Anda di halaman 1dari 11

Konsepsi Hak Asasi Manusia

Moch. Zikri Fakar Alghazali, Rizqi Fauziah, Arkan Imtiyaz Nasirun, Wirandika Nur Rohman
11210454000001, 11210454000008, 11210454000039, 11210454000042
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak
Tujuan penulisan ini adalah mengeksplorasi ajaran Islam tentang hak asasi manusia. Temuan
utama penelitian dasar ini adalah dalam pluralisme dunia modern saat ini nilai-nilai universal
HAM merupakan elemen penting yang berfungsi sebagai perekat bagi kehidupan masyarakat,
walaupun sangat sulit untuk memaksakan satu standar paradigma atau worldview tersebut.
Berkenaan dengan itu, konsep hak asasi manusia dalam Islam harus dipahami berangkat darii
kategori huquuqul ibad. Hal ini memungkinkan kita untuk membedakan hak asasi manusia
yang dapat diselenggarakan oleh suatu negara dan yang tidak dapat langsung dilaksanakan.
Temuan lain adalah adanya hubungan paralel antara ajaran Islam dengan HAM. Hal mana
berarti bahwa nilai-nilai universal Islam tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai universal
hak asasi manusia. Ada titik temu (common values/kalimatun sawa) antara Syari'ah dengan
konsep HAM dan konsep manusia yang menyerukan kebajikan-kebajikan yang menyeluruh
(rahmatal lil'alamin/yang mengayomi seluruh alam).

Pendahuluan
Dalam bukunya Hak Asasi Manusia adalah paham yang mengatakan bahwa manusia sejak
dalam kehidupan alamiah (status naturalis) telah mempunyai hak asasi, termasuk hak-hak yang
dimiliki secara pribadi. Hak manusia meliputi hak hidup, hak kebebasan dan kemerdekaan,
serta hak milik (hak memiliki sesuatu). (Max Boli Sabon:87)
Sebuah buku yang berjudul “Human Rights, Individual Rights, and Collective Rights” yang
ditulis oleh Jack Donnelly dan dikutip oleh Peter R. Baehr dikatakan bahwa “human rights are
rights that human beings posses because they are human beings.” Sebagai sebuah identitas yang
membedakan manusia dengan mahluk lain maka sudah sepantasnya hak asasi manusia (HAM)
diakui secara universal tanpa peduli apapun warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang
kultural dan pula agama atau kepercayaan spiritualitasnya (JanBerting,1990:33). Pada
prinsipnya persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam semua aspek merupakan bagian dari
tujuan pendirian suatu negara, bahkan dalam perspektif Teori Locke perlindungan hak-hak
kodrati (hak asasi manusia) merupakan dasar dalam pendirian suatu negara.(Carl J.
Friedrich,1969:hal 101)
Gagasan mengenai hak asasi manusia ditandai dengan munculnya konsep hak kodrati (natural
rights theory) dimana pada zaman kuno yaitu filsafat stoika hingga ke zaman modern dengan
tulisan-tulisan hukum kodrati Thomas Aquinas, Hugo de Groot dan selanjutnya pada zaman
pasca Reinaisans, John Locke mengajukan pemikiran tentang hukum kodrati sehingga

1
melandasi munculnya revolusi yang terjadi di Inggris , Amerika Serikat dan Perancis pada abad
17 dan 18. (Rhona. K.M.Smith:12)
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dikaji adalah : Bagaimana
konsep dasar HAM dan Perkembangan pemikiran HAM serta Universalisme HAM dan
relativisme budaya ?

Konsep Dasar Hak Asasi Manusia

Sebelum masuk pada konsepsi HAM lebih lanjut alangkah baiknya kita terlebih dahulu
mengerti pengertian HAM itu sendiri. HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia
dan merupakan anugerah Tuhan yang maha Esa yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi.
(UU No. 39 Th. 1999) Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya
sebagai manusia.(Jack Donnely,2003:7-21)

Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah
sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat
dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau
betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena
itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai
makhluk insani. (Maurice Cranston, 1973:70)

Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil Government and a
Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua
individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang
merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara. Melalui
suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini
diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan
kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas
menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia
menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak
individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat. (1964:167)

Konsep indivisible, interrelated dan interdependent

Hak Asasi Manusia (Human Rights) diartikan sebagai hak-hak kodrat yang bersifat melekat
(inherent in dignity) sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. (Lihat Pasal 1 ayat 1 UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM).

HAM dimiliki manusia karena HAM bersifat melekat pada diri manusia karena kodratnya
sebagai manusia. Oleh karena HAM bukanlah pemberian atau warisan atau belas kasihan dari
negara, sehingga negara tidak dibenarkan mencabutnya (inalienable). (Lihat Deklarasi Umum
Hak Asasi Manusia Dalam Resolusi Majelis Umum PBB 10 Desember 1948 Nomor 217 A (III)
Pada Mukadima Alenia I). dan tidak dapat membatasi HAM secara sewenang-wenang

2
(indivisible). (Pasal 3 sd 9 DUHAM, Pasal 6,7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 Kovenan
Internasional Hak Sipil Politik 1966, Pasal 28 I Ayat 1 dan 2 UUD NRI Tahun 1945).

Setiap hak asasi manusia tidak dapat dibagi-bagi baik itu hak sipil dan politik seperti hak untuk
hidup, hak untuk diperlakukan secara adil dihadapan hukum, hak untuk berekspresi maupun
hak ekonomi, social dan budaya seperti hak untuk bekerja, hak untuk mendapatkan pendidikan,
hak atas pembangunan, dll karena HAM bersifat tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan
dan saling ketergantungan antara satu dengan yang lain. Artinya peningkatan fasilitas pada
salah satu hak akan meningkatkan pemenuhan pada hak yang lainnya. Begitu juga sebaliknya,
pengurangan fasilitas pada salah satu hak akan mempengaruhi penurunan pada hak yang
lainnya.

Konsep Universal dan Inalienable

Konsep universal (umum) artinya adalah bahwa Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1948
merupakan pernyataan kehendak yang secara umum telah dirujuk sebagai pedoman dalam
menyusun berbagai Perjanjian Internasional, resolusi, dan deklarasi di bidang HAM.
Sedangkan prinsip inalienable artinya bahwa Negara-negara tidak diperbolehkan untuk
mencabut HAM setiap individu kecuali dalam situasi yang sangat khusus dan berdasarkan
prosedur yang adil. (Jimly Asshiddiqie, 2007:117)

Konsep Equal and non-discriminatory

Konsep non-diskriminasi ini adalah konsep yang sangat penting dan menjadi konsep yang
diadobsi dalam hampir semua perjanijan internasional tentang HAM misalnya termaktub
dalam the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
(Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) and the
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan). Konsep
ini berlaku bagi setiap orang dan larangan bagi setiap orang untuk mendiskriminasi atas dasar
jenis kelamin, ras, warna kulit, agama, dll. Pinsip non-diskriminasi terkait dengan prinsip
kesetaraan (equality) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 DUHAM: “All human beings are
born free and equal in dignity and rights.” (Setiap manusia dilahirkan bebas dan setara dalam
martabat dan hak-hak nya). Penggunaan istilah “all human beings” berarti bahwa “everyone
(setiap orang)” memiliki hak yang sama atau dengan kata lain “ no one (tidak seorangpun)”
boleh diabaikan hak-haknya atau diperlakukan secara berbedaberdasarkan misalnya perbedaan
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul,
tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya. (Fulthoni, dkk, 2009:3)

Menurut The Arab Charter of Human Rights yang disahkan pada tanggal 15September 1994,
pada Pembukaan Alenia II dinyatakan bahwa: “Having achievement the everlasting principles
established by the Islamic Shari’a and the other divine religions enshrined in brotherhood and
equality v amongst human beings”.

Meskipun Konvensi HAM di Arab ini baru disahkan pada tahun 1994, namun dalam hal
pengakuan terhadap prinsip equality setiap manusia diakui dalam Konvensi ini sebagai bagian
dari upaya tanpa henti dalam mencapai konsep yang telah ada dalam Hukum Islam (Islamic
Shari’a) termasuk hidup berdampingin dengan beda agama. Sedangkan prinsip “tanpa

3
diskriminasi” secara tegas dinyatakan dalam Bagian Kedua Pasal 2 bahkan secara eksplisit
pelarangan diskriminasi terhadap pria dan wanita dinyatakan sebagai berkut:“…that every
individual located within its territory and subject to its jurisdiction, shall have the right to enjoy
all rights and freedoms recognized in this (Charter), withouth distinction on th basis of race,
colour, sex, age, religion, political, opinion, national or social orihion, wealth, birth, or other
status, and without any discrimination between men and women.”

Di negara Islam lainnya juga telah menerima dan menerapkan konsep demokrasi yang salah
satunya terdapat pengakuan dan penghormatan terhadap HAM, sebagaimana dikutip oleh Naoh
Feldman, yang menyebutkan bahwa: ‘Currently, the constitution of Iraq and Afganistan do
guarantee equality for men and women’. Dari uraian di atas menunjukan bahwa baik di negara-
negara dimana Islam sebagai minoritas seperti Amerika Serikat dan Eropa, hak-hak mereka
dijamin didalam UU HAM yang berlaku di negara tersebut, begitu pula di negara-negara
dimana Islam sebagai mayoritas, sebab berdasarkan Pasal 1 DUHAM, HAM tidak memandang
perbedaan baik itu agama, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, politik yang dianut,
kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya. (Noah
Feldman, 2008:81)

Prinsip State Obligation (Kewajiban Negara)

Tomuschat dalam bukunya “Human Rights: Between Idealism and Realism” menggambarkan
bahwa sejarah Hak Asasi Manusia tentunya tidak dapat dilepaskan dengan kemunculan sejarah
terbentuknya Negara modern itu sendiri. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah bahwa
pertama, Negara dalam bentuknya yang modern tersebut telah diterima sebagai sebuah bentuk
organisasi yang cocok untuk mempromosikan HAM untuk kepentingan rakyatnya sebagai
sumber pergaulan dalam menghadapi perang yang tiada akhir diantara masyarakat yang
majemuk. Dimana perang juga disebut sebagai sebuah senjata yang mengancam kehidupan dan
peradaban warga Negara tersebut. Olehkarenanya, HAM telah memerankan fungsinya dalam
mendialogkan perbedaan tersebut. Kedua, Negara juga diakui sebagai penjamin dari HAM
yang secara institusional diberikan kekuasaan untuk mengamankan keberadaan, kebebasan dan
kekayaan warga negaranya. Meskipun pada saat yang sama dalam sejarah telah
menggambarkan bahwa aktor-aktor Negara yang memiliki kekuasaan itulah yang melanggar
hak-hak warga Negara tersebut. (2003:7)

Marek Piechowaik memberikan pengertian bahwa HAM merupakan hak yang dimiliki oleh
setiap individu karena kodratnya sebagai manusia, jadi bukan berasal dari hukum. Pengurangan
atau pembatasan hak asasi manusia hanya diperbolehkan pada hak-hak tertentu dan dalam
keadaan tertentu seperti keadaaan darurat umum, dengan langkah-langkah tertentu, harus sudah
dinyatakan secara tegas dalam undang-undang, serta tidak bermaksud untuk
mendiskriminasikan pihak lain. (Thomas Buergental, 2001:315-353)

Perkembangan Pemikiran HAM

Jika dirunut jauh ke belakang, sesungguhnya wacana HAM telah hidupbahkan sejak jaman
Yunani Kuno dan Romawi ketika terjadi perdebatankontroversial yang menggeser hak objektif
dan hak subjektif. Ketika itu sudahdikenal konsep hak, namun hak ini tidak melekat pada
semua orang, melainkanhanya dimiliki sebagian orang sesuai status, kolektivitas, dan kelas.

4
Magna Cartapada 1215 kemudian menekankan hak atas kepemilikan melampaui kelas
baron.(Freeman 2002).

Namun jika dilihat asal-usul, sejarah, dan filsafat, penyusunan rejim HAM internasional sangat
dipengaruhi dan berakar dari pemikiran teori hak alamiah (natural rights theory) yang
dicetuskan Thomas Aquinas dan dikembangkan Grotiusserta teori kontrak sosial yang
dikembangkan John Locke (Griffin 2008; Asplund2008; Freeman 2002; Brown 2002). Grotius
mengembangkan teori hukum alamiah ala Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik
dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional (Asplund 2008). Menurut
Grotius, setiaporang harusmenikmati hak-haknya dengan bantuan masyarakat
untukmempertahankan hidup, kebebasan, dan miliknya (Freeman 2002).

Momentum yang berkontribusi paling penting bagi penyusunan dan pelembagaan rejim HAM
internasional adalah perkembangan sosial politik pada abad pencerahan. Oleh karena itulah,
HAM sering diidentikkan sebagai proyek abad pencerahan pada akhir abad 18. The Declaration
of the Rights of Man and the Citizens yang merupakan hasil penting Revolusi Perancis 1789
menjadi momentum bagi penyusunan dan pelembagaan HAM sebagai praktik sosial politik
internasional (Griffin 2008). Deklarasi ini mencakup posisi yang setara di hadapan hukum,
kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, praduga tak bersalah, kebebasan berekspresi,
kebebasan agama, keamanan, kebebasan umum untuk melakukan segala sesuatu yang tidak
menyakiti orang lain, dan hak kepemilikan (Freeman 2002). Egalitarianisme dan kesetaraan
menjadi nafas yang menghidupi deklarasi ini. Revolusi Perancis kemudian menandai
pergeseran dari sistem politik berbasis pada status dan keistimewaan (priviledge) menuju
sistem politik yang mendeklarasikan kebebasan dan kesetaraan sebagai prinsip (Cowan 2001:
61).

Pada jaman pencerahan, teori hukum alamiah dan kontrak sosial dihujani kritik, sebagian
datang dari Burke, Bentham, dan Marx. Bagi Burke dan Bentham, teori alamiah dan kontrak
sosial tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya serta bersifat ahistoris dan
imajiner. Marx mengritik bahwa teori hak alamiah mengekspresikan kepentingan kelas
borjuasi dan merefleksikan ketidaksetaraan struktur masyarakat berbasis kelas. Bagi Marx,
konsepsi hak menurut teori ini mengabaikan pentingnya buruh, produksi, dan kesejahteraan
manusia (Freeman 2002: 29).

Selain itu, teori hukum alamiah ditentang pula oleh kaum konservatif yang mengganggap teori
ini terlalu egaliter dan subversif. Penolakan juga dating dari kaum utilitarian positivis yang
memandang bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Kritik ini
datang pada jaman pencerahan yang kental dengan metode-metode empiris (Asplund 2008).
Meskipun demikian, sesungguhnya, kaum utilitarian pendukung demokrasi liberal pula yang
mempromosikan teori dan praktik HAM. Berbeda dengan kelompok yang percaya teori
kontrak sosial, kaum utilitarian menawarkan pendekatan yang lebih teknokratik dan pragmatis
dalam melembagakan hak-hak dasar warga (Charvet dan Kaczynska-Nay 2008).

Namun berbagai kritik itu tidak melunturkan pengaruh teori hukum alamiah. Teori ini kembali
naik panggung setelah dunia diguncang kebiadaban dan kebengisan selama Perang Dunia II.
Kembalinya teori ini tercermin dari pengesahan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
(DUHAM) atau dikenal sebagai International Bill of Human Rights yang menandai momentum

5
baru: internasionalisasi gagasan HAM (Asplund 2008). Sampai titik ini tampak bahwa HAM
sering dikaitkan dengan perdebatan teori hak alamiah, teori kontrak sosial, konteks sosial era
kegelapan (kolaborasi negatif negara dan gereja) pada abad pertengahan, serta konteks sosial
Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan Perang Dingin. Dokumen-dokumen penting HAM
kontemporer, utamanya DUHAM, dilahirkan dalam konteks sosial yang mengijinkan
perlakukan keji, bengis, dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh, utamanya,aparat negara
terhadap individu atau kelompok individu (Baderin 2007).

Pemikiran tentang HAM terus berkembang mengikuti konteks sosial dunia yang terus berubah.
Perkembangan ini secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam kategorisasi hak yang terkenal
sebagai tiga generasi hak.

1. Generasi Hak Pertama.

Hak-hak sipil dan politik (Sipol) disebut sebagai generasi hak pertama. Hak-hak dalam generasi
ini di antaranya hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari
penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan,
kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan
penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang
berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil. Rumpun hak ini disebut juga
hak negatif yang mensyaratkan tiadanya campur tangan negara di dalam perwujudan hak.
Negara justru lebih rentan melakukan pelanggaran HAM jika bertindak aktif terkait hak-hak
ini (Asplund 2008, Brown 2002).

Hak-hak Sipol berangkat dari pengalaman traumatik negara Barat atas terampasnya hak dan
kebebasan pada masa kegelapan abad pertengahan dan tiga perang dunia abad 20. Namun
demikian, konteks Dunia Ketiga yang merupakan negara-negara korban kolonialisme juga
sangat mewarnai perumusan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP).
Hak untuk menentukan nasib sendiri, misalnya, menjadi isu kontroversial pasca- DUHAM.
Negara-negara Asia, Afrika, dan Arab gigih memperjuangkan isu ini dalam Konferensi Asia
Afrika di Bandung pada 1955. Mereka berpandangan bahwa hak untuk menentukan nasib
sendiri merupakan prakondisi fundamental bagi semua pemenuhan HAM dan kolonialisme
dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM (Burke 2010: 36).

2. Generasi Hak Kedua

Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) disebut sebagai generasi hak kedua. Hak-hak
Ekosob merupakan kontribusi dari negara- negara sosialis yang menomorsatukan pemenuhan
kesejahteraan warganya (Ishay 2007).

Hak-hak yang termasuk dalam rumpun hak ini antara lain, hak atas pekerjaan dan upah yang
layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak
atas perumahan, hak atas tanah, dan hak atas lingkungan yang sehat. Hak ini disebut pula
sebagai hak positif yang mensyaratkan peran aktif negara dalam pemenuhannya. Oleh karena
itulah, hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right
to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Pada dasarnya, generasi hak
kedua ini merupakan tuntutan akan persamaan sosial (Asplund 2008, Brown 2002).

6
Beberapa prinsip utama kewajiban negara dalam pemenuhan hak- hak ini, antara lain realisasi
progresif, sumber daya maksimal yang mungkin, nonretrogresi, kewajiban pokok minimal,
nondiskriminasi, setara, partisipasi, akuntabilitas, pemulihan yang efektif, serta perhatian pada
kelompok rentan (Diokno 2004).

Pada generasi hak ini, budaya merupakan objek hak yang bisa diklaim. Setiap individu berhak
memiliki dan menikmati budaya. Hak budaya ini dilegitimasi pula di dalam beberapa instrumen
internasional, di antaranya Pasal 2.1 UN Declaration on the Rights of Persons Belonging to
Ethnic or National, Linguistic and Religious Minorities dan Pasal 27 Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik, dan Konvensi ILO No. 169.

3. Generasi Hak Ketiga

Rumpun hak generasi ketiga disebut hak-hak solidaritas. Rumpun hak ini merupakan tuntutan
negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang lebih adil. Hak-
hak yang termasuk rumpun ini, antara lain hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak
atas sumber daya alam sendiri, hak atas lingkungan hidup yang baik, dan hak atas warisan
budaya sendiri. Hak- hak kelompok, seperti imigran, masyarakat hukum adat (indigeneous
people), dan kelompok minoritas harus dilindungi oleh negara. Hak kelompok ini melahirkan
teorisasi ulang atas HAM yang menempatkan hak kelompok sebagai HAM dalam generasi
ketiga hak. Klaim budaya, tradisi, bahasa, agama, etnisitas, lokalitas, suku bangsa, atau ras
menjadi elemen yang karib dalam proses pemikiran HAM kontemporer (Cowan 2001: 8—11).
Universalisme HAM Dan Relativisme Budaya

1. Universalisme (universalism)

Secara filosofis, universalisme hadir melalui alur fikir bebarapa filsuf Yunani Klasik seperti
Socrates dan Aristoteles. Socrates adalah seorang filsuf yang selalu berusaha mencari
kebenaran universal.28 Sedangkan Aristoteles, dalam suatu karyanya Nicomachean Ethics
secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral
yang bersifat alamiah. (Knut D. Asplun, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Hukum Hak
Asasi Manusia, cet. III, Pusham UII, Yogyakarta, 2015, hlm. 19)

Secara sederhana dapat dipahami bahwa kedua filsuf tersebut mengasumsikan akan
adanya keberadaan suatu nilai moral universal. Universalisme moral bermaksud meletakkan
keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah dapat
diidentifikasi secara rasional. Dalam perkembangannya, pandangan akan adanya keberadaan
suatu nilai moral universal ini mendapat dukungan dari Jhon Locke, salah seorang filsuf abad
17 dan berkembang kearah pandangan hak kodrati. Dalam dua karangan, The First Treatise of
Government dan The Second Treatise of Government Locke mengajukan pandangannya.
Dalam karangan pertama, Locke menolak kedudukan Raja sebagai sesuatu yang bersifat
illahiah karena menurutnya tidak terdapat alasan logis dan teologis untuk mendukung hal
tersebut. Dalam buku kedua barulah Locke menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk
yang terlahir dengan hak-hak kodrati.

7
Menurut Stanley, abad 17 dan 18 merupakan permulaan awal berkembangnya pandangan
tentang hak kodrati. Pada awal perkembangannya hak kodrati tersebut berwatak religius
dengan asumsi bahwa “setiap manusia sama dihadapan tuhan”. Namun dalam
perkembangannya, watak religius tersebut hilang atau beralih sekuler tatkala berubah menjadi
pandangan hak asasi manusia, dengan asumsi bahwa “setiap manusia sama dihadapan
hukum”. Secara sosiologis, universalisme hak asasi manusia erat kaitannya dengan sistem
negara abad ke-25 dimana setiap orang terbelenggu oleh otoritas negara dan tidak ada
satupun kelompok yang terbebas dari otoritas ini (Eko Riyadi, Op.Cit, 2018, hlm. 34)

.Dalam keadaan demikian, lalu muncullah dorongan akan perlindungan dan penghormatan
terhadap privasi dan individu dari gangguan masyarakat, keluarga dan terutama negara.
Universalisme HAM merupakan pernyataan dan tuntutan terhadap pengakuan bahwa hak-hak
manusia yang asasi adalah bagian kodrati yang inheren pada setiap pribadi manusia, tak
peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usia, latar belakang kultural, agama atau
spiritualitasnya. Dengan kata lain, paham HAM universal bermaksud melampaui semua
batasan primordialisme. (Soetandyo wignjosoebroto, dalam Adnan B Nasution, Ham dan
Demokrasi (Arus Pemikiran Konstitusionalisme), Kata Penerbit, Jakarta, 2007, hlm. Xiv 4 Knut D.
Asplun, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Op.Cit)

2. Relativisme Budaya (Cultural Relativism)

Secara filosofis, relativisme budaya merupakan paham yang berangkat dari ide umum yang
menyatakan bahwa karakter moral bersifat relatif. Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia,
relativisme budaya muncul menjelang berakhirnya perang dingin sebagai antitesa terhadap klaim
universal dari gagasan hak asasi manusia internasional. (Knut D. Asplun, Suparman Marzuki, Eko
Riyadi (editor), Op.Cit, 2015, hlm. 20)

Menurut Jack Donelly, gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan
merupakan satusatunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. (Jack Donelly, Universal Human
Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003, hlm. 89-93 )

Relativisme budaya merupakan suatu pandangan yang menolak konsepsi universalis dengan asumsi
bahwa universalisme merupakan dominasi budaya barat. Menurut relativisme budaya, hak asasi
manusia harus disesuaikan dengan konteks kebudayaan masing-masing masyarakat. Pandangan
bahwa konsep hak asasi manusia harus disesuaikan dengan konteks kebudayaan ini diusung oleh
negara berkembang, negara islam dan negara dunia ketiga pada dasawarsa 1990- an.( Knut D.
Asplun, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Op.Cit, 2015, hlm. 20)

Aktor yang dikenal mempelopori pandangan relativisme budaya ialah Lee Kwan Yew (Singapura) dan
Mahathir Muhammad (Malaysia). Lee Kwan Yew menyatakan dalam sebuah ceramahnya di Jepang
bahwa “di Asia Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi, melainkan dengan
pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni sutu kepemimpinan yang transparan dan tidak korup”.
Menurut Lee, yang terlebih dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah pembangunan ekonomi
yang ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan memberikan kebabasan dan hak asasi
manusia.( Ibid., hlm. 21)

Dengan maksud yang hampir sama, Mahathir Mohammad menyatakan bahwa “saat kemiskinan dan
tidak tersedianya pangan yang memadai masih merajalela, dan kebutuhankebutuhan dasar rakyat
tidak terjamin, maka prioritas mesti diberikan kepada pembangunan ekonomi”. (Mahathir

8
Mohammad, “Keynote Addres”, dalam laporan “International Conference Rethinking Human Rights”,
yang diselenggarakan oleh JUST, Kuala Lumpur, 1994)

8Atas dasar ini Mahathir menolak pemaksaan standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke
negara lain. Singkatnya, oleh kedua aktor Asia ini, ide hak asasi manusia tidak urgen bagi bangsa Asia.
Lebih lanjut para pemimpin dan cendikiawan negara-negara di kawasan Lembah Pasifik Barat,
mengajukan klaim tentang “nilai-nilai Asia” (Asian Values). Menurut mereka Asian Values lebih
relevan untuk kemajuan dikawasan ini, ketimbang “nilai-nilai Barat” seperti hak asasi manusia dan
demokrasi.( Knut D. Asplun, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Op.Cit, 2015, hlm. 21)

Klaim terhadap nilai-nilai Asia ini tampak ingin menegaskan ke dunia (khususnya barat)
bahwa Asia punya nilai dan budayanya sendiri dalam mengatur kehidupan (sosial dan
politik). Demikianlah terlihat bahwa oleh relativisme budaya, hak asasi manusia dan aturan
moralitas harus disandikan sesuai dan tergantung pada konteks budaya. Atau dengan kata lain
relativisme budaya menyatakan bahwa gagasan tentang hak dan aturan moral harus dibuat
secara berbedabeda karena akar dari budaya juga berbeda-beda.

9
DAFTAR PUSTAKA

Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University
Press, Ithaca and London, 2003.

Jan Bertin et.al. (eds), Human Rights in a Plural World: Individuals and
Colletivities, Meckler, Westport and London, 1990.

J. Friedrich, Carl, 1969. The Philosophy of Law in Historical Perspektive, Chicago


& London: Chicago University.

Ashidiqi, Jimly, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya,


paper on Public Dialog and Consulation with National Commission of
Woman “Perempuan dan Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan dan
Penyikapan Bersama”. Jakarta, 27 Nopember 2007.
http://jimly.com/makalah/namafile/8/HAK_KONSTITUSIONAL_PEREMP
UAN .Doc

Fulthoni, dkk, 2009. Buku Saku untuk Kebebasan Beragama: Memahami


Diskriminasi. Jakarta: ILRC.

Tomuschat, Christian. Human Rights, Between Idealism and Realism. Oxford


University Press, 2003.

Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global. Bandung: Alumni Bandung, 2000.

Brownlie, I.. Principles of International Law. 5th Edition, Oxford, 1998. Chapter 2
Buergental, Thomas. Menghormati dan Menjamin: Kewajiban Negara dan
Pengurangan Hak Yang Diizinkan. dalam Ifdal Kasim (eds.), Hak Sipil dan
Politik: Esai-esai Pilihan, Buku 1, Penerbit ELSAM, ISBN: 979-8981-20-0.
Jakarta, 2001.

Asplund, Knut D. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. 2008. Jogjakarta: Pusham UII
dan University of Oslo.

Baderin, Mashood A. 2007. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia & Hukum
Islam. Jakarta: Komnas HAM.

Brown , M Ane. 2002. Human rights and the borders of suffering. Manchester:
Manchester UniversityPress.

Burke, Roland. 2010. Decolonization and the Evolution of International Human


Rights. Philadelpia: University of Pennsylvania Press.

Diokno, Maria Socorro I. 2004. Human Rights Centered Development. Quezon


City: The University of the Philippines Press.

Freeman, Michael. 2002. Human Righs. Cambridge: Polity Press.

10
Griffin, James. 2008. On Human Rights. 2008. New York: Oxford University Press.

Ishay , Michelin R. (eds). 2007. Human Rights Reader. New York: Routledge.

Mun’im, Abdul. 2006. Memeriksa Kewajiban Negara. Jakarta: LP3ES.

11

Anda mungkin juga menyukai