak melanggar hak asasi manusia yang lain
contohnya bekerja.

Anda mungkin juga menyukai