Anda di halaman 1dari 312

BAB II

KAJIAN MENGENAI PERSAMAAN DALAM HUKUM, DAN


PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
2.1.

Persamaan Hak Dalam Hukum


Memahami makna suatu esensi yang melekat dan sama-sama dimiliki
setiap orang sebagai subjek hukum juga salah satu kriteria pendukung dari
sesuatu yang dapat dituntut oleh setiap manusia secara kodrati sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan sebutan hak.
Sejalan dengan pemahaman E. Sumaryono yang mengutip pendapat
Thomas Aquinas mengenai Hak adalah keseimbangan yang secara kodrat
melekat pada sesuatu yang diberikan kepada orang lain sebagai persona
berdasarkan persamaan derajat, hak adalah premis yang diperlukan untuk
mengembangkan gagasan tentang moralitas dan hukum secara asas hukum
subjektif bersifat moral maupun rasional memiliki pengertian yaitu hak-hak yang
berada pada manusia dan menjadi dasar pembentukan hukum.77
Sebab hak bukanlah diberikan dan ditentukan oleh hukum, namun
hukumlah yang melindungi dan menjamin kepastian persamaan hak-hak itu
dalam hukum. Jika memperhatikan pemahaman dari Thomas Aquinas tersebut,
dalam kajian ini penulis melihat bahwa ada hak yang secara mendasar dimiliki
manusia secara kodrati dinamakan sebagai hak asasi manusia, Istilah hak

77 E. Sumaryno, Etika dan Hukum (Relevansi Teori hukum Kodrat Thomas


Aquinas), Kanisius Yogyakarta, 2002. hlm 289.

asasi manusia merupakan alih bahasa dari human right


(Inggris), droit de Ihomme (Perancis) dan menselijkerechten
(Belanda). Secara harfiah, teori hak asasi manusia itu intinya
membahas hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu
merupakan

hak

yang

bersifat

fundamental

sehingga

keberadaannya merupakan suatu keharusan (conditio sine qua


non), tidak dapat di ganggu gugat. Bahkan, harus dilindungi,
dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman,
hambatan,

dan

gangguan

dari

sesamanya.78

Salah

satu

pengertian hak asasi manusia yang lainnya disampaikan oleh


Jan Matenson yakni hak-hak yang diwariskan dari kodrat kita
yang tanpanya kita tidak dapat hidup sebagai manusia. 79 Pada
awalnya pengertian yang telah disebut diatas diterima secara
universal tetapi dalam perkembangannya lebih khusus lagi
dalam implementasi sistem hukum positif, teori dan konsep hak
asasi manusia telah menjadi perdebatan dan kontroversi antara
satu bangsa dengan bangsa lainnya. Kontroversi tersebut terjadi
78 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan
Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006, hlm.49.

79 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm.1

sebab sejak awal terdapat kesulitan untuk menetapkan batasan


yang nyata dan definitif dari hak asasi manusia. Hak-hak
tersebut berkisar pada pengertian kebebasan dan prinsip
persamaan. Prinsip-prinsip mana senantiasa menjadi arena
perbedaan paham dan teori yang berbeda-beda.

Terdapat 4

(empat) kelompok pandangan mengenai hak asasi manusia


tersebut:80
1. Mereka yang berpandangan universal-absolite melihat hak
asasi manusia itu sebagai nilai-nilai universal belaka seperti
dirumuskan dalam The Internasional Bill of Human Rights.
Kelompok ini tidak menghargai sama sekali profil sosial
budaya

yang

melekat

pada

masing-masing

bangsa.

Pandangan ini dianut oleh negara-negara maju. Bagi negaranegara yang sedang berkembang dalam urusan HAM, negara
maju dipandang eksploitatif kerena menggunakannya sebagai
alat

untuk

menekan

dan

instrumen

penilai

(tool

of

judgement).
2. Negara-negara atau kelompok yang memandang hak asasi
manusia secara universalrelative. Mereka memandang hak
asasi manusia sebagai masalah universal tetapi asas-asas
80 Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997,
hlm.105-106.

hukum internasional tetap diakui keberadaannya. Misalnya,


ketentuan

yang

diatur

dalam

pasal

29

(2)

Universal

Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyatakan :


Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang
hanya dapat dibatasi oleh hukum untuk menjamin pengakuan
dan penghargaan terhadap hak dan kebebasan oranglain
untuk memenuhi persyaratan moral, ketertiban umum dan
kepentingan

masyarakat

luas

dalam

bangsa

yang

berdemokrasi
3. Negara atau kelompok yang berpandangan particularisticabsolute, bahwa hak asasi merupakan persoalan masingmasing

bangsa

sehingga

mereka

menolak

berlakunya

dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini bersifat egois


dan pasif terhadap hak asasi.
4. Negara atau kelompok yang berpandangan particularisticrelative melihat persoalan hak asasi disamping sebagai
masalah universal juga merupakan persoalan masing-masing
negara.

Berlakunya

dokumen-dokumen

internasional

diselaraskan dan diserasikan dengan budaya bangsa.


Dari keempat pandangan diatas, negara Indonesia dapat
dikategorikan ke dalam golongan pandanagn Partikularistik
Relative yang memahami pentingnya hak asasi manusia, tetapi

pemberlakuannya harus disesuaikan dengan Pancasila dan UUD


1945.
Menurut Universal Declaration of Human Rights (UDHR),
terdapat 5 (lima) jenis hak asasi yang dimiliki setiap manusia,
antara lain :
1.
2.
3.
4.

Hak
Hak
Hak
Hak

personal (hak jaminan kebutuhan pribadi).


legal (hak jaminan perlindungan hukum).
sipil dan politik.
subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk

menunjang kehidupan).
5. Hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pengakuan tentang hak telah diakui sejak indonesia
merdeka Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang
menyatakan bahwa Kemerdekaan ialah hak segala bangsa
serta penjajahan harus dihapuskan serta dalam alinea kedua
yang menyatakan bahwa Kemerdekaan negara menghantarkan
rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur. Pemasukan unsurunsur hak dalam peraturan perundangundangan telah disadari
oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang wajib
ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran
makro,

persamaan

hak

asasi

itu

telah

digariskan

dalam

Pembukaan UUD 1945.


Seperti

yang

diratifikasi

dari

hukum

Internasional

mengenai hak yang juga bersifat asasi, mengingat Indonesia

sebagai salah satu anggota PBB memberikan ruang untuk


menempatkan

substansi

hukum

internasional

(International

Covenan on Civil and Political Rights) berdasarkan ICCPR yang


penjelasannya diuraikan (to be explanation is match)81 Recognizing that these

rights derive from the inherent dignity of the human person,


Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration
of Human Rights, the ideal of free human beings enjoying civil
and political freedom and freedom from fear and want can only
be achieved if conditions are created whereby everyone may
enjoy his civil and political rights, as well as his economic, social
and cultural rights, Considering the obligation of States under
the Charter of the United Nations to promote universal respect
for, and observance of, human rights and freedoms, Realizing
that the individual, having duties to other individuals and to the
community to which he belongs, is under a responsibility to
strive for the promotion and observance of the rights recognized
in the present Covenant
Terjemahan bebasnya adalah pengakuan hak-hak ini berasal dari martabat
yang melekat pada manusia, sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, yang ideal manusia bebas menikmati kebebasan sipil dan politik dan
81 The International Covenant on Civil and Political Rights Number 14668, Vol.
999,1-14668, on 23 March 1976. p.4.

kebebasan dari ketakutan dan ingin hanya dapat dicapai jika kondisi dibuat
dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politiknya, serta hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya nya, Mengingat kewajiban Negara di bawah Piagam
PBB untuk menghormati dan mentaati norma atau peraturan dari persamaan hak
dalam hal ini hak asasi manusia dan kebebasan, menyadari bahwa individu,
memiliki tugas untuk orang lain dan untuk masyarakat yang ia milik, berada di
bawah tanggung jawab untuk berjuang untuk promosi dan ketaatan terhadap hakhak yang diakui dalam Kovenan ini.
Tentang

kedua

hak

yang

menjadi

bagian

dalam

perundang-undangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan


Undang-Undang Dasar 1945 dimaksud itu adalah:82
1) Non Derogable Right
Non Derogable Right adalah Hak-hak yang bersifat absolut
yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negaranegara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.
Hak yang termasuk jenis ini, yakni: Hak atas hidup, hak bebas
dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari
penahanan karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti:
hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai
subyek hukum, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan
82 Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM)
dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM),
Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2005, hlm.133.

agama).

Pelanggaran

terhadap

hak

jenis

ini

akan

mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius HAM


(Gross Violation of Human Rights).
2) Derogable Right
Derogable Right adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau
dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk
dalam jenis hak ini yakni: hak atas kebebasan berkumpul
secara damai, hak atas kebebasan berserikat termasuk
membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak atas
kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk
kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi
dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negara-negara
pihak

diperbolehkan

mengurangi

atas

kewajiban

dalam

memenuhi hak-hak tersebut. Akan tetapi pengurangan hanya


dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang
dihadapi

dan

tidak

diskriminatif

yaitu

demi

menjaga

keamanan nasional, ketertiban umum, menghormati hak atau


kebebasan

orang

lain.

Di

Indonesia,

selain

UUD

1945

keberadaan hak-hak sipil yang sesuai dengan Konvenan Sipil


dan politik termuat dalam banyak peraturan perundangundangan.
Kemudian

diformalkan

dalam

bentuk

peraturan

perundang-udangan oleh lembaga politik dalam hal ini lembaga

pemerintahan dan dioperasionalkan yang dilaksanakan oleh


pejabat

atau

aparatur

negara

dalam

bentuk

peraturan

pemerintah/peraturan lainnya sebagai pegangan para pejabat


dalam memberikan perlindungan tersebut bagi warga negara
dari adanya tindakan kesewanang-wenangan, diskriminatif dan
penindasan.
Penambahan terhadap kajian mengenai hak menurut Prof. Lili Rasjidi,
membagi hak-hak itu menjadi:83
a) Hak yang Sempurna dan Tidak Sempurna
Hak yang sempurna adalah hak yang ditandai oleh pemenuhan kewajiban
yang sempurna pula.
Hak yang tidak sempurna adalah hak yang juga dikenal dan diatur oleh
hukum, namun tidak dapat dipaksakan.
b) Hak yang bersifat Positif dan Negatif
Hak yang positif melahirkan kewajiban positif. Ini merupakan suatu hak di
mana seseorang yang memiliki kewajiban akan melakukan perbuatan yang
bersifat positif atas nama orang yang berhak tadi.
Hak yang negatif akan menyebabkan timbulnya kewajiban yang negative
pula. Hak yang negatif merupakan hak dimana orang yang terikat akan
menahan diri untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang akan
menimbulkan prasangka kepada pemegang hak.
c) Hak In Rem dan Hak In Persona

83 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. hlm 7274

Hak in rem ini sering juga disebut hak yang konkret, merupakan kewajiban
yang dikenakan kepada orang-orang pada umumnya. Hak in personam juga
disebut hak perseorangan, merupakan kewajiban yang dibebankan kepada
seseorang tertentu.
d) Hak Milik dan Hak-Hak Perseorangan
Agregat dari hak milik seseorang mengatur tanah miliknya aktivanya atau
hak miliknya. Keseluruhan jumlah hak ini menimbulkan status atau kondisi
pribadi. Jika ia memiliki tanah, peralatan meja kursi, saham-saham dalam
suatu perusahaan, itikad baik dalam suatu usaha dagang, semua ini
melahirkan hak milik. Dan jika seorang warga Negara yang bebas, seorang
ayah atau suami, hak-hak yang dimilikinya melahirkan status dan kedudukan
menurut hukum.
e) Hak-hak In Propria dan In Re Aliena
Hak itu dapat dibagi atas dua jenis, yaitu jura in re propria (Hak terhadap
miliknya sendiri) dan jura in re alinea (hak terhadap milik orang lain). Hak
yang in re alinea ini merupakan suatu hak yang berasal dari beberapa hak
pada umumnya yang dimiliki orang lain mengenai hal atau objek yang sama.
f) Hak yang Pokok (Principal) dan Tambahan (accessory)
Misalnya suatu jaminan adalah hak tambahan kepada hak mengenai jaminan;
suatu servitut merupakan tambahan pada pemilikan terhadap tanah, yang
dengan itu yang bersangkutan dapat menarik manfaatnya.
g) Hak yang Primer dan Hak yang Bersanksi
Hak yang disertai sanksi terjadi karena adanya suatu kesalahan,yaitu
pelanggaran terhadap hak yang lain. Hak yang primer memiliki sumber yang
berbeda dengan kesalahan. Hak ini dapat berupa hak in rem atau hak in
personam. Akan tetapi, hak yang memiliki sanksi ini, yang bersumber dari
hak yang primer, pada semua kasus akan merupakan hak in personam. Hanya
10

terhadap orang tertentu sanksi itu dapat diberlakukan. Jadi, harus merupakan
hak in personam.
h) Hak Atas Dasar Hukum dan Atas Dasar Keadilan (Legal and Equitable
Rights)
Pada masa dahulu di Inggris yang disebut hak atas dasar hukum itu adalah
hak-hak yang diakui oleh peradilan Common Law, sedangkan hak-hak atas
dasar keadilan ialah yang diakui hanya oleh peradilan Chancery.. Perbedaan
antara hokum dan equity itu tetap berlangsung dan harus dianggap sebagai
merupakan bagian dari sistem hukum inggris. Walaupun semua hak itu (baik
legal maupun equity) sekarang ini tetap diakui dan dikenal di semua
peradilan yang ada, perbedaan di antara keduanya tetap memegang peranan
penting.
Selain itu Prof. Lili Rasjidi juga mengutip dari para ahli hukum asing
diantaranya Menurut Holland, Hak adalah kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan
wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat
yang

terorganisasi. Definisi selanjutnya yang lebih protektif mengenai hak

dikemukakan oleh Salmond, mendefinisikan hak sebagai kepentingan yang


diakui dan dilindungi oleh hukum sebagaimana selaras dengan pendapat CST
Kansil yang menyebutkan bahwa hak adalah izin yang diberikan oleh hukum 84
dan Allen merumuskan hak sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang
84 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1989. hlm 120

11

dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya.85 Sedangkan Satjipto


Rahardjo menyebutkan Hak adalah suatu kekuasaan untuk bertindak dalam
rangka kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kekuasaan.86
Apabila teori dan konsep mengenai hak yang berlaku di Indonesia
sebagaimana telah diuraikan itu, menjadi bagian dalam implementasi Pancasila
sebagai ideologi negara maka setiap rumusan sila yang menjadi substansinya
akan memanifestasikan gagasan hak tersebut dan dapat dilegitimasi menjadi
suatu norma fundamental untuk menyusun tertib hukum yang kemudian diakui
persamaannya setelah kemerdekaan yang dituangkan dalam pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Termasuk
dalam substansi pasal-pasalnya, persamaan hak tersebut dimiliki baik sebagai
warga negara juga dalam mengemban tugas yang dijalankan aparatur-aparatur
negara atau pemerintahan, apabila konteksnya adalah publik, maka setiap
interaksi atau pergaulan, tentunya melahirkan suatu hubungan hukum yang
muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum, sebab mempunyai
akibat-akibat hukum. Agar hubungan hukum itu berjalan secara harmonis,
seimbang dan adil atau dalam arti lain dapat memperoleh apa yang menjadi

85 Ibid hlm 66

86 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Bakti, Bandung, 2000. hlm 53

12

haknya dalam menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum


tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi siapapun. Selain itu hukum berfungsi
sebagai instrumen pelindung dan dilaksanakan sehingga dapat berlangsung
secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum 87.
aturan hukum tersebut tergantung dari sifat dan kedudukan aturan tersebut
berlaku, apabila berhubungan dengan aparatur negara dalam melakukan tindakan
hukum dapat dilihat dari adanya kewenangan melalui regulasi-regulasi sistem
hukum yang berlaku di Indonesia. Sebab sejauhmana kapasitas itu diposisikan,
apakah kewenangan aparatur negara atau Pemerintahan itu sebagai wakil dari
badan hukum maka regulasi yang mengaturnya berkaitan dengan regulasi hukum
keperdataan disisi lain apabila kewenangan aparatur negara atau Pemerintahan
itu bertindak sebagai Pejabat Pemerintahan maka berlakulah Regulasi
Pemerintahan seperti contoh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UU AP), regulasi Peradilan Tata Usaha Negara
melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua dari
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yang merupakan
lingkup Hukum Administrasi Negara. Namun pada praktiknya hak-hak yang
diberikan kepada aparatur negara atau Pemerintahan yang berwujud sebagai
87 Sudikno Mertokusumo, Hukum Administrasi Negara, karya Ridwan HR, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2007 hlm. 266

13

tindakan hukum itu dapat menjadi peluang munculnya perbuatan yang


bertentangan dengan hukum, yang melanggar hak-hak warga Negara dalam
pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmtige daad) seperti tindak pidana
penggelapan dalam jabatan contohnya seperti diatur dalam KUHP, mengenai
korupsi melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengenai Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) dan regulasi lainnya yang berkaitan dengan sanksi yang
ditentukan dalam substansi dari masing-masing regulasi tersebut.
Sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam

dalam proporsinya dihadapan hukum dan bisa dijadikan sebagai standar untuk
mengafirmasi Persamaan hanya di hadapan hukum seakan memberikan sinyal
secara sosial dan ekonomi artinya orang boleh tidak mendapatkan perlakuan yang
sama selain dalam lingkup hukum saja, tetapi dapat dalam lingkup sosial dan
ekonomi itulah makna teori equality before the law yang kini kian tergerus di
tengah dinamika sosial dan ekonomi.88 Mengenai persamaan hak dalam hukum
sebagaimana menurut Prof. Romli Atmasasmita telah dikemukakan itu, sebagai
amanat UUD 1945 merupakan payung hukum yang berlaku di Indonesia, sebagai
perlindungan hukum bagi rakyat sekaligus merupakan konsep universal, dalam
arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai
negara hukum, sebab setiap negara mempunyai cara dan mekanismenya sendiri
tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut hingga sejauh
88 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar
Maju, Bandung, 1995, hlm. 157.

14

mana perlindungan hukum itu diberikan. Perlindungan hukum yang dimaksudkan


ini lebih ditekankan pada perlindungan hukum terhadap sikap tindak atau
perbuatan sebagai hak dalam kaitannya dengan wewenang aparatur negara atau
Pemerintahan, berdasarkan hukum positif di Indonesia. Secara umum ada tiga
macam perbuatan Pemerintahan yaitu perbutan Pemerintahan dalam bidang
pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling), perbuatan pemerintahan
dalam penerbitan keputusan (beschikking), dan perbuatan pemerintahan dalam
bidang keperdataan (materiele daad).
Dua bidang yang pertama terjadi dalam bidang publik oleh karenanya
tunduk pada hukum publik, sedangkan bidang yang terakhir khusus dalam bidang
keperdataan, maka tunduk berdasarkan ketentuan hukum perdata. Muchsan
mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum oleh aparatur negara tersebut
yang berbentuk melanggar hak subjektif orang lain tidak hanya terbatas pada
perbuatan yang bersifat privaatrechtelijk saja, tetapi juga perbuatan yang bersifat
publiekrechtelijk. dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena
melanggar hak subjektif orang lain, apabila:
1.

Perbuatan Aparatur Negara atau Pemerintahan yang kewenangannya


bersumber pada hubungan hukum perdata serta melanggar ketentuan dalam
hukum tersebut.

15

2.

Perbuatan Aparatur Negara atau Pemerintahan yang kewenangannya yang


bersumber pada hukum publik serta melanggar ketentuan kaidah hukum
tersebut.89
Disamping dua macam perbuatan tersebut, seiring dengan konsep negara

hukum modern yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat (welfare state), hakhak yang dimiliki oleh aparatur negara atau pemerintahan dalam realisasinya
juga dilekati dengan kewenangan bebas atau freies Ermessen, jika dituangkan
dalam bentuk tertulis akan berwujud peraturan kebijakan. Dengan demikian
sangat beralasan apabila menjadi landasan dalam kajian mengenai tindakan
aparatur negara atau pemerintahan yang merupakan persamaan hak yang diatur
dalam regulasi masing-masing dan disebut pula sebagai kewenangan.

2.2.

Kewenangan
Sejak timbulnya iklim demokratis dan dinamikanya dalam Pemerintahan.
Masyarakat sebagai warga negara (rakyat) mulai mempertanyakan akan nilai
yang mereka peroleh atas pelayanan yang dilakukan oleh aparatur negara atau
pemerintahan. Fungsi pelayanan pemerintahan, namun dalam melakukan
tindakan dan perbuatannya harus mempunyai kewenangan yang jelas. Dalam
banyak literatur, sumber kewenangan berasal dari atribusi, delegasi dan mandat.
Sebelum mengetahui atribusi, delegasi dan mandat, terlebih dahulu yang perlu

89 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada,


Jakarta, 2006. hlm. 269

16

dipahami ialah mengenai kewenangan dan wewenang. Secara konseptual, istilah


wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda
bevoegdheid (yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan
bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum
Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar
wewenang yang diperolehnya. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan
untuk melakukan sesuatu. pendapat ahli mengenai kewenangan dan wewenang
dan sumber-sumber kewenangan sangatlah beragam, ada yang mengaitkan
kewenangan dengan kekuasaan dan membedakannya serta membedakan antara
atribusi, delegasi dan mandat.
Semua permasalahan tersebut, pada hakekatya tidak perlu terjadi secara
drastis dan dramatis. Sebagaimana yang pernah dialami selama ini, seandainya
aparatur negara atau

pemerintahan memiliki kredibilitas yang memadai dan

kewibawaan yang dihormati oleh rakyatnya. Dengan berlandaskan 4 (empat)


pedoman menurut Mertins Jr yaitu:90 Pertama, equality, yaitu perlakuan yang
sama atas pelayanan yang biberikan. Hal ini didasarkan atas tipe prilaku birokrasi
rasional yang secara konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
semua pihak tanpa memandang afiliasi politik, status sosial, etnis, agama dan
sebagainya. Bagi mereka memberikan perlakuan yang sama identik dengan
90 Martins, Jr (ed), Professional Standards and Ethics. Washington, DC: ASPA Publisher,
1979. p 211.

17

berlaku jujur, suatu prilaku yang patut dihargai. Kedua, equity, yaitu perlakuan
yang sama kepada masyarakat tidak cukup, selain itu juga perlakuan yang adil.
Untuk masyarakat yang pluralistik kadang- kadang diperlukan perlakuan yang
adil dan perlakuan yang sama dan kadang-kadang pula di butuhkan perlakuan
yang adil tetapi tidak sama kepada orang tertentu. Ketiga, loyalty, adalah
kesetiaan yang diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan dan
rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama lain, dan tidak ada
kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu yang
mengabaikan yang lainnya. Keempat, responsibility, yaitu setiap aparat
pemerintah harus bertanggung jawab atas apapun sebab intinya tidak hanya
sekedar melaksanakan perintah dari atasan. Mengenai bentuk pelayanan itu
tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu :
1. Pelayanan dengan lisan
2. Pelayanan melalui tulisan
3. Pelayanan dengan perbuatan
Kinerja tersebut tidak lepas dari kewenangan yang mana berdasarkan
pengertian pengertian menurut para ahli hukum diantaranya sebagai berikut:
Apabila mengambil pemahaman menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenangan
adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari
kekuasaan legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan
eksekutif/administratif. Kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan
orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu
yang bulat. Sedangkan wewenang atau kewenangan hanya mengenai sesuatu
18

onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang.


Kewenangan adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.91
Menurut Prajudi kekuasaan pada prinsipnya ialah suatu hak dalam
otoritas dan batas-batasnya memberikan kesan tertata sesuai struktur tidak
bercampur dan tidak saling interventif dalam pelaksanaan secara praktik, namun
kewenangan adalah bagian-bagian dari kekuasaan yang artinya memiliki makna
berhak untuk melakukan yang menurut Prajudi sebagai tindak hukum publik.
Selanjutnya pemahaman yang penulis sebut sebagai penggolongan mengenai
kewenangan dalam sudut pandang luas diperoleh menurut definisi Indroharto,
mengemukakan secara atributif, delegasi dan mandat, yang masing-masing
dijelaskan sebagai berikut: 92
1. Kewenangan yang diperoleh secara atributif, yaitu pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah
yang baru.
2. Kewenangan yang diperoleh secara delegasi terjadilah pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah

91 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981. hlm
85

92 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,


Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm 83.

19

memperoleh suatu wewenang Pemerintahan secara atributif kepada Badan


atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya
sesuatu atribusi wewenang.
3. Kewenangan mandat, kewenangan mandat ini tidak terjadi suatu pemberian
wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan
TUN yang satu kepada yang lain.
Pemahaman terhadap Indroharto berfokus pada pengertian kewenangan
yang saat ini telah lebih mengarah pada bagaimana tindakan pemerintahan yang
telah memiliki perkembangan dalam hukum sebagai kewenangan atributif
pembentukan wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
(dari UU ke pemangku jabatan), diatur selain dalam UU TUN juga melalui UU
AP, sehingga pendelegasiannya (pelimpahan) wewenang dari satu pemangku
jabatan ke pihak lain (pejabat lain, organ lain) kewenangan yang telah diserahkan
mengakibatkan pemberi kewenangan tidak mempunyai lagi wewenangnya.
Sebagaimana menurut Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap
tindakan Pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah.
Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan
mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan
negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat
adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Pada dasarnya membuat
perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai prosedur
pelimpahannya berasal

dari suatu organ pemerintahan

kepada organ

pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan

20

tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi


tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan
dengan berpegang dengan asas contrarius actus. Artinya, setiap perobahan,
pencabutan suatu peraturan pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan oleh
pejabat yang menetapkan peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan
yang setaraf atau yang lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan
dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung
jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat.93
Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang
dilimpahkan itu. S.F. Marbun, menyebutkan wewenang mengandung arti
kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku
untuk

melakukan

hubungan-hubungan

hukum.

Wewenang

itu

dapat

mempengaruhi terhadap pergaulan hukum, setelah dinyatakan dengan tegas


wewenang tersebut sah, baru kemudian tindak pemerintahan mendapat
kekuasaan hukum (rechtskracht). Pengertian wewenang itu sendiri akan
berkaitan dengan kekuasaan.94
93 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2005, hlm 78.

94 SF, Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta
FH UII Press, 2011, hlm 71.

21

Sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi.
kewenangan yang didalamanya terkandung hak dan kewajiban Kewenangan
memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek mengemukakan
Het begrip bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staatsen administratief
recht, sedangkan menurut P. Nicolai adalah kemampuan untuk melakukan
tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya
akibat hukum tertentu.
Persamaan mengenai suatu kewenangan Bagir Manan pula membedakan
wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht), apabila
disebut kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
Persamaan wewenang dari F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek, P. Nicolai dan
Bagir Manan sekaligus berarti hak dan kewajiban sebagaimana dikutip oleh
Ridwan HR. Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian
kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri
(zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti
kekuasaan

untuk

menjalankan

pemerintahan

dalam

satu

tertib

ikatan

pemerintahan negara secara keseluruhan.95

95 Op.cit, Ridwan HR, hlm 14.

22

Berdasarkan pendapat yang diuraikan diatas maka aspek kewenangan


atau kompetensi yang dimiliki oleh aparatur negara atau pemerintahan saat ini
telah memiliki progres dengan demikian maka sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (5)
dan ayat (6) UU AP dinyatakan bahwa:
(5) Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil
keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
(6) Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah
kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara
lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik
Kaitannya antara pendapat dan definitif menurut regulasi hukum positif
meupakan penjelas maka kewenangan yang dimaksud ialah kewenangan yang
berada dalam lembaga eksekutif dan legislatif sebagai aparatur negara atau
Pemerintahan, selanjutnya dalam memperluas pemahaman tersebut perlu
didukung melalui pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas, maka
berdasarkan prinsip tersebut tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari
peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah
adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik sebagaimana berikut:
2.2.1. Kewenangan Atributif
Kewenangan atributif lazimnya digariskan atau berasal
dari adanya pembagian kekuasaan negara oleh UUD 1945
dalam Bab III mengenai Kekuasaan Pemerintahan dalam

23

Pasal 5 ayat (1) dinyatakan Presiden berhak mengajukan


rancangan

undang-undang

kepada

Dewan

Perwakilan

Rakyat. Istilah lain untuk kewenangan atributif adalah


kewenangan asli atau kewenangan yang tidak dapat
dibagi-bagikan kepada siapapun. Secara teori kewenangan
atributif, pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh pejabat
atau badan tersebut tertera dalam peraturan dasarnya.
Adapun mengenai tanggung jawab dan tanggung gugat
berada pada pejabat ataupun pada badan sebagaimana
tertera dalam peraturan dasarnya.

Berdasarkan UU AP,

pengertian Atribusi, dalam Pasal 1 ayat (22). Atribusi adalah pemberian


Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau UndangUndang, bila merujuk pada Pasal Pasal 12 ayat (1) Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Atribusi apabila: a.diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan/atau undang-undang; b.merupakan Wewenang baru atau sebelumnya
tidak ada; dan c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan. Sedangkan ayat (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang

memperoleh

Wewenang

melalui

Atribusi,

tanggung

jawab

Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang


bersangkutan, kemudian pada ayat (3) Kewenangan Atribusi tidak dapat

24

didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap
pejabat
Misalnya

yang

dituju

berdasarkan

atas

jabatan

Paragraf

yang

diembannya.

tentang

wewenang

mengenai pembentukan rancangan perundang-undangan


sesuai amanat dalam Pasal 72 huruf b Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3)
menegaskan

DPR dapat membentuk undang-undang

untuk disetuji bersama dengan Presiden.


Hal ini penulis relasikan dengan teori kewenangan aributif menurut
Indroharto yang memberikan pemahaman pada kewenangan atributif
terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru sesuai amanat dalam
peraturan perundang-undangan. Peranan legislator yang kompeten untuk
memberikan atribusi wewenang pemerintahan berkedudukan sebagai
original legislator, dinegara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai
pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang

25

melahirkan suatu undang-undang, dan ditingkat Daerah adalah DPRD dan


Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah.96
Artinya Pemerintahan disini adalah Presiden dan anggota DPR
mempunyai kewenangan atributif dalam menjalankan kewenangannya
sesuai undang undang. seperti dalam hal memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti
undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undangundang. Dapat kita lihat bahwa DPR menciptakan produk hukum dalam
hal ini adalah peraturan perundang-undangan. Selain menciptakan suatu
produk hukum, DPR juga berwenang merubah atau merevisi produk
hukum yang sudah ada sebelumnya, dan bahkan DPR jua berwenang
untuk menemukan produk hukum artinya DPR berwenang untuk membuat
peraturan perundangan yang sebelumnya tidak pernah ada.
Seluruh produk hukum yang kemudian telah resmi diberlakukan
hendaknya bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara, dalam hal ini
tentunya untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa nyaman
kepada masyarakat. Namun tidak sedikit pula produk hukum DPR yang
kemudian malah dipersoalkan karena dianggap tidak berpihak kepada
rakyat atau tidak sesuai dengan tujuan negara. Sama hal nya dengan DPR
yang mempunyai wewenang yang bersifat atributif, Presiden juga

96 Op.cit, Indroharto, hlm 17

26

mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum dalam


bentuk Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden.
Dari beberapa contoh produk hukum oleh Presiden, keseluruhnya adalah
kewenangan yang bersifat atributif yang artinya langsung diberikan oleh
undang-undang.
Tidak hanya Presiden dan DPR yang memiliki wewenang atributif,
lewat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU PD) maka pemerintah daerah yang didipimpin oleh Kepala
Daerah juga memiliki kewenangan tersendiri yang bersifat atributif dalam
segala bidang seperti Pemerintahan Pusat kecuali :
a. Politik Luar Negeri
b. Pertahanan
c. Keamanan
d. Yustisi
e. Moneter dan Fiskal Nasional, dan
f. Agama
Dengan adanya UU PD maka setiap daerah berwenang untuk
mengeluarkan peraturan sendiri khusus untuk daerahnya sendiri yang
kemudian kita kenal dengan sebutan Peraturan Daerah (PERDA). Setiap
Peraturan Daerah tentunya akan dibahas di DPRD bersama dengan Kepala
Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota sesuai tingkat wilayah
pemerintahan masing-masing. Oleh karena DPRD bersama Kepala Daerah
berwenang membuat produk hukum dalam hal ini Peraturan Daerah maka
27

DPRD dan Kepala Daerah dapat dimintai pertanggungjawaban atas produk


hukum yang mereka buat karena kewenangan yang mereka miliki bersifat
atributif.
Di tingkat Kepala Daerah sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) UndangUndang Dasar Tahun 1945 jelas mengatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan
Walikota mesing-masing sebagai kepala Pemerintahan daerah Provinsi,
kabupaten, dan Kota dipilih secara Demokratis. Pasal 18 ayat (6) juga
mengatakan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
Daerah dan Peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan yang kemudian diperjelas dalam Pasal 240 ayat (2) UU
PD bahwa Penyusunan rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau
kepala daerah. Dalam hal ini bahwa gubernur diberi wewenang untuk
membuat Peraturan Daerah (produk hukum daerah).
Berdasarkan teori Para Ahli dan menurut teori UU AP mengenai
atribusi maka dapat disimpulkan bahwa wewenangan gubernur sebagai
kepala daerah dan sebagai pembuat peraturan daerah tampak bahwa
wewenang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari
Peraturan Perundang-Undangan dengan kata lain, gubernur memperoleh
kewenangan secara langsung dari redaksi pasal dalam Peraturan
perundang-undangan yaitu UUD 1945 dan UU PD.
Selain

pada

bidang

Pemerintahan

kajian

dapat

pula

membandingkan dengan kewenangan atributif di bidang hukum, seorang


Hakim juga memiliki wewenang untuk memutus suatu perkara tentu
28

dengan mempertimbangkan rasa keadilan, kepastian hukum, dan


kemanfaatan. Wewenang Hakim bersifat atributif karena langsung
diberikan oleh Undang-Undang. Apabila dikemudian hari ada putusan
hakim yang ditemukan tidak sesuai dengan yang seharusnya atau tidak
memenuhi unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, atau
putusan tersebut tidak sesuai Undang-Undang maka Komisi Yudisial dapat
memeriksa hakim yang bersangkutan untuk dimintai pertanggung
jawabannya.
2.2.2. Kewenangan Delegatif
Kewenangan delegatif hanyalah tahapan dari suatu proses ketika
penyerahan

wewenang

berfungsi

melepaskan

kedudukan

dengan

melaksanakan pertanggung jawaban. Sebagaimana pengertian Delegasi


adalah pelimpahan kewenangan pemerintahan dari organ pemerintahan
yang satu kepada organ pemerintahan lainnya, dengan kata lain terjadi
pelimpahan kewenangan. Jadi tanggungjawab atau tanggung gugat berada
pada penerima delegasi/ delegataris. Misalnya: pemerintah pusat memberi
delegasi kepada semua Pemda untuk membuat Perda (termasuk membuat
besluit/ keputusan) berdasarkan daerahnya masing-masing. Dalam buku
Maria Farida yang mengutip teori Ralph C. Davis dinyatakan: Delegation
of Authority is merely the phase of the process in wich Authorityof
assigned function is released to position to be exercise by their incumbent.

29

Terjemahan bebasnya Pendelegasian wewenang hanyalah tahapan


dari suatu proses ketika penyerahan wewenang, berfungsi melepaskan
kedudukan dengan melaksanakan pertanggungjawaban. Penulis menilai
pemikiran

Maria

Farida

mengenai

Kewenangan

Delegatif

lebih

memperhatikan hirarki ditentukan melalui peraturan yang bersifat lebih


tinggi hingga kepada peraturan yang lebih rendah dalam konteks
pelaksanaan

kewenangan

Perundang-undangan

tersebut,

(delegatie

van

sesuai

pembentukan

Peraturan

wetgevingsbevoegdheid),

baik

dinyatakan dengan tegas maupun tidak dinyatakan dengan tegas. Pada


kewenangan delegasi tersebut tidak diberikan, melainkan diwakilkan
dan selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti
kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut
masih ada.97
Hakikatnya kewenangan delegasi adalah penyerahan tugas dalam
membuat besluit oleh pejabat Pemerintahan kepada pihak lain. Kata
penyerahan berarti ada perpindahan tanggungjawab dari yang memberi
delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris). Dilihat
dari Pasal 1 ayat (23) UU AP dinyatakan Delegasi adalah pelimpahan
Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi
kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan
97 Maria Farida Indriati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
hlm 55

30

tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima


delegasi, makna dalam pertanggungjawaban menurut kewenangan
delegatif adalah penyerahan yang diiringi dengan tanggungjawab sehingga
penerima delegasi akan bertanggung jawab penuh atas kewenangan
delegasi yang diterimanya.
Ketika penyerahan delegasi dilakukan maka aparat penerima
delegasi tersebut berwenang menciptakan suatu produk hukum. Salah satu
contoh Delegasi adalah ketika Pemerintah Pusat memberikan wewenang
kepada Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan pada daerahnya
masing-masing. Sehingga Pemerintah Daerah bertanggung jawab penuh
atas kewenangan delegasi yang diterimanya. Contoh lain adalah ketika
Kepala Daerah memberikan kewenangan kepada Kepala Dinas atau Camat
untuk menjalankan pelayanan publik dan untuk membuat produk hukum
dalam bentuk apapun sesuai dengan tujuan negara. Adapun perbedaan
antara Delegasi dengan Atribusi adalah pada Delegasi kewenangan
tersebut hanya diwakilkan, namun tidak diberikan berdasarkan UndangUndang. Tapi penerima delagasi wajib bertanggungjawab atas segala
tindakan dalam kewenangan tersebut. Saat berakhirnya tanggung jawab
delegasi ketika dikeluarkannya surat berakhirnya kewenangan delegatif
dilanjutkan dengan beralihnya mandat.
Bila meninjau menurut amanat Pasal 9 UU PD yang substansinya
membedakan antara urusan pemerintahan absolute (mutlak) dan urusan
Pemerintahan konkruen dan urusan pemerintahan Umum. Dalam ayat (1)
31

mengatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan


absolute, urusan pemerintahan konkruen, dan urusan pemerintahan umum.
Ayat (2) Urusan pemerintahan absolute sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat. Ayat (3) Urusan pemerintahan konkruen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara
pemrintah pusat dan daerah provinsi dan Kabupaten/Kota. Ayat (4) Urusan
Pemerintahan konkruen yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar
pelaksanaan Otonomi Daerah. Ayat (5) Urusan Pemerintahan Umum
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
absolute adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah pusat.
Kemudian Pasal 11 dan 12 UU PD menjabarkan lebih jelas
mengenai urusan pemerintahan konkruen yaitu :
Pasal 11
(1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal 9
ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar.
32

(3) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan
Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Pasal 12 :
(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a) pendidikan; b).kesehatan; c).pekerjaan umum dan penataan ruang;
d). perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e). ketenteraman,
ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f). sosial.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a.
tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c.
pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi
kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan
Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i.
perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil,
dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n.
statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r.
kearsipan.
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c.
pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f.
perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi.
33

Sedangkan berdasarkan teori Para Ahli dan UU AP tentang teori


Delegasi yang telah dijabarkan sebelumnya, tampak bahwa wewenang
Gubernur yang diperoleh secara delegasi. Karena telah dikatakan bahwa
Urusan pemerintahan konkruen adalah urusan pemerintahan yang dibagi
antara pemrintahan pusat dan daerah provinsi dan Urusan Pemerintahan
konkruen yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi
Daerah. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah
seperti, pendidikan,, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang,
perumahan rakyat dan kawasan permukiman;, ketenteraman, ketertiban
umum, dan pelindungan masyarakat, social dan lain sabagainya yang
dimana hal tersebut sudah memiliki masing-masing kementrian yang
dalam hal ini merupakan bagian dari kewenangan pusat, namun
dilimpahkan kepada pemerintahan daerah dalam hal ini termasuk
Gubernur yang tanggung jawab Yuridis tidak lagi berada pada pemberi
delegasi tetapi beralih kepada Gubernur selaku penerima delegasi dan
kepala pemerintahan daerah provinsi.
Berdasarkan

amanat

Pasal

13

yang

dalam

substansinya

memberikan aturan mengenai pendelegasian sebagaimana dinyatakan


sebagai berikut:
(1) Pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui
Delegasi apabila: a. diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan

34

kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; b. ditetapkan


dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan
Daerah; dan c. merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya
telah ada.
(3) Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan
lain dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan

yang

memperoleh

Wewenang

melalui

Delegasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mensubdelegasikan


Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan
ketentuan: a. dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang
dilaksanakan; b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri;
dan c. paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.
(5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi
dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui
Delegasi,

kecuali

ditentukan

lain

dalam

ketentuan

peraturan

perundang-undangan.
(6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan
ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang memberikan pendelegasian Kewenangan
dapat menarik kembali Wewenang yang telah didelegasikan.

35

(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang

melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada penerima


Delegasi.
Perincian Delegasi tidak ada penciptaan atau perluasan wewenang,
namun terjadi pelimpahan dan berarti terjadi pelimpahan tanggungjawab,
dengan teori R.H.J.M. Huisman memberikan karakter mengenai delegasi
Overdracht van bevoegdheid: pelimpahan Wewenang Bevoegdheid kan
door het oorspronkelijke bevoegde organ niet incindenteel uitgeofend
worden; kewenangan tidak dapat dijalankan secara insidental oleh organ
yang memiliki wewenang (Overgang van verantwoordelijkheid) terjadi
peralihan tanggungjawab (Wettelijke basis vereist), harus berdasarkan
undang-undang dan sifatnya harus tertulis (Moet schriftelijk).98
Berangkat dari perolehan kewenangan sebagaimana diuraikan di
atas, dapat dilakukan suatu tindakan hukum pemerintahan. Tindakan
hukum pemerintahan mencakup tindakan-tindakan, diantaranya adalah:
tindakan keperdataan, hukum publik, pembuatan keputusan untuk umum,
tindakan nyata. Pihakpihak dalam pemerintahan yang dapat melakukan
tindakan hukum adalah pejabat yang menjabat, yang berdaulat dan yang
berwenang. Sejauh mana tanggungjawab dari sang pejabat, harus dilihat
dasar hukum yang memberikan wewenang kepada pejabat tersebut.
98 Op.Cit Ridwan HR mengutip R.H.J.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, Op 10
October 2007, hlm 23

36

Apabila berbentuk suatu delegasi, maka terjadi peralihan, apabila mandat,


tidak terjadi peralihan.
2.2.3. Kewenangan Mandat
Kewenangan mandat sebagaimana teori yang dikemukakan J.G.
Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan: With mandate, there is not
transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the body
(mandataris) to make decision or take action in its name. terjemahannya
tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat
(mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris)
untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.99
Memiliki

perspektif

karena

merupakan

kewenangan

yang

bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan
yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah.
Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan rutin atasan bawahan,
kecuali bila dilarang secara tegas. Kemudian, setiap saat si pemberi
kewenangan dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan
tersebut.
Di tingkat Pemerintahan Pusat berdasarkan Pasal 1 ayat (24) dalam
UU AP mengenai Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan
99 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen: Ars
Aeguilibri, 1998. p. 6

37

dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau


Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan
tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Berkaitan sesuai
amanat Pasal 14 dinyatakan:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila: a.
ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
b. merupakan pelaksanaan tugas rutin.
(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdiri atas: a. pelaksana harian yang melaksanakan
tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan b.
pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif
yang berhalangan tetap.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Mandat
kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi
bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus
menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memberikan Mandat.
Sedangkan

ditingkat

Pemerintahan

Daerah

secara

teori

kewenangan mandat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 91 ayat (1)


sampai ayat (4) UU PD dinyatakan:
(1)

Dalam

melaksanakan

pembinaan

dan

pengawasan

terhadap

penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

38

Daerah kabupaten/kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah


kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
mempunyai tugas: a. mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan tugas Pembantuan di Daerah Kabupaten/Kota; b.
melakukan

monitoring,

evaluasi,

dan

supervisi

terhadap

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang ada di


wilayahnya;

c.

memberdayakan

dan

memfasilitasi

Daerah

Kabupaten/Kota di wilayahnya; d. melakukan evaluasi terhadap


rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD,
perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata
ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah; e. melakukan
pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan f. melaksanakan
tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2), Gubernur
sebagai

wakil

Pemerintah

Pusat

mempunyai

wewenang:

a.

membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota;


b. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota
terkait

dengan

menyelesaikan

penyelenggaraan
perselisihan

dalam

Pemerintahan

Daerah;

penyelenggaraan

c.

fungsi

Pemerintahan antar daerah Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Daerah


provinsi; d. memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda
39

Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan Perangkat Daerah


kabupaten/kota; dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
mempunyai tugas dan wewenang: a. menyelaraskan perencanaan
pembangunan antar Daerah Kabupaten/Kota dan antara daerah
provinsi

dan

daerah

Kabupaten/Kota

di

wilayahnya;

b.

mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara


daerah provinsi dan daerah Kabupaten/Kota dan antar daerah
Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya; c. memberikan rekomendasi
kepada Pemerintah Pusat atas usulan Dana Alokasi Khusus pada
Daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya; d. melantik Bupati/Walikota;
e. memberikan persetujuan pembentukan Instansi Vertikal di wilayah
provinsi kecuali pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan
urusan pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi Vertikal oleh
kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam
UUD 1945; f. melantik kepala Instansi Vertikal dari kementerian dan
lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah
Daerah provinsi yang bersangkutan kecuali untuk kepala Instansi
Vertikal yang melaksanakan urusan Pemerintahan absolut (mutlak)
dan kepala Instansi Vertikal yang dibentuk oleh kementerian yang
nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945;

40

Hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 92 UU PD yang


mengatakan bahwa Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
tidak melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 ayat (2) sampai dengan ayat (4), Menteri mengambil alih
pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat
Berdasarkan teori para ahli dan Undang-Undang mengenai mandat
yang telah dipaparkan sebelumnya dapat diperoleh kesimpulan bahwa
kewenangan Gubernur juga diperoleh secara mandate karena Gubernur
sebagai penerima mandat (mandataris) hanya bertindak atas nama pemberi
mandat (mandans) dalam hal ini pemerintah Pusat, tanggungjawab akhir
keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi mandat.

2.3.

Pertanggungjawaban Hukum Pejabat Pemerintahan.


Pertanggungjawaban memiliki dasar kata majemuk tanggung jawab
yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu berupa penuntutan,
diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain. kata
benda abstrak yang bisa dipahami melalui sikap, tindakan dan perilaku. Setelah
bentuk dasar, kata tanggung jawab mendapat imbuhan awalan per dan

41

akhiran an menjadi pertanggungjawaban yang berarti perbuatan bertanggung


jawab atau sesuatu yang dipertanggungjawabkan.100
Persepsi dari rumusan di atas memberi makna tanggungjawab dalam
proses hukum, dimana seseorang dapat dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan
dan kesiapan menerima beban sebagai akibat dari sikap sendiri atau tindakan
orang lain. Jika dikaitkan dengan kata pertanggungjawaban berarti memiliki
kesungguhan menanggung segala bentuk beban berupa dituntut, diperkarakan
dan dipersalahkan akibat dari sikap dan tindakan sendiri atau pihak lain yang
menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Teori pertanggungjawaban, yang memposisikan sebagai suatu kebebasan
bertindak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan sebagai pendapat Atmadja,
tetapi pada akhirnya tidak dapat melepaskan diri dari resultante kebebasan
bertindak, berupa penuntutan untuk melaksanakan secara layak apa yang
diwajibkan kepadanya. Pandangan Atmadja bersesuaian dengan batasan
Ensiklopedia Administrasi yang mendefinisikan responsibility sebagai keharusan
seseorang untuk melaksanakan secara layak apa yang telah diwajibkan
kepadanya.101

100 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta
(tanpa tahun), hlm. 1139.

101 Sutarto, Encyclopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta, hlm. 291

42

Menurut Suwoto ada 2 (dua) kriteria secara umum menunjukkan perihal


pertanggungjawaban yang mendukung pandangan Atmadja diantaranya adalah
sebagai berikut: pertama, ditinjau dari aspek internal yakni pertanggungjawaban
yang diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan
oleh pimpinan dalam suatu instansi. Sedangkan kedua, aspek eksternal yakni
pertanggungjawaban kepada pihak ketiga, jika suatu tindakan menimbulkan
kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain berupa tanggung gugat
atas kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain atas tindakan jabatan yang
diperbuat.102
Relevansi mengenai dua pemahaman pertanggungjawaban di atas
menunjukkan keluasan wilayah pemikiran yang menyebabkan timbulnya multi
tafsir yang belum dapat menemukan kesepahaman mengenai sudut pandang
pertanggungjawaban. Bagaimana pertanggungjawaban diartikan, dimaknai,
dipahami, serta batasan-batasannya tergantung kepada konteks dan sudut
pandang yang digunakan untuk menelaahnya. Terlepas dari uraian di atas, secara
sederhana dapat dipahami bahwa eksistensi pertanggungjawaban sebagai suatu
objek multidisiplin inheren di dalam hak dan kewajiban ke konteks mana pun
pertanggungjawaban hendak dipahami dan diwujudkan.
Bila diselaraskan dengan ahli hukum Roscoe Pound termasuk salah satu
pakar

yang

banyak

menyumbangkan

gagasannya

tentang

timbulnya

102 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap
Pidato Newaksara, Gramedia, Jakarta, 1997, hlm. 42.

43

pertanggungjawaban. Melalui pendekatan analisis kritisnya, Pound meyakini


bahwa timbulnya pertanggungjawaban karena suatu kewajiban atas kerugian
yang ditimbulkan terhadap pihak lain.
Apabila pejabat Pemerintahan melakukan penyalahgunaan wewenang
dapat diminta pertanggungjawaban bagi pejabat Pemerintahan secara hukum.
Konsep pertanggungjawaban hukum berhubungan dengan pertanggungjawaban
secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang
bertentangan dengan undang-undang. Pertanggungjawaban memuat nisbah
bersegi tiga, meliputi:103
a. Seseorang adalah penyebab atau berwenang;
b. Kriteria atas apa yang diperbuat dan tidak diperbuatnya;dan
c. berhadapan dengan pihak yang menuntut pertanggungjawaban.
Menurut Hans Kelsen bahwa sebuah konsep yang berhubungan dengan
konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab (pertanggungjawaban)
hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atasperbuatan
tertentu atau bahwa seseorang bertanggung jawab atas suatu sanksi apabila
perbuatannya bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangn.
Biasanya, yakni apabila sanksi hukum ditunjukan kepada pelaku langsung, maka

103 F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia, Semarang: Walisonngo
Research Institute (WRI): 2001, hlm 87.

44

seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek
daritanggungjawab hukum identik dengan subjek dari kewajiban hukum.104
Berdasarkan uraian-uraian dari teori hukum yang bersifat umum,
disebutkan

bahwa

setiap

orang,

termasuk

Pemerintahan,

harus

mempertangungjawabkan setiap tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa


kesalahan. Maka dari teori hukum umum, muncul tanggungjawab hukum berupa
pertanggungjawaban Pemerintahan baik dalam perspektif pidana, perdata, dan
hukum administrasi sebagaimana akan dijabarkan mengenai adanya tindakan
pejabat pemerintahan berkenaan dengan pertanggungjawaban yang diemban
dalam pelaksanaan kinerja, sebagai mekanisasi evaluatif bagi pejabat
pemerintahan tersebut.
2.3.1. Pertanggungjawaban

Pejabat

Pemerintahan

Dalam

Perspektif

Hukum Perdata
Bilamana seseorang menderita kerugian karena perbuatan
seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu
perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang
undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut
yang menimbulkan kerugian itu.105 Perihal mengenai subjek hukum yang
menimbulkan kerugian itu menurut Pasal 1365 KUH Perdata dinyatakan
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang
104 Hans Kelsen, General Theory of Law and State , New York : Russel and Russel, 1971,
hlm 95

45

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,


mengganti kerugian tersebut. Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, maka
yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan
yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena
salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Landasan menurut ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori unsurunsur dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:106
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian);
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian;
Maka model tanggung jawab hukum dapat melingkupi beberapa
pasal-pasal yang berkaitan sebagai berikut:
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
105 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan kedua, Diapit Media,
Jakarta, 2002, hlm.77.

106 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 3.

46

3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat


dalam Pasal 1367 KUHPerdata.
Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelum
tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan
yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undangundang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran
yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut
ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan
yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan
tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral
atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. Pengertian
perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan
Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan
Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan bila memenuhi unsur
perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad)107 bagi penulis tentu
dapat terlebih dahulu dianalisa dapat atau tidak suatu perbuatan itu
termasuk kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik
dengan kesusilaan baik, pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda,
107 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cetakan kedua, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 25-26.

47

sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu
telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar
ganti kerugian.
Konsentrasi dalam mengetahui lebih luas dari onrechmatige daad,
maka yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan:
1. Bertentangan dengan hak orang lain;
2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;
3. Bertentangan dengan kesusilaan baik, atau
4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam
pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja
dan tidak disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam Pasal
1366 KUHPerdata, bahwa Setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum ini merupakan tanggung
jawab perbuatan melawan hukum secara langsung. Selain itu dikenal juga
dikenal perbuatan melawan hukum secara tidak langsung menurut Pasal
1367 KUHPerdata yakni:
a. Seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi

48

tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di


bawah pengawasannya;
b. Orang tua dan wali bertanggungjawab tentang kerugian, yang
disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka
dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali;
c. Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain
untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab
tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau
bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana
orang-orang ini dipakainya;
d. Kepala Sub Bidang Tata Kelola Perencanaan Pembangunan Jalan dan
Jembatan

menyerahkan

tanggungjawab

Kepala

kepada

kontraktor

Daerah

Wika

di

bawah

Kabupaten/Kota

yang

bertanggungjawab tentang kerugian ditimbulkan karena runtuhnya


Pembangunan Jembatan yang masih dalam masa uji kelayakan
menibulkan kecelakaan bagi pekerja konstruksi selama waktu orangorang ini berada di bawah pengawasan Pimpinan itu;
e. Tanggungjawab yang disebutkan diatas berakhir, jika

dapat

membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk


mana mereka seharusnya bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban majikan dalam Pasal 1367 ayat (3)
KUHPerdata tidak hanya mengenai tanggung jawab dalam ikatan kerja
saja, termasuk kepada seorang yang di luar ikatan kerja telah
diperintahkan seorang lain untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu,
asal saja orang yang diperintahkan melakukan pekerjaan tersebut
49

melakukan pekerjaannya secara berdiri sendiri-sendiri baik atas


pimpinannya sendiri atau telah melakukan pekerjaan tersebut atas
petunjuknya.
Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1601 a KUHPerdata,
pertanggungjawaban majikan atas perbuatan-perbuatan melawan hukum
dari karyawan-karyawannya yakni Persetujuan perburuhan adalah
persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya
untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu
waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.
Dahulu bila kembali memahami historikal negara mengenai
pertanggungjawaban pejabat Pemerintahan ditinjau menurut Putusan
Hoge

Raad

tanggal

November

1938

mengatur

pula

pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan yang sekalipun di luar


tugas sebagaimana yang diberikan kepada bawahan, namun ada
hubungannya sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut, sehingga
dapat dianggap dilakukan dalam pekerjaan untuk mana bawahan tersebut
digunakan yakni Pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1367 ayat (3)
KUHPerdata dimaksudkan untuk mencakup pula kerugian yang
disebabkan oleh perbuatan yang tidak termasuk tugas yang diberikan
pada bawahan, namun ada hubungannya sedemikian rupa dengan tugas
bawahan tersebut, sehingga perbuatan tersebut dianggap dilakukan dalam
pekerjaan untuk mana bawahan tersebut digunakan.
Selain

manusia

sebagai

subyek

hukum,

badan

hukum

(rechtspersoon) juga merupakan subyek hukum, yaitu memiliki hak hak


50

dan kewajiban seperti manusia. Badan hukum dapat menjadi subyek


hukum dengan memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:108
1. Jika badan hukum tersebut memiliki kekayaan sendiri yang terpisah
dari kekayaan orang perorangan yang bertindak dalam badan hukum
itu;
2. Jika badan hukum tersebut mempunyai kepentingan kepentingan yang
sama dengan kepentingan orang perorangan yaitu kepentingan
sekelompok orang dengan perantara pengurusnya.
Badan hukum dapat turut serta dalam pergaulan hidup di
masyarakat, dapat menjual atau membeli barang, dapat sewa atau
menyewakan barang, dapat tukar menukar barang, dapat menjadi majikan
dalam persetujuan perburuhan dan dapat juga dipertanggung jawabkan
atas tindakan melanggar hukum yang merugikan orang lain.109
Teori Organ mengakui dalam badan hukum terdapat orang di
samping anggotanya, orang tersebut mempunyai kecakapan untuk
bertindak dan juga memiliki kehendaknya sendiri. Kehendak tersebut
dibentuk dalam otak para anggota, akan tetapi karena para anggota
tersebut pada waktu membentuk dan mengutarakan kehendaknya
108 Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1989, hlm. 21

109 Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur Bandung, Bandung, 1960,
hlm. 51.

51

bertindak selaku organ, yakni sebagai bagian dari organisme yang


berwujud orang, maka kehendak tersebut juga merupakan kehendak dari
badan hukum.110
Pada masa itu Hoge Raad menganut teori organ dan menjadikan
teori ini sebagai yurisprudensi tetap karena menurut teori ini badan
hukum

dapat

dipertanggungjawabkan

berdasarkan

Pasal

1365

KUHPerdata, yakni bilamana organnya melakukan perbuatan melawan


hukum. Bilamana suatu badan hukum dianggap sebagai benar-benar
orang yang mempunyai wewenang untuk bertindak, dengan memiliki
kehendaknya sendiri, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa badan hukum
tersebut harus pula dapat dianggap memenuhi unsur kesalahan dalam
melakukan perbuatan melawan hukum.
Tidak semua perbuatan organ dapat dipertanggungjawabkan
kepada badan hukum, harus ada hubungan antara perbuatan dengan
lingkungan

kerja

dari

organ.

Organ

tersebut

telah

melakukan

perbuatannya dalam lingkungan formil dari wewenangnya. Jika organ


badan hukum bertindak untuk memenuhi tugas yang dibebankan
kepadanya dan tindakan tersebut melawan hukum maka perbuatan
melawan hukum oleh organ tersebut dianggap sebagai perbuatan
melawan hukum dari badan hukum. Dalam membicarakan persoalan
tentang organ perlu kiranya dikemukakan perihal wakil. Vollmar
110 Op.Cit., M.A. Moegni Djojodirdjo, hlm. 175

52

mengadakan perbedaan antara organ dan wakil. Organ menurut Vollmar


adalah merupakan wakil yang bertindak untuk badan hukumnya. Di
samping wakil sebagai organ tersebut menurut Vollmar ada pula wakil
yang bertindak tidak sebagai organ. Adapun mengenai organ tersebut
dapat dibedakan antara organ bukan sebagai bawahan dan organ sebagai
bawahan. Teori Vollmar memberikan perumusan tentang organ bahwa
organ adalah wakil yang fungsinya mempunyai sifat yang berdiri sendiri,
yakni dalam arti bahwa cara mereka harus menjalankan tugasnya dan cara
mereka harus mewakili badan hukum sepenuhnya adalah diserahkan pada
mereka sendiri, sekalipun pelaksanaannya harus dilakukannya dalam
batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, atau peraturan dan
sebagainya.111
Dengan demikian, dalam kebanyakan hal badan hukum sendiri
telah melakukan perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawabannya
secara langsung adalah berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dan
bukannya berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata. Jika perbuatan melawan
hukumnya dilakukan oleh seseorang bawahan, maka badan hukum harus
bertanggungjawab berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata. Sebagai
pedoman, dijelaskan oleh Pasal 1865 KUHPerdata bahwa Setiap orang
yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,
111 Ibid, 178

53

menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak


atau peristiwa tersebut.
Ada beberapa unsur kesalahan dalam hukum secara Perdata
menurut Abdulkadir Muhammad, yakni:112
1. Pelanggaran Hak Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai
hak pribadi maupun hal kebendaan dan akan melindunginya dengan
memaksa pihak yang melanggar untuk membayar ganti rugi kepada
pihak yang dilanggar haknya.
2. Unsur Kesalahan Pertanggungjawaban dalam kesalahan perdata
biasanya memerlukan suatu unsur kesalahan atau kesengajaan pada
pihak yang melakukan pelanggaran, walaupun tingkat kesengajaan
yang diperlukan biasanya kecil.
3. Kerugian yang diderita Unsur yang essensial dari kesalahan perdata
pada umumnya adalah adanya kerugian yang diderita akibat sebuah
perbuatan meskipun kerugian dan kesalahan perdata tidak selalu jalan
berbarengan karena masih ada kesalahan perdata dimana apabila
perbuatan salah dari seseorang digugat maka si tergugat sendiri yang
harus membuktikan kerugian yang dideritanya. Adapun bentuk
kesalahan perdata, antara lain:
a. Kesalahan perdata terhadap orang, misalnya pemukulan.
b. Kesalahan perdata terhadap tanah misalnya gangguan langsung
terhadap tanah milik orang lain

112 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 197.

54

c. Kesalahan perdata terhadap barang misalnya gangguan terhadap


barang orang lain secara langsung, tidak sah dan fisik.
d. Kesalahan terhadap nama baik (martabat), misalnya pencemaran
nama baik
e. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab menurut Shidarta
dapat dibedakan sebagai berikut: (1) Tanggung jawab berdasarkan
Kesalahan (liability base on fault), (2) Praduga selalu bertanggung
jawab

(presumption

bertanggungjawab

of

liability),

(Presumption

of

(3)

praduga tidak

nonliability),

(4)

tanggungjawab mutlak (Strict liability), (5) pembatasan tanggung


jawab (limitation of liability).113
Sanksi dalam hukum perdata, diputus dan dijatuhkan hakim
dengan penerapan jenis putusan:
1. putusan condemnatoir, yakni putusan yang bersifat menghukum pihak
yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya);
2. putusan declaratoir, yakni putusan yang amarnya menciptakansuatu
keadaan yang sah menurut hukum; dan
3. putusan constitutif, yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan
hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.
Sanksi hukum secara perdata dapat berupa kewajiban untuk
memenuhi prestasi (kewajiban) serta hilangnya suatu keadaan hukum,
yang

diikuti

dengan

Pertanggungjawaban

terciptanya
hukum

di

suatu
bidang

keadaan
perdata

hukum

baru.

merupakan

113 Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban


Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Averroes Press, 2002, hlm, 54.

55

pertanggungjawaban hukum yang didasari oleh adanya hubungan


keperdataan antar subyek hukum.
2.3.2. Pertanggungjawaban

Pejabat

Pemerintahan

Dalam

Perspektif

Hukum Pidana
Prinsip pertanggungjawaban pidana didasarkan atas ketentuan
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dikenal dengan
sebutan KUHP dengan asas legalitasnya Nullum Delictum Noella Poena
Sine Previa Lege Poenali,114 yang menyebutkan tiada peristiwa dapat
dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan
pidana yang mendahului sebelum perbuatan itu dilakukan (geen feit is
strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke
strafbepaling).115
Jadi ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut terkandung
suatu maksud yang menjelaskan yakni: pertama, suatu perbuatan dapat
dipidana jika termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Hal ini
berarti pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan.
Kedua, ketentuan pidana itu harus terlebih dahulu ada daripada perbuatan
114 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. hlm 155

115 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan & Yurisprudensi. Alumni,
Bandung, 1979, hlm. 16

56

itu, dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku
ketika perbuatan itu dilakukan.116 Dalam kaitan dengan hal tersebut,
menurut Barda Nawawi Arief bahwa perumusan asas legalitas dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas lex temporis delicti
atau asas nonretroaktif yakni larangan berlakunya hukum atau undangundang pidana secara retroaktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan
hak asasi terhadap setiap orang.117 Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1
ayat (2) KUHP yang menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan, ada
perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan peraturan
perundang-undangan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat
dipidana maupun sanksinya. Ketiga, Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat
pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan
terdakwa.118

116 Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,
BPHN, Jakarta, 2002, hlm 3.

117 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 1.

118Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia, Op.Cit,
hlm..3

57

Mengacu pada uraian di atas, maka keberlakuan asas legalitas


sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dibatasi oleh Pasal 1
ayat (2) KUHP yang menyebutkan jika sesudah perbuatan dilakukan, ada
perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan peraturan
perundang-undangan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Terdapat tiga pengertian: (a) tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan
dalam suatu aturan undang-undang; (b) untuk menentukan adanya
perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi; dan (c) aturan-aturan
hukum pidana tidak berlaku surut.119
Selanjutnya dalam Pasal 2 KUHP, bahwa ketentuan pidana dalam
hukum positif Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan
sesuatu tindak pidana di Indonesia. Pada dasarnya hukum pidana
merupakan keseluruhan peraturan hukum yang berkenaan dengan
perbuatan mana yang dapat dipidana dan pidana apa yang dapat
dikenakan. Eksistensi asas legalitas masih diakui mempunyai implikasi
kepada kedudukan kepastian hukum yang mempunyai sifat perlindungan
kepada hukum pidana yaitu hukum pidana melindungi masyarakat
terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Hal ini
merupakan fungsi melindungi dari hukum pidana. Fungsi melindungi,

119 Moelyatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 2000, hlm. 25

58

hukum pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu dalam batasbatas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan yang
dilakukan pemerintah, secara tegas diperbolehkan.120 Hal pertama yang
perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa
pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya
seseorang

telah

melakukan

tindakan

pidana.

Prof.

Moelijatno

menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat di persalahkan melanggar


sesuatu tindak pidana tidak mungkin di kenakan pidana, meskipun orang
tersebut di kenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang
lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana.
Demikian pula meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dapat di
pidana. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama
tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Apakah orang yang telah
melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal,
apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau
tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang
mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala
dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan
yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak
tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan merupakan dasar

120 Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995, hlm 4.

59

daripada dipidananya pelaku. Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat


itu dipertanggungjawabkan pada pembuatnya, artinya predikat yang
objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada terdakwa.121
Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya bagi pelaku bukanlah
bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada
apakah terdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.
meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat
dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia
mempunyai kesalahan. Teori Moelijatno menyatakan karena kalimat
diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian
dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan
yang bertenttangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana,
namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat
(subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkan Pidana. Syaratsyaratnya harus terpenuhi menurut teori Melijatno adalah:
1. Harus adanya Perbuatan;
2. Perbuatan itu telah diatur dalam aturan hukum (perundang-undangan);
3. Memiliki Ancaman (sanksi) bagi pelanggarnya.
Sedangkan berkenaan dengan hal itu disesuaikan dengan keriteria
sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, meliputi:

121 Op.cit, Moeljatno, hlm 54.

60

a. pidana pokok yang terdiri dari: (1) pidana mati; (2) pidana penjara;
(3) kurungan; dan (4) denda;
b. pidana tambahan yang terdiri dari: (1) pencabutan hak-hak tertentu;
(2) perampasan barang-barang tertentu; dan (3) pengumuman putusan
hakim.
Hukum pidana juga merupakan ultimum remidium atau sarana
terakhir. Ultimum Remidium hanya diadakan apabila sanksi-sanksi dalam
bidang-bidang hukum lain tidak memadai.
Namun saat ini telah dikembangkan upaya Peranan dan fungsi
inspektorat dan pengawasan di kantor dan lembaga diupayakan audit
kinerja untuk mencegah tumpang tindih pemeriksaan kinerja yang
menimbulkan ketidakpastian hukum. Perkembangan dalam UU AP
diintensifkan untuk mencegah kriminalisasi tindakan administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU AP, dinyatakan: Pengawasan
terhadap larangan penyalahgunaan wewenang administrasi pemerintahan,
dilakukan oleh Aparatur Pengawas Intern Pemerintah yang selama ini
terjadi dalam praktik dan memperkuat prinsip kehatihatian (prudential
principle)122 tujuannya untuk membangun sarana hukum pidana sebagai
Primum Remedium.

122 Asep Warlan, Materi Acara Sosialisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, Di Hotel Prima Resort Kuningan Tanggal 22 Oktober 2015.

61

Progres yang dapat dipahami dalam ranah hukum administrasi


pemerintahan secara asas systematische specialiteit atau logische
specialiteit sebenarnya upaya hukum yang dapat dijalankan untuk
memproses seseorang pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan
publik yang salah. Dengan kata lain konotasi dalam konteks ini lebih
dahulu diterapkan prinsip premium remedium untuk hukum administrasi
Pemerintahan, baru kemudian diterapkan prinsip ultimum remedium untuk
hukum pidana.
Artinya kebijakan publik yang salah atau menimbulkan kerugian
negara seharusnya lebih dahulu disikapi secara hukum administrasi dan
bukan hukum pidana, kecuali bila ada unsur koruptif (misalkan
melanggar Pasal 20 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 39 ayat (6) atau Pasal 65
ayat (1) huruf a dalam UU AP), maka hukum pidana bisa diterapkan
sebagai upaya terakhir. Jika kesalahan (kerugian bisnis) itu dipahami
secara hukum administrasi, maka tidak perlu dipidana. Oleh sebab itu,
dalam

konteks

ini,

perbuatan

mana

yang

dapat

dikategorikan

(dikriminalisasi) sebagai perbuatan pidana atas kebijakan publik tersebut


harus pula memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam
perspektif hukum pidana (wederrechtelijkheid).
Perbuatan melawan hukum sebagaimana maksud di atas bila
dikaitkan

dengan

ketentuan

adanya

pertanggungjawaban

pejabat

pemerintahan dari sudut kajian pidana yang melakukan suatu tindakan


yang termasuk dalam unsur pidana korupsi yang telah secara khusus
62

diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001


tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), seharusnya dipahami secara
formil maupun secara materil. Secara formil berati perbuatan yang
disebut tindak pidana korupsi adalah bertentangan dengan perundangundangan, seperti melawan hukum yang diatur dalam KUHP, UU
Tipikor, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Pelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, PP
No. 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah, PP No. 109 Tahun 2000, Tentang Kedudukan
Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 110 Tahun
2000, tentang Kedudukan Keuangan DPRD.
Sedangkan secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak
pidana korupsi adalah perbuatan yang walaupun tidak bertentangan
peraturan perundang-undangan yang berlaku namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat di pidana. Perluasan unsur melawan hukum ini sangat
ditentang oleh sebagian ahli hukum dan sangat berpengaruh dalam proses
penegakan hukum sekarang. Alasan dari pihak yang menolak perluasan
unsur melawan hukum ini adalah jika unsur melawan hukum ini
diartikan secara luas, maka pengertian melawan hukum secara materil
(Materiele Wederrechttelijkeheid) dalam Hukum pidana diartikan sama

63

dengan pengertian melawan hukum (Onrechtmatige Daad) dalam Pasal


1365 KUH Perdata dan ini sangat bertentangan dengan asas legalitas.
Memahami unsur melawan hukum ini pada dasarnya dapat di
terima oleh akal sehat, namun belum tentu bertolak dari suatu
pemikiran/akal yang sehat karena perlu diingat juga bahwa Mahkamah
Agung (MA) sebenarnya sudah sejak lama mengakui dan menerapkan
Materiele Wederrechttelijkeheid dalam berbagai perkara tindak pidana
korupsi.
Mengenai teori hukum juga diakui bahwa suatu perbuatan dapat
dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu tidak saja bertentangan
dengan hukum yang dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa juga
bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang ditaati oleh
masyarakat dalam penyelesaian pada lembaga peradilan disebut sebagai
yurisprudensi.123 Teori hukum ini sangat penting, mengingat suatu putusan
yang benar tidak hanya didasarkan pada Undang-undang atau
yurisprudensi saja, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan yang ada di
masyarakat, traktat, doktrin dan pendapat ahli hukum.
Unsur melawan hukum memiliki karakteristik tindak pidana
korupsi yang muncul akhir-akhir ini, idealnya unsur perbuatan melawan
hukum harus dipahami baik secara formil maupun materil karena:

123 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm 294

64

Pertama, korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya


merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efesiensi tinggi
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga di golongkan sebagai kejahatan yang luar biasa
(Extra Ordinary Crime), sedangkan pemberantasan dilakukan sesuai caracara yang luar biasa (Extra Ordinary Efforts). Kedua, dalam merespon
perkembangannya kebutuhun hukum di dalam masyarakat, agar dapat
lebih memudahkan di dalam pembuktian sehingga dapat menjangkau
berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian
negara yang semakin canggih dan rumit. Argumen dari Marwan Effendi
ini, pada dasarnya sesuai dengan dictum menimbang huruf b dan
Penjelasan umum alinea kedua UU Tipikor, sehingga terbukti apabila
perbuatan melawan hukum dalam pembuktian suatu tindak pidana
korupsi, harus di pahami dan dibuktikan secara materil dan atau formil.124
Menurut terminologi bahasa memperkaya. merupakan suatu
kata kerja yang menunjukan perbuatan setiap orang untuk menambah
kekayaannya. Itu berarti, memperkaya diartikan sebagai perbuatan
adanya perubahan intensitas yang lebih meningkat dari posisi
sebelumnya. Apabila dikaitkan dengan makna orang mengingat apakah
124 MarwanEffendi, KejaksaanRIdalamPerspektifHukumdanImplikasinya. Gramedia,Jakarta,2005. hlm
1

65

seseorang itu dapat disebut sebagai kaya sangat subyektif sekali, misalnya
seseorang di kota besar mempunyai rumah besar dan mobil belum dapat
disebut kaya sedangkan di desa seseorang yang mempunyai televisi,
persawahan dan sepeda motor dapat disebut kaya, maka dalam konteks
pembuktian suatu tindak pidana korupsi kata memperkaya harus
dimaknai sebagai perbuatan setiap orang yang berakibat pada adanya
pertambahan kekayaan. Ada 3 point yang harus di dikaji dalam kaitannya
dengan suatu tindak pidana korupsi, unsur-unsur itu adalah: Pertama,
Memperkaya Diri Sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu
pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.
Kedua, Memperkaya Orang Lain, maksudnya adalah akibat dari
perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati
bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang
diuntungkan bukan pelaku langsung. Ketiga, Memperkaya Korporasi,
yakni akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, suatu korporasi,
yaitu kumpulan orang-atau kumpulan kekayaan yang terorganisir, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum Pasal 1 ayat (1)
UU Tipikor yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya
harta benda. Unsur-unsur pada dasarnya merupakan sifat atau alternatif.
Artinya jika salah suatu point diantara ketiga point ini terbukti, maka
unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi ini dianggap
telah terpenuhi. Pembuktian unsur-unsur ini sangat tergantung pada
bagaimana cara dari orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana
66

korupsi memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain atau


memperkaya korporasi, yang hendaknya dikaitkan dengan unsur/elemen
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang terkandung dalam Pasal 3
UU

Tipikor

dinyatakan:

setiap

orang

yang

dengan

tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,


menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah). Pemahamannya adalah dari
amanat Pasal 3 UU Tipikor, yang disebut sebagai pelaku tindak pidana
korupsinya adalah korporasi dan orang-perorangan (Persoonlijkheid).
Jika diteliti, perkalimat setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan dan seterusnya, menunjukan bahwa pelaku tindak
pidana korupsi menurut Pasal 3 UU Tipikor haruslah orang-perorangan
(Persoonlijkheid) dalam hal ini seorang yang memiliki jabatan dalam
instansi negara, atau aparatur pemerintahan (pegawai negeri). Menurut
Pasal 1 ayat (2) UU Tipikor, yang dimaksud dengan pegawai negeri
67

meliputi: Pertama, Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian (UU
Kepegawaian). Kedua, Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 92 KUHP. Ketiga, orang yang menerima gaji atau upah dari
keuangan negara. Keempat, orang yang menerima gaji atau upah dari
suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah. Kelima, Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain
yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Tindakan yang menyalahgunakan wewenang, memanfaatkan kesempatan
atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan
sebagaimana amanat Pasal 3 UU Tipikor pada dasarnya spesifikasi dari
Pasal 52 KUHP sebagai payung hukumnya. Namun, rumusan yang
menggunakan istilah umum menyalahgunakan ini lebih luas jika
dibandingkan dengan Pasal 52 KUHP secara terminologi, oleh karena
melakukan tindakan pidana, atau pada waktu melakukan tindak pidana
memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari
jabatannya. Untuk membuktikan suatu tindak pidana korupsi
berkaitan dengan unsur atau elemen yang bersifat alternatif ini, maka ada
tiga point yang harus dikaji, yakni: Pertama, menyalahgunakan
kewenangan, berarti menyalahgunakan kekuasaan atau hak yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan. Kedua, menyalahgunakan
kesempatan, berarti menyalahgunakan waktu (mengambil manfaat) yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Ketiga, menyalahgunakan
68

sarana, artinya menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada


padanya karena jabatan atau kedudukan.
Bila berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan atau Abuse
of Power atau peluang untuk melakukan sesuatu inilah yang dimaksud
dengan kesempatan. Sebab stiap orang yang memiliki jabatan atau
kedudukan biasanya akan mendapat sarana tertentu pula dalam rangka
menjalankan kewajiban dan kewenangannya. Terminologi mengenai
sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat untuk
mencapai maksud dan tujuan. Seseorang dengan jabatan atau kedudukan
tertentu akan memiliki wewenang, kesempatan dan sarana tertentu yang
dapat ia gunakan untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. Wewenang,
kesempatan dan sarana ini diberikan dengan rambu-rambu tertentu. Bila
kemudian rambu-rambu itu dilanggar atau bila wewenang, kesempatan,
dan sarana tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya, maka telah
terjadi penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana yang dimiliki
karena jabatan atau kedudukannya.
Mengenai

hal

yang

menimbulkan

Kerugian

terhadap

Perekonomian Negara Point yang harus dibuktikan yakni berunsur dapat


merugikan keuangan negara atau perekonomian negara berkaitan dengan
suatu tindak pidana korupsi adalah: (a). Dapat Merugikan Keuangan
Negara. Menurut Penjelasan Umum UU PTPK, yang dimaksud dengan
keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala
69

bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena: Pertama,
berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat,
lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua, berada
dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Miik Daerah (BUMD),
yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang mertakan modal pihak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. (b). Perekonomian Negara,
yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan
perekonomian yang disususun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan
pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberi manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat. Kedua poin dalam unsur-unsur dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara in aquo adalah
bersifat alternatif. Jadi untuk membuktikan seseorang melakukan tindak
pidana korupsi atau tidak, berkaitan dengan unsur/elemen ini, maka
cukup hanya dibuktikan salah satu point saja. Namun, yang harus diingat
dan diperhatikan dalam pembuktian unsur ini ialah Kata dapat sebelum
frasa

merugikan

keuangan

negara

atau

perekonomian

negara

menunjukan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU PTPK mengamanatkan agar


tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai delik formil dan bukannya
delik materil.
70

Menurut Satochid Kartanegara, delik formil (Delict Met Formeele


Omschrijiving/delik dengan perumusan formil) adalah delik yang
dianggap telah sepenuhnya terlaksana tanpa timbulnya akibat berkaitan
dengan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan yang dimaksud dengan
delik materil (Delict Met Materieele Omschrijiving atau delik dengan
perumusan materil) ialah delik yang baru dianggap terlaksana penuh
apabila telah timbulnya akibat yang dilarang.125
Pelaku

tindak

pidana

korupsi

ada

pula

yang

dilakukan secara korporasi tentu berkenaan dengan adanya


perbuatan

pidana

dengan

pembantuan.

Secara

tindak

pidana, diasumsikan dengan penyertaan sebagai turut


melakukan

dan

pembantuan

sebagai

membantu

melakukan, sebagaimana ketentuan Pasal 55 KUHP, Menurut


R. Soesilo, turut melakukan dalam arti kata bersamasama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang,
ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut
melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta
bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan
pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari
peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya
125 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II (Kumpulan Kuliah), Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta,
hlm 294.

71

melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang


sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka
orang yang menolong itu tidak masuk medepleger akan
tetapi

dihukum

sebagai

membantu

melakukan

(medeplichtige). Sejalan dengan ajaran deelneming, maka


sebenarnya

tidak

ada

dalam

satu

peristiwa

pidana

diantara pelaku mempunyai kedudukan dan peranan yang


sejajar. Artinya tidaklah logis apabila dalam penanganan
suatu perkara pidana, hakim menyatakan terbukti Pasal 55
KUHP

dengan

hubungan

hanya

kerjasama

sebatas
secara

menyatakan
kolektif.

adanya

Penggunaan

kesimpulan adanya suatu kerjasama kolektif dalam suatu


peristiwa pidana tanpa bisa menunjukkan peran masingmasing pelaku, sebenarnya proses pembuktian Pasal 55
ayat 1 Ke-1 KUHP adalah tidak sempurna. Bahkan
sekaligus menggambarkan proses persidangan telah gagal
menggali kebenaran materil dari perkara yang diperiksa
dan diadili.
Jika disimak keberadaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP,
maka ada keharusan untuk menemukan peran pelaku dan
para

pelaku

dimintai

pertanggungjawabannya

sesuai

dengan peranannya masing-masing. Artinya dalam prinsip

72

deelneming tidaklah bisa semua pelaku adalah samasama sebagai orang yang melakukan, atau sama-sama
sebagai orang yang menyuruh lakukan, apalagi samasama sebagai turut serta melakukan. Dalam konteks ini,
suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari satu
orang meminta adanya penemuan dari penegak hukum
untuk menemukan kedudukan dan peran dari masingmasing pelaku. Berkaitan dengan pernyataan di atas
dalam Pasal 56 KUHP dinyatakan: orang yang membantu
melakukan jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut,
pada

waktu

atau

sebelum

(jadi

tidak

sesudahnya)

kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah


kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan
perbuatan sekongkol atau tadah melanggar Pasal 480
KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal
221 KUHP.126 Sedangkan ahli hukum Wirjono Prodjodikoro
mengutip Hazewingkel Suringga t urut melakukan tindak pidana
dibagi ke adalam dua unsur, yaitu: pertama, kerja sama yang disadari antara

para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di antara


126 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bandung,
1991. hlm 156

73

mereka; kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak


itu.127
Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa
adanya tindak pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang atau
korporasi dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis
cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan
melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

2.3.3. Pertanggungjawaban

Pejabat

Pemerintahan

Dalam

Perspektif

Hukum Administrasi
Reformasi administrasi dalam membenahi kebijakan-kebijakan
hukum yang terkait dengan struktur, proses dan manajemen baik dalam
bidang keuangan, pengawasan termasuk sumber daya manusia dari
aparatur pemerintahan, akuntabilitas dan transparansi serta proses
pembuatan kebijakan dan implementasinya. Reformasi administrasi
Pemerintahan berarti pula reformasi dalam bidang hukum administrasi
negara. Karena tidak ada reformasi administrasi yang berjalan tanpa
adanya reformasi dalam bidang hukum administrasi. Sementara

127 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama,


Bandung, 2003. hlm 123

74

tanggungjawab dibebankan kepada subjek yang melakukan kesalahan


administratif.128
Sedangkan pengertian administratif adalah sanksi yang dikenakan
terhadap pelanggaranadministrasi atau ketentuan undang-undang yang
bersifat administratif. Sanksi administratif diatur dalam Pasal 80 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
berupa: (a) sanksi administratif ringan; (b) sanksi administratif sedang;
dan (c) sanksi administratif berat. Selanjutnya yang dimaksud dengan
sanksi administrasi ringan, sedang dan berat diatur dalam Pasal 81
Undang-Undang

Nomor

30

Tahun

2014

tentang

Administrasi

Pemerintahan, yaitu sebagai berikut:


1. sanksi administratif ringan berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; atau
c. penundaan kenaikan pangkat, golongan,dan/atau hak-hak jabatan;
2. sanksi administratif sedang berupa:
a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
b. pemberhentian sementara dengan memperolehhak-hak jabatan;
atau
c. pemberhentian sementara tanpa memperolehhak-hak jabatan; dan
3. sanksi administratif berat berupa:
a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan dan
fasilitas lainnya;
b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan
fasilitas lainnya;

128 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 210

75

c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hakkeuangan dan


fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa; atau
d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hakkeuangan dan
fasilitas lainnya sertadipublikasikan di media massa.
Adanya pertanggungjawaban pemerintahan ini

mendorong

timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela (voluntary


complience), memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan
good governance.129
Dalam mewujudkan good governance dimaksud, dapat dibuktikan
mulai dari bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar
peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh
kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat,
pengumuman, surat keputusan (SK) dan sejumlah bentuk lainnya. Dalam
rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) pun
memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang
sebelumnya

belum

pertanggungjawaban

terakomodir
menurut

dalam

UU

AP

UU

PTUN.

Mekanisme

ini

adalah

mekanisme

pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun


tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan.
Menurut Pasal 25 ayat (3) UU AP dinyatakan; pejabat administrasi
pemerintahan

yang

menggunakan

diskresi

wajib

mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan


129 Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan Publik, Setara
Press,Malang, 2011, hlm 7

76

masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil.


Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis
dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.
Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan
melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi pejabat
administrasi pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau
gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. Kebebasan bertindak oleh
pejabat pemerintah yaitu diantaranya;
1. Kebijakan pemerintah yang bersifat emergency adanya kondisi yang
menyebabkan harus segera dilaksanakan terkait hajat hidup orang
banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah
meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi
kekosongan hukum sama sekali;
2. badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum
dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap
kebijakan publik (policy) atau kebijakan publik, sepanjang berkaitan
dengan kepentingan umum atau masyarakat luas; ketiga; sifat dan roda
pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan
publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan
rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinmais seiring dengan dinamika
masyarakat dan perkembangan zaman.
Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak oleh apartur
pemerintahan

yang

berwenang

sudah

tentu

juga

menimbulkan
77

kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas legalitas


dalam arti yuridis terdapat unsur pengecualian. Memang harus diakui
apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapa asas
freis ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan
antara Pejabat Pemerintahan dengan masyarakat. Ada beberapa kerugian
yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara baik yakni diantaranya:
1. Aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena
terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan
kepada masyarakat;
2. Sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk
akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh
pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang;
3. Sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah
kebijakan

(policy)

kontraproduktif

pejabat

dengan

atau

keinginan

aparatur
rakyat

pemerintah
atau

para

yang
pelaku

pembangunan lainnya;
4. Aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak
berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak promasyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik
terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata
masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak
simpatik dan merugikan masyarakat. Dalam hukum administrasi
Negara, karena hal itu juga sudah dinyatakan secara tegas dalam
Undang-undang Peradilan TUN dan UU AP.
78

Bahwa individu atau badan hukum perdata jika dirugikan dengan


keluarnya Keputusan TUN, salah satu alasan dapat mengajukan gugatan
ke PTUN adalah karena keputusan itu bertentang dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), jadi selain keputusan pejabat
TUN dapat diuji karena bertentang dnegan peraturan perudang-undangan
yang berlaku juga dapat diuji melalui AAUPB. Sebagaimana yang
dinyatakan dalam amanat Pasal 45 dalam ayat (1) Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 Penetapan
keputusan administrasi pemerintahan oleh pejabat tidak berlaku surut
dalam hal ini merupakan pemahaman dari asas legalitas adapun Pasal 43
ayat (2) menyiratkan sanksi administratif dikenakan pada semua pejabat
dan pegawai administrasi pemerintahan yang melanggar ketentuan
undang-undang

ini

sehingga

menyebabkan

konflik

administratif,

tujuannya memberikan adanya jaminan dan pertanggungjawaban terhadap


setiap Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan
pejabat administrasi Pemerintahan.
Pada sisi lain yang berhubungan dengan Pertanggungjawaban
menurut Regulasi Tata Usaha Negara sering terjadi dalam praktik adanya
kekeliruan terhadap kebijakan yang mengandung kerugian dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Pemehaman tersebut
membahayakan sistim hukum administrasi negara yaitu akan terjadi suatu
kondisi pejabat administrasi negara tidak akan mengambil tindakan

79

hukum apapun jika fakta dan kondisi tidak sesuai dengan kondisi yang
ideal dalam peraturan perundang-undangan.
Kebijakan tidak berarti sebagai kejahatan. Pandangan demikian
keliru, karena kebijakan administrasi negara lahir dari wewenang yang
sah diberikan hukum dan peraturan perundang-undangan kepada pejabat
administrasi negara. Kendatipun kebijakan itu ternyata menimbulkan
risiko hukum, akibat pejabat administrasi negara yang memiliki
pemahaman yang berbeda, antara tindakan dengan fakta yang terjadi
setelah kebijakan diambil. Dengan adanya kemungkinan salah kira
tersebut, jika administrasi negara mengambil kebijakan dalam perkiraan
yang salah atau informasi yang salah, tindakan tersebut merupakan
kehilafan. Menimbulkan persoalan hukum dalam hukum administrasi
negara, dan penyelesaiannya harus melalui hukum administrasi negara
berdasarkan prinsip contractus actus.
Pada konteksi ini bukan kebijakannya yang dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum, tetapi perilaku pengambil kebijakan itu yang
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Suatu kebijakan
tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap si pembuat kebijakan dapat
dikenakan

pidana,

jika

dibalik

kebijakannya

terdapat

unsur

penyalahgunaan wewenang atau mendapat keuntungan untuk dirinya


sendiri atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan
kerugian negara.
Merupakan suatu kekeliruan walaupun perilaku pengambil
kebijakan

mengandung

perbuatan

melawan

hukum

dipidanakan.

80

Walaupun perilaku pejabat dalam mengambil kebijakan mengandung


perilaku berikut ini:
1. Melakukan paksaan dalam bentuk ancaman (dwang),
2. Menerima dan melakukan suap (omkoperij) yang menyebabkan alasan
membuat kebijakan tidak ada (valse oorzaak),
3. Melakukan tipuan bersifat muslihat (kuntsgrepen).
Sekalipun mengandung perilaku pejabat publik yang mengambil
kebijakan sebagaimana di atas, tidak berarti si pengambil kebijakan itu
dipidanakan. Pejabat yang demikian bukan melakukan unsur pebuatan
melawan hukum pidana tetapi merupakan penyalahgunaan wewenang
(detornement de pouvoir). Sekalipun demikian, kebijakan tersebut
merupakan tindakan kepemerintahan yang sah dan menjadi wewenang
pejabat administrasi negara. Oleh sebabnya, tidak dapat dipidanakan
karena adanya wewenang yang sah pada administrasi negara.
Dipandang dari sisi kerugian ekonomis, terutama kebijakan
pemerintah dalam pengelolaan perusahaan negara atau BUMN, doktrin
Business Judgment Rule dapat digunakan untuk membebaskan direksi
perusahaan dari pertanggungjawaban atas kerugian perseroan. Kerugian
itu mungkin bisa timbul dari kebijakan direksi yang diambilnya dan
seorang direksi perusahaan negara atau BUMN merupakan kategori
pejabat pemerintah dalam arti luas, menyangkut semua pejabat yang turut
dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara.
Secara hukum administrasi negara, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
81

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (disingkat UU


PTUN), seorang pejabat publik dapat digugat melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) jika memenuhi syarat untuk diajukan gugatan
TUN. Gugatan tersebut berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN
dan diajukan ke PTUN untuk mendapatkan putusan.
Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN, ada 7 (tujuah) macam keputusan
yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
menurut undang-undang ini adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan (Kitab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 disebut
KUHP) dan (Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 disebut
KUHAP)
5. atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
6. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
7. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia;
8. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pemilihan umum.

82

Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN tersebut di atas, jelas disebutkan


bahwa Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata,
umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual-beli yang
dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan
pada ketentuan hukum perdata. Jenis Keputusan TUN ini tidak dapat
diselesaikan dalam PTUN melainkan dalam peradilan perdata (peradilan
umum). Kemudian Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum, yang dimaksud dengan pengaturan yang bersifat umum
adalah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan
dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
Jenis Keputusan TUN ini juga tidak dapat diselesaikan atau diajukan
gugatannya di PTUN dan termasuk dalam hal kebijakan hukum pidana
(criminal polcy).
Dengan demikian sesuai Pasal 1 angka 3 UU PTUN dari ketujuh
macam Keputusan Pejabat Pemerintahan tersebut, maka Keputusan TUN
yang masuk dalam ranah hukum administrasi negara yang memiliki sama
diatur pula dalam UU AP merupakan adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum
TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Namun hanya ada 4 (empat) karakteristik Keputusan TUN yang
boleh diajukan gugatannya melalui PTUN adalah:

83

1. Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan


oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN.
2. Keputusan TUN itu dikeluarkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
3. Keputusan TUN itu bersifat konkret, individual, dan final.
4. Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum
TUN. Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan
kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan
tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan
dan sebagainya. Menurut M. Makhfudz tindakan diam dari pejabat
administrasi negara disamakan dengan keputusan tertulis.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi
pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi
syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau
Pejabat TUN menurut UU PTUN ini apabila sudah jelas tentang:
1. Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; dan
3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di
dalamnya.

84

Badan atau Pejabat TUN dimaksud adalah badan atau pejabat di


pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
Tindakan hukum TUN merupakan perbuatan hukum Badan atau Pejabat
TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara
yang dapat dituntut pertanggungjawabannya disebabkan menimbulkan
hak dan kewajiban terhadap orang lain. Adapun sifat-sifat suatu
keputusan itu:
1. Bersifat konkret atau realistis, artinya objek yang diputuskan dalam
Keputusan TUN itu tidak abstrak (berwujud), tertentu atau dapat
ditentukan,

umpamanya

keputusan

mengenai

izin

usaha,

pemberhentian pegawai BUMN atau BUMD sebagai pegawai negeri.


Atau dalam pemberian Keputusan memberikan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), Pemberian Izin Prinsip dan sebagainya.
2. Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang
dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena
keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan
atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama
orang yang terkena keputusan tersebut. Individual artinya Keputusan
TUN itu tidak ditujukan untuk umum melainkan pada tujuan tertentu,
baik dengan menyebut nama, alamat, maupun hal yang dituju.
3. Sedangkan bersifat final tidak lagi memerlukan persetujuan dari
atasan. Dengan kata lain sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan

85

persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final


karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada
pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan
seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan
Administrasi Kepegawaian Negara.
Pejabat pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan
administrasi negara seperti: mengeluarkan keputusan (beschikking),
mengeluarkan peraturan (regeling), dan melakukan perbuatan materil.
Dari ketiga perbutan administrasi negara itu, yang tidak termasuk dalam
kompetensi PTUN adalah mengeluarkan peraturan (regeling) karena
hanya mengatur hal-hal yang bersifat general (umum) dan mengikat.
Sedangkan keputusan (beschikking) juga merupakan peristiwa yang
melaksanakan hal-hal yang bersifat umum tetapi diaktualisasikan ke
dalam hal-hal yang kongkrit sehingga dapat dilaksanakan gugatannya di
PTUN.
Mengeluarkan peraturan (regeling) dikenal pula dalam istilah
peraturan

kebijakan

menggunakan

(beleidsregels)

wewenang

diskresi.

yang

dikeluarkan

Beleidregels

merupakan

dengan
jenis

peraturan yang tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan,


sehingga tidak dapat diuji secara hukum, karena memang tidak ada
peraturan perundang-undangan sebagai dasar pembuatannya melainkan
berdasarkan pada wewenang diskresi (freies ermessen). Dengan demikian
pejabat administrasi pemerintahan yang mengeluarkan beleidregels tidak
dapat digugat di PTUN.
86

Pembuatan Keputusan TUN dalam bentuk beschikking harus


memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah
menurut

hukum

(rechtgeldig)

dan

memiliki

kekuatan

hukum

(rechtskracht) untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan


dalam pembuatan keputusan mencakup syarat materil dan syarat formil
sebagai berikut:
1. Syarat-syarat materil terdiri atas:
a. Organ Pemerintah yang membuat keputusan harus berwenang.
b. Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan
yuridis, seperti, penipuan (bedrog), paksaan (dwang), atau suap
(omkoping), kesesatan (dwaling).
c. Keputusan harus didasarkan pada suatu keadaan atau situasi
tertentu.
d. Keputusan harus dapat dilaksanakan tanpa melanggar peraturanperaturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai
dengan isi dan peraturan dasarnya.
2. Syarat-syarat formal terdiri atas:
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan
dibuatnya

keputusan

dan

cara-cara

(prosedur)

dibuatnya

keputusan harus sesuai.


b. Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam
peraturan

perundang-undangan

yang

menjadi

dasar

dikeluarkannya keputusan itu.


c. Syarat-syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan keputusan
itu harus terpenuhi.

87

d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang


menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus
diperhatikan.
Apabila syarat materil dan syarat formil tersebut terpenuhi, maka
keputusan itu sah menurut hukum artinya dapat diterima sebagai suatu
bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada
baik secara proseduran/formal maupun materil. Sebaliknya, bila satu atau
beberapa

persyaratan

itu

tidak

terpenuhi,

maka

keputusan

itu

mengandung kekuarangan dan menjadi tidak sah. Upaya hukum yang


dapat dilakukan terhadap suatu Keputusan TUN yang tidak sah, dapat
diajukan upaya hukum ke PTUN guna pembatalan.
Suatu Keputusan TUN dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ
yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat hukum
(vormgebreken), cacat isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak
(wilsgebreken). Jika kepeutusan itu tidak sah, maka keputusan itu harus
dibatalkan melalui gugatan ke PTUN. Dapat pula dilakukan pembatalan
melalui jabatan yaitu diajukan kepada pihak pemerintah itu sendiri agar
dibatalkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa upayaupaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kebijakan publik yang salah
atau yang menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara jika
dari dikaji perspektif Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan dapat
diajukan gugatan terhadap kasus tersebut Peradilan Tata Usaha Negara

88

yang berada dalam ranah hukum administrasi negara sesuai kompetensi


peradilan. Sekalipun Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata berupa kerugian ekonomis, dan
berlaku bagi pejabat pemerintahan tersebut segala Peraturan yang
bertentangan dangan UU AP saat tindakan-tindakan tersebut melanggara
kedua regulasi dimaksud. Termasuk tuntutan gugatan dari perbuatan
penyalahgunaan wewenang ke PTUN bukan ke pengadilan negeri.
Namun bila tindakan Pejabat Pemerintahan itu berhubungan dengan
kerugian negara yang ditimbulkan akibat adanya unsur tindak pidana
korupsi maka pertanggungjawaban tersebut dapat diajukan oleh petugas
yang berwenang seperti lembaga Komisi Pengawas Korupsi dan dituntut
melalui Peradilan Khusus Tindak Pidana Korupsi pada Peradilan Negeri
pada daerah hukum administrasi sesuai locus delicti. Dengan demikian
hal itu telah sesuai pula dengan prinsip primum remedium agar sejalan
dengan asas systematische specialiteit.

2.4.

Teori Perlindungan Hukum


Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi
manusia untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun akan harkat dan martabat,
yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat

89

melindungi suatu hal dari hal lainnya.130 Berkaitan dengan Pemerintahan, berarti
hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak Warga Negara dari sesuatu
yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut
Maksudnya adalah pemberian tindakan antisipasi sebagai bentuk
perlindungan bagi pejabat Pemerintahan (penguasa) dari adanya perbuatan yang
memiliki kecenderungan yang mengarah kepada tindakan kesewenang-wenangan
dari aparatur Pemerintahan yang dapat melanggar hukum atau tidak sesuai
dengan aturan hukum sehingga merugikan terhadap pelaku, negara dan
masyarakat.
Maksudnya adalah untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai
manusia. Kontrol yuridis hanya dalam hal ketetapan administrasi
(beschikking)

yang

dikeluarkan

oleh

badan

atau

pejabat

administrasi negara saja, yang dapat melanggar ketentuan UU


PTUN selain itu pula dapat melanggar ketentuan UU AP, padahal
secara filosofis kompetensi absolut pengadilan administrasi
negara adalah menyelesaikan sengketa administrasi negara
dalam

arti

luas.

Oleh

karenanya

berdasarkan

pandangan

futuristik perlu ditelaah lebih lanjut undang-undang tersebut


mengenai

makna

sengketa

administrasi

negara

berupa

130 Op. cit Philipus M. Hadjon, hlm. 245

90

perbuatan hukum publik oleh jabatan administrasi negara yang


melanggar hukum. Semua ini tiada lain bertujuan untuk
mereposisi kembali hakikat penegakan hukum administrasi oleh
pengadilan
(effisiensi

administrasi
dan

effektifitas)

negara

dan

semua

menyederhanakan

penyelesaian

sengketa

administrasi negara yang selama ini dilakukan oleh peradilan


umum (misalnya sengketa administrasi negara mengenai paten
atau hak kekayaan inelektual dan mengenai masalah kebijakan
Pemerintahan dalam bidang ketenagakerjaan dan peradilan
khusus (misalnya sengketa pajak termasuk kebijakan terhadap
penanaman

modal)

yang

menjadi

kewenangan

absolut

pengadilan administrasi negara.


2.4.1. Keabsahan Perbuatan Hukum Pemerintahan
Pemberian jaminan perlindungan keamanan dan
kesejahteraan bagi warganya merupakan suatu hakikat
tujuan

dari

suatu

negara.

Aparatur

Pemerintahan

berkewajiban melakukan pengaturan dan perlindungan


terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat.131 Pemerintahan
yang baik adalah Pemerintahan yang berperan serta
131 Samudra Wibawa. Reformasi administrasi: Bunga Rampai Pemikiran
Administrasi Negara atau Publik. Yogyakarta: Gaya Media, 2005. hlm. 197.

91

secara

aktif

dalam

urusan

masyarakat

berdasarkan

kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (hukum


tertulis).

Dengan

pemberian
adalah

demikian,

kewenangan

sumber

kepada

undang-undang,

formal

aparatur

sekaligus

utama

pemerintah

penegasan

ruang

lingkup kewenangan dari tiap jabatan.


Pada sistem hukum positif yang berlaku dalam
bentuk hukum tertulis di Indonesia dapat dikatakan belum
mampu mengakomodir atau merumuskan semua aspek
kehidupan masyarakat yang kompleks dan berkembang
cepat

masyarakat.132

di

Agar

pemerintah

dapat

menjalankan tugas penyelenggaraan kesejahteraan bagi


warga

(rakyat),

di

samping

memiliki

wewenang

berdasarkan hukum tertulis, maka pejabat dalam lingkup


administrasi
untuk

pemerintahan

bertindak

bertindak

secara

atas

memerlukan

inisiatif

mandiri

sendiri.

(diskresi),

kemerdekaan
Kemerdekaan

menurut

Marcus

Lukman, merupakan sarana yang memberikan ruang


bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi

132 Op.Cit, Ridwan HR.hlm 14.

92

negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat


sepenuhnya pada undang-undang.
Fungsi

strategis

dari

tindakan

aparatur

pemerintahan, yakni kebebasan untuk bertindak atas


inisiatif sendiri, terutama" untuk penyelesaian soal-soal
genting yang timbul seketika, sedangkan pengaturannya
belum

ada

kebebasan

atau
untuk

tidak

jelas

mengambil

disebut
suatu

adalah

langkah

suatu

sebagai

tindakan (legal person) dikenal dengan keabsahan yang


mempunyai posisi yang sejajar dengan orang pribadi atau
badan hukum perdata. In deze gevallen is de overheid
evenals de particuliere personen aan de regels van het
privaatrecht onderworpen. (persamaan dengan tindakan
pihak

swasta

keperdataan).133

tunduk

pada

Civilrechtelijk

peraturan
is

hukum

rechrspersoon

prosespartij en moet, bij gemeente, de burgergemeester


aantreden (dalam hal keperdataan, badan hukum-lah yang
menjadi pihak, misalnya pada kabupaten, Bupati bertindak
mewakili badan hukum Kabupaten).134 Saat ini masyarakat
dalam modern dan demokrasi, menghendaki aparatur
133 C.J.N. Versteden. Inleiding Algemeen Besmursrecht. Alphen aan den
Rijn: Samson: HD., Tjeenk Willink, 1984 hlm. 283.

93

pemerintahan yang mampu mengambil keputusan (make


a decision), bukan hanya sekedar menjalankan perintah
atasan

sehingga

perbuatan

Pemerintahan

itu

dinilai

keabsahannya, sebab merupakan wewenang yang telah


diatur oleh hukum yang terkait kewenangannya masingmasing.
Perlu pemahaman yang faktual mengenai konteks
ini, sebagaimana teori keabsahaan menurut Philipus M.
Hadjon yang konotasinya mensyaratkan keabsahan tindak
Pemerintahan didasarkan pada aspek kewenangan, aspek
prosedur,

dan

aspek

substansis.

Aspek

kewenangan

mensyaratkan tiap tindak pemerintahan harus bertumpu


atas kewenangan yang sah (atribusi, delegasi, maupun
mandat).135 Tiap kewenangan dibatasi oleh isi (materi),

134 F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek. Inleiding in het staat-en


Administratief Recht. Alphen aan den Rijn: Samson HD. Tjeenk Willink,
1985. hlm. 34.

135 Philipus Mandiri Hadjon. Diktat Orasi Ilmiah dengan topik Fungsi
Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang
Bersih. Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994, him. 7

94

wilayah, dan waktu. Cacat dalam aspek-aspek tersebut


menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid).136
Aspek prosedur dari teori keabsahan, bertumpu atas
asas

negara

instrumental.

hukum,
Asas

asas

negara

demokrasi.

hukum

dan

berkaitan

asas

dengan

perlindungan hak-hak dasar manusia. Asas demokrasi


berkaitan

dengan

penyelenggaraan

asas

keterbukaan

pemerintahan.

Asas

dalam

instrumental

meliputi asas efisiensi (doelmatigheid, daya guna) dan


asas efektivitas (doeltrejenheid, hasil guna). Aspek
substansi menegaskan bahwa kewenangan pemerintah
dibatasi secara substansial, yakni menyangkut apa dan
untuk

apa.

Karena

bila

terjadi

cacat

substansial

menyangkut apa dan dapat digolongkan atau tidak


sebagai tindakan yang sewenang-wenang menyangkut
untuk apa terjadi penyalahgunaan wewenang tersebut.
Hingga

kemudian

hadir

teori

keabsahan

yang

menjadi landasan untuk memahami keabsahan perbuatan


Pemerintahan, fungsinya untuk menjelaskan validasi dari

136 Ibid

95

keabsahan

perbuatan

hukum

pemerintahan

dalam

kaitannya dengan kemandirian tersebut.


Pada pemikiran selanjutnya, implementasi teori di
atas menuntut kemampuan warga untuk mendapatkan
infomasi

tentang

rencana

dan

keabsahan

perbuatan

hukum Pemerintahan itu. Sebab kini merupakan era


keterbukaan informasi, memungkinkan untuk mengikatkan
suatu perjanjian mengenai penggunaan diskresi. Hukum
tidak hanya membatasi kebebasan individual terhadap
kebebasan individual lain, melainkan juga kebebasan
(wewenang) penguasa agar tidak bertindak sewenangwenangn. Dengan demikian, penggunaan asas kebebasan
berkontrak, tidak dalam arti kebebasan yang sebebasbebasnya, melainkan terikat dengan batas-batas tertentu.
Untuk mencapai tujuan yang menjadi tujuan diskresi
sebagai

keabsahan

perbuatan

hukum

Pemerintahan

sebagai fenomena yang dipandang sebagai pencerminan


belum dapat terakomodirnya hukum (dalam arti luas)
mengawal kebebasan penggunaan diskresi oleh pejabat
pemerintah. Instrumen uji yang digunakan adalah bertitik
tolak

dari

teori

keabsahan,

khususnya

mewajibkan

pemerintah untuk aktif memberikan informasi kepada

96

publik tentang keputusan yang akan diambil. Langkah


selanjutnya mengingatkan pentingnya daya guna dari
keputusan

yang

diambil.

Kemudian

membandingkan

antara biaya yang dikeluarkan, atau hasil yang dicapai


dengan pengorbanan secara efisien.
Efisien yakni bila hasil atau manfat lebih besar
daripada pengorbanan. Substansi mengenai isi dan untuk
apa kewenangan itu digunakan perlun prinsip pembatasan
penggunaan diskresi, relevan untuk diperhatikan teori
Roscoe Pound mengenai model hukum responsif (model of
responsive law). Hukum yang baik seharusnya tidak
sekedar menawarkan keadilan prosedural, melainkan lebih
jauh lagi, it should be competent as well as fair; it should
help: dene the public interest and be committed to the
achievement of substantive justice.137
Makna

di

atas

menitikberatkan

adanya

suatu

kewenangan yang baik dan adil sebagai pemberian


kembali
hukum

kepercayaan
sesuai

terhadap

substansinya

publik

yang

dan

kepastian

diwujudkan

dalam

137 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina
Ilmu, Surabaya, 1987. hlm 185

97

keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan, untuk secara


rinci dijabarkan spesifikasinya sebagai berikut:
2.4.1.1.

Subjek Hukum
Sebenarnya

identitas

secara

universal

mengenai

predikat subjek hukum adalah sebagai pendukung hak dan


kewajiban yang secara umum berlaku kepada setiap orang, akan
tetapi seiring pengetahuan dan tingginya cakrawala berfikir, maka
predikat itu terklasifikasi kembali menjadi sebuah pemahaman
multi dimensional yang berkembang khususnya dalam bidang
ilmu hukum administrasi negara, menyandangkan predikat subjek
hukum terhadap aparatur negara a quo disebut sebagai
Pemerintah dan/atau Pemerintahan. Secara etimologis di
negara

Indonesia

Pemerintah

dan/atau

Pemerintahan berasal dari kata perintah. Menurut


W.J.S Poerwadarmita yaitu sebagai berikut:138
a. Perintah

adalah

perkataan

yang

bermaksud

menyuruh melakukan sesuatu.


b. Perintah
Negara

adalah
(Daerah,

kekuasaan
Negara)

perintah

atau

badan

suatu
yang

138 WJ.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,


Jakarta, 1983. hlm 74

98

tertinggi yang memerintah suatu Negara (seperti


kabinet merupakan bagian pemerintah).
c. Pemerintah adalah perbuatan (cara, hal, urusan
dan sebagainya) memerintah.
Sebagaimana mengutip arti yang dipaparkan
oleh Samuel Edward Finer yang mengakui tentang
Pemerintah dan Pemerintahan dalam arti luas,
dengan

adanya

Pemerintah

dan

Pemerintahan

dalam arti luas. Maka tentunya akan mempunyai


pengertian Pemerintah dan Pemerintahan dalam arti
luas dan sempit yaitu:139
1. Pemerintah dalam arti sempit, yaitu : perbuatan
memerintah yang dilakukan oleh Eksekutif, yaitu
Presiden dibantu oleh para Menteri-menterinya
dalam rangka mencapai tujuan Negara.
2. Pemerintah dalam arti luas, yaitu : Perbuatan
memerintah

yang

dilakukan

oleh

Legislatif,

Eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencapai


tujuan Pemerintahan Negara disebut sebagai
Pemerintahan.
139 Samuel Edward Finer, Comparative Government, Penguin Books Ltd.,
Harmonds Worth, Middlesex, England 1974, hlm 3

99

Penulis
sesuai

mendapati

dengan

pemisahan

penerapan

kata

kata

di

yang

Indonesia

sebagaimana menurut Samuel Edward Finer itu,


sebab jelas penggunaan kata Pemerintah dan kata
Pemerintahan.
Apabila
Inggris

dikomparasikan

dijumpai

adanya

dengan

perkataan

negara

Pemerintah

(government) menurut C.F Strong yaitu:140


Government
is,
therefore,
that
organization in which is vested.....the right
to
exercise
souverign
powers.
Government, in the broad sense, is
something bigger than a special body of
ministers, a sense in which we cologuially
use it to day, when...Government, in the
brouder sense, is charged with the
maintenance of the peace security of
state within and without.It mast,
therefore, have, rst military power, or
teh control of armed forces; secondly,
legislature power, or the means of making
laws; thirdly, nancial power, or the ability
to extract sufficient money from the
community to defray the cost of
defending the state and of enfoscing the
law it makes on the states behalf.
Terjemahan
Pemerintah

dan/atau

bebasnya

memiliki

Pemerintahan

yang

pengertian
oleh

yaitu

karenanya

140 C.F. Strong, Modern Political Constitution, The English Language Book Society and
Side Wick & Jackson Limited, London, 1965, hlm.6

100

dimaksud

organisasi

dalam

mana

diletakkan

hak

untuk

melaksaanakan kekuasaan berdaulat atau tertinggi. Pemerintah


dan/atau Pemerintahan dalam arti luas merupakan sesuatu yang
lebih besar daripada suatu badan atau kementerian-kementerian,
suatu arti yang kita bisa pakai dalam pembicaraan dewasa ini
apabila sebuah Pemerintah dan/atau Pemerintahan dalam arti
luas, diberi tanggungjawab pemeliharaan perdamaian dan
keamanan negara, di dalam atau pun di luar. Maka Pemerintah
dan/atau Pemerintahan harus memiliki; pertama, kekuasaan
militer atau pengawasan atas angkatan bersenjata; kedua,
kekuasaan legislatif, atau sarana pembuat hukum; ketiga,
kekuasaan keuangan, yaitu kesanggupan memungut uang yang
cukup untuk membayar biaya mempertahankan negara dan
menegakkan hukum yang dibuat atas nama negara.
Kemudian C.F strong menjelaskan kembali mengenai
Pemerintah dan/atau Pemerintahan yakni:141 It must, in
short, have legislature power, executive power, and
judicial power,

which we may call

the three

departments of government.

141 Ibid. C.F Strong. Hlm 6

101

Terjemahan bebasnya memiliki maksud pemerintah


mempunyai kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan
kehakiman, yang boleh kita sebut dengan cabang Pemerintahan.
Sedangkan

di

negara

Jerman,

dibedakan

antara

pemerintah sebagai aparat negara dan aparat pemerintahan, aparat


negara tidaklah mengabdi kepada Pemerintahan, tetapi kepada
Undang-undang. Sementara yang dimaksud aparat pemerintahan,
ialah lembaga birokrasi yang lazim disebut pegawai negeri sipil.
Sehingga

menurut

Administrasi

Negara

Undang-Undang

mengenai

Prosedur

Verwaltungsverfahrensgesetz

memiliki

pengertian yang berlaku di Jerman, bahwa Pemerintahan sebagai


pelaku administrasi negara. Menyangkut perihal tersebut Instansi
negara di Indonesia menyatu dengan pemerintah.
Di Indonesia hanya dikenal instansi pemerintah sebagai
aparat Pemerintah. Sebaliknya, instansi di negara Jerman, bukan
aparat pemerintah dan dapat beraktivitas otonom. Dijelaskan
bahwa istilah die staatlichen Behoerden (instansi Negara)
merupakan organ negara pengelola administrasi negara yang
berwenang mengurusi publik. Namun karena di Indonesia

102

mengenai adanya kabinet kementrian diperdaya menjadi instansi


pemerintah, terjemahan Verwaltungsverfahrensgesetz.142
Jadi

dinyatakan

secara

implisit

berkaitan

dengan

Pemerintahan yang melaksanakan Administrasi mengambil


beberapa istilah di beberapa negara seperti Administration
(inggris) atau Verwaltung (Jerman) dan Bestuurs Administratie
(Belanda) yang keseluruhannya hanya menekankan arti sebagai
berikut:
1. Fungsi-fungsi pengendalian administrasi oleh badan-badan
atau instansi

Pemerintah dari

segala

tingkatan guna

melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan Pemerintah sesuai


dengan

wewenang

masing-masing

seperti

ditetapkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan.


2. Penggunaan prinsip-prinsip serta ilmu administrasi Negara
oleh badan-badan atau instasi Pemerintah agar terdapat tertib
administrasi ialah kegiatan yang berhubungan dengan
penyusunan organisasi, pembagian wewenang, hubungan
kerja,

koordinasi,

sinkronisasi,

delegasi

wewenang,

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan sebagainya.

142 Inu Kencana Syafiie Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Bumi
Aksara, Jakarta 2010, hlm 42

103

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka di Indonesia


kata subjek hukum dalam menjalankan fungsi administrasi di
suatu negara termasuk melakukan keabsahan perbuatan hukum di
suatu negara adalah Pemerintahan (disebut sebagai Pejabat
Negara ) yang melingkupi peran lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif (sebagai lembaga Kekuasaan Kehakiman). Hal tersebut
tertuang dalam Pasal 1 ayat (6) mengenai kewenangan
Pemerintahan seperti melaksanakan prolegnas antara Presiden
dengan DPR ditingkat pusat dan antara Gubernur, Walikota dan
Bupati dengan DPRD ditingkat Daerah sebagaimana ayat (8)
yang memberi legalitas tindakan administrasi pemerintahan
sebagai

keabsahan

perbuatan

hukum

Pemerintahan

yang

dilaksanakan menurut kewenangan Pejabat Pemerintahan atau


penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan
Pemerintahan mencakup Perbuatan yang termasuk dalam lingkup
Tata Usaha Negara.
Sejalan

pula

dengan

ketentuan

Pasal

1 butir

menyebutkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah


Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan
berdasarkan

peraturan

perundang-undangan

yang

berlaku.

Sedangkan pada butir c menyebutkan: Keputusan Tata Usaha


Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
104

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan


hukum Tata

Usaha

Negara

yang

berdasarkan

peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,


individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Kemudian pada butir d
dirumuskan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa
yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di tingakt pusat maupun di tingkat daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk
dalam sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan yang berlaku
dalam sisitem hukumdi Indonesia.
2.4.1.2.

Perbuatan Hukum
Perbuatan hukum dalam konteks Pemerintahan bukanlah
penyelenggaraan fungsi eksekutif semata-mata melainkan juga
fungsi lainnya yang tidak terjangkau oleh fungsi legislatif dan
fungsi yudikatif. Dalam persoalan ini Pemerintahn selain
melaksanakan peraturan hukum yang dibuat lembaga legislatif
juga menjalankan hal-hal lain yang menjadi tugasnya atau
perbuatan hukumnya, maka fungsi pemerintah dapat diketahui
dari arti secara luas dan arti secara sempit.
Bila ditinjau dari pendapat para ahli untuk mengetahui
keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan dalam arti luas adalah
105

keabsahan perbuatan hukum dari tiga kekuasaan Pemerintahan


yang terpisah satu sama lain (separation des pouvoirs) meliputi
kekuasaan:

lembaga

legislatif,

eksekutif,

dan

yudikatif

selanjutnya E. Utrech yang mengutip teori dari van Vollenhoven,


mengenai

perbuatan

Pemerintahan

dalam

arti

luas

(bewindvoering) atau regeren meliputi :143


a. Membuat peraturan (regelingwetgeving)
b. Pemerintahan/pelaksana (bestuur);
c. Peradilan (Rechtspraak);
d. Polisi (politie).
Kemudian digabung oleh Koentjoro Purbopranoto 144
dengan menyebutnya sebagai Catur Wangsa Pemerintahan dan
memberi pengetahuan lebih lanjut dalam arti luas meliputi segala
urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara. Pemerintah dalam
arti sempit : hanya menjalankan tugas eksekutif saja.
Pada hakikatnya perbuatan hukum pemerintah memiliki
prinsip hierarkhi yang selanjutnya menurut Rommeyn, dengan
143 E. Utrecht II, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia. Ichtiar . Jakarta, 1987. hlm
12.

144 Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978. hlm 40

106

memperkaya pemahaman perbuatan hukum pemerintahan itu


merupakan

tiap-tiap

tindakan

akan

dilaksanakan

Pemerintahan

atau
oleh

perbuatan
alat

hukum

perlengkapan

pemerintahan disebut bestuursorganen, juga di luar lapangan


Hukum Tata Pemerintahan, misalnya keamanan, peadilan dan
lain-lain, yang bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum di
bidang hukum administrasi. Saat bersentuhan dengan argumentasi
di atas maka apabila kembali mengutip pemahaman dari ahli
hukum E. Utrecht, menyebut Sembilan macam penyelenggaraan
kepentingan kolektif oleh administrasi negara (Pemerintahan),
yang merupakan perbuatan hukum Pemerintahan adalah:145
1. Administrasi Negara sendiri (Pemerintahan);
2. Subyek hukum (badan hukum) lain, yang tidak termasuk
administrasi negara dan yang mempunyai hubungan istimewa
atau hubungan biasa dengan pemerintah. Hubungan istimewa
(khusus) ini diatur oleh hukum publik dan hukum privat
(misalnya pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan asing
berdasarkan undang-undang penanaman modal asing di
Indonesia);

145 Op.cit E. Utrech II, hlm 68

107

3. Subyek hukum lain, yang tidak termasuk administrasi negara


dan yang menjalankan pekerjaannya berdasarkan konsesi
(consessie) atau ijin (vergunning) dari pemerintah;
4. Subyek hukum, yang tidak termasuk admnistrasi negara dan
yang diberi subsidi oleh pemerintah, misalnya Lembaga
Pendidikan Swasta;
5. Pemerintah bersama-sama dengan subyek hukum lain
(beberapa subyek hukum) yang tidak termasuk administrasi
negara, dan kedua belah pihak itu tergabung dalam bentuk
kerja sama (vorm van samenwerking) tertentu yang diatur
oleh hukum privat, misalnya pemerintahan bergabung dalam
Perseroan Terbatas, yang dewan direksinya ada wakil
pemerintah, atau pemerintah mendirikan Perseroan Terbatas;
6. Yayasan yang didirikan atau diawasi pemerintah;
7. Kooperasi yang didirikan atau diawasi pemerintah;
8. Perusahaan Negara;
9. Subyek hukum lain yang tidak termasuk admnistrasi negara,
tetapi

diberi

suatu

kekuasaan

memerintah

(delegasi

perundang-undangan).
Agar dapat menjalankan tugasnya, maka administrasi
negara (perbuatan hukum pemerintahan) melakukan bemacammacam perbuatan pemerintahan. Perbuatan administrasi negara
(pemerintahan) dapat dikelompokkan sebagai berikut :
108

a. perbuatan administrasi negara (pemerintahan) berdasarkan


hukum (rechtshandelingen), dan
b. perbuatan administrasi negara (pemerintahan) berdasarkan
fakta atau bukan tindakan hukum (feitelijke handelingen).
Ada juga yang bukan perbuatan hukum Pemerintahan,
misalnya meresmikan pembukaan jalan raya, bandara dan kantor
pemerintahan. Saat ini fokus Keabsahan Perbuatan Hukum
Pemerintahan itu dalam Hukum Administrasi Pemerintahan yang
terkait Tata Usaha Negara dilandasi oleh Pasal 1 ayat (6) dan ayat
(7) UU AP pada prinsipnya yang terpenting adalah perbuatan
Pemerintahan itu berdasarkan hukum (rechtshandelingen). Ada
dua macam pebuatan hukum (administrasi Negara) yakni:
1. perbuatan pemerintahan berdasarkan hukum privat; dan
2. perbuatan pemerintahan berdasarkan hukum publik.
Sedangkan Pekerjaan Administrasi negara atau saat ini
menjadi Perbuatan Hukum Pemerintahan sering mengadakan
perbuatan yang berdasarkan hukum privat, misalnya jual beli
tanah (1457 B.W.), menyewa ruangan/gedung pertemuan (Pasal
1548 B.W.).
Perbuatan administrasi negara berdasarkan hukum publik
ada dua macam, yaitu:
1. perbuatan hukum publik yang bersegi dua (berbagai pihak)
atau ada persetujuan kehendak antara dua pihak (misalnya
perjanjian kontrak kerja antara perusahaan asing dengan
109

pemerintah, kontrak kerja menjadi militer/PNS dengan


pemerintah) diatur dengan hukum publik (HTUN) bukan
berdasarkan hukum privat.
2. Perbuatan hukum publik bersegi satu (sepihak) berupa
keputusan/penetapan (beschikking).
istilah Beschikking diperkenalkan di Negara Belanda
oleh Van der Pot dan Van Vollenhoven, di Indonesia
diperkenalkan oleh W.F. Prins. Di Indonesia istilah beschikking
oleh Koentjoro Purbopranoto menyebutnya keputusan. Penulis
dapat menjelaskan bila istilah keputusan berbeda dengan
putusan karena istilah ini telah digunakan oleh lembaga
peradilan sedangkan istilah lainnya seperti ketetapan telah
digunakan oleh MPR yang berlaku umum. Selain itu keputusan
adalah bersifat khusus, individual dan final.
Perbuatan

hukum

pemerintahan

yang

dijalankan

pemerintah atau lembaga eksekutif dalam suatu negara welfare


state

adalah

kesejahteraan

bestuurszorg

umum

maka

yaitu

perbuatan

menyelengarakan
pemerintahan

atau

administrasi negara melakukan berbagai perbuatan dalam bentuk


membuat peraturan-peraturan yang disebut dengan keputusan
(beschikking).
Salah satu keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan
dalam membuat keputusan ini adalah perbuatan yang khusus
110

dalam lapangan Pemerintah, seperti halnya membuat undangundang

adalah

perbuatan

yang

khusus

dalam

lapangan

perundang-undangan. Sesuai dengan fungsi administrasi negara


yaitu melaksanakan undang-undang, maka keputusan itu juga
pada hakekatnya adalah melaksanakan undang-undang dan
peraturan-peraturan ke dalam suatu hal yang konkrit, ke dalam
kejadian yang nyata tertentu. Dalam Contoh: perbuatan hukum
Pemerintahan (eksekutif) memberikan izin atas rumah tunggal
yang diberikan di atas tanah Hak Pakai yang dapat dimiliki Orang
Asing diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan
dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Menurut penulis
Pemerintah menjalankan sebagaimana Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 Salah satu bentuk stimulasi dalam meningkatkan
bidang investasi adalah adanya pengaturan dalam bidang
pertanahan. Dalam UUPM tersebut diatur bahwa Hak Guna
Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui
selama 35 (tiga puluh lima) tahun; Hak Guna Bangunan dapat
diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara
111

dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50


(lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh)
tahun; dan Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh
puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat
diperbarui selama 25 (duapuluh lima) tahun.
Kemudian Pemberian Izin saat ini dengan Surat Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Walikota
atas permintaan A, maka surat izin bangunan (IMB) itu yang
merupakan keputusan Walikota, yang hanya mengikat dan
berlaku terhadap A saja.
Di Negara asing sebagai literatur mengenai Hukum
Administrasi Pemerintahan dan Tata Usaha Negara yang
berbahasa Indonesia ditemukan beberapa macam atau bentuk
beschikking

(keputusan

atau

ketetapan)

sebagai

bahan

perbandingan atas keabsahan perbuatan hukum Pemerintah dalam


administrasi Pemerintahan (rechtshandelingen). Menurut van der
Wel membedakan (macam-macam) keputusan atas:
1. de rechtsvastellende beschikkingen (keputusan deklaratur);
2. de constitutieve beschikkingen, terdiri atas: (1) belastende
beschikkingen
begunstigende

(keputusan

yang

beschikkingen

memberi

beban);

(keputusan

(2)
yang

menguntungkan); (3) status penetapan status (verleningen);

112

3. Keputusan penolakan (de afwijzende beschikkingen) menurut


Utrecht di dalam bukunya berjudul Pengantar Hukum
Administrasi Negara Indonesia membedakan (macammacam) ketetapan, yakni:146
a. Ketetapan Positif dan Negatif
Ketetapan Positif (Positive beschikking) adalah perbuatan
hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang
dikenai

ketetapan;

beschikking)

Ketetapan

ketetapan

yang

Negatif
tidak

(Positive

menimbulkan

perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada (tdak


menimbulkan hak dan kewajiban). Ketetapan Negatif
dapat

berbentuk:

pernyataan

tidak

berkuasa

atau

berwenang (onbevoegdverklaring), pernyataan tidak dapat


diterima (een niet ontvankelijkverklaring), atau suatu
penolakan sepenuhnya (een algehele afwijzing);
b. Ketetapan Deklaratoir dan Ketetapan Konstitutif
Ketetapan Deklaratur (Declaratoire beschikking) hanya
menyatakan bahwa yang bersangkutan diberi haknya
menurut ketentuan yang ada atau karena hukumnya
demikian

(rechtsvastellende

beschikking);

Ketetapan

146 Lock cit, E. Utrech II

113

Konstitutif

(constitutieve

beschikking)

adalah

menciptakan atau membuat hukum (rechtscheppend);


c. Ketetapan Kilat dan Ketetapan Tetap (vluchtige en
blijvende beschikkingen) Ketetapan kilat (vluchting)
adalah ketetapan yang hanya berlaku berakibat pada satu
saat yang singkat saja, yakni pada saat ditetapkan. Ada 4
(empat) macam (Prins) yaitu: (1) ketetapan yang bertujuan
mengubah redaksi/teks ketetapan lama; (2) ketetapan
negative, ketetapan yang tidak mengubah sesuatu dan
tidak merupakan halangan untuk melakukan tindakan
apabila dikemudian hari ada perubahan keadaan; (3)
pencabutan atau pembatalan ketetapan terdahulu; (4)
pernyataan

pelaksanaan

(de

uitvoerbaarverklaring),

misalnya menutup jalan raya karena ada perbaikan jalan.


d. Dispensasi, ijin (vergunning), lisensi, dan konsesi; (1)
dispensasi adalah tindakan pejabat aministrasi yang
berwenang (bestuur) yang menghapuskan berlakunya
suatu ketentuan undang-undang terhadap suatu peristiwa
yang khusus (relaxation legis); (2) ijin (vergunning)
adalah ketetapan/tindakan pejabat administrasi yang
berwenang

(bestuur)

yang

memperbolehkan

suatu

tindakan yang dilarang oleh ketentuan undang-undang


untuk tujuan khusus, misalnya, ijin pertambangan minyak

114

bumi kepada PT. Pertamina; ijin Pengangkutan Udara


kepada PT. GIA; (3) lisensi, oleh Prins diartikan sebagai
suatu jin yang memberikan kebebasan untuk menjalankan
perusahaan (bedrijfsvergunning). Lisensi adalah ijin yang
bertujuan

komersial

atau

menambah

fiskal

dan

mendatangkan keuntungan. (4) konsesi, menurut Prins


bentuk konsesi se-akan-akan merupakan suatu kombinasi
dari lisensi dan pemberian status (statusverlening) bagi
sebuah usaha yang luas bidangnya dan meliputi het uit
gebreide

regime

van

rechten

en

verplichtingen

(mengandung hak dan kewajiban yang sangat luas).


Hipotesa dari pemaparan di atas pada hakikatnya
merupakan lingkup kewenangan yang menjadi bagian dari
keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan baik menurut regulasi
hukum Administrasi Pemerintahan dan Tata Usaha Negara
sebagai bentuk tindakan Administrasi Negara. Untuk mengukur
keabsahan perbuatan hukum pemerintahan dapat menggunakan 2
(dua) alat ukur yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan, dan/atau
2. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Dua alat ukur yang dimaksud diatur dalam Pasal 53 UU
PTUN yang memuat alasan-alasan yang digunakan untuk
menggugat Pemerintah atas dikeluarkanya Keputusan Tata Usaha
115

Negara yang merugikan pihak yang terkena Keputusan Tata


Usaha Negara. Adapun Inti dari kedua ketentuan dalam Pasal 53
UU PTUN itu adalah: Orang atau Badan Hukum yang merasa
kepentingan dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang
bewenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan yang dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Pada
ayat (2) mengenai alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
dalam melaksanakan tuntutan.

2.4.1.3.

Akibat Hukum
Akibat hukum dapat dikatakan sebagai implikasi yang
timbul dari pelanggaran keabsahan perbuatan Pemerintahan.
untuk menciptakan suatu hak dan kewajiban. Tindakan ini lahir
sebagai konsekuensi logis dalam kedudukannya pemerintah
sebagai subjek hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakukan
menimbulkan akibat hukum. Tindakan pemerintah berdasarkan
fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan pada hukum
(feitelijke handeling) adalah tindakan yang tidak ada hubungan
langsung dengan kewenangannya dan tidak menimbulkan akibat
hukum.

116

Tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan


kehendak yang muncul dan organ administrasi dalam keadaan
khusus dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam
bidang hukum administrasi negara. Jadi saat ini dapat dikatakan
tindakan hukum pemerintahan apabila tindakan yang dimaksud
dilakukan organ pemerintah (bestuurszorg) dan menimbulkan
akibat hukum khususnya di bidang hukum administrasi
pemerintahan.
Akibat hukum yang timbul tersebut dapat berupa
penciptaan hubungan hukum yang baru maupun perubahan atau
pengakhiran hubungan hukum yang ada. Dengan demikian
tindakan hukum pemerintah di maksud memiliki unsur-unsur
sebagai berikut:147
1. Tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam
kedudukannya sebagai penguasa, maupun sebagai alat
perlengkapan pemerintahan (bestuurszorg);
2. Tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan;

147 H. A. Muin Fahmal: Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, penerbit Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008. hlm. 290

117

3. Tindakan

yang

dimaksudkan

sebagai

sarana

untuk

menimbulkan akibat hukum (rechtgevolgen) di bidang hukum


administrasi;
4. Tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan umum;
5. Tindakan

dilakukan

berdasarkan

norma

wewenang

Pemerintah;
6. Tindakan

tersebut

berorientasi

pada

tujuan

tertentu

berdasarkan hukum; dan


7. Tindakan Hukum Pemerintah dapat berbentuk tindakan
berdasarkan hukum publik dan berdasarkan hukum privat.
Tindakan hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum
yang dilakukan oleh penguasa (Pejabat Administrasi Negara)
dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Tindakan hukum publik
ini dilakukan berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat
hukum publik yang hanya dapat lahir dari kewenangan yang
bersifat hukum publik pula. Sedangkan tindakan hukum privat
adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum
keperdataan.

118

Tindakan Badan atau Pejabat dapat dikategorikan menjadi


3 (tiga) bagian yakni:148
a. Tindakan membuat Keputusan (beschikking);
b. Tindakan membuat Peraturan (regeling);
c. Tindakan Materiil (materiele daad).
Suatu Keputusan (beschikking) Pemerintah dalam Hukum
Administrasi Negara harus memperhatikan ketentuan atau syaratsyarat tertentu apabila syarat tertentu dimaksud tidak dipenuhi
berakibat keputusan yang dibuat tidak sah. Oleh karena itu tidak
sahnya suatu keputusan yang dibuat Pemerintah akan berakibat
tidak sahnya tindakan Pemerintah. Tidak sahnya tindakan
pemerintah tersebut pada akhirnya akan berakibat keputusan yang
dibuat batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Begitu pula tindakan pemerintah yang tidak didasarkan
pada suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan
wewenang untuk bertindak adalah sebagai tindakan yang
melanggar hukum. Oleh karena norma wewenang sebagai norma
pemerintahan.
Indikator yang dapat menjadi alat ukur tindakan yang
melanggar

hukum

dari

keabsahan

Perbuatan

hukum

148 Ibid, H. A. Muin Fahmal, hlm 291

119

Pemerintahan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat


itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, Keputusan dimaksud dapat diuji dari;
1. Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak
berwenang atau melanggar kewenangan;
2. Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan
keputusan Tata Usaha Negara yang diisyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut
telah ditempuh atau tidak; dan
3. Aspek Substansi/Materi, yaitu meliputi pelaksanaan atau
penggunaan kewenangan apakah secara materi/ substansi telah
selesai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Keputusan

Tata

Usaha

Negara

yang

digugat

itu

bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.


Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tertulis
menurut penjelasan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang
meliputi;
1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara
Negara;
120

2. Asas Tertib Penyelenggara Negara, yaitu asas yang menjadi


landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam
pengendalian Penyelenggara Negara;
3. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan
selektif;
4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dengan

tetap

memperhatikan

penyelenggaraan
perlindungan

negara

atas

hak

dengan
asasi

tetap
pribadi,

golongan, dan rahasia negara;


5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak ddan kewajiban Penyelenggara
Negara;
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian
yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan

Penyelenggara

Negara

harus

dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat


sebagai

pemegang

kedaulatan

tertinggi

negara

sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

121

Pelanggaran terhadap asas-asas umum Pemerintahan yang


baik (AAUPB) dapat dikatakan sebagai akibat hukum termasuk
melakukan penyalahgunaan wewenang dan dikategorikan dalam
ruang lingkup hukum administrasi negara. Penyalahgunaan
kewenangan yang menjadi akibat hukum itu diatur dalam Pasal
mempunyai karakter atau ciri:
1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian
kewenangan;
2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya
dengan asas legalitas;
3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
Secara
beginsel)

substansial,

mengandung

asas

makna

spesialitas
bahwa

(specialialiteit

setiap

kewenangan

memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan


melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de
pouvoir). Parameter peraturan perundang-undangan maupun asasasas umum pemerintahan yang baik dipergunakan untuk
membuktikan

instrumen

atau

modus

penyalahgunaan

kewenangan (penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), akibat hukum dari
penyalahgunaan kewenangan baru dapat diklasifikasikan sebagai
122

tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian negara atau


perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap,
gratifikasi dan pemerasan).
2.4.1.4.

Kepentingan Hukum
Setiap

manusia

mempunyai

kepentingan.

Kata

kepentingan ada kalanya berjalan beriringan dalam masyarakat


dan negara. Tetapi tidak jarang kepentingan bertentangan antara
orang satu dengan lainnya dalam konteks interaksi secara umum
bahkan kadang-kadang mengganggu kepentingan seseorang atau
pihak lain. Sehingga disana sini tibul kekacauan yang
mengakibatkan ketidaktentraman ditengah-tengah masyarakat,
hak dan kepentingan seseorang atau pihak yang lemah selalu
terancam oleh pihak golongan yang kuat.
Membahas masalah kepentingan sering pada praktek
ditemui perbuatan aparatur Pemerintahan dalam menjalankan
tugas untuk melaksanakan pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat tidak jarang berlaku sewenang-wenang (willekeur).
Hal ini tentu tidak sesuai keabsahan perbuatan Pemerintahan
menurut ketentuan undang-undang yang berlaku.149

149 Abdul Wahi Selayan dan Ahmad Fauzi Ridwan, Pengertian Umum, Cet.I. Bab I, Tata hukum
Indonesia, Bintang, Medan, 1960. hlm 54.

123

Dengan pengertian bahwa tindakan Pemerintah itu


tidaklah hanya perlu sesuai menurut ketentuan undang-undang
saja tetapi dari itu yakni dasar ataupun asas dibuatnya peraturan
itu adalah guna mendapatkan keadilan dan kemakmuran yang
merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimana keadilan tersebut
bukanlah keadilan menurut pihak tertentu atau misalnya bagi
pihak Pemerintah saja sebagai pengusaha, tetapi adalah keadilan
dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Aparat Pemerintahan juga
adalah manusia biasa dimana sudah tentu tidak akan luput dari
kesimpulan-kesimpulan

di

dalam

hal

menjalankan

atau

melaksanakan ketentuan atau peraturan, maupun didalam


menafsirkan tentang apakah sebenarnya yang menjadi maksud
dan tujuan dibuatnya peraturan atau ketentuan itu sendiri.
Kemudian bila kepentingan-kepentingan sebagaimana
uraian

di

atas

merupakan

kategori

kepentingan

hukum

(rechtsbelang) maka menurut ahli hukum diartikan sebagai segala


kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan
manusia baik sebagai pribadi, anggot masyarakat, maupun
anggota suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar
tidak dilanggar oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini
ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam

124

segala bidang kehidupan. Kepentingan hukum itu menurut ahli


hukum Satochid Kartanegara:150
1. Hak-hak (rechten)
2. Hubungan hukum (rechtsbetrekking)
3. Keadaan hukum (rechtstoestand)
4. Bangunan masyarakat (sociale instellingen)
Sedangkan dalam lingkup pemerintahan penulis menilai
kepentingan hukum (rechtsbelang)

adalah tindakan yang

dilakukan baik oleh aparatur Pemerintahan maupun aparatur


penegak hukum bertujuan melindungi hak-hak umum dengan
mengedepankan ketertiban umum menurut keadilan untuk
mewujudkan tujuan hukum yang sesuai aturan hukum positif
yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Penilaian ini sejalan
dengan unsur-unsur kepentingan hukum itu sebagaimana ahli
hukum Satochid Kartanegara:151
1. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen)
misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa),
kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak
150 Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa
PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hlm. 275.

151 Ibid, Satochid Kartanegara, hlm 276

125

milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan


nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila.
2. Kepentingan

hukum

masyarakat

(sociale

of

maatschapppelijke belangen), misalnya kepentingan hukum


terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu
lintas di jalan raya.
3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan
negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat,
kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan
wakilnya.
Ketiga poin kepentingan hukum menurut Satochid
Kartanegara dimiliki pula oleh aparatur Pemerintahan yang
berpredikat sebagai alat kelengkapan negara, hak yang sama itu
dapat berupa penerbitan regulasi penerbitan keputusan hingga
pemberian izin dengan demikian segala bentuk perbuatan
Pemerintahan itu dapat dituntut untuk dapat menyerasikan antara
kepentingan-kepentingan
keputusannya.

Suatu

yang
keputusan

berbeda
dikatakan

tersebut

dalam

tepat,

apabila

memperhatikan kepentingan yang paling menguntungan.


Hal ini dapat diketahui melalui ketentuan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU PP), dalam
bagian Pertimbangan dinyatakan: Negara berkewajiban melayani
126

setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan


kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas
pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik
merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan
dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang
peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas
hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta
terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum
yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan
publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan
korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi
setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan
wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Pasal 1 UU PP dinyatakan Pelayanan publik merupakan
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik, Penyelenggara pelayanan publik
127

atau Penyelenggara merupakan setiap institusi penyelenggara


negara,

korporasi,

lembaga

independen

yang

dibentuk

berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik,


dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan
pelayanan publik, Atasan satuan kerja Penyelenggara merupakan
pimpinan satuan kerja yang membawahi secara langsung satu
atau lebih satuan kerja yang melaksanakan pelayanan publik,
Organisasi penyelenggara pelayanan publik atau Organisasi
Penyelenggara merupakan satuan kerja penyelenggara pelayanan
publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan
hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan
publik, Pelaksana pelayanan publik atau Pelaksana merupakan
pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam
organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan
atau

serangkaian

tindakan

pelayanan

publik,

Masyarakat

merupakan seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk


sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum
yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik,
baik secara langsung maupun tidak langsung, Standar pelayanan
merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan

pelayanan

dan

acuan

penilaian

kualitas
128

pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada


masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat,
mudah, terjangkau, dan terukur, Maklumat pelayanan merupakan
pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan
janji yang terdapat dalam standar pelayanan, Sistem informasi
pelayanan publik atau Sistem Informasi merupakan rangkaian
kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi
serta mekanisme penyampaian informasi, bagi kepentingan
hukum masyarakat.
Adapun Pasal 4 yang bersentuhan dengan kepentingan
hukum dalam rangka memperhatikan kondisi publik, adanya
kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan
hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan
dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas,
fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan
waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan
bertujuan merupakan kelanjutan sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 3 UU PP merupakan batasan dan hubungan yang jelas
tentang hak, tanggungjawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh
pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik,
menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang
layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi
yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai
129

dengan

peraturan

perundang-undangan

dan

memberikan

perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam


mendapatkan

penyelenggaraan

pelayanan

publik

sebagai

pencerminan kepentingan hukum.


Termasuk tujuan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (17)
UU AP dan dalam Pasal 48 UU PTUN yang konotasinya
menyebutkan:
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang
bersumber dari hak-hak individu.
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang
didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang
hidup dalam masyarakat tersebut.
Keseluruhan berlakunya regulasi di atas adalah bentuk
keabsahan perbuatan hukum Pemerintahan dalam menjaga
ketertiban umum dan keadilan dalam mewujudkan kepentingan
hukum kepada publik umumnya dan Pemerintahan pada
khususnya.
2.4.1.5.

Penyelesaian Hukum
Adalah upaya-upaya sebagai jaminan dari keabsahan
perbuatan hukum Pemerintahan yang menjadi amanat Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 25
130

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU PP), Keabsahan


perbuatan hukum administratif Pemerintahan yang diwajibkan
oleh negara diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam
rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda termasuk tindakan administratif oleh
instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur
dalam

peraturan

perundang-undangan

serta

diterapkan

berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan. Sejalan


dengan maksud Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 huruf a dan huruf b UU
PP, dalam substansi Pasal 1 ayat (16) UU AP juga memberikan
perlindungan akan kepentingan hukum itu, bukti itu menunjukkan
perhatian Pemerintahan dalam menyediakan upaya administratif
apabila terjadi sengketa akibat dikeluarkannya keputusan dan/atau
tindakan yang merugikan publik yang dilakukan di lingkungan
administrasi Pemerintahan.
1. Menurut Undang-Undang Pelayanan Publik, Penyelesaian
Hukum yang ditempuh, adalah:
Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan
pelayanan publik, apabila;
a. penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban
dan/atau melanggar larangan; dan

131

b. pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai


dengan standar pelayanan.
Pasal 40 UU PP mengenai Pengaduan ditujukan
kepada

penyelenggara,

ombudsman,

dan/atau

Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Pengaduan seperti dimaksud diatas diajukan oleh setiap orang
yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima kuasa
untuk mewakilinya. Pengaduan tadi dilakukan paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan.
Dalam pengaduannya, pengadu dapat memasukkan tuntutan
ganti rugi. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas
pengadu dapat dirahasiakan.
Pengaduan yang disampaikan secara tertulis harus
memuat:
a. nama dan alamat lengkap;
b. uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan dan uraian kerugian material atau immaterial
yang diderita;
c. permintaan penyelesaian yang diajukan; dan

132

d. sesuai Pasal 42 UU PP mengenai tempat, waktu


penyampaian, dan tanda tangan.
Selanjutnya Pasal 43 UU PP dapat diajukan dengan
Pengaduan tertulis yang disertai dengan bukti -bukti sebagai
pendukung pengaduannya. Dalam hal pengadu, membutuhkan
dokumen terkait dengan pengaduannya dari penyelenggara
dan/atau pelaksana untuk mendukung pembuktiannya itu,
penyelenggara dan/atau pelaksana wajib memberikannya.
Pasal

44

Penyelenggara

dan/atau

Ombudsman

wajib

menanggapi pengaduan tertulis oleh masyarakat paling


lambat 14 (empat belas) hari sejak pengaduan diterima, yang
sekurang-kurangnya berisi informasi lengkap atau tidak
lengkapnya materi aduan tertulis tersebut. Dalam hal materi
aduan tidak lengkap, pengadu melengkapi materi aduannya
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
menerima tanggapan dari penyelenggara atau ombudsman
sebagaimana

diinformasikan oleh

pihak

penyelenggara

dan/atau ombudsman. Dalam hal berkas pengaduan tidak


dilengkapi dalam waktu tsb, maka pengadu dianggap
mencabut pengaduannya.
Hal
melakukan

penyelenggara
perbuatan

administrasi
melawan

Pemerintahan

hukum

dalam

133

penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana amanat Pasal


52 sebagaimana diatur dalam UU PP, masyarakat dapat
mengajukan gugatan terhadap penyelenggara ke pengadilan.
Pengajuan gugatan terhadap penyelenggara, tidak menghapus
kewajiban penyelenggara untuk melaksanakan keputusan
ombudsman dan/atau penyelenggara. Pengajuan gugatan
perbuatan melawan hukum tersebut, dilakukan sesuai dengan
peraturan

perundang-undangan.

Di

Pasal

53

hal

penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam


penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam
UU PP, masyarakat dapat melaporkan penyelenggara kepada
pihak berwenang.
Sayangnya pelaksanaan pelayanan publik menurut UU
PP masih memiliki beberapa kendala. Kendala itu disebabkan
oleh belum dikeluarkan Peraturan pemerintah mengenai ruang
lingkup, mengenai sistem pelayanan terpadu, mengenai
pedoman penyusunan standar pelayanan, mengenai proporsi
akses dan kategori kelompok masyarakat, mengenai tata cara
pengikutsertaan
pelayanan

publik

masyarakat
dan

dalam

Peraturan

penyelenggaraan

presiden

mengenai

mekanisme dan ketentuan pemberian ganti rugi.


2. Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara.

134

Apabila Keputusan Tata Usaha Negara menimbulkan


sengketa antara seseorang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, maka dapat dilakukan
diselesaikan dengan cara sebagai berikut:
1. Upaya Administratif
Upaya Administratif yang disebutkan dalam
penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU PTUN, yaitu suatu
prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan
hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu
Keputusan Tata Usaha Negara. Ketentuan dalam Pasal 48
tersebut menentukan:
1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
secara administratif sengketa Tata Usaha Negara
tertentu, maka sengketa Tata Usaha negara tersebut
harus diselesaikan melalui upaya administratif yang
tersedia;
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan

sengketa

Tata

Usaha

Negara

sebagaimana dimaksud ayat (1), jika seluruh upaya


administrasi yang bersengketa telah digunakan.

135

Adapun maksud alam ketentuan Pasal 48 UU


PTUN mengenai bentuk-bentuk upaya administratif yaitu:
a. Keberatan;
b. Banding Administratif; dan
c. Keberatan dan Banding Administratif.
Untuk tindak lanjut dari upaya administratif Jika
seseorang atau badan hukum perdata masih belum puas
terhadap keputusan upaya administratif yang telah
diajukan:
a. jika dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata
Usaha Negara upaya administratif yang tersedia
adalah keberatan, maka penyelesaian selanjutnya
adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara;
b. jika dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata
Usaha Negara upaya administratif yang tersedia
adalah banding administratif atau keberatan dan
banding administratif, maka penyelesaian selanjutnya
adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan

136

Tinggi Tata Usaha Negara sebagai peradilan tingkat


pertama.
2. Dengan Pengajuan Gugatan
Sebagaimana upaya administratif seperti yang teah
dikemukakan, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
dapat pula dilakukan dengan pengajuan gugatan. Gugatan
tersebut dengan ketentuan tidak ada upaya administratif
yang harus dilalui dalam peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara yang menjadi sengketa. Gugatan juga dapat
dilakukan seseorang atau badan hukum perdata yang
sudah melalui upaya administratif dan sudah mendapat
Keputusan Tata Usaha Negara namun masih merasa
dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut.
Sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN,
menentukan orang atau badan hukum perdata yang
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan

yang

berwenang

berisi

tuntutan

agar

Keputusan Tata Usaha negara yang disengketakan itu


dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai

137

tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Dan dalam hal ini


juga termasuk gugatan terhadap Keputusan Fiktif Negatif.
Syarat-syarat Gugatan dalam Pasal 56 UU PTUN
menentukan, bahwa gugatan harus memuat, antara lain:
1. Nama,

kewarganegaraan,

tempat

tinggal,

dan

pekerjaan penggugat atau kuasanya;


2. Nama jabatan dan tempat kedudukan Tergugat;
3. Dasar gugatan (posita/fundamentum petendi) dan hal
yang diminta (petitum/tuntutan) untuk diputuskan oleh
Pengadilan;
4. Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh
seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai
surat kuasa yang sah;
5. Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan
Tata

Usaha

Negara

yang

disengketakan

oleh

penggugat.
Menyangkut tentang surat kuasa yang sah,
walaupun pada prinsipnya yang bersengketa di pengadilan
tata usaha negara adalah para pihak itu sendiri, akan tetapi
sesuai dengan ketentuan Pasal 57 UU PTUN, maka para
pihak masing-masing pihak dapat didampingi oleh
seseorang atau beberapa orang kuasanya.
Tenggang Waktu Gugatan yang Pasal 55 UU
PTUN menentukan bahwa gugatan hanya dapat diajukan
dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung
138

sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan


Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dimaksud terhadap hal
yang hendak digugat itu merupakan keputusan, menurut
ketentuan:
1. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 (sembilan
puluh) hari dihitung setelah lewatnya tenggang waktu
yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang
terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang
bersangkutan;
2. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 (sembilan
puluh) hari dihitung setelah lewatnya batas waktu
empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan yang bersangkutan;
3. Perhitungan hari yang dimaksud

berdasarkan

perhitungan hari kalender dan bukan hari kerja.


Sedangkan jenis-jenis Putusan sesuai ketentuan
Pasal 97 ayat (7) UU PTUN, dapat diketahui Putusan
Pengadilan dapat berupa:
1.
2.
3.
4.

Gugatan ditolak;
Gugatan dikabulkan;
Gugatan tidak diterima;
Gugatan gugur.
Kemudian alternatif Perdamaian bagi penyelesaian

sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha


Negara tidak dikenal perdamaian seperti halnya dalam

139

perkara perdata di Peradilan Umum. Namun jika antara


para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara diluar
pemeriksaan sidang Pengadilan terjadi perdamaian, maka:
1. Penggugat wajib mencabut gugatannya secara resmi
dalam

sidang

terbuka

untuk

umum

dengan

menyebutkan alasan pencabutannya;


2. Apabila pencabutan gugatan dimaksud dikabulkan,
maka Hakim memerintahkan agar Panitera mencoret
gugatan tersebut dari register perkara;
3. Perintah pencoretan tersebut diucapkan

dalam

persidangan yang terbuka untuk umum.


Namun apabila dalam pencabutan gugatan oleh
Penggugat ini terdapat unsur paksaan, kekeliruan atau
tipuan yang dilakukan oleh Tergugat, maka dengan
sendirinya

Pengadilan

tidak

akan

mengabulkan

pencabutan gugatan yang akan dilakukan oleh Penggugat.


3. Menurut

Undang-Undang

Administrasi

Pemerintahan

dibandingkan dengan Undang-Undang Peradilan Tatan Usaha


Negara Berkaitan Penyelesaian Hukum.
Pencerminan

dari

upaya

Administrasi

dalam

penegakan hukum administrasi di Indonesia pada prinsipnya


adalah penyelesaian secara damai (kekeluargaan) maupun
musyawarah mufakat dalam hal terjadi sengketa antara

140

pemerintah dengan warga. Konsep hukum yang bisa


dikatakan masih dirasakan terpengaruh oleh kaidah-kaidah
Hukum Perdata, yang menekankan penyelesaian sengketa
terlebih dahulu diselesaikan dengan mediasi atau sejenisnya
sebelum persoalan tersebut diselesaikan di badan peradilan.
Meskipun

dengan

argumentasi

adanya

pertimbangan

menyeluruh terhadap sengketa administrasi menurut UndangUndang Dasar 1945, tetap saja merupakan hal yang janggal
bila didasari fakta bahwa hukum administrasi negara adalah
kaidah hukum publik yang harusnya tanpa melakukan
negosiasi.
Dapat dikatakan saat penegakan hukum publik, seperti
tindak

pidana

korupsi

ataupun

pelanggaran

norma

konstitusional, bisa diselesaikan dengan upaya perdamaian


(kekeluargaan). Dimana marwah negara, pemerintahan atau
bahkan

penegak

penyelesaian

hukum

sebagaimana

(yudikatif),
dimaksud

namun
dapat

apabila
ditempuh

menggunakan jalan musyawarah maka menjadi citra buruk


dalam sisitem hukum di Indonesia.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kaidah upaya
administrasi ditemukan tidak hanya dalam Undang-undang
Peradilan Tata Usaha Negara tapi juga dalam Undang-undang
Administrasi Pemerintahan. Ini termuat dalam Pasal 76 ayat
141

(3) UU AP, bahwa: Dalam hal Warga Masyarakat tidak


menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat,
Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Klausula tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan kritis,
apakah kata dapat itu merepresentasikan kaidah imperatif
(keharusan) ataukah kaidah alternatif (pilihan). Kata dapat
dalam ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU AP secara filosofis
senarai dengan kata dapat dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1)
UU PTUN, yang diartikan bahwa orang/badan hukum
perdata, boleh menggugat, boleh juga tidak menggugat.
Namun konotasi terminologi dapat di dalam
ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN itu kurang tepat bila
diterapkan dalam kaidah upaya administratif dalam UU AP,
sebab kata dapat di dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN lebih
merupakan pilihan tindakan hukum (bersifat alternatif),
sedangkan kata dapat di dalam Pasal 75 ayat (1) maupun
Pasal 76 ayat (3) UU AP merupakan kaidah prosedural yang
harus ditempuh (bersifat imperatif atau memaksa). Potensi
pertentangan norma muncul saat Pasal 76 ayat (3) UU AP,
dikonfrontasikan dengan ketentuan pasal 48 jo. Pasal 51 ayat
(3) UU PTUN, sebab bila makna Pengadilan dalam
ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU AP tersebut mengacu kepada
Pasal 1 angka 18 Undang-undang Administrasi Pemerintahan,
142

maka akan terjadi ketidak singkronan makna serta kompetensi


absolut antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Terkait hal ini, dapat sebagai kajian mendalam dengan
memperbandingkan kekhususan dan keumuman Undangundang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-undang
Administrasi Pemerintahan, atau memperbandingkan tingkat
lagalitas Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara
dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan sebagai
monitor, adanya penarikan kembali kewenangan (delegasi
maupun mandat) oleh instansi pemberi kewenangan itu,
hendaknya dibatasi secara ketat pelaksanaannya. Hal ini untuk
mencegah inefektivitas pelaksanaan kewenangan maupun
putusan

pengadilan,

pemerintahan

yang

melaksanakan

mewajibkan
suatu

badan/jabatan

tindakan/keputusan

administrasi negara.
Keberlakuan secara optimal dari syarat ini pula
merupakan bentuk perlindungan hukum bagi administrasi
negara itu sendiri, sehingga menjadi jelas dan tetap lingkup
tugas pokok dan fungsi, serta pertanggungjawaban yang
mereka lakukan. Sehingga pada akhirnya, asas contrarius
actus dapat tetap diimplementasikan secara konsisten. Antar
UU PTUN, UU AP dan UU PP, yang menurut penulis dalam
143

menempuh upaya alternatif penyelesaian hukum telah tepat


menggunakan norma UU AP yang bisa ditempuh oleh Warga
Masyarakat

sebagai

reaksi

atas

tindakan/keputusan

administrasi pemerintahan.
Suatu norma itu akan menjadi tidak efisien tatkala
proses yang ditempuh oleh pencari keadilan ternyata
memakan waktu yang lebih lama dari penyelesaian sengketa
administrasi sebelum disahkannya UU AP dalam contoh
konkret Antisipasi dari adanya pelangaran hukum disebabkan
Keputusan

Tata

Usaha

Negara

yang

sering

rentan

menimbulkan sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha


Negara dengan orang atau badan hukum perdata. Agar
sengketa Tata Usaha Negara tersebut dapat diselesaikan
dengan baik, tentunya diperlukan pemahaman yang utuh dan
menyeluruh tentang Peradilan Tata Usaha Negara termasuk
bagaimana menjalankan proses beracara pada Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Objek sengketa yang dapat digugat di Peradilan Tata
Usaha Negara dalam Pasal 1 angka (9) UU PTUN (Undangundang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
144

Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha


Negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang
bersifat konkrit, individual, dan final disertai tindakan yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata. Berdasarkan Pasal 3 UU PTUN, tentang sikap diam
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yaitu tidak
mengeluarkan keputusan yang telah dimohonkan sedangkan
hal itu telah menjadi kewajibannya, maka sikap Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut disamakan dengan suatu
keputusan Tata Usaha Negara sehingga dapat digugat di
Peradilan Tata Usaha Negara. Maka harus diperhatikan bahwa
setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam
melakukan tindakan hukum diwajibkan bersesuaian dengan
kewenangannya

dan bertindak

didasarkan pada

suatu

peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Asas-asas


Umum Pemerintahan yang Baik.
Terlebih
kewenangan

lagi
antar

dimungkinkan
badan/jabatan

adanya

penarikan

administrasi,

yang

berpotensi pula menghambat pelaksanaan tindakan/keputusan


administrasi

maupun

putusan

pengadilan

terkait

tindakan/keputusan administrasi tersebut. Dalam kaitannya


dengan norma hukum publik, sejatinya keberadaan Upaya
Administrasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa
145

administrasi adalah kurang tepat, sebab walaupun konsep


yang selama ini hendak dibangun adalah demi kelengkapan
substansi

pemeriksaan

menurut

aspek

UUD

1945

(doelmatigheid) dan aspek rechtmatigheid, namun sebenarnya


itu tidak berkesesuaian dengan prinsip hukum sebuah
lembaga peradilan berdasarkan teori pemisahan kekuasaan
dalam trias politica, maupun prinsip tiadanya mediasi
(perdamaian) dan tawar-menawar dalam penegakan hukum
publik.

2.4.2. Perlindungan Hukum


Interaksi antarsubjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau
mempunyai akibat-akibat hukum. Agar hubungan hukum antarsubjek
hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil atau dalam arti
lain setiap objek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan
menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil
sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum. Selain itu
hukum berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat

146

terjadi juga karena pelanggaran hukum.152 Pelanggaran hukum terjadi


ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang
seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain.
Subjek

hukum

yang

dilanggar

hak-haknya

harus

mendapatkan

perlindungan hukum. Hukum yang mengatur hubungan hukum antara


pemerintah dengan warga negara adalah Hukum Administrasi Negara
atau hukum perdata, tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah
dalam melakukan tindakan hukum tersebut.
Sebagaimana telah disinggung dalam bagian sebelumnya, ketika
aparatur pemerintahan melakukan tindakan hukum yang dapat menjadi
peluang munculnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, dan
melanggar

hak-hak

warga

negara,

maka

untuk

menghindari

penyimpangan dan perbuatan yang melanggar hukum sebagai suatu


kewenangan pejabat Pemerintahan maka perlu dilindungi secara hukum
antara subjek-subjek hukum tersebut, sebab jika citra aparatur
pemerintahan buruk dimata masyarakat atau hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap aparatur pemerintahan maka akan menyebabkan
tindakan-tindakan anarkis dari masyarakat sebagai warga negara kepada
Pemerintahan, ataupun sebaliknya masyarakat perlu perlindungan hukum
dari adanya tindakan sewenang-wenang dari aparatur Pemerintahan yang

152 Op.cit Ridwan HR, hlm. 266

147

dapat menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan menimbulkan


kerugian terhadap negara.
Adapun bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dimaksud
dikategorikan ke dalam perlindungan hukum yang diberikan bagi aparatur
Pemerintahan diantaranya pejabat Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan termasuk perlindungan hukum untuk masyarakat.
2.4.2.1.

Perlindungan Hukum Untuk Pejabat Pemerintah


Perlindungan hukum terhadap pejabat Pemerintah baik
dari tindakannya karena sebagai bagian dari aparatur
Pemerintahan Negara, dengan dengan mendasarkan pada
makna makna asas Equality Before The Law yang terdapat
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 melalui kutipan frasa
.......Pemerintahan

dan

wajib

menjunjung

hukum

dan

Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pernyataan


tersebut termasuk di dalamnya pejabat Pemerintah. Apabila
konotasinya terhadap Pemerintah dalam melindungi hak atas
kehidupan pribadi setiap aparatur Pemerintahan, menyangkut
perlindungan

hukum

terhadap

wewenang

aparatur

pemerintahan dengan asas subsidiaritas153 yang maknanya


adalah penegakan hukum pidana hanya dilakukan sebagai
153 Marbun, Rocky, dkk, Kamus Hukum Lengkap, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2012. hlm. 25.

148

upaya penegakan hukum yang terakhir, setelah terlebih dahulu


diupayakan

penegakan

hukum

perdata

dan

penegakan

administrasi Pemerintahan.
Sebelum itu perlu ada pernyataan tertulis dari pejabat
instansi terkait melalui konsultasi dan koordinasi dan tidak
dapat ditentukan oleh Penuntut Umum belaka dalam kaitannya
dengan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hingga
termasuk ke dalam ranah hukum pidana yang diatur secara
khusus mengenai korupsi dalam UU Tipikor.
Dalam adanya perlindungan hukum terhadap pejabat
Pemerintah selanjutnya dikenal adanya Dikresi yang artinya
adalah tindakan pejabat pemerintah dalam membuat kebijakan
dari pejabat pemerintah dari pusat sampai daerah yang
memiliki makna eksplisit memberanikan pejabat Pemerintah
melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undangundang, harus memenuhi tiga syarat yakni, 1. Apakah demi
kepentingan umum, 2. Apakah masih dalam batas wilayah
kewenangannya, dan 3. Apakah tidak melanggar Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Ketiga syarat itu harus terpenuhi sebagai tindakan
perlindungan hukum dari tindakan pejabat Pemerintah yang
dikenal dengan kata diskresi dengan pengertian adanya
kebijakan yang diambil pejabat Pemerintah dan apabila
149

menimbulkan kerugian negara, maka Pengadilan Tata Usaha


Negara dapat menguji diskresi yang diambil selanjutnya bila
PTUN memutuskan diskersi itu salah, dan memiliki indikasi
suatu perbuatan pidana maka dapat diseret ke ranah hukum
pidana. Namun tidak semudah itu untuk menyatakan bahwa
perbuatan

pejabat

Pemerintah

melanggar

hukum

dan

terindikasi ke ranah hukum pidana, sebab hal ini butuh


pemahaman mendalam mengenai ada atau tidaknya suatu
kesalahan sehingga memenuhi unsur-unsur yang dapat
digolongkan ke dalam ranah hukum pidana atau tidak, untuk
itu dapat dianalogikan terlebih dahulu dengan adanya sebab
yang mungkin dilakukan pejabat Pemerintah disebabkan
adanya

niat

jahat,

yang

dapat

dikategorikan

sebagai

pelanggaran hukum termasuk ke ranah hukum pidana dan


bertentangan dengan ketentuan undang-undang termasuk
KUHP dan UU Tipikor, disisi lain harus pula melihat secara
asas, apakah benar perbuatan pejabat Pemerintah melanggar
hukum dan/atau kepentingan umum bahkan belum tentu
melanggar hukum dan/atau kepentingan umum yang dapat saja
dilakukan tanpa rencana dan itu bukan pelanggaran hukum
apalagi termasuk dalam ranah hukum pidana, maka setelah
berlakunya UU AP dapat digunakan sebagai hukum materiil
yang menjadi panduan untuk para Hakim TUN dan Kepolisian
150

dalam memeriksa dan memutuskan penyelesaian gugatan


masyarakat kepada pemerintahan atas keputusan dan tindakan
asas pemerintahan. Hal tersebut diberlakukan karena Hakim
TUN dan Kepolisian selama ini memeriksa dan memutuskan
gugatan masyarakat hanya berdasar pada dua hukum, yaitu
yuris

prudensi

dan

asas-asas

umum

penyelenggaraan

pemerintah yang baik sebagai perkembangan dinamika dalam


proses pemuatan keputusan.
Kelemahan
penyelesaian

UU

sengketa

PTUN

hanya

administrasi

dalam

praktek

Pemerintahan

di

Indonesia yang disebabkan ketiadaannya lembaga eksekutorial,


sebagai landasan hukum yang kuat mengakibatkan putusan
PTUN tidak mempunyai daya paksa. Dalam UU PTUN tidak
mengatur mengenai masalah daya paksa putusan PTUN,
sehingga dalam pelaksanaan Putusan TUN benar-benar
tergantung pada itikad baik pejabat TUN dan lembaga negara
tersebut dalam mentaati hukum.
Adapun

perlindungan

hukum

terhadap

pejabat

Pemerintah dalam UU AP adalah dalam substansi berdasarkan:


Pasal 6 ayat (1) huruf i Pejabat pemerintah memiliki hak
memperoleh perlindungan hukum dalam mengambil keputusan
dan/atau tindakan. Kemudian pada Pasal 24 huruf f Pejabat
pemerintahan yang menggunakan diskresi harus dilakukan
151

dengan iktikad baik, yang relevansinya terdapat dalam Pasal 25


ayat (2) menyatakan adanya diskresi harus disetujui atasan bila
menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani
keuangan negara. Akhirnya dapat diberikan sanksi sesuai Pasal
70 ayat (3) Pejabat pemerintah wajib mengembalikan uang kas
negara atas keputusan yang mengakibatkan pembayaran negara
tidak sah.
Hingga ketentuan sanksi Pasal 80 ayat (4) Pejabat yang
membuat keputusan yang menimbulkan kerugian pada
keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau merusak
lingkungan

hidup

dikenai

sanksi

administratif

berat

(pemecatan).
Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 87 UU
AP yang dinyatakan: Berlakunya Undang-Undang ini, maka
keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam
UU PTUN harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan

eksekutif,

legislatif,

yudikatif,

dan

penyelenggara negara lainnya;


c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;

152

e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;


dan/atau Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

2.4.2.2.

Perlindungan Hukum Untuk Dewan Perwakilan Rakyat


Berkaitan dengan perlindungan hukum untuk pejabat
Pemerintah yang sebagaimana telah dikemukakan di atas,
maka secara jelas dan tegas dalam konstitusi (dalam substansi
UUD 1945) diulaskan pula mengenai pemberian persamaan
perlindungan hukum bagi Dewan Perwakilan Rakyat yang
diamanatkan dalam substansi BAB II mulai dari Pasal 19
sampai dengan Pasal 22B UUD 1945 sebagai kaidah hukum
tertinggi dalam pengaturan lebih lanjut dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap Dewan Perwakilan rakyat
sebagaimana diperkuat melalui paragraf 2 Pasal 73 sampai
dengan Pasal 75 UU MD3 (Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014), Memberikan suatu perlindungan hukum dan kedudukan
yang istimewa bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan
menempatkan lembaga DPR sebagai salah satu lembaga yang
dinilai memiliki perlindungan hukum atas kedudukannya di
atas hukum dan Pemerintahan yang sah dan demokratis, sebab
segala wewenangnya dilindungi secara tertulis dalam undangundang.

153

Sejalan dengan ketentuan di atas, DPR juga diberikan


perlindungan hukum sebagai pejabat negara mengingat
eksistensi Pasal 224 mengenai Hak Imunitas DPR pada intinya
sebagai pemberian kekebalan hukum untuk Dewan Perwakilan
Rakyat yang terdahulu telah dicabut melalui putusan MK
Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
dan

Undang-Undang

Nomor

12

Tahun

2011

tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD


1945 yang intinya harus mendapat persetujuan Presiden,
namun sejak berlakunya UU MD3 yang baru maka Pasal 224
Hak Imunitas DPR itu dirasakan tidak mengadopsi putusan
MK sehingga tida kekuatan bagi lembaga peradilan untuk
menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam tubuh DPR, hal
mana ditangani secara langsung oleh Mahkamah kehormatan
Dewan (MKD). Selain itu pula Pasal 225 mengenai Hak
Protokoler yang berhak memberikan perlindungan hukum bagi
DPR dalam mengatur mengenai mekanisasi aturan bagi pejabat
Pemerintah yang terkait dengan ketentuan Pasal 226 mengenai
Hak Keuangan dan Administrasi, seluruh substansi tersebut
menunjukkan bentuk pemberian perlindungan hukum yang
diberikan kepada DPR sebagai pejabat negara (dalam hal ini

154

notabene tiada satu lembaga yang menjadi pengawas terhadap


DPR sebagai lembaga legislatif).
Perlu untuk diketahui adanya perbedaan dimaksud
dengan pejabat negara dan pejabat Pemerintah walaupun telah
dikemukakan pada bagian sebelumnya, digunakan untuk
mempertajam pemahaman terhadap pejabat negara yaitu
pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara
yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya
berupa lembaga negara pendukung. Sebagai contoh pejabat
Negara adalah DPR, Presiden, dan Hakim. Pejabat-pejabat
tersebut menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara.154
Sedangkan pejabat pemerintahan adalah pejabat yang
lingkungan kerjanya berada pada lembaga yang menjalankan
fungsi administratif belaka atau lazim disebut sebagai pejabat
administrasi negara seperti menteri-menteri sebagai pembantu
Presiden, beserta aparatur Pemerintahan lainnya di lingkungan
eksekutif.155

154 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2004. hlm 49

155 Ibid, Bagir Manan.

155

Berlakunya

perlindungan

hukum

terhadap

DPR

merupakan pengaturan yang menjamin agar demokrasi tidak


disalahgunakan oleh siapapun, sebab tidak akan ada penguasa
tunggal dalam negara demokratis. Karena, dalam negara
demokratis, satu kekuasaan justru dikontrol oleh kekuasaan
lain. Itulah mekanisme saling kontrol-saling-imbang (checks
and balances).156
Bahwasanya setiap wewenang dibatasi oleh hukum
dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik
dilakukan oleh DPR atau pejabat Pemerintah maupun
dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas
hukum. sehingga secara garis besarnya untuk menciptakan
tertib hukum bagi kebijakan kepada masyarakat (publik).
Sehingga

perlindungan

hukum

kepada

DPR

sebagaimana substansi undang-undang yang telah disebutkan


di atas, jelas sebagai tujuan dalam rangka memberikan
perlindungan disatu sisi baik bagi DPR dalam rangka
kepercayaan masyarakat dalam memilih amanat kepada
wakilnya yaitu DPR dalam mewujudkan kesejahteraan yang
menjadi amanat pembukaan UUD alenia ke-IV (empat) dan

156 Denny Indrayana, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011. hlm. 9

156

akan terhindar dari perlakuan anarkis masyarakat sebagai


warga negara, di sisi lainnya merupakan perlindungan kepada
masyarakat dari adanya perbuatan sewenang-wenang pejabat
Pemerintah ataupun pejabat negara, sebagai satu kesatuan
aparatur Pemerintahan di Indonesia.

2.4.2.3.

Perlindungan Hukum Untuk Masyarakat


Ada dua macam perlindungan hukum bagi masyarakat,
yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan
hukum preventif memberikan rakyat kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemeritah mendapat bentuk yang defintif. Artinya
perlindungan hukum preventif ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, sedangkan represif bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan warga negara
harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan pemerintah,
yaitu:
a. Karena dalam berbagai hal warga negaradan badan hukum
perdata tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah,
seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan untuk
usaha perdagangan, perusahaan atau pertambangan. Karena

157

itu warga negara dan badan hukum perdata perlu mendapat


perlindungan hukum.
b. Hubungan antara pemerintah dan warga negara tidak
berjalan dalam posisi sejajar, dan warga negara berada di
pihak lemah dalam hal ini.
c. Berbagai perselisihan warga negara dengan pemerintah
berkenan dengan keputusan, sebagai instrumen pemerintah
yang bersifat sepihak dalam menentukan intervensi
terhadap kehidupan warga negara.
Di Indonesia perlindungan hukum bagi masyarakat
akibat tindakan hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan,
tergantung

dari

instrumen

pemerintah.Instrumen

hukum

digunakan

adalah

peraturan

keputusan.

Perlindungan

hukum

yang

pemerintah

digunakan
yang

perundang-undangan

hukum

akibat

lazim
dan

dikeluarkannya

peraturan perundang-undangan ditempuh melalui Mahkamah


Agung, dengan cara hak uji materiil, sesuai dengan Pasal 5
ayat (2) Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata

Urutan

Peraturan

Perundang-undangan,

yang

menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji


peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Terdapat pula dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
158

Kehakiman yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor


48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi,
Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah
semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih
rendah dari undang-undang atas alasan bertetangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan
yang sama juga terdapat dalam Pasal 31 ayat (1) UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung (UU MA), Mahkamah Agung mempunyai wewenang
menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundangundangan.
Dalam rangka perlindungan hukum, terdapat tolok ukur
untuk menguji secara materiil suatu peraturan perundangundangan yaitu bertentangan atau tidak dengan peraturan yang
lebih tinggi dan bertentangan atau tidak dengan kepentingan
umum. Khusus mengenai peraturan perundang-undangan
tingkat daerah, pembatalan sering diartikan dalam pembatalan
secara spontan, yakni pembatalan atas dasar inisiatif dari organ
yang berwenang menyatakan pembatalan, tanpa melalui proses
peradilan.

159

Rancangan
dilaksanakan

Perundang-undangan

Pemerintah

terhadap

baik

DPR

yang

mempunyai

mekanisme hak uji materil di tingkat pusat, yaitu di tempuh


melalui jalur pemerintahan dalam bentuk penundaan atau
pembatalan, sebelum ditempuh melalui Mahkamah Agung.
Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan
ditempuh

melalui

dua

kemungkinan,

yaitu

peradilan

administrasi dan upaya administrasif. Ada perbedaan antara


peradilan administrasi dan upaya administratif adalah kata
peradilan menunjukkan bahwa hal ini menyangkut proses
peradilan pada pemerintahan melalui instansi yang merdeka.
Kemerdekaan ini tampak pada hakim administrasi yang
professional,

disamping

juga

kedudukan

hukumnya;

pengangkataan untuk seumur hidup, ketentuan mengenai


pengkajian terdapat pada undang-undang, pemberhentian
ketika melakukan perbuatan tidak seronoh-hanya dilakukan
melalui putusan pegadilan. Sifat kedua yang berkenaan dengan
hal ini adalah bahwa instansi ini hanya menilai tindakan
pemerintahan berdasarkan hukum.
Sedangkan upaya administratif berkenaan dengan
proses peradilan di dalam lingkungan administrasi; instansi
upaya administratif adalah organ pemerintahan, dilengkapi
dengan pertanggungjawaban pemerintahan. Dalam hal upaya
160

administratif ini tindakan pemerintahan tidak hanya dinilai


berdasarkan hukum, namun juga dinilai aspek kebijakannya.
Berdasarkan UU PTUN perlindungan hukum akibat
dikeluarkannya keputusan dapat ditempuh melalui dua jalur,
yaitu melalui upaya administratif dan melalui PTUN. Dalam
Pasal 48 di tegaskan sebagai berikut:
1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha
Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut
harus diselesaikan melalui upaya administratif yang
tersedia.
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sebagaimana
dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan.
Upaya administratif ini ada dua macam, yaitu banding
administratif dan prosedur keberatan. Banding administratif
yaitu penyelesaian sengketa tata usaha Negara dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan
keputusan yang disengketakan. Sedangkan prosedur keberatan
adalah penyelesaian sengketa tata usaha Negara dilakukan oleh
instansi yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
161

Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa tata usaha


Negara terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yang
berbunyi: seorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN dapat
mengajukan

gugatan

tertulis

kepada

pengadilan

yang

berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang


disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitas.
Di dalam Pasal 53 ayat (2) disebutkan mengenai tolok ukur
untuk menilai KTUN yang digugat di PTUN, yaitu sebagai
berikut:
1. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Badan atau pejabat TUN pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang tersebut.
3. Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau
tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud
dalam

ayat

(1)

setelah

mempertimbangkan

semua

kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu


seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan
tersebut.

162

Berdasarkan UU PTUN, alasan mengajukan gugatan


yang terdapat pada Pasal 53 ayat (2) ini ada perubahan, yaitu:
Alasan alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
1. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Perubahan Pasal 53 ayat (2) ini memiliki konsekuensi:
1. Pengakuan eksistensi asas-asas umum pemerintahan yang
baik (AAUPB) dalam sistem peradilan administrasi di
Indonesia.
2. Ada perluasan alasan mengajukan gugatan ke PTUN. Asas
larangan penyalahgunaan wewenang dan asas larangan
sewenang-wenang merupakan bagian dari AAUPB.
Menurut Sjachran Basah157, perlindungan hukum dan
penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non untuk
merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang
dimaksud adalah sebagai berikut:

157 Sjachran Basah, dalam Ridwan HR (Hukum Administrasi Negara). hlm. 291

163

1. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk


membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan
tujuan kehidupan bernegara.
2. Integratif, sebagai Pembina kesatuan bangsa
3. Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan,
keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat.
4. Perfektif, sebagai penyempurna.
5. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik
administrasi

Negara

maupun

warga

apabila

terjadi

pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan


keadilan.
Saat ini keberlakuan UU AP telah melengkapi
konstilasi hukum Administrasi Negara yang memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat dari pelanggaran
hukum

perbuatan

aparatur

Pemerintahan,

diantaranya

mengenai pelaksanaan eksekutorial dari putusan PTUN


Dengan demikian, apabila pejabat Pemerintah dan/atau Negara
melanggar ketentuan Pasal 48 UU PTUN yang substansinya
telah berlaku pula dalam Pasal 24 huruf f dan Pasl 25 ayat (2)
dapat dikenai sanksi administratif sebagaimana ketentuan Pasal
80 ayat (4) dan Pasal 87, baik dengan sanksi ganti rugi, dan
upaya paksa oleh peradilan TUN dikarenakan bila tindakan
atau keputusannya pejabat Pemerintah tidak berdasar asas-asas
tata kepemerintahan yang baik.
164

Dengan ketentuan UU AP secara signifikan telah


mendorong upaya menjadikan administrasi Pemerintahan di
Indonesia

memenuhi

syarat-syarat

birokrasi

modern.

Berkenaan dengan pemisahan status antara instansi pemerintah


dan instansi negara, pemisahan negara dan pemerintah,
netralitas negara dan lembaga negara, serta memperkuat
perlindungan masyarakat bila berhadapan dengan administrasi
pemerintahan.
Akhirnya dari keseluruhan pemaparan kajian diambil
suatu simpulan dengan menggunakan matriks mengenai
persamaan dalam hukum dan pertanggungjawaban hukum
menurut regulasi dari ketentuan-ketentuan yang telah ada,
sehingga
maupun

dapat mengatur tertib kinerja pejabat Pemerintah


pejabat

negara

yang

memiliki

kecenderungan

berakibat merugikan perekonomian negara dan masyarakat,


sehingga perlu memperhatikan makan dalam asas-asas umum
pemerintahan yang baik sebagai substansi yang tercantum
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi
Kolusi dan Nepotisme dalam melaksanakan tanggungjawabnya
sebagai pelaksana penyelenggara negara.
Sehingga tidak terjadi perbuatan Pemerintah sebagai
suatu benturan dari adanya kepentingan-kepentingan tertentu
165

yang berakibat dapat menimbulkan tindakan sewenang-wenang


dalam menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan jika terjadi
demikian maka dapat diberikan gagasan dengan sebuah upaya
paksa seperti yang terdapat dalam lingkup perdata sebagai
ultimum remedium dalam merealisasikan eksekusi dari putusan
PTUN tersebut bahkan bila dalam ranah pidana dapat
dilakukan diajukan sebagai premium remedium apabila unsurunsur kejahatan dan adanya niat telah sesuai dengan bukti atas
kesalahan yang dilakukan pejabat Pemerintah dan Pejabat
Negara agar keadilan dapat tercapai dan perlindungan hukum
terhadap masyarakat dapat terwujud, penting kiranya dalam
memahami adanya perbaikan terhadap kualitas hati nurani
sebab amanat yang dipercayakan masyarakat sebagai warga
negara dalam memilih wakil-wakilnya dengan keseriusan,
walaupun konteksnya tidak berdasarkan pemahaman uji
kriteria dan hanya sebatas menyukai terhadap profil atau figur
wakil-wakil yang duduk di lembaga Pemerintahan, kelemahan
ini merupakan kelemahan dalam penyelenggaraan di Indonesia,
sebab masyarakat tidak mungkin berfikiran negatif walaupun
perbuatan aparatur Pemerintahan tidak jarang yang cenderung
bertindak menyalahgunakan wewenangnya sendiri, oleh karena
itulah banyak regulasi yang mengaturnya sebagaimana
digambarkan dalam matrik substansi dari regulasi-regulasi
166

yang mengatur perbuatan aparatur Pemerintahan dalam Hukum


Administrasi Negara berikut:
Tabel 1
Matrik Substansi Regulasi Hukum Administrasi Negara
UUD 1945

UU MD3

Pejabat Pemerintah

Persamaan Hak
Pasal 27 ayat
(1) dan
Kekuasaan
Pemerintah
Negara Bab IIIBab VI
Pasal 4
s/d
Pasal 18

UU AP
Perlindungan
Hukum
Pasal 1
ayat (16),
ayat (18),
Pasal 6 ayat (1)
huruf i
Pasal 24 huruf f
Pasal 25 ayat (2)
Penyelesaian
hukum dan
Pemberian sanksi

UU PTUN
Perlindungan
Hukum
Pasal 48 ayat (1),
Pasal 53 ayat (1)

UU PP
Perlindungan
Hukum

Penyelesaian
hukum dan
Syarat Gugatan

Penyelesaian
Hukum

Pasal 70 ayat (3),


Pasal 76 ayat (3),
Pasal 80 ayat (4)
memperhatikan
Pasal 87

Pasal 3 ayat (2)


Pasal 53 ayat (1)
Pasal 55,
Pasal 56,
Pasal 57.
Jenis-jenis
Putusan
Pasal 97 ayat (7)

Pasal 1 ayat (9),


ayat (17),
Pasal 3,
Pasal 4,

Pasal 5,
Pasal 6,
Pasal 7
huruf a dan b.
Pengaduan
Pasal 40,
Pasal 42,
Pasal 43,
Pasal 44
Pengajuan
Gugatan
Pasal 52,
Pasal 53

Persamaan Hak
Pasal 27 ayat
(1)

DPR

Mengenai DPR
Bab VII
Pasal 19 s/d
Pasal 22

Perlindungan
Hukum
Paragraf 2
Pasal 73,
s/d
Pasal 75
Perlindungan
Hukum
Pasal 224, Hak
Imunitas
Pasal 225, Hak
Protokoler
Pasal 226, Hak
Keuangan dan
Administrasi

167

Masyarakat

2.5.

Pasal 24 huruf f
Pasal 25 ayat (2)
Pasal 48,
Pasal 53 ayat (1),
(2), (3), Pasal 80
ayat (4).

Persamaan Hak
Pasal 27 ayat
(1)

SDA

Teori Pertanggungjawaban Hukum


Roscoe Pound melihat lahirnya pertanggungjawaban tidak saja karena
kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindakan, tetapi juga karena suatu
kesalahan. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam
kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah
hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung
jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter
hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan
undang-undang.158
Sedangkan Accountability (Akuntabilitas) merupakan sisi-sisi sikap dan
watak kehidupan manusia yang meliputi sikap internal dan eksternal seseorang
makna

yang

berbeda

dipertanggungjawabkan

dengan
atas

Responsibility

suatu

kewajiban,

berarti
dan

hal

yang

termasuk

dapat

putusan,

ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung


jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan
penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum,
158 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan dari edisi yang diperluas
oleh Drs. Mohammad Radjab, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982, hlm. 90

168

yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum,
sedangkan istilah responsibility merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia.
Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan
bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu
keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung
jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan
atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran
intelektualnya159. Sebagai contoh menunjuk pada pertanggungjawaban politik160.
2.5.1. Responbility
Istilah pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab.
istilah responsibility ditujukan bagi adanya indikator penentu atas
lahirnya suatu tanggungjawab, yakni suatu standard yang telah ditentukan
terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati, serta saat
lahirnya tanggungjawab itu dalam arti responsibility menunjukkan suatu
standard perilaku dan kegagalan memenuhi standard itu dan Haltersebut
dikarenakan akuntabilitastidakhanyadititikberatkanpadapemenuhan
kewajibanoleh penerimatanggungjawabuntukmemenuhiaturanaturan

159 Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan
Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.

160 Op.cit Ridwan H.R, hlm. 335-337.

169

standard yang telah ditentukan (responsibility), dan juga tidak hanya


dititik beratkan pada pertanggungjawaban atas kerugian yang diakibatkan
dari tidak terpenuhinya aturan-aturan standard yang telah ditentukan,
melainkan suatu bentuk pertanggungjawaban secara keseluruhan yang
harus dilakukan oleh pengemban tanggungjawab tersebut.
Tanggungjawab dalam arti responsibility dititik beratkan pada
pemenuhan kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi
aturan-aturan standard yang telah ditentukan. Menurut teori yang
dikemukakan oleh PrajudiAtmosudirjomengenai Tanggungjawab dalam
artiresponsibilityadalahyang menilai suatu tanggungjawabyangberlaku
antarabawahan danatasan.161
2.5.2. Accountability
Pertanggungjawaban (accountability) merupakan suatu istilah
yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah
digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan
dan tidak digunakan secara ilegal. Dalam perkembanganya akuntabilitas
digunakan juga bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi
ekonomi program. Usaha-usaha tadi berusaha untuk mencari dan
menemukan apakah ada penyimpangan atau tidak, efisien atau tidak, dan
161 Prajudi Atmosudirjo, Beberapa Pandangan Umum Pengambilan Keputusan, Decision Making,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 281.

170

prosedur-prosedur

manakah

yang

tidak

diperlukan. Akuntabilitas

menunjuk pada pada institusi tentang cheks and balance dalam sistem
administrasi.162
Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau tipe. Jabra
dan

Dwi

Devi

sebagaimana

dijelaskan

oleh

Sadu

Wasistiono

mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas, yaitu:163


1. akuntabilitas

administratif

atau

organisasi

adalah

pertanggungajawaban antara pejabat yang berwenang dengan unit


bawahanya dalam hubungan hierarki yang jelas.
2. akuntabilitas legal, akuntabilitas jenis ini merujuk pada domain publik
dikaitkan dengan proses legislatif dan yudikatif. Bentuknya dapat
berupa peninjauan kembali kebijakan yang telah diambil oleh pejabat
publik maupun pembatalan suatu peraturan oleh institusi yudikatif.
Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan perundang undangan
yang berlaku.
3. akuntabilitas politik, dalam tipe ini terkait dengan adanyakewenangan
pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas
162 Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya, 2001, hlm. 148

163 Sadu Wasistiono, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance, dalam
Syamsudin Haris (Ed.),Desentralisasi & Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2005 hlm 7

171

dan pendistribusian sumber-sumber dan menjamin adanya kepatuhan


melaksanakan tanggungjawab administrasi dan legal. Akuntabilitas ini
memusatkan pada tekanan demokratik yang dinyatakan oleh
administrasi publik.
4. akuntabilitas profesional,hal ini berkaitan dengan pelaksanaan kinerja
dan tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang
profesi yang sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek
kualitas kinerja dan tindakan.
5. akuntabilitas moral. Akuntabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang
berlaku di kalangan masyarakat. Hal ini lebih banyak berbicara
tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang
dilakukan oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif
berdasarkanukurantatanilaiyangberlakusetempat.
Accountability merupakan sebuah prinsip dari konsep good
corporategovernance,yaitusebuahkonseptatakelola pemerintahanbaru
yangdiadopsiolehberbagainegaraberkembangdi duniasebagaisalah
satu prinsip dari konsep good corporategovernance.

Kaihatu

mendefinisikan akuntabilitas sebagai sebuah kejelasan fungsi, struktur,


sistem,danpertanggungjawabanorganperusahaansehingga pengelolaan
perusahaanterlaksanasecaraefektif.Penerapankonsepini sematamata
untuk meningkatkan kinerja perusahaan melalui supervisi

atau

pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen

172

terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan


dan peraturan yang berlaku sebagai salah satu aspek dari administrasi
publikataupemerintahan.
2.5.3. Liability
Istilah Pertanggungjawaban liability menurut Pinto mempunyai
pengertian lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat
kegagalan untuk memenuhi standard tersebut, dan bentuk tanggungjawab
diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian dan pemulihan sebagai akibat
dari terjadinya kerusakan atau kerugian. Secara terminologi liability lebih
menunjukkan kepada kerusakan atau kerugian yang timbul sebagai akibat
kegagalan di dalam memenuhi standard dimaksud, termasuk pula dalam
hal ini untuk pemenuhan ganti rugi dan atau pemulihan.164
Tanggungjawab liability menunjukkan tanggungjawab hukum atau
tanggungjawab gugat, seperti halnya penyelesaian perkara melalui
pengadilan (hukum) liability, dititik beratkan pada kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan kerugian yang diakibatkan dari tidak
terpenuhinya aturanaturanstandardyangtelahditentukan.

164 S.Pamudji,PembinaanPerkotaanDiIndonesia, Ichtiar,Jakarta,1980. hlm.61

173

BAB III
PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT PEMERINTAHAN
DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PEMERINTAHANDAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
3.1.

Penyalahgunaan Wewenang Dalam Regulasi


Penentuan konsep dan parameter unsur penyalahgunaan kewenangan,
menjadi sebuah permasalahan yang menimbulkan terjadinya keragaman
penafsiran putusan pengadilan mengenai konsep dan parameter unsur melawan
hukum dan unsur penyalahgunaan kewenangan karena tidak adanya batasan
yang jelas. Secara substansial dapat berpedoman pada asas spesialitas
(specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki
tujuan

tertentu.

Penyimpangan

terhadap

asas

ini

akan

melahirkan

penyalahgunaan kewenangan detournement de pouvoir. Parameter peraturan


perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik
dipergunakan untuk membuktikan instrumen atau modus penyalahgunaan
kewenangan.
Penyalahgunaan wewenang baru dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan
aparatur Pemerintahan apabila telah direalisasikan dalam bentuk yang telah
174

direalisasi setelah memiliki keabsahan dari program perencanaan contohnya


mengeluarkan pembuatan produk hukum, penerbitan kebijakan-kebijakan,
pemberian keputusan-keputusan serta termasuk pembangunan-pembangunan
sarana dan prasarana atau pembangunan infrastruktur Pemerintahan. Dari adanya
tindakan

tersebut

dapat

berimplikasi

terhadap

kerugian

negara

atau

perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan
pemerasan), Terdakwa mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan
perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela. Khusus terhadap pasal-pasal
sebagai substansi regulasi-regulasi diantaranya seperti UUD 1945 KUH Pidana,
KUH Perdata penyimpangan terhadap ranah hukum administrasi negara seperti
UU AP (Administrasi Pemerintahan), UU PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara),
UU PP (Pelayanan Publik), UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), yang
menyangkut penyelenggaraan administrasi negara yang dapat diprediksi adanya
bentuk-bentuk penyalahgunaan kewenangan.
3.1.1. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi
Munculnya istilah penanganan tindak pidana korupsi bermula
hanya melalui ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Peperpu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang mengisi kekosongan
hukum pada saat itu dan di sebut dengan Peraturan Pemberantasan
Korupsi 1960 sebagai dasar hukum yang berfungsi sebagai perangkat
hukum pidana tentang korupsi yang menggantikan Peraturan Kepala Staf
Angkatan Darat (KAS-AD) Nomor: Prt/Peperpu/013/1858. Undang175

Undang Nomor 1 Tahun 1960 akhirnya menetapkan Peperpu Nomor 24


Tahun 1960 menjadi Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960, undangundang ini merupakan undang-undang hukum pidana khusus pertama di
Indonesia tentang tindak pidana korupsi yang bersifat definitif, yang pada
saat itu lebih dikenal dengan sebutan undang-undang anti korupsi. Pada
tanggal 29 Maret 1971 diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960. Pada tanggal 16 Agustus 1999
Pemerintah kembali mencoba menyempurnakan undang-undang tindak
pidana korupsi yang telah ada sebelumnya dengan mengundangkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang akhirnya pada tanggal 21 Nopember 2001
diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Batasan terhadap tindakan penyalahgunaan wewenang tersebut
diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (melawan
hukum formil) atau bertentangan dengan nilai kepatutan dan keadilan
masyarakat (melawan hukum materiil). Sedangkan mengenai unsur
penyalahgunaan kewenangan, berdasarkan kajian baik terhadap
UUPTPK maupun doktrin hukum pidana, sama sekali tidak terdapat
definisi atas konsep penyalahgunaan kewenangan beserta parameter yang
176

dapat dipergunakan untuk melakukan penilaian apakah suatu perbuatan


dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan atau bukan.
Pencantuman kedua unsur, melawan hukum dan penyalahgunaan
kewenangan dalam UU PTPK menimbulkan ketidakjelasan dalam
menentukan konsep dan parameter unsur penyalahgunaan kewenangan.
Penilaian sah tidaknya suatu keputusan tata usaha negara dalam hukum
administrasi dilakukan dengan penelaahan terhadap keterkaitan peraturan
perundang-undangan (gelede of getrapt normstelling) atau norma
berjenjang.165
Sedangkan dalam hukum pidana, penentuan apakah suatu
perbuatan merupakan perbuatan pidana atau bukan, harus didasarkan pada
asas legalitas. Tidaklah tepat apabila menyatakan suatu perbuatan patut
dipidana dengan mendasarkan pada perbuatan yang melanggar peraturan
perundang-undangan, yang lebih tepat adalah melanggar undang-undang
dan peraturan daerah (Vide : Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).166 Adapun
165 Philipus M. Hadjon et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Cetakan VIII, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm 55.

166 Jean Rivero dan Waline sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji dalam Nur Basuki
Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan
Daerah, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2009, hlm. 96 97.

177

spesifikasi penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi itu


memiliki ciri yaitu:
1. Melanggar dari tujuan pemberian kewenangan yang dimaksud
Pemberian kewenangan kepada suatu badan atau kepada
pejabat administrasi negara selalu disertai dengan tujuan dan
maksud atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan
kewenangan tersebut harus sesuai dengan tujuan dan maksud
diberikannya kewenangan tersebut.
Mengenai penggunaan kewenangan oleh suatu badan atau
pejabat administrasi negara tersebut tidak sesuai dengan tujuan dan
maksud dari pemberian kewenangan, maka pejabat administrasi
Negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan kewenangan
(detournement de power).
2. Melanggar dari tujuan asas legalitas
Asas legalitas menjadi amanat Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana
yang merupakan salah satu prinsip utama dan dijadikan dasar dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum
kontinental. Pada negara demokrasi tindakan pemerintah harus
mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal tertuang dalam
undang-undang.
3. Melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik
Asas-asas hukum yang dipakai untuk menilai kekuasaan bebas
atau

kekuasaan

diskresi

tersebut

masih

dalam

koridor
178

rechtmatigheid

atau

dengan

berpedoman

pada

Algemene

Beginselen van Behoorlijk Bestuur (ABBB), dalam kepustakaan


Indonesia diartikan sebagai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik.
Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
asas-asas:

(1).

Asas

Kepastian

Hukum;

(2).

Asas

Tertib

Penyelenggaraan Negara; (3). Asas Kepentingan Umum; (4). Asas


Keterbukaan; (5). Asas Proposionalitas; (6). Asas Profesionalitas; (7).
Asas Akuntabilitas.
Mengutip

pemikiran

menurut

Phlipus

M.

Hadjon

yang

mengemukakan bahwa cacat yuridis salah suatu wewenang seperti


keputusan dan/atau tindakan pejabat Pemerintahan pada umumnya
menyangkut tiga unsur utama, yaitu:167
1. unsur kewenangan;
2. unsur prosedur; dan
3. unsur substansi,
Jika ketiga unsur di atas dilanggar, maka menyebabkan cacat
yuridis tindakan penyelenggara negara dan terklasifikasi sebagai tindakan
167 Philipus M. Hadjon dalam Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,
Cetakan Pertama, LaskBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008. hlm 100.

179

yang memiliki indikasi cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat


substansi, secara masif dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan
wewenang. Dengan demikian bila penyalahgunaan wewenang dalam
tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 3 UU PTPK, yang dirumuskan
secara formil dan materiil.
Pemahaman akan makna melanggar hukum dalam ranah hukum
perdata disebut onrechtmatigedaad, sedangkan melawan hukum dalam
ranah hukum pidana disebut wederrechtelijkheid. Dalam konteks ini
unsur melawan hukum dimaksud adalah (wederrechtelijkheid), khusus
dalam ranah hukum pidana yang dibatasi oleh asas legalitas, sedangkan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) mempunyai cakupan yang
lebih luas, tidak terbatas pada written law tetapi juga unwritten law
atauthe living law.168
Sebenarnya
kewenangan

dalam

merupakan

ranah
salah

hukum
satu

privat

bentuk

penyalahgunaan

onrechtmatigedaad.

Penyalahgunaan kewenangan merupakan species dari genus perdata


(onrechtmatigedaad).

Unsur

menyalahgunakan

kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau


kedudukan dan unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang
lain atau suatu korporasi adalah bagian inti delik (bestanddelen delict)

168 Ibid. Sadjijono. hlm 100.

180

karena tertulis dalam rumusan delik, oleh karenanya menjadi elemen


delik. Berbeda halnya dengan unsur melawan hukum (wederrechtelijk),
tidak secara ekplisit ditentukan sebagai unsur delik dalam Pasal 3 UU
PTPK, namun meskipun tidak secara ekplisit ditentukan dalam rumusan
delik, unsur melawan hukum, tersebut tetap ada secara diam-diam,
sebab terhadap suatu delik pasti selalu terdapat unsur melawan hukum.
Berikut ini akan diuraikan secara lebih rinci terhadap masing-masing
unsur Pasal 3 UU PTPK.

1. Unsur Setiap Orang


Subyek hukum tindak pidana dalam rumusan Pasal 3
UUPTPK disebutkan sebagai setiap orang, yang oleh Pasal 1 butir 3
UUPTPK ditegaskan terdiri atas orang pribadi dan suatu korporasi,
namun demikian karena korporasi merupakan subyek hukum
rechtspersonen yang tidak mungkin memiliki jabatan atau kedudukan
seperti halnya subyek hukum orang (natuurlijke personen), menurut
Adami Chazawi, korporasi tidak mungkin dapat menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan, mengingat hal itu tidak dimilikinya.169
Subyek hukum yang dapat memiliki jabatan dan kedudukan hanyalah
169 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Edisi Pertama,
Cetakan Ke-II, Bayumedia, Malang (JATIM). 2005. hlm 49.

181

subyek hukum orang. Berbeda halnya dengan tindak pidana


memperkaya diri yang dirumuskan dalam Pasal 2 UU PTPK yang
dapat dilakukan oleh suatu korporasi, jadi tidak semua tindak pidana
korupsi dalam UU PTPK dapat dilakukan oleh suatu korporasi,
meskipun secara tegas Pasal 1 butir 3 UU PTPK menyebutkan bahwa
setiap orang itu meliputi orang pribadi dan korporasi.
Penggunaan yang lazim dipakai dalam perundang-undangan
pidana berlandaskan payung hukum KUHP adalah kata barangsiapa
(teks KUHP, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), yang merupakan salinan dari
kata Hij, die (vide: Wet Boek van Strafrecht), yang memberikan
pengertian bahwa yang dimaksud dengan setiap orang atau
barangsiapa ialah orang atau orang-orang yang apabila orang
atau orang-orang tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur delik
yang diatur dalam pasal yang disangkakan/didakwakan kepadanya,
maka orang atau orang-orang itu disebut sebagai pelaku atau
pembuat dari delik tersebut (dader or doer van strafrecht), namun
demikian ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP menegaskan: Tiada
dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna
akalnya atau sakit berubah akal. Ketentuan ini memperjelas bahwa
orang/orang-orang yang dapat disebut sebagai pelaku adalah bukan

182

orang/orang-orang yang cacat jiwa dalam tubuhnya (gebruik leige


ont wikkeling) atau terganggu karena penyakit (zeekelijke storing).
2. Unsur Perbuatan Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau
Orang Lain atau Suatu Korporasi
Unsur menguntungkan diri sendiri dalam pasal ini adalah
sama pengertian dan penafsirannya dengan menguntungkan diri
sendiri yang tercantum dalam Pasal 378 KUHP, meskipun tidak ada
unsur melawan hukum, akan tetapi unsur tersebut ada secara diamdiam, sebab terhadap suatu delik selalu ada unsur melawan hukum,
sedangkan pengertian menguntungkan diri sendiri dengan melawan
hukum berarti menguntungkan diri sendiri tanpa hak.
Unsur tujuan (doel) tidak berbeda artinya dengan maksud
atau kesalahan sebagai maksud (opzet als oogmerk) atau
kesengajaan dalam arti sempit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
368 KUHP, 369 KUHP dan pasal 378 KUHP. Unsur orang lain
meliputi istri, anak, cucu dan kroni-kroninya, sedangkan unsur
korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum. Korporasi ini suatu kegiatan ekonomi yang luas, baik untuk
tujuan tertentu ataupun tujuan keuntungan.
Delik inti dari Pasal 3 UU PTPK adalah menyalahgunakan
kewenangan. Suatu dakwaan tindak pidana yang dikaitkan dengan
unsur

ataupun

elemen

kewenangan

atau

jabatan

atau
183

kedudukan, maka dalam mempertimbangkannya tidak dapat


dilepaskan

dari

memberlakukan

aspek
prinsip

hukum

administrasi

pertanggungjawaban

negara

jabatan

yang

(liability

jabatan), yang harus dipisahkan dari prinsip pertanggungjawaban


pribadi (liability pribadi) dalam hukum pidana.170 Pengertian
menyalahgunakan wewenang dalam hukum pidana (khususnya
dalam tindak pidana korupsi) tidak memiliki pengertian yang bersifat
eksplisitas, oleh karena itu diperlukan pendekatan ekstensif.
Mengutip sebuah doktrin tentang kajian De Autonomie ven het
Materieele Strafrecht yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen
yang terjemahan bebasnya adalah Otonomi dari Hukum Pidana
Materiil, intinya untuk mempertanyakan apakah ada harmonisasi
atau disharmonisasi antara pengertian yang sama baik khusus dalam
ranah hukum pidana atau pada ranah hukum perdata dan hukum tata
usaha negara sebagai suatu cabang ilmu hukum lain.
Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan ini adalah
peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif tertulis yang melatar
belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan suatu
keputusan, artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur
menyalahgunakan kewenangan haruslah berpijak pada peraturan

170 Putusan Badan Peradilan, Varia Peradilan, No. 223 Th. XIX. April 2004, hlm. 4.

184

dasar (legalitas) mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan


organisasi dan tata kerja. Perbedaan antara penyalahgunaan
wewenang, bertentangan dengan undang-undang dan tindakan
sewenang-wenang

adalah

penyalahgunaan

wewenang

yang

parameternya atau tolok ukur pengujiannya bertumpu pada asas


spesialiteit atau menurut Prof. Tatiek Djatmiati menggunakan istilah
legalitas substansi yang lebih dikenal dengan asas doelmatigeheid;
a. Bertentangan dengan perundang-undangan, terbagi menjadi tiga,
yaitu bertentangan dengan perundangan-undangan yang bersifat
prosedural atau formal; bertentangan dengan perundanganundangan yang bersifat materiel/substansial;
b. Bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
tidak berwenang;
Tindakan

sewenang-wenang

merupakan

tindakan

yang

mengesampingkan fakta-fakta yang relevan yang telah diverikasi


olehnya dalam melaksanakan wewenangnya serta tidak mencocokan
fakta tersebut dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur wewenang yang dimilikinya tersebut.
Substansi UU PTPK memberikan contoh seperti dalam Pasal
12 huruf e apabila relevansinya diklasifikasikan ke dalam
pengertian unsur melawan hukum meliputi melawan hukum formil
dan melawan hukum materiil meliputi:

185

1. Unsur menyalahgunakan wewenang berupa adanya kesempatan


atau adanya peluang dan tersedianya waktu yang cukup dengan
sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan tertentu. Orang yang
karena memiliki jabatan atau kedudukan, karena jabatan atau
kedudukannya tersebut mempunyai peluang atau waktu yang
sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu, apabila peluang yang
ada itu dipergunakan untuk melakukan perbuatan lain yang tidak
seharusnya dilakukan dan justru bertentangan dengan tugas
pekerjaannya dalam jabatan atau kedudukan yang dimilikinya
disinilah terdapat penyalahgunaan kesempatan karena jabatan atau
kedudukan.
2. Perbuatan menyalahgunakan

sarana

karena

jabatan

atau

kedudukan terjadi apabila seseorang menggunakan sarana yang


ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan untuk tujuantujuan lain di luar tujuan yang berhubungan dengan tugas
pekerjaan yang menjadi kewajibannya.
3. Maksud yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan tiada
lain adalah kewenangan, kesempatan dan sarana karena jabatan
atau kedudukan yang dipangku seseorang, jadi antara keberadaan
kewenangan, kesempatan dan sarana dengan jabatan atau
kedudukan haruslah ada hubungan sebab-akibat (causal), oleh
karena memangku jabatan atau kedudukan, mengakibatkan
seseorang mempuyai kewenangan, kesempatan dan sarana yang
186

timbul dari jabatan atau kedudukan tersebut, jika jabatan atau


kedudukan itu lepas maka kewenangan, kesempatan dan sarana
juga akan hilang, dengan demikian sangat tidak mungkin ada
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana karena
jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimiliki lagi.
4. Menyebabkan timbulnya kerugian negara, apabila secara logika
(menurut akal sehat) suatu perbuatan ditafsirkan akan dapat
menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, mengenai ada
atau tidaknya kerugian negara tidaklah diartikan sebagai suatu
unsur dari rumusan pasal, tetapi penelitian mengenai ada atau
tidaknya kerugian negara hanyalah sebagai salah satu faktor yang
menentukan ada atau tidaknya sifat melawan hukum secara
materiil dari perbuatan si pelaku. Pembuktian tentang kerugian
negara tergantung pada kemampuan hakim dalam menganalisa
dan menilai aspek-aspek yang menyertai atau ada di sekitar
perbuatan dalam rangkaian peristiwa yang terjadi. Penjelasan
umum UU PTPK menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, baik yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena:

187

a. berada

dalam

penguasaan,

pengurusan

dan

pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat


pusat maupun daerah ;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,
yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan
modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara, jadi
singkatnya keuangan negara adalah kekayaan negara dalam
bentuk apapun, termasuk hak-hak dan kewajiban,171 sedangkan
yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat
secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah,
baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
bertujuan untuk memberikan manfaat, kemakmuran dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Bila kembali merujuk mengenai penyalahgunaan kewenangan
yang diatur dalam Pasal 3 UUPTPK masih terdapat tiga bentuk
penyalahgunaan lain yang menjadi substansi dalam UU PTPK, antara
lain adalah: tindak pidana penyuapan, tindak pidana gratifikasi dan
171 Op.cit., Adami Chazawi, hlm. 47

188

tindak pidana pemerasan. Ketiga bentuk tindak pidana korupsi


tersebut masing-masing diatur tersendiri dalam Pasal UU PTPK. bagi
tindak pidana korupsi suap ini, salah satunya diatur dalam Pasal 5 UU
PTPK dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta Rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta Rupiah), baik terhadap
pemberi suap maupun terhadap penerima suap.
Gratifikasi diatur dalam Pasal 12 huruf b UU PTPK.
Gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 (Sepuluh juta Rupiah)
atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan
suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, sedangkan yang nilainya
kurang dari Rp 10.000.000,00 (Sepuluh juta Rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh penuntut
umum.
Ancaman pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima gratifikasi berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya adalah pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (Dua ratus juta Rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (Satu miliar Rupiah).

189

Pada hakekatnya, gratifikasi adalah pemberian kepada


pegawai negeri/penyelenggara negara dan bukan merupakan suap.
Gratifikasi merupakan suap apabila diberikan oleh si pemberi
gratifikasi berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugas si penerima gratifikasi sebagai pegawai negeri.
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) secara jelas dan
tegas juga telah mengatur kewenangan KPK dalam memutuskan
apakah suatu gratifikasi (yang pada hakekatnya mempunyai arti
pemberian kepada pegawai negeri/penyelenggara negara) merupakan
suap ataukah bukan merupakan suap, meskipun KPK bukan lembaga
peradilan, namun KPK tetap berwenang secara sah menentukan
gratifikasi sebagai suap atau bukan karena wewenang tersebut
diberikan oleh UU KPK.
Untuk tindak pidana pemerasan, antara lain tindak pidana
pemerasan oleh pegawai negeri untuk memaksa orang melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (diadopsi dari Pasal 421
KUHP) dan tindak pidana pemerasan oleh pegawai negeri untuk
mendapatkan pengakuan atau keterangan dalam pemeriksaan perkara
pidana (diadopsi dari Pasal 422 KUHP), dengan menyesuaikan
ancaman pidananya pada Pasal 23 UU PTPK masing-masing diancam
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima
190

puluh juta Rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (Tiga ratus


juta Rupiah).
Perbedaan prinsip antara ketiga bentuk penyalahgunaan
tersebut diatas dengan penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3
UU PTPK adalah bahwa terjadinya ketiga bentuk penyalahgunaan
kewenangan tersebut tidak disyaratkan harus berimplikasi terhadap
kerugian negara atau kerugian perekonomian negara, sedangkan
terjadinya penyalahgunaan kewenangan pada Pasal 3 UU PTPK,
mensyaratkan harus terdapat implikasi kerugian negara atau kerugian
perekonomian negara.
3.1.2. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Administrasi Pemerintahan
Landasan hukum untuk mengenali apakah sebuah keputusan dan
atau tindakan terdapat kesalahan administrasi atau penyalahgunaan
wewenang yang berujung pada tindak pidana. Dimana Masyarakat dapat
mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau
tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan
Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan
gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena UndangUndang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha
Negara.

191

Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian


penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan
dalam tiga wujud, yaitu:172
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan
yang

bertentangan

dengan

kepentingan

umum

atau

untuk

menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;


2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat
tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh
Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain;
Penyalahgunaan

kewenangan

dalam

arti

menyalahgunakan

prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu,


tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana;
Legalisasi prosedur administrasi pemerintahan bukanlah sebagai
pengekangan terhadap sikap tindak administrasi negara melainkan
sebagai panduan bertindak dalam menjalankan tugas dan fungsi yang
diamanatkan kepadanya serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan
wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik
dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

172 Op.cit Nur Basuki Minarno, 97.

192

Ketentuan itu terdapat dalam UU AP yang memuat kejelasan


jenis-jenis kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat. Kejelasan
tanggung jawab terhadap kewenangan agar terdapat kejelasan tanggung
jawab dan tanggung gugat terhadap pelaksanaan kewenangan. ini
mengatur larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga badan atau
pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau tindakan sesuai
dengan batas kewenangan yang dimiliki. Kelahiran UU AP pada tanggal
17 Oktober 2014 telah menimbulkan kekhawatiran beberapa kalangan.
Penilaian

bagi

pemberantasan

korupsi,

khususnya

berkait

penerapan Pasal 3 UU PTPK seharusnya bukan menjadi kekhawatiran


dengan terbitnya regulasi Admiistrasi Pemerintah ini, sebagaimana
amanat Pasal 5 Juncto Pasal 10 UU AP dengan penafsiran terhadap asasasas yang menguraikan bahwa regulasi itu menjadi dasar hukum bagi
peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Selain itu, sebagai
upaya mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dengan memaknai
asas legalitas, yang menghargai perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia. Dengan demikian justru dangan adanya UU AP dapat
memberikan penyadaran dan diharapkan sebagai bagian dari langkah
strategis mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang sesuai Pasal 17
sampai dengan Pasal 23 dan pemberian akibat hukum adanya pemberian
diskresi menurut Pasal 30, sekaligus menjadi parameter untuk membatasi
gerak bebas kewenangan aparatur pemerintahan dalam penyalahgunaan
kewenangannya atau melakukan niat untuk berbuat sewenang-wenang.
193

Substansi UU AP juga mengkaitkan peran lembaga peradilan dalam


menangani masalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat
Pemerintahan sebagai hukum materiil UU PTUN sesuai ketentuan Pasal
21 yang secara komprehensif diatur dalam Bab X mengenai Upaya
Administratif.
Kewenangan aparatur pemerintahan disebut sebagai melawan
hukum dan menyalahgunakan kewenangan. (Dalam hukum perdata
perbuatan

melawan

hukum

disebut

wanprestasi).

Pengertian

penyalahgunaan kewenangan tidak ditemukan dalam UU PTPK.


Namun dalam Pasal 52 KUHP ditemukan uraian melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan
pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan
kepadanya karena jabatannya. Dalam perspektif hukum pidana, terutama
dalam praktik penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana
korupsi, kewenangan erat hubungannya dengan jabatan atau kedudukan
yang dimiliki seseorang. Hal itu berarti subjek hukum hanya berlaku
untuk orang tertentu, yaitu yang memiliki jabatan atau kedudukan
tertentu.

194

Indriyanto Seno Adji dalam keterangannya sebagai ahli pada tahap


penyidikan mengartikan penyalahgunaan kewenangan dengan sedemikian
rupa:173
1. Memiliki kewenangan tapi menggunakan kewenangannya lain
daripada kewenangan yang ada.
2. Tak memiliki kewenangan namun melakukan tindakan seolah-olah
memiliki kewenangan.
3. melakukan perbuatan/tindakan dengan menyalahgunakan prosedur
untuk mencapai tujuan tertentu.
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan hanya mungkin terjadi bila
memenuhi dua syarat: Pertama; si pembuat yang menyalahgunakan
kewenangan berdasarkan kedudukan atau jabatan tertentu memang
mempunyai kewenangan dimaksudkan bahwa kedudukan atau jabatan
yang mempunyai kewenangan tersebut masih (sedang) dipangku atau
dimilikinya. Memperhatikan uraian penyalahgunaan kewenangan
dalam perspektif UU AP sebagai hukum materil yang dilaksanakan
menurut

Pasal

53

Ayat

(2)

UU

PTUN

dengan

pengertian

menyalahgunakan kewenangan dengan cara mengambil alih pengertian


yaitu telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang itu atau detournement de pouvoir dalam
173 Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media,
Jakarta, 1997, hlm. 427.

195

praktiknya kedua regulasi itu berkaitan dengan UU PTPK yang ternyata


ditemukan ada persamaan di antara keduanya.
3.2.

Implementasi Penyalahgunaan Wewenang


Kebijakan dimasa pembangunan dalam mengelola segala sendi
perekonomian negara, menuntut aparatur Pemerintahan sebagai penyelenggara
negara untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat

secara optimal,

transparan dan akuntabel (optimalization of public service), dengan tujuan


mewujudkan kesejahteraan umum dan pembangunan nasional. Tapi nyatanya,
hasil perbuatan administrasi negara belum mampu memberikan perubahan yang
memperbaiki standar tingkat kebutuhan ekonomi yang stabil bagi masyarakat
dalam mencapai apa yang dinamakan kesejahteraan yang adil, maka perbuatan
tersebut tidak bersesuaian dengan tujuan (ondoelmatige).
Untuk menetapkan ada tidaknya perbuatan yang ondoelmatig, bukan
dilihat dari perbuatannya, tetapi lebih ditekankan pada hasil perbuatan yang
diwujudkan sebagai akibat perbuatan yang dilakukan. Ukuran bermanfaat
tidaknya suatu perbuatan administratif ditentukan tujuan akhir, yaitu apakah
memenuhi kepentingan umum atau tidak. Karena itu, wewenang tindakan
kebijakan pejabat administrasi negara meskipun faktanya merugikan, namun
berguna bagi masyarakat luas, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasi
sebagai perbuatan ondoelmatige. 174

174 Op.cit Philipus M. Hadjon, hlm 20.

196

Tindakan aparatur Pemerintahan sudah sewajarnya diarahkan pada tujuan


yang telah ditetapkan oleh peraturan yang menjadi dasarnya. Dalam hal
pemerintah menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan, pemerintah telah
melakukan tindakan yang ondoelmatig. Menurut praktik Conseil d'Etat di
Perancis, tindakan yang demikian disebut detournement de pouvoir yang mana
pengertian ini berkaitan dengan Freies Ermessen berfungsi melengkapi perluasan
arti

berdasarkan

sebuah Yurisprudensi

di

Prancis

disebabkan

adanya

penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena


jabatan atau kedudukan, berarti telah melawan hukum.
. Penggunaan kewenangan yang bersifat aktif, berupa kewenangan
diskresioner (discretionary power, vrijsbestuur, freies ermessen) untuk
melaksanakan kebijakannya (beleid) dalam mengatasi segera dan secepatnya
dengan menetapkan suatu perbuatan bagi kepentingan tugas pemerintahan,
tidaklah sekadar kekuasaan pemerintahan yang menjalankan undang-undang
(kekuasaan terikat), tetapi merupakan kekuasaan yang aktif, meliputi
kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage norm).
Sifat melawan hukum dalam UU PTPK secara eksplisit diperluas
maknanya tidak hanya melawan hukum formil tapi juga melawan hukum
materiil. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana. Oleh Mahkamah Konstitusi penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut
197

dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Melawan hukum dalam


pengertian materiil, secara konsepsional dibedakan antara melawan hukum
dalam pengertian materiil yang positif dan negatif. Pasal 2 Ayat (1) UU
No.31/1999 jo. UU No.20/2001 sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 003/PUU-IV/2006 tampaknya menganut ajaran sifat melawan hukum,
baik dalam pengertian formil maupun materiil. Sifat melawan hukum materiil
tersebut, baik dalam fungsi yang negatif maupun positif. Fungsi positif dari sifat
melawan hukum yaitu meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengatur,
namun apabila perasaan keadilan dalam masyarakat, maupun norma-norma
sosial menyatakan bahwa perbuatan tersebut tercela, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana. Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK menganut ajaran sifat melawan
hukum dalam konsepsi yang luas. Dalam konsep yang luas tersebut, maka
penerapannya sangat bergantung pada cara pandang hakim. 175
Seperti implementasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006 dapat diinterpretasikan adanya unsur
melawan hukum menurut pengertian formil dan materiil dalam fungsi yang
negatif. Apabila, Penjelasan bagian Umum UU PTPK mengenai melawan hukum
masih dianggap berlaku, maka sesungguhnya PTPK masih mengikuti ajaran sifat

175 Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Indonesia
Lawyer Club, Cet.IV, Surabaya, 2010. hlm.173.

198

melawan hukum materiil dalam fungsi positif, di samping sifat melawan hukum
formil dan materiil dalam fungsi negatif.176
Secara konsepsional didasarkan pada anggapan tercela karena tidak
sesuai dengan rasa adil sesuai norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 serta menyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berbeda dengan praktik peradilan,
kalangan akademisi umumnya justru menolak penerapan ajaran melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang positif. menyatakan: pandangan mengenai
melawan hukum materiil hanya mempunyai arti memperkecualikan perbuatan
yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya
dianggap sebaga perbuatan pidana. Jadi suatu perbuatan yang dilarang undangundang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak
menjadi perbuatan pidana. Biasanya inilah yang disebut sebagai fungsi negatif
dari ajaran melawan hukum materiil. Fungsinya yang positif yaitu walaupun
tidak dilarang undang-undang tetpi oleh masyarakat perbuatan itu dipandang
tercela dan dengan itu perlu menjadikannya perbuatan pidana tidak mungkin
dilakukan menurut sistem hukum kita mengingat bunyi pasal 1 ayat (1) KUHP.
Tidak ada ahli hukum pidana yang dapat membenarkan penerapan ajaran
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. dinyatakan oleh prof.
Indiyanto Seno Adji yang menyatakan: bagi pandangan materiil, ditemukan

176 Ibid, Tjandra Sridjaja Pradjonggo, hlm. 174

199

suatu kesamaan pendapat bahwa sifat melawan hukum materiil hanyalah


digunakan melalui fungsi negatifnya saja, sehingga penerapannya hanya
diperlukan untuk meniadakan suatu tindak pidana dnegan mempergunakan
alasan-alasannya di luar undang-undang Dengan putusan Mahkamah Konstitusi,
penjelasan pasal 2 ayat (1) UU PTPK, khususnya kalimat yang menjadi dasar
pemberlakuan ajaran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif,
telah dinyatakan tidak mempuyai kekuatan mengikat sebagai hukum. Ajaran
melawan hukum materiil hanya dapat diterapkan dalam fungsinya yang negatif
dan tidak dapat diterapkan dalam fungsinya yang positif. Dengan demikian
penjelasna Pasal 2 UU PTPK bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum
pidana, seperti implementasi logis lainnya dalam kaitannya dengan kasus-kasus
sebagai fakta logis tindakan aparatur pemerintahan yang melanggar hukum dan
kondisi ini perlu perhatian secara signifikan untuk dapat menemukan solusi
dengan menerapkan indikasi dan monitoring serta ada atau tidaknya progres dari
kinerja Pemerintahan yang selelui up to date disampaikan kepada masyarakat,
sehingga menghindari masalah sebagaimana berikut:
3.2.1. Kasus Penyalahgunaan Wewenang yang Sudah Berkepastian Hukum
Tetap
3.2.1.1.

Kasus Walikota Bandung (Dada Rosada)177


a. Kasus Posisi

177 http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/abc5ca5c8d35b6d369744696eac4e27b, dengan


Topik: Putusan PN Bandung Nomor 146 / Pid.Sus / TPK / 2013 / PN.Bdg Tahun 2014
Dada Rosada, diakses pada tanggal 30 Desember 2015.

200

Dada Rosada lahir di Ciparay, Bandung, 29


April 1947, saat ini memilih berdomisili di Jalan
Tirtasari II No. 12 Kota Bandung, dengan jabatan
terakhir sebagai Walikota Bandung Periode II
masa jabatan 2008-2013, terkait penyalahgunaan
dana

Belanja

Anggaran

Bansos

2009

pencairannya

Kota

yang

Bandung

sudah

adalah

Tahun

terealisasi

sebesar

Rp

77.585.275.000,00 (Tujuh puluh tujuh miliar lima


ratus delapan puluh lima juta dua ratus tujuh
puluh lima ribu rupiah). Untuk Tahun Anggaran
2009 belanja bantuan sosial yang pencairan
maupun mpenggunaannya tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan adalah
sebesar Rp 25.676.880.000,00 (Dua puluh lima
miliar enam ratus tujuh puluh enam juta delapan
ratus delapan puluh ribu Rupiah).
Bahwa

pencairan

maupun

penggunaan

Belanja Bantuan Sosial Tahun Anggaran 2009


sebesar Rp 25.676.880.000,00 (Dua puluh lima
miliar enam ratus tujuh puluh enam juta delapan
ratus delapan puluh ribu Rupiah), merupakan

201

perbuatan yang melanggar ketentuan perundangundangan sebagai berikut :


1. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang
menyatakan

Keuangan

Negara

dikelola

secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan,

efesien,

ekonomis,

efektif,

transparan, dan bertanggung jawab dengan


memperhatikan rasa keadilan.
2. Pasal 21 ayat (3), (4), dan (5) Undang-undang
Nomor : 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara:

(a)

Bendahara

melaksanakan

Pengeluaran

pembayaran

dari

uang

persediaan yang dikelolanya setelah :


1) meneliti kelengkapan perintah pembayaran
yang

diterbitkan

oleh

Pengguna

Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;


2) menguji

kebenaran

yang

tercantum

perhitungan
dalam

tagihan
perintah

pembayaran;
3) menguji

ketersediaan

dana

yang

bersangkutan.

202

(b) Bendahara Pengeluaran wajib menolak


perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran apabila persyaratan pada
ayat (3) tidak dipenuhi.
Ini

terbukti

adanya

kerugian

keuangan

Negara sebesar Rp 9.916.325.000,00 (Sembilan


miliar sembilan ratus enam belas juta tiga ratus
dua puluh lima ribu Rupiah) sesuai Laporan Hasil
Audit

Badan

Pengawasan

Keuangan

dan

Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawa


Barat, yang mana untuk keperluan tersebut Edi
Siswadi berhasil mengumpulkan uang sejumlah
Rp 1.000.000.000,00 (Satu miliar Rupiah) dan
Herry Nurhayat sejumlah Rp 3.526.000.000,00
(Tiga miliar lima ratus dua puluh enam juta
Rupiah) yang berasal dari :
1. Pinjaman

dari

Koperasi

Pemko

Bandung

sebesar Rp 476.000.000,00 (Empat ratus tujuh


puluh enam juta Rupiah).
2. Pinjaman dari Jefri Raja Sinaga sebesar Rp
3.000.000.000,00 (Tiga miliar Rupiah).

203

3. Herry

Nurhayat sebesar Rp

50.000.000,00

(Lima puluh juta Rupiah).


Tanggal 22 Januari 2013 atas perintah Dada
Rosada kepada Herry dalam perkara atas nama
Rochman

dkk

sebesar

Rp

4.526.000.000,00

(Empat miliar lima ratus dua puluh enam juta


Rupiah) dengan meminta bantuan agar Setya
Budi

Tejo

Cahyono

mengurusan

Perkara

Penyimpangan Dana Bansos Pemko Bandung atas


nama Rochman dkk dalam tingkat banding agar
putusannya ringan atau setidaknya menguatkan
putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang
dijatuhkan sebelumnya, sekaligus meminta Setya
Budi

Tejo

Cahyono

untuk

mencari

informasi

mengenai susunan Majelis Hakim tingkat banding


yang menangani perkaranya.
Atas permintaan Dada Rosada tanggal 7
Februari 2013, Setya Budi Tejo Cahyono menemui
Sareh Wiyono di ruang ketua Pengadilan Tinggi
Bandung

Jl.

Suropati

No.

47

Bandung

dan

menyampaikan permintaan bantuan agar perkara


penyimpangan dana Bansos Pemko Bandung atas

204

nama Rochman dkk di tingkat banding dapat


diputus

ringan

atau

setidaknya

menguatkan

putusan PN Bandung. Atas permintaan tersebut,


Sareh Wiyono menyanggupinya.
Selanjutnya pada tanggal 13 Februari 2013,
Pengadilan

Tipikor

pada

Pengadilan

Tinggi

Bandung menerima 7 (tujuh) berkas perkara yang


diajukan upaya hukum banding atas perkara
penyimpangan

dana

Bansos

Pemko

Bandung

Tahun Anggaran 2009 sampai dengan 2010 atas


nama Rochman dkk, selanjutnya oleh CH. Kristi
Purnamiwulan selaku Pelaksana Tugas (Plt) Ketua
Bandung
Banding

ditetapkan
yang

terdiri

susunan
atas:

Majelis
Wiwik

Hakim

Widiastuti

Sutowo selaku Hakim Ketua Majelis, Pati Serefina


Sinaga dan Fontan Munzil masing-masing selaku
Hakim Anggota Majelis melalui penetapan, yaitu :
1. Nomor:

03/Tipikor/2013/PT.Bdg

tanggal

14

Februari 2013 atas nama Rochman;


2. Nomor:

04/Tipikor/2013/PT.Bdg

tanggal

14

Februari 2013 atas nama Firman Hirmawan;

205

3. Nomor:

05/Tipikor/2013/PT.Bdg

tanggal

14

Februari 2013 atas nama Lutfhan Barkah;


4. Nomor:

06/Tipikor/2013/PT.Bdg

tanggal

14

Februari 2013 atas nama Yanos Septadi


5. Nomor:

07/Tipikor/2013/PT.Bdg

tanggal

14

Februari 2013 atas nama Uus Ruslan;


6. Nomor:

08/Tipikor/2013/PT.Bdg

tanggal

14

Februari 2013 atas nama Havid Kurnia;


7. Nomor:

09/Tipikor/2013/PT.Bdg

tanggal

14

Februari 2013 atas nama Ahmad Mulyana


Atas perintah agar perkara Penyimpangan
Dana Bansos Pemko Bandung Tahun Anggaran
2009 s/d 2010 atas nama Rochman dkk untuk
diperhatikan dan menanyakan tentang susunan
Majelis Hakim Banding yang menangani perkara
tsb. kemudian CH Kristi menyampaikan bahawa
hakim yang ditunjuk adalah Wiwik W, S,
Serfina

Pasti

S dan Fontan M. setelah mendapat

informasi tsb, Setya Budi Tejo memberitahu Toto


Rochman dkk "sudah aman".
Kemudian di rumah pribadi Dada Rosada,
Herry dan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah

206

(SKPD) Pemkot Bandung dan Perusahaan Daerah


kota Bandung. Dada Rosada meminta dukungan
dana yang akan dipergunakan untuk pengurusan
perkara

Penyimpangan

Dana

Bansos

Pemko

Bandung TA 2009 s/d 2010 atas nama Rochman


dkk

dalam

tingkat

Banding,

yang

kemudian

diperoleh pengmpulan dana yang diakomodir


melalui

Herry

seluruhnya

sejumlah

Rp

425.000.000,- (Empat ratus dua puluh lima juta


Rupiah)
Tanggal 17 Februari 2013, Toto Hutagalung
dihubungi

oleh

menyampaikan

Setya
rasa

Budi

Tejo

kecewanya

yang
setelah

mengetahui Edi Siswadi juga ingin menemui


Sareg Wiyono dalam rangka pengurusan perkara
banding atas nama Rochman dkk. Untuk itu Setya
meminta Toto agar pengurusan perkara banding
tsb cukup melalui Setya karena perkara banding
tsb telah diurus melalui Sareh W maupun CH Kristi
P dan untuk kepentingan pengurusan perkara
banding tsb, Setya meminta disediakan dana
sebesar Rp 1.500.000.000.

207

Selanjutnya tgl 18 Februari 2013 di rumah


Dada Rosada, dilakukan pertemuan antara Toto H.
dengan

Dada

Rosada,

yang

mana

dalam

pertemuan tsb Toto H menyampaikan bahwa


Setya meminta agar pengurusan perkara banding
atas nama Rochman dkk melalui "satu pintu"
disetujui oleh Dada Rosada, kemudian Dada
Rosada menghubungi Herry yang meminta agar
disiapkan uang sebesar Rp. 1.500.000.000,- (Satu
miliar lima ratus juta Rupiah) untuk diberikan
kepada Setya terkait pengurusan perkara banding
atas nama Rochman dkk.
Pada

tanggal

dihubungi

oleh

20

Toto

Februari

2013,

menanyakan

Herry

mengenai

"buku" yang maksudnya dukungan dana untuk


pengurusan
permintaan

perkara
Dada

memberitahukan

banding

Rosada

sebagaimana

sebelumnya

bahwa

akan

dan

dilakukan

pertemuan antara Herry, Dada Rosada dan Toto H.


Kemudian

pada

tgl

21

Februari

2013,

bertempat di Lobby Topas Galeria Hotel Bandung,


Herry mengikuti pertemuan dengan Dada Rosada,

208

Edi

Siswadi

dan

Toto

Hutagalung.

Dalam

pertemuan tsb, Herry diperintahkan oleh Dada


Rosada

agar

menyiapkan

uang

yang

akan

digunakan dalam pengurusan perkara banding tsb


sebesar Rp. 1.500.000.000,- (Satu miliar lima
ratus

juta

Rupiah)

dan

oleh

karena

Herry

mengatakan belum ada uangnya, maka Dada


Rosada dan Edi Siswadi meminta Heru untuk
mencari pinjaman uang.
Tanggal 23 Februari 2013, Dada Rosada
memerintahkan Herry dalam mengurus perkara
banding secara bertahap dengan cara meminjam
uang sebesar Rp. 700.000.000,-, (Tujuh ratus juta
Rupiah),

tanggal

memerintahkan

25

Pupung

Februari
Hadijah

2013

Herry

menyerahkan

uang sebesar Rp 500.000.000,- (Lima ratus juta


Rupiah)

diantaranya

kepada

Toto

Hutagalung

melalui Asep Triana yang penyerahannya disertai


tanda terima kwitansi dengan keterangan untuk
"pengadilan

tinggi"

yang

menurut

Toto

Hutagalung uang tsb akan diberikan kepada Marni


Emmy Mustofa yang menggantikan Sareh Wiyono.

209

Atas pemberian uang tersebut selanjutnya Herry


melaporkan

berita

itu

kepada

Dada

Rosada

melalui pesan BBM.


Pada tanggal 26 Februari 2013, Setya Budi
Tejo

Cahyono

menguhungi

Toto

Hutagalung

memberitahukan bahwa telah menenmui CH.


Kristi Purnamiwulan meminta perkara bandng
atas nama Rochman dkk untuk dibantu adan akan
disediakan

sejumlah

perkaranya.

Atas

Purnamiwulan

uang

untuk

permintaan

tsb,

pengurusan
CH.

Kristi

meminta bagian tersendiri dari

uang yang diperuntukan untuk Majelis Hakim


yang menanganinya, sehingga Setya Budi Tejo
Cahyono meminta Toto Hutagalung agar segera
merealisasikan uang sebesar Rp. 1.000.000.000,(Satu

miliar

Rupiah)

dengan

rincian

untuk

diberikan kepada masing-masing Anggota Majelis


Banding sebesar Rp, 300.000.000,- (Tiga ratus
juta

Rupiah)

dan

sisanya

Rp.

100.000.000,-

(Seratus juta Rupiah) untuk diberikan kepada CH.


Kristi.

210

Selanjutnya Toto H melakukan pertemuan


dengan Pasti Serefina S di Lounge Hotel Bumi Asih
Jayam

Bandung.

Toto

menyampaikan

kedekatannya dengan Dada Rosada dan meminta


perkara banding atas nama Rochman dkk untuk
dibantu, yang sebelumnya telah diurus Setya Budi
sambil menyerahkan dokumen berisi putusan PN
Bandung

dan

Laporan

Hasil

Audit

Kerugian

Keuangan Negara oleh BPKP Perwakilan Propinsi


Jawa Barat terhadap perkara atas nama Rochman
dkk untuk dipelajari Pasti Serefina S, Selanjutnya
Toto H menyerahkan Hp miliknya yang masih
terhubung dengan Dada Rosada kepada Pasti
Serefina

S,

selanjutnya

Toto

menyampaikan

permintaanya agar perkara atas nama Rochman


dkk dapat dibantu dan dijawab pasti oleh Pasti
Serefina S akan "diperhatikan".
Setelah Toto mengetahui susunan Majelis
Hakim Banding perkara atas nama Richman dkk,
kemudian memberitahu Setya Budi bahwa salah
satu Hakim Anggota Majelisnya adalah Pasti
Serefina S, sehingga Toto meminta Setya Budi

211

untuk mengatur pertemuan dengan Pasti Serefina


S. Atas permintaan tsb kemudian Setya Budi
melakukan pertemuan dengan Pasti Serefina S di
kantor PT Bandung dan memnyampaikan bahwa
ada orang kepercayaan Dada Rosada Walikota
Bandung yang bernama Toto ingin bertemu untuk
meminta bantuan meringankan putusan perkara
banding atas nama Rochman dkk. Atas informasi
tsb Pasti Serefina S meminta dilakukan pertemuan
di

luar

kantor

kemudian

Setya

Budi

menyampaikan hasil pembicaraam dengan Pasti


Serefina S tersebut kepada Toto.
Setelah

pertemuan

tersebut,

tanggal

27

Februari 2013 Toto meminta Herry menyiapkan


uang sebesar Rp. 1.000.000.000,- (Satu miliar
Rupiah)
banding

sebagai
atas

uang

nama

pengurusan
Rochman

perkara

dkk

untuk

diserahkan kepada Pasti Serefina S dan Herry


menjawab sedang mengusahakan dananya.
Tanggal

28

Februari

2013,

Toto

menguhubungi Herry terkait kesiapan dananya


dan Herry menyampaikan bahwa uang tsb akan

212

dicarikan pinjaman, setidaknya akan diusahakan


uang sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta
Rupiah) terlebih dahulu.
Selanjutnya pada sore harinya, Dada Rosada
mengadakan pertemuan yang diikuti Toto, Herry
dan Setya Budi di Apartemen The Suites Metro
Bandung

muncul

kesepatakan

pengurusan

perkara banding atas nama Rochman dkk melalui


Toto dan Setya bukan melalui Edy karena Sareh
sudah pensiun. Untuk itu Toto menyampaikan
agar pengurusn perkara banding atas nama
Rochman

dkk

lansung

berhubungan

dengan

hakim yang menangani perkaranya, yaitu Pasti


Serefina S, kemudian Toto menguhubungi Pasti
Serefina S memberitahukan bahwa permintaan
Pasti

Serefina

mengenai

pengurusan

ijin

peningkatan klas Hotel Bumi Asih Jaya telah


selesai dan menyampaikan agar perkara atas
nama Rochman dkk dapat dibantu yang kemudian
disanggupi Pasti Serefina S.
Kemudian Herry kembali meminjam uang
sebesar Rp. 1.000.000.000.- (Satu miliar Rupiah)

213

kepada Didi Sulistyonom kemudian tgl 1 Maret


2013 Herry memerintahkan Pupung Hadijah untuk
menyerahkan uang sebesar Rp. 500.000.000,(Lima ratus juta Rupiah) kepada Toto melalui Asep
dengan tanda terima kwotansi berisi keterangan
untuk "pengadilan tinggi". Selanjutnya pada tgl 4
Maret 2013, Asep menukarkan uang tsb menjadi
USD 50.000 (Lima puluh ribu Dolar Amerika
Serikat) dan SGD 1.000 (Seribu Dolar Amerika
Serikat) di PT Dolarindo Intravalas Primatama
Bandung yang kemudian diserahkan kepada Toto
di

Villa

di

rencananya

Kampung
akan

Ciwaru

diserahkan

Bandung,
kepada

yang
Majelis

Hakim Banding pekara atas nama Rochman dkk.


Setelah Herry menyerahkan uang sebesar
Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) kepada
Toto melalui Asep tersebut, tanggal 3 Maret 2013
melaporkan kepada Dada Rosada melalui pesan
BBM selanjutnya Dada Rosada meminta Herry
agar ditambah lagi sebesar Rp. 500.000.000,-.
(Lima

ratus

juta

Rupiah)

Kemudian

Herry

mengatakan akan mencari pinjaman di Jakarta.

214

Selanjutnya Setya Budi kembali menemui


Pasti

Serefina

di

PT

Bandung

menanyakan

mengenai permintaan bantuan perkara banding


atas nama Rochman dkk. dan Pasti Serefina
meminta

tambahan

dana

dalam

pengurusan

perkara banding tsb menjadi Rp. 1.500.000.000,(Satu miliar lima ratus juta Rupiah) dengan alasan
untuk banyak orang yang akan diurus, kemudian
permintaan Pasti Serefina tsb oleh Setya Budi
disampaikan kepada Toto untuk diberitahukan
kepada Dada Rosada.
Tanggal 4 Maret 2013 di Hotel Bumi Asih-Jaya
Bandung dilakukan pertemuan antara Toto, Setya
Budi dan Pasti Serefina, dalam pertemuan tsb Toto
memberikan surat persetujuan peningkatan klas
Hotel Bumi Asih Jaya kepada Pasti Serefina yang
kemudian

dilanjutkan

acara

hiburan

karaoke

bersama.
Tanggal 5 Maret 2013, Toto menghubungi
Herry yang menanyakan mengenai uang sebesar
Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) untuk
diserahkan kepada Pasti Serefina S dan dijawab

215

uangnya

sudah

memerintahkan

tersedia.
Tri

Selanjutnya

Rahmawati

staf

Herry
DPKAD

Pemerintah Kota Bandung untuk menyerahkan


uang sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta
Rupiah)

kepada

kwitansi

berisi

tinggi

Jawa

Asep

tanda

keterangan untuk
Barat"

menyerahkannya
menyerahkan

dengan

uang

"pengadilan

kemudian

kepada

Toto

terima

setelah

tersebut,

Asep
Herry

kemudian

melaporkan kepda Dada Rosada melalui pesan


BBM bahwa uang sebesar Rp. 1.500.000.000,(Satu miliar lima ratus juta Rupiah) telah tersedia.
Selanjutnya bertempat di Hotel Bumi Asih
Bandung, dilakukan pertemuan antara Toto dan
Pasti

Serefina.

memberikan

Dalam

uang

pertemuan

sebesar

Rp.

itu,

Toto

500.000.000,-

(Lima ratus juta Rupiah) dan surat persetujuan


peningkatan klas Hotel Bumi Asih Jaya telah
diserahkan kepada Pasti Serefina, atas laporan
tsb, Dada Rosada menanyakan mengenai uang
yang akan diberikan kepada Marni Emmy Mustofa.
Untuk

itu

Toto

meminta

Dada

Rosada

agar

216

memerintahkan

Herry

segera

merealisasikan

kekurangan uang pengurusan perkara banding


atas

nama

Rochman

dkk

sebesar

Rp

500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah) saat itu


disanggupi oleh Dada Rosada.
Tanggal 22 Maret 2013 Toto menghubungi
Pasti Serefina menanyakan mengenai kepastian
putusan perkara banding tsb yang dijawab oleh
Pasti Serefina bahwa 2 (dua) orang Majelis Hakim
yaitu Wiwik Widiastuti dan Pasti Serefina telah
sepakat untuk menguatkan putusan PN Bandung,
sedangkan 1 (satu) orang Majelis yaitu Fontian
Munzil tidak sepakat terhadap putusan yang akan
dijatuhkan. Namun kemudian pada hari itu juga
Herry, Setya Budi dan Asep ditangkap oleh
petugas KPK.
Pada tanggal 26 Maret 2013, Wiwik selaku
Hakim Ketua Majelis, Pasti Serefina dan Fontian
masing-masing selaku Hakim Anggota Majelis
menjatuhkan putusan atas perkara Penyimpangan
Dana Bansos Pemko Bandung Tahun Anggaran

217

2009/2010 atas nama Rochman dkk di tingkat


Banding.
Pemberian uang sebesar Rp. 500.000.000,(Lima ratus juta Rupiah) dari yang dijanjikan
sebesar Rp. 1.000.000.000 (Satu miliar Rupiah)
serta pemberian fasilitas persetujuan peningkatan
klas Hotel Bumi Asih Jaya Bandung kepada Pasti
Serefina dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara Penyimpangan Dana Bansos
Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2009
s/d 2010 atas nama Richman dkk di Pengadilan
Tipikor pada Pengadilan Tinggi Bandung

yang

diserahkan kepda Wiwik Widiastuti Sutowo, Pasti


Serefina dan Fontain Munzil.
b. Dakwaan Penuntut Umum
Berdasarkan

kasus

posisi

di

atas

maka

tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK, terhadap


tindak

pidana

korupsi

penyalahgunaan

dana

bansos oleh Dada Rosada dinilai telah melanggar:


Primair

218

1. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a UU


PTPK Jo. Pasal 64 ayat (1) jo pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHPidana;
2. Terdakwa melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PTPK,
Jo. Pasal 64 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH
Pidana.
3. Terdakwa sebagai Pelaku dan Turut melakukan dilakukan
dengan penyertaan yang melanggar:
a. Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PTPK Jo. Pasal 64 ayat (1)
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana;
b. Pasal 5 ayat (1) huruf b UU PTPK Jo. Pasal 64 ayat (1)
jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Subsidair
1. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 13 UU PTPK Jo. Pasal
64 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
2. Terdakwa Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PTPK Jo. Pasal 64
ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

219

Memohon

kepada

majelis

hakim

agar

menyatakan terdakwa Dada Rosada bersalah


melakukan tindak pidana korupsi secara bersamasama dan berkelanjutan. Selanjutnya Memohon
kepada

Majelis

Hakim

untuk

menghukum

Terdakwa dengan pidana penjara selama 15


tahun, denda Rp 600 juta subsider 6 bulan
kurungan.
Tuntutan Memberatkan
1. Terdakwa

tidak

pemerintah

mendukung

dalam

program

pemberantasan

korupsi.

Selain itu, sebagai wali kota,


2. Terdakwa
dengan

tidak

memberikan

mengingkari

melanggar

sumpah

pakta

contoh

baik

jabatan

dan

integritas

yang

ditandatanganinya sendiri.
3. Perbuatan

Terdakwa

dalam

pemberian

gratifikasi (suap) a quo dinilai telah merusak


citra peradilan.
Tuntutan Meringankan
Berlaku sopan dan memiliki tanggungan keluarga.

220

c. Pertimbangan Hukum Hakim


Berdasarkan kronologi duduk perkara di atas
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung dalam
Perkara Nomor 146/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Bdg, dengan ini

menyatakan:
Menimbang:

1. Bahwa

Dada

Rosada

telah

melanggar

ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a Pasal 5


ayat (1) atau Pasal 13 UU PTPK Juncto Pasal
55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Sebagaimana telah
menyuap untuk mempengaruhi Setyabudhi
untuk mempengaruhi keputusan Majelis Hakim
Tipikor Bandung yang menyidangkan perkara
penyelewengan dana bansos.
2. Bahwa, Majelis Hakim menyepakati sekaligus
tiga tuntutan jaksa penuntut untuk memvonis
Dada berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a
dan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PTPK. Dada
Rosada

bersama

terdakwa

lain

terbukti

menyuap majelis hakim Pengadilan Tipikor

221

kasus

korupsi

dana

bantuan

sosial

di

Pengadilan Negeri dan Tinggi Bandung;


3. Bahwa,

Majelis

penuntut

Hakim

umum

menilai

mengenai

ttuntutan
hal

yang

meringankan dari perbuatan terdakwa adalah:


a. bahwa

Dada

Rosada

mengakui

segala

perbuatan dan menyesalinya serta bersikap


sopan selama persidangan.
b. "Selama

ini

terdakwa

telah

menjabat

walikota selama 2 periode. Terdakwa telah


mendapat banyak piala dan penghargaan
dalam dan luar negeri.
c. Mengingat terdakwa dalam memberikan
keterangannya tidak meyulitkan hakim
4. Bahwa, Majelis Hakim menilai hal-hal yang
memberatkan

terdakwa

adalah

bahwa

terdakwa sebagai wali kota tidak memberikan


contoh pada masyarakat untuk anti Kolusi
Korupsi

Nepotisme

program

pemerintah

dan

tidak

yang

membantu

tengah

gencar

memberantas korupsi.
d. Putusan Hakim
222

Setelah menimbang dan membaca tuntutan


Jaksa Penuntut Umum tertanggal 23 Desember
2013

dalam

perkara

Penyalahgunaan

Dana

Bansos Pemerintah Kota Bandung yang pada


pokoknya memiliki unsur tindak pidana korupsi
yang dilakukan terdakwa yang mengakibatkan
kerugian negara, dalam perkara a quo, Majelis
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Mengadili:
1. Menyatakan Terdakwa Dada Rosada terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi

yang

dilakukan

secara

bersama-sama

dan

berlanjut;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Dada Rosada
berupa pidana penjara selama: 10 (sepuluh) tahun,
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dan
pidana denda sebesar Rp. 600.000.000,-. (Enam ratus juta
Rupiah);
3. Subsidiair 3 (tiga) bulan, dengan perintah supaya terdakwa
tetap dalam tahanan.
e. Analisis Putusan

223

Perbuatan yang melanggar unsur-unsur tindak pidana


korupsi yang dilakukan walikota dilingkup Jawa Barat adalah
modus korupsi dana Bansos yang memenuhi unsur pidana
dengan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat
(1) atau Pasal 13 UU PTPK yang pada intinya mengenai orang
yang memberikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 15
tahun dan denda paling besar Rp 750 Juta Juncto Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUH Pidana. Putusan yang diambil Majelis
Hakim

Pengadilan

Tindak

Pidana

Korupsi

di

Pengadilan Negeri Bandung telah tepat menurut


pertimbangan hukum hakim yang meringankan
terdakwa Dada Rosada maka hukuman yang
diberikan disesuaikan dengan keadilan menurut
hukum dan hak asasi manusia, sebab secara
teknis walaupun tindak pidana yang dilakukan
Dada

Rosada

adalah

tindak

pidana

berupa

penyalahgunaan dana publik untuk kepentingan


organisasi tertentu namun demi menghormati
hak-hak secara manusiawi juga terdapat jasa-jasa
yang

pernah

disumbangkan

terdakwa.

224

Sebenarnya tidak dapat dipungkiri fakta kasus ini


memang memberikan kekecewaan warga kota
Bandung.

Jika

perkembangan

memperhatikan
peradilan

sangat

dinamika
disayangkan

menjadi keterpurukan kinerja pengawasan dari


lembaga yudikatif, sejauh kasus ini ditelusuri yang
bermula ditangani oleh kejaksaan namun diambil
alih

oleh

KPK

karena

hakim

tipikor

yang

menangani kasus ini justru terkena suap selain itu


banyak organisasi fiktif yang menerima dana
Bansos.
Sebagai pejabat Pemerintah pada prinsipnya
menjadi kewajiban dalam memberikan pelayanan
publik

dan

bekerjasama

dengan

lembaga

peradilan (sebagai Justice Collaborator) dalam


melaksanakan

ketentuan

regulasi

khususnya

tindak pidana korupsi karena akibat atau dampak


yang akan ditimbulkan adanya tindak pidana
korupsi sehingga telah menjadi kewajiban dari
Kepala Daerah dalam hal ini Dada Rosada dalam
mencegah

perbuatan

mengecewakan

saat

korupsi,

namun

sangat

diketahui

Dada

Rosada

225

melakukan

tindakan

tersebut

dan

termasuk

membiarkan terjadinya tindak pidana korupsi di


kota

Bandung,

bahkan

ikut

berperan

aktif

memberi pembelaan. Perbuatan terdakwa telah


merusak

citra

aparatur

pemerintahan

yang

terpilih sebagai amanat dalam fraksi yang berada


di lembaga legislatif terlebih lagi memperburuk
citra lembaga peradilan.
Seharusnya dalam pemberantasan korupsi
di lingkup kota bandung sebagai daerah otonom,
maka perlu peran lembaga penegak hukum bisa
lebih efektif dalam memberantas korupsi dengan
pertama

Diperlukan

Regulasi

terkait

Sistem

Anggaran Penyelidikan dan Penyidikan dengan


Model

at

Cost,

kedua

Perbaikan

Kejaksaan

untuk

mewujudkan

kejaksaan

terutama

dalam

Regulasi

independensi
Pemberantasan

Korupsi termaksud Korupsi di Daerah khususnya


Kota Bandung, ketiga Membentuk Unit Khusus
Tipikor yang terpisah dari Direktorat Reskrim di
Lembaga

Kepolisian,

keempat

memperbanyak

Pengadilan Tipikor tidak terpusat di satu tempat

226

saja,

kelima

butuh

peran

lembaga

penegak

hukum dengan cara perbaikan legal culture.178


Sebenarnya dari kelima kriteria di atas
untuk mewujudkan agar kinerja lembaga penegak
hukum di Kota Bandung, agar dapat efektif dalam
penanganan kasus korupsi hanya membutuhkan
tiga kriteria yang dapat dilakukan perbaikan
dalam lingkup sektor yaitu regulasi, struktur
kelembagaan dan budaya hukum baik aparatur
Pemerintahan
publik

dalam

sebagai

pelaksana

memberikan

pelayanan
perlindungan

seyogianya mendapat dukungan dari pengawasan


penegak hukum, hal ini sebagai upaya dalam
mewujudkan tujuan hukum dalam membangun
sistem hukum di Indonesia.

3.2.1.2.

Kasus Anggota DPR (Anglina Sondakh)179

178
J Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007. hlm 24

179
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/301dc187df6faba9b96d9abde1761e44, Putusan dengan
Topik: Mahkamah Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 Tahun 2013
Angelina Patricia Pingkan Sondakh diakses pada tanggal 15 Januari 2015

227

a. Kasus Posisi
Angelina
Desember

Sondakh

1977.

Dia

lahir

di

dikenal

Australia,
sebagai

28

Puteri

Indonesia tahun 2001 yang berasal dari provinsi


Sulawesi Utara. Angie, demikian biasa dipanggil,
merupakan sosok perempuan jenius dan memilih
kancah politik sebagai ladang aktualisasinya.
Perempuan keturunan Manado ini tidak hanya
bermodal tampang. Ini berbeda dengan Puteri
Indonesia

sebelumnya

yang

banyak

mengaktualisasi diri di panggung akting dan


musik. Ia pernah dinobatkan sebagai Duta Orang
Utang,

Duta

Lembaga

Ilmu

Pengetahuan

Indonesia (LIPI) dan juga Duta Batik. Angelina


Patricia Pingkan Sondakh, nama lengkap Angie,
mengawali

karir

politiknya

melalui

Partai

Demokrat. Dia berhasil terpilih sebagai Anggota


DPR

Republik

Indonesia

pada

pemilu

2004.

Bersamaan dengan dirinya, bintang sinetron Adjie


Massaid atau yang lebih sering disapa Adjie, juga
berhasil menjadi anggota DPR-RI lewat partai
yang sama. Kiprah Angie di dunia politik makin

228

mantap dengan dilantiknya dia pada November


2008 sebagai pengurus DPP KNPI periode 20082011. Angie menjabat sebagai Ketua Bidang
Pemberdayaan

Perempuan.

Angie

kembali

mencalonkan diri sebagai caleg untuk Pemilu


2009. Di tengah kesibukannya sebagai wakil
rakyat, kedekatan Angie dengan Adjie tak luput
dari sorotan publik. Setelah beberapa kali ramai
diberitakan di media massa, akhirnya hubungan
yang dijalin Angie bersama Adjie diresmikan
dalam

ikatan

menjadi

pernikahan.

mualaf

ini,

pada

Angie

yang

telah

akhir

2008

telah

menikah dengan Adjie secara islami dan pada


tanggal 29 April 2009, mereka resmi menjadi
suami istri di hadapan Negara. Tepat pada Rabu, 9
September 2012, mereka dikarunia putra pertama
yang

diberi

nama

Kebahagiaan mereka

Keanu

Jabaar

Massaid.

tidak berlangsung lama

karena pada tanggal 5 Februari 2011, Adji Massaid


meninggal

dunia.

Sepeninggalan

suaminya,

berbagai rumor tidak sedap menghampiri Angie.


Mulai dari kabar turun ranjang dimana Angie

229

akan menikah dengan Mudji Massaid, adik ipar


dari mendiang suaminya Adjie Massaid, hingga
kabar yang sekarang ini memaksa Angie menjadi
penghuni rumah tahanan (Rutan) terkait kasus
hukumnya.
Terseretnya

Angelina

Patricia

Pingkan

Sondakh atau Angelina Sondakh atau Angie dalam


kasus korupsi kasus Wisma Atlet SEA Games
Palembang dan Kemendikbud berawal dari para
tersangka yang terlebih dahulu ditangkap oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
-

Kamis, 21 April 2011


KPK menangkap Direktur PT Duta Graha
Indah (DGI) yaitu Muhammad El Idrus dan
seorang

penghubung

bernama

Mindo

Rosalinda Manulang (Rosa). Mereka ditangkap


setelah menyerahkan uang suap dalam bentuk
tiga lembar cek senilai Rp 3,2 miliar kepada
Wafid

Muharam,

Sekretaris

Kementrian

Pemuda dan Olahraga (Seskemenpora), yang


juga langsung ditangkap di kantornya. Uang
tersebut merupakan uang balas jasa dari PT

230

DGI karena telah memenangi tender proyek


Wisma

Atlet

SEA

Games

di

Palembang,

Sumatera Selatan. Dalam penangkapan itu,


mobil Toyota Vellfire bernomor B-173-GD dan
mobil Honda CR-V bernomor B-2717-NT ikut
disita.
Kasus ini menyeret nama Muhammad
Nazarudin, mantan Bendahara Partai Demokrat
yang menjadi atasan Rosa. Nazarudin dan Rosa
kemudian menyeret nama Angie sebagai salah
satu

tersangka

karena

disebut

menerima

sejumlah uang. Semua tersangka telah divonis


kecuali Angie. Rosa divonis 2 (dua) Tahun

(enam) Bulan dan denda Rp 200 (Dua Ratus)


Juta Rupiah, Muhammad El Idris divonis dua
tahun dan denda Rp 200 (Dua Ratus) Juta
Rupiah, Wafid Muharam dihukum tiga tahun
dan denda Rp 150 (Seratus Lima Puluh) Juta
Rupiah, serta Muhammad Nazarudin dijatuhi
hukuman empat tahun 10 bulan penjara dan
denda Rp 200 (Dua Ratus) Juta Rupiah.

231

Nazar

dalam

persidangan

pengakuannya

mengungkapkan

bahwa

di
Angie

pernah mengaku menerima sejumlah uang di


depan Tim Pencari Fakta yang dibentuk Partai
Demokrat. Dalam rapat Tim Pencari Fakta yang
dihadiri Benny K. Harman, Jafar Hafsah, Edi
Sitanggang, Max Sopacua, Ruhut Sitompul, dan
M. Nasir, Angie menerima uang sebesar 9
(sembilan) Miliar Rupiah dari Wafid Muharam,
sebanyak

Rp

(delapan)

Miliar

Rupiah

diserahkan ke Wakil Ketua Badan Anggaran


(banggar) DPR, Mirwan Amir. Selain Nazarudin,
Rosa

juga

Angelina

memberikan

Sondakh

telah

kesaksian

bahwa

menerima

uang

darinya terkait pembangungan wisma Atlet


SEA Games di Palembang. PT Anak Negeri
mengeluarkan

10

(sepuluh)

Miliar

Rupiah

melalui Angie. Sebanyak 5 (lima) Miliar Rupiah


untuk Angie, 5 (lima) Miliar Rupiah sisanya
tidak diketahui. Namun, diduga digunakan
sebagai
anggaran

pelicin
segera

ke

Banggar

turun.

DPR

Sementara

agar
itu,

232

mantan anak buah Nazarudin yang merupakan


Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, Yulianis,
membenarkan ucapan Rosa, yakni Angelina
Sondakh dan Wayan Koster, anggota Komisi X
DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, mendapat 5
(lima) Miliar Rupiah.
-

Rabu, 15 September 2011


Angelina

Sondakh mendatangi

kantor

KPK. Tepat pukul 09.40 WIB, Angie datang


dengan menaiki mobil Harier B 1230 SJD
didampingi

adik

Condrodiningrat
pemeriksaan

iparnya,
(Mudji).

pertama

Tjandra
Dia

Mudji

menjalani

terkait

kasus

Kemenpora. Saat itu, Angie diperiksa selama


delapan

jam

sebagai

saksi

dalam

kasus

pembangunan wisma atlet SEA Games di


Palembang

yang

melibatkan

tersangka

Muhammad Nazarudin.
-

Jumat, 3 februari 2012


Angelina Sondakh tidak diperbolehkan
untuk bepergian ke luar negeri hingga 3
Februari 2013. Pencekalan ini terkait dengan

233

penyebutan namanya oleh para tersangka dan


terdakwa kasus suap Kementrian Pemuda dan
Olahraga. Rencana Angie untuk umroh pun
akhirnya batal. KPK menetapkan Angie sebagai
tersangka, menjerat dengan Pasal 5, Pasal 10
dan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi. Pasal tersebut berisi ancaman pidana
1 tahun, 2 tahun dan 5 tahun serta denda
maksimal Rp 250.000.000 (Dua Ratus Lima
Puluh Juta Rupiah). Setelah resmi menjadi
tersangka, Angie diberhentikan dari jabatan
sebagai Wakil Sekjen Partai Demokrat.
-

Rabu, 15 Februari 2012


Saat Angelina Sondakh menjadi saksi, dia
mengaku

bahwa

dirinya

tidak

memiliki

BlackBerry, apalagi menggunakannya untuk


percakapan
Rosalina

dengan

tersangka

Manulang.

Angie

lain,

Mindo

mengaku

menggunakan BlackBerry pada akhir 2010,


sementara berdasarkan BAP tercatat kalau
Angie berkomunikasi BBM dengan Rosa pada
15 Mei 2010.

234

Jumat, 27 April 2012


Angie ditahan KPK dan dijebloskan dalam
penjara

setelah

menjalani

pemeriksaan

perdana sebagai tersangka. KPK

menahan

Angie di Rumah Tahanan Salemba Cabang KPK


di Kuningan, Jakarta Selatan, untuk masa 20
hari

setelah

Alasan

surat

pehananan

keterlibatan

dalam

penahanan
Angie

dikeluarkan.

didasari

dugaan

suap

adanya
dalam

pengurusan anggaran di Kementrian Pemuda


dan Olahraga serta di Kementrian Pendidikan
Nasional (sekarang Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan) 2010/2011.
-

Selasa, 1 Mei 2012


Sekitar pukul 14.18 WIB, Angie dibawa ke
rumah sakit didampingi oleh dua pengawal
tahanan KPK karena sinusitis yang dideritanya
sejak kecil mendadak kambuh.

Kamis, 3 Mei 2012

235

Angelina

Sondakh

menjalani

pemeriksaan untuk kedua kalinya di gedung


KPK. Pemeriksaan ini berlangsung kurang lebih
lima jam.
-

Jumat, 11 Mei 2012


Teuku
Sondakh,

Nasrullah,

pengacara

mengungkapkan

bahwa

Angelina
kliennya

sakit cedera bahu yang membutuhkan operasi


untuk memulihkan kembali kondisinya. Cidera
berawa dari patah tulang yang pernah dialami
beberapa waktu yang lalu dan membutuhkan
perawatan lanjutan.
-

Selasa, 15 Mei 2012


KPK memperpanjang masa penahanan
terhadap Angie selama 40 hari ke depan.
Sebelumnya

KPK

melakukan

penahanan

terhadap politikus Partai Demokrat itu selam


20 hari. Penahanan sudah dilakukan sejak
Jumat (27/4) dan berakhir pada Rabu (16/5).
Oleh

karena

itu,

KPK

memutuskan

memperpanjang masa penahanan terhadap

236

Angie untuk 40 hari dimulai pada Kamis (17/5)


hingga Minggu (25/6).
-

Selasa, 29 Mei 2012


Angie diperiksa sejak pukul 10.00 WIB
dan keluar pukul 13.35 WIB dengan menerima
kurang lebih 21 pertanyaan.

Kamis, 11 Oktober 2012


Sidang
Sondakh

dengan

dalam

penggiringan

terdakwa

kasus

anggaran

Angelina

dugaan
di

korupsi

Kemenpora

dan

Kemendiknas kembali digelar di Pengadilan


Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Saksi yang
dihadirkan dalam sidang kali ini yaitu Rosa.
Rosa

memberikan

kesaksian

yang

mempertegas bahwa di semua komisi DPR ada


anggota dewan yang menjadi bagian dari
mafia anggaran. Mereka bertugas menggiring
anggaran agar sesuai pesanan perusahaanperusaahn yang ikut bermain. Penggiringan
anggaran tidak hanya pada Kemenpora dan
Kemendiknas, namun juga pada kementrian
yang

lain,

seperti

Kementrian

Kesehatan,

237

Kementrian

Agama,

Perhubungan.

Rosa

dan
juga

Kementrian

mengungkapkan

bahwa Angie pernah mengunjungi Rosa di


Tahanan

Pondok

Bambu,

Desember

2011.

Angie tidak membantah. Di hadapan hakim,


dia mengaku saat itu mendatangi Rosa untuk
mempertanyakan mengapa namanya disebut
dalam persidangan kasus suap wisma atlet.
Anggota

Dewan

Perwakilan

Rakyat,

Angelina Sondakh didakwa menerima sejumlah


uang sebagai pemberian atau janji dari Grup
Permai.

Pemberian

imbalan atau

tersebut

fee atas

jasa

merupakan
Angie dalam

menggiring anggaran untuk proyek program


pendidikan tinggi di Kementrian Pendidikan
Nasional serta program pengadaan sarana
prasarana olahraga Kementrian Pemuda dan
Olahraga. Berdasarkan surat dakwaan yang
dibacakan tim jaksa penuntut umum KPK di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada
Kamis,

September

2012,

uang

imbalan

diterima Angie secara bertahap di sejumlah

238

tempat. Adapun rinciannya adalah sebagai


berikut:
1) Pada 12 Maret 2010, uang senilai Rp 70
(tujuh puluh juta) Rupiah dikeluarkan dari
kas Grup Permai untuk mendukung Angie
dalam pengurusan anggaran Kemendiknas.
Uang diambil oleh Clara, staf keuangan,
atas permintaan Rosa.
2) Pada 13 Maret 2010, sebesar 100.000 dolar
AS dikeluarkan dari kas Grup Permai yang
diantarkan oleh kurir Grup Permai bernama
Rifangi

untuk

diserahkan

kepada

Angie

melalui Jefri selaku kurir penerima uang.


3) Pada 19 April 2010, Angie menerima uang
sebesar Rp 2,5 miliar sebagai dukungan
dalam

rangka

pengurusan

proyek

universitas 2010. Pemberian uang tersebut


sebelumnya

diawali

komunikasi

Angie

dengan Rosa melalui BBM tanggal 10 April


2010.

Uang

miliaran

rupiah

Permai

tersebut

dimasukkan

kardus

berwarna

putih

dan

dari
ke

Grup
dalam

coklat

lalu
239

diantarkan

staf

Grup

Ambasador

untuk

Permai

diserahkan

ke
ke

Mall
Angie

melalui Jefri.
4) Pada

Mei

2010,

Grup

Permai

mengeluarkan uang dari kas senilai Rp 2


miliar untuk Angie.
5) Pada 4 Mei 2010, sebesar Rp 3 miliar
sebagai uang dukungan untuk Angie dalam
rangka

keperluan

anggaran

APBN

universitas.

2010
Uang

terkait
tersebut

diterima melalui Jefri selaku kurir yang telah


menunggu

di

daerah

sekitar

Senayan,

Jakarta Selatan.
6) Pada 5 Mei 2010, dikeluarkan lagi uang dari
kas Grup Permai sebanyak dua kali, yakni
Rp 2 miliar pada pagi hari dan Rp 3 miliar
pada

sore

hari.

Pengeluaran

kas

Grup

Permai tersebut dalam rangka pengurusan


proyek Kemenpora 2010. Terkait proyek itu,
Angie selaku Ketua Koordinator Kelompok
Kerja

(Pokja)

Anggaran

Komisi

dan

240

anggota Komisi X, I Wayan Koster, meminta


uang

Rp

miliar

untuk

kepengurusan

anggaran wisma atlet. Permintaan tersebut


dipenuhi

Grup

Permai.

Pada

pagi

hari

diantar uang Rp 2 miliar dalam kardus


printer ke ruangan Wayan Koster di lantai 6
Gedung Nusantara I DPR, Senayan, Jakarta.
Sore harinya, diantar ke ruangan kerja
Wayan Koster, uang senilai Rp 3 miliar yang
dibungkus kardus rokok.
7) Pada 19 Juni 2010, Grup Permai kembali
mengeluarkan uang sebanyak

dua

kali,

masing-masing sebesar 100.000 (Seratus


ribu Dolar Amerika Serikat), sehingga total
berjumlah 200.000 (Dua ratus ribu Dolar
Amerika

Serikat)

sebagai

pembayaran

komitmen kepada Angie terkait pengurusan


anggaran Kemendiknas. Pemberian uang
dilakukan melalui Jefri di Restoran Paparons
Pizza.
8) Pada 2 September 2010, dikeluarkan uang
dari kas Grup Permai sebesar 150 ribu dolar
241

AS untuk pembayaran komitmen kepada


Angie

terkait

kepengurusan

proyek

universitas 2010. Uang tersebut diserahkan


ke Wayan Koster di Hotel Century, Jakarta,
atas permintaan Angie.
9) Pada

14

Oktober

2010,

Grup

Permai

mencairkan dana sebesar 300 ribu dolar AS


dan 200 ribu dolar AS kepada Angie dan I
Wayan Koster sebagai uang dukungan untuk
pembahasan anggaran Kemendiknas. Uang
tersebut diserahkan angie melalui

kurir

yang bernama Alex.


10)

Pada 17 Oktober 2010, Grup Permai

mengeluarkan kas sebesar 400 ribu dolar


AS untuk Angie dan Wayan Koster terkait
proyek universitas 2010. Uang tersebut
dibungkus kertas kado dan diantarkan staf
Grup Permai ke ruangan Koster di lantai 6
Gedung DPR dan diterima staf Koster.

242

11)

Pada

26

Oktober

2010,

kembali

dikeluarkan uang sebesar 500 ribu dolar AS


untuk Angie dan Koster.
12)

Pada 3 November 2010, sebesar 500

ribu dolar AS dikeluarkan Grup Permai untuk


diberikan kepada Angie dan I Wayan Koster.
13)

Pada 22 November 2010, dikeluarkan

uang dari kas Grup Permai sebesar Rp 10


juta untuk Angie yang sebelumnya diawali
komunikasi Angie dengan Rosa dimana
Angie meminta Rosa memberi sumbangan
korban

letusan

gunung

Merapi,

daerah

pemilihan Angie. Uang tersebut ditransfer


melalui rekening staf Angie yang bernama
Lindina Wulandari.

b. Dakwaan Penuntut Umum


Pada persidangan tingkat pertama pada
Perkara Nomor: 54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. Maka Jaksa
Penuntut umum memberikan tuntutan dalam
sesuai Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal
12

huruf

Jo.

Pasal

18

Undang-Undang
243

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto


Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Di antara pasalpasal alternatif itu, Pasal 12 huruf a memuat
ancaman hukuman paling berat: penjara paling
singkat empat tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun ditambah denda paling sedikit Rp
200 juta dan paling banyak Rp 1 miliyar. Tanpa
bisa menolak melainkan pasrah dengan hukum
yang

menjeratnya,

Kejaksaan

Negeri

sebagaimana
menetapkan

tuntutan

politisi

dan

anggota DPR dari Partai Demokrat, Angelina


Sondakh, sebagai tersangka sekaligus sebagai
kasus

Wisma

Atlet

SEA

Games.

Steleh

berdasarkan putusan Hakim persidangan pada


tanggal 10 Januari 2013, yang menetapkan Angelina
Sondakh dan memutus perkaranya dengan vonis
dari kasus suap wisma atlet ini. dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Menjatuhkan

Pidana

terhadap

terdakwa

berupa pidana penjara 12 tahun dan denda Rp


500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah);

244

2. Menjatuhkan

pidana

tambahan

membayar

uang pengganti sejumlah Rp. 12.580.000.000


(Dua belas Miliar lima ratus delapan puluh juta
Rupiah) dan USD 2.350.000 (Dua juta tiga
ratus lima puluh ribu Dolar Amerika Serikat)
3. Selambat-lambatnya
putusan

pengadilan

satu

bulan

memperoleh

setelah
kekuatan

hukum tetap, dan apabila uang pengganti


tersebut tidak dibayar maka dipidana dengan
pidana penjara selama 2 tahun penjara.
Kenyataan tersebut harus diterima Angelina
dengan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang menetapkan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana korupsi seperti diatur di Pasal 11
Undang-undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP;
2. Menjatuhkan pidana penjara 4 tahun dan 6 bulan dan denda
Rp. 250.000.000, dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar diganti pidana kurungan 6 bulan.

Kemudian

karena

belum

menemukan

keadilan bagi Angelina maka dirinya mengajukan

245

kembali ke Pengadilan Tingkat Banding yang


mana

diajukan

oleh

Terdakwa

yang

mana

tuntutan itu divonis kembali oleh Pengadilan


Tinggi Jakarta Pusat dengan memperkuat putusan
Pengadilan

Negeri

Jakarta

Pusat,

Hingga

ke

tingkat kasasi Mahkamah Agung.

c. Pertimbangan Putusan Hakim


Memori Kasasi tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa Pemohon Kasasi II/Terdakwa
dapat membuktikan bahwa putusan Judex Facti
(Pengadilan

Tinggi)

jo

putusan

Judex

Facti

(Pengadilan Negeri) telah salah atau keliru dalam


memeriksa fakta-fakta hukum maupun buktibukti

yuridis

dan

dalam

menerapkan

hukum/peraturan perundang-undangan serta lalai


dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan
Menimbang,

bahwa

atas

alasan-alasan

tersebut Mahkamah Agung berpendapat :


1. Alasan ke-1: Bahwa alasan kasasi Terdakwa
tidak dapat dibenarkan, karena perbuatan

246

Terdakwa yang secara aktif melakukan upaya


menggiring

Anggaran

Kemendiknas

agar

Proyek-proyek Pembangunan dan Pengadaan


dan

Nilai

permintaan

Anggarannya
Permai

sesuai

Grup

lalu

dengan
Terdakwa

mendapat uang Rp 12.580.000.000,00 (Dua


belas miliar lima ratus delapan puluh juta
Rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (dua juta tiga
ratus tiga puluh ribu Dollar Amerika Serikat)
merupakan tindak pidana Korupsi ;
2. Alasan-alasan ke-2 sampai dengan ke-4 :
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat
dibenarkan,

oleh

karena

alasan-alasan

tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian


yang

bersifat

penghargaan

tentang

suatu

kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat


dipertimbangkan
tingkat

kasasi,

dalam

pemeriksaan

pada

karena

pemeriksaan

pada

tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak


diterapkan
peraturan

suatu

peraturan

hukum

tidak

hukum

atau

diterapkan

sebagaimana mestinya, atau apakah cara

247

mengadili

tidak

ketentuan

Undang-Undang

Pengadilan

dilaksanakan

telah

menurut

dan

apakah

melampaui

batas

wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud


dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun
1981);
Menimbang,

bahwa

berdasarkan

pertimbangan di atas, lagi pula ternyata,


putusan judex facti dalam perkara ini tidak
bertentangan

dengan

hukum

dan/atau

undang-undang, maka permohonan kasasi dari


Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut harus
ditolak;
Menimbang,

bahwa

namun

demikian

salah seorang Hakim Ad. Hoc Tipikor pada


Mahkamah

Agung/Pembaca

(Prof.

Dr.

Mohammad Askin, SH) mempunyai pendapat


yang berbeda (dissenting opinion) tentang
pidana tambahan berupa uang pengganti,
dengan pertimbangan sebagai berikut :

248

a. Bahwa alasan Penuntut Umum pada Komisi


Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia
tentang

jumlah

uang

yang

diterima

Terdakwa sejumlah Rp 12.580.000.000,00


(dua belas miliar lima ratus delapan puluh
juta rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (dua
juta

tiga

ratus

tiga

puluh

ribu

Dollar

Amerika Serikat) tidak dapat dibenarkan


oleh

karena

penilaian

judex

hasil

facti

berdasarkan

pembuktian

serta

penghargaan atas kenyataan yang ada


hanya menemukan sejumlah uang yang
diterima

Terdakwa

sebesar

Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus


juta rupiah) dan USD 1.200.000,00 (satu
juta dua ratus ribu Dollar Amerika Serikat);
b. Bahwa

penjatuhan

hukuman

tambahan

berupa pembayaran uang pengganti seperti


yang dimohonkan Penuntut Umum pada
Komisi

Pemberantasan

Korupsi

Republik

Indonesia tidak dapat dibenarkan, oleh


karena

Judex

Facti

tidak

salah

249

mempertimbangkan

hukuman

yang

dijatuhkan;
c. Bahwa oleh karena itu Hakim Ad. Hoc
Tipikor pada Mahkamah Agung (Prof. Dr.
Mohammad

Askin,

SH)

berpendapat

permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi


I/Penuntut

Umum

pada

Komisi

Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia


dikabulkan dengan membatalkan putusan
Judex Facti (Pengadilan Tinggi) yang telah
menguatkan

putusan

judex

facti

(Pengadilan Negeri) dengan menjatuhkan


hukuman

setimpal

dengan

perbuatan

Terdakwa karena terbukti melakukan tindak


pidana

sebagaimana

didakwakan dalam

dakwaan Kesatu dengan pidana penjara 12


(dua

belas)

tahun

dan

denda

Rp

500.000.000,00 (Lima ratus juta Rupiah)


dengan ketentuan apabila denda tersebut
tidak

dibayar

kurungan

diganti

selama

dengan

pidana

(delapan)

bulan,

250

dengan

uang

pengganti

conform

judex

facti;
Menimbang, bahwa oleh karena terjadi
perbedaan pendapat dalam Majelis dan telah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tetapi
tidak tercapai mufakat, maka sesuai Pasal 182
ayat

(6)

KUHAP,

bermusyawarah

dan

Majelis

setelah

diambil

keputusan

dengan suara terbanyak, yaitu mengabulkan


permohonan

kasasi

dari

Pemohon

Kasasi

I/Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan


Korupsi Republik Indonesia dengan penjatuhan
hukuman tambahan berupa pembayaran uang
pengganti;
Menimbang,
permohonan

kasasi

bahwa

oleh

karena

dari

Pemohon

Kasasi

I/Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan


Korupsi Republik Indonesia dikabulkan dan
Pemohon

Kasasi

II/Terdakwa

dinyatakan

bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya


perkara

pada

semua

tingkat

peradilan

251

dibebankan

kepada

Pemohon

Kasasi

II/Terdakwa;
Memperhatikan Pasal 12 a jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP, Undang-Undang No.48 Tahun 2009,
Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 dan
Undang-Undang
sebagaimana

Nomor

yang

Undang-Undang

14

telah

No.5

diubah

Tahun

perubahan

kedua

dengan

Nomor

Tahun

2009

Tahun

1985
dengan

2004,

dan

Undang-Undang
serta

peraturan

perundang-undangan lain yang bersangkutan.

d. Putusan Hakim
Putusan

Mahkamah

Agung

Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013


(Angelina Patricia Pingkan Sondakh).
Mengadili:

252

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon


Kasasi II/Terdakwa Angelina Patricia Pingkan
Sondakh tersebut.
2. Mengabulkan

permohonan

kasasi

dari

Pemohon Kasasi I: Penuntut Umum.


3. Pada

Komisi

Pemberantas

Tindak

Pidana

Korupsi Republik Indonesia tersebut.


4. Membatalkan

putusan

Pengadilan

Tindak

Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta


Pusat Nomor 11/PID,TPK/2013/PT.DKI. tanggal
22 Mei 2013 yang telah menguatkan putusan
Pengadilan

Tindak

Pidana

Korupsi

Pengadilan

Negeri

Jakarta

Pusat

54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST.

pada
Nomor

tanggal

10

Januari 2013.
Mengadili Sendiri:
1. Menyatakan

Terdakwa

Angelina

Patricia

Pingkan Sondakh terbukti secara sah dan


meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
Korupsi Secara Berlanjut;
2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun

253

dan denda sebesar Rp 500.000.000,00 (lima


ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 8 (delapan) bulan.
3. Menghukum pula Terdakwa untuk membayar
uang pengganti sebesar Rp 12.580.000.000,00
(dua betas miliar lima ratus delapan puluh juta
rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (dua juta tiga
ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat),
dengan

ketentuan

jika

Terpidana

tidak

membayar uang pengganti paling lama 1


(satu)

bulan

sesudah

putusan

Pengadilan

memperoleh kekuatan hukum tetap, maka


harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan
dilelang untuk membayar uang pengganti dan
dengan ketentuan dalam hal Terpidana tidak
mempunyai

harta

yang

mencukupi

untuk

membayar uang pengganti tersebut, maka


akan diganti dengan pidana penjara selama 5
(lima) tahun.

254

4. Menetapkan

masa

penahanan

yang

telah

dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari


pidana yang dijatuhkan.
5. Menetapkan Terdakwa tetap dalam tahanan.
6. Menetapkan barang bukti.

e. Analisis Hukum
Memperlihatkan bahwa hasil putusan yang
dikenakan

berdasarkan

pelanggaran

terhadap

Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau Pasal 12 huruf A


seperti diatur dalam UU PTPK, Angelina Sondakh
hanya oleh Pengadilan Negeri memberikan Vonis
4 tahun 6 bulan. Namun Mahkamah Agung
melalui majelis hakim Agung yang di pimpin
Artidjo memperberat hukuman Angelina Patricia
Pingkan Sondakh menjadi 12 tahun penjara yang
lebih berat dari sebelumnya.
Tindakan dari Mahkamah Agung melalui
Hakim

Artidjo

menghilangkan

Alkostar,
kejahatan

diapresiasikan
terhadap

dapat

kerugian

negara yang timbul dari prilaku korupsi aparatur


negara dengan memberi efek jera bagi pelaku

255

korupsi. Namun masa hukuman yang diperberat


itu dianggap merupakan keadilan dari sudut
pandang kerugian negara dan menjadi alasan
penulis menilai keadilan yang dicapai hanya
sebagai keadilan dari sudut pandang spiritual
justice, moral justice dan social justice, tetapi
belum secara tegas menyentuh pada philosophy
and

legal

justice

yang

sekiranya

dapat

menjembatani penganut paham hukum doktrinal


dan

nondoktrinal,

sehingga

penulis

menambahkan satu solusi lagi agar terwujud


keadilan,
kepada

secara

filosofis

Pancasila

dan

tetap

berpedoman

Pembukaan

Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 yang berisi mengenai visi dan misi bangsa
dan negara Indonesia, karena keadilan yang
dicita-citakan dalam Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 di samping bersifat relijius-sosialis,
juga bersifat luhur, universal dan jauh dari sifat
sekuler-individualistis-materialistis. Keduanya ini
pun bisa sebagai perekat bangsa dan negara

256

Indonesia, yang saat ini sedang bercerai-berai


terutama kalangan atau penganut dua paham
tersebut (doktrinal dan non doktrinal). Karena
Pancasila oleh kalangan ahli hukum doktrinal di
Indonesia diakui sebagai

staats

fundamental

norms, begitu pun dan Pembukaan UUD 1945


dianggap

sebagai

sesuatu

yang

sakral

keberadaannya, sehingga harus mereka ikuti.


Sedangkan dari pemikiran-pemikiran ahli hukum
non doktrinal di Indonesia, Pancasila maupun dan
Pembukaan UUD 1945 sudah sesuai dengan alur
pikirnya atau konsep yang selama ini dibangun.180

3.2.2.

Kasus Penyalahgunaan Wewenang Dalam Proses Hukum


Proses Kasus Mantan Mentari Agama (Suryadharma Ali)181
a. Kasus Posisi

3.2.2.1.

180
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006. hlm. 22

181
http://www.kompasiana.com/rezaazhar/selembar-potongan-kiswah-kpk-membawa-sda-kepenjara-eksepsi-sda-updated_55ed6a754ef9fdb3122b1fd6 dengan Topik: Selembar Potongan Kiswah
Suryadharma Ali ke Penjara Eksapsi Suryadharma Ali tidak diterima, di akses tanggal 28 Januari 2016

257

Suryadharma Ali Lahir di Jakarta 19 September 1956


yang berdomisili di alamat Jl. Raya Mandala VII No 2,
Menteng, Jakarta Selatan. Pada Tangga 22 Mei 2014 KPK
menetapkan mantan Menteri Agama R.I. Suryadharma Ali
sebagai tersangka. KPK juga mengeledah ruang kerja
Suryadharma Ali dan Dirjen Haji-Umrah, Anggita Abimanyu.
Bermula terjadi pada Tahun 2013 kasus dugaan korupsi
dana haji di Kementerian Agama, bermula dari adanya
penyimpangan

dalam

perjalanan

haji,

Ketua

PPATK

Muhammad Yusuf menyebut, sepanjang 2004-2012, ada dana


biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) sebesar Rp 80
triliun dengan bunga sekitar Rp 2,3 triliun.
Hasil audit PPATK, ada transaksi mencurigakan
sebesar Rp 230 miliar yang tidak jelas penggunaannya. Ada
indikasi dana haji ditempatkan di suatu bank tanpa ada
standardisasi penempatan yang jelas. Kejadian ini oleh KPK
dijadikan temuan untuk dilakukan penyelidikan selama hampir
setahun. Namun, belum ada pihak-pihak yang diperiksa.
Hingga pada bulan Januari 2014, KPK mulai
melakukan penyelidikan atas dugaan penyimpangan dana haji
tahun anggaran 2012-2013 khususnya pengadaan barang dan
jasa. KPK juga menyelidiki biaya BPIH.

258

Pada tanggal 3 Februari 2014, KPK memeriksa


anggota Komisi VIII DPR, Hasrul Azwar Tanggal 6 Februari
2014 KPK juga meminta keterangan anggota Komisi VIII
Dewan Perwakilan Rakyat asal fraksi Partai Keadilan
Sejahtera, Jazuli Juwaini. Tanggal 19 Maret 2014 KPK
meminta keterangan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji
dan Umroh Kementerian Agama Anggito Abimanyu.
Selanjutnya tanggal 6 Mei 2014: KPK meminta
keterangan

Menteri

Agama

Suryadharma

Ali

terkait

penyelidikan proyek pengadaan barang dan jasa dalam


penyelenggaraan haji. Selama sepuluh jam, Suryadharma, di
antaranya, dicecar soal pemondokan haji yang tak layak.
Tanggal 15 Mei 2014: Ketua KPK Abraham Samad
menyatakan bahwa dalam satu atau dua pekan ke depan KPK
akan menetapkan tersangka. Tanggal 16 Mei 2014, Capres
Prabowo Subianto sempat memuji Suryadharma Ali dengan
menyebut penyelenggaraan ibadah haji sangat baik. Kemudian
Tanggal 22 Mei 2014, KPK menggeledah ruang kerja
Suryadharma di lantai II Gedung Pusat Kementerian Agama di
Lapangan Banteng No. 3-4, Jakarta Pusat, selama sembilan
jam. Tanggal 22 Mei 2014, KPK menetapkan Suryadharma
sebagai

tersangka

berdasarkan

bukti-bukti

adanya

penyalahgunaan dana haji danOperasional menterisehingga


259

Ditjen Imigrasi Kemenkumham mencegah Suryadharma Ali


berpergian ke luar negeri selama enam bulan.
Hingga bulan November 2014, Suryadharma Ali masih
tetap diawasi oleh KPK hingga hari Senin, tanggal 21
September 2015, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) menolak nota keberatan atau eksepsi mantan
Menteri Agama Suryadharma Ali dalam perkara dugaan
korupsi Dalam Putusan Sela di Pengadilan Tipikor Jakarta,
yang amarnya:
1. Ketua

Majelis

menyatakan

Hakim

eksepsi

atau

Aswijon
keberatan

saat
dari

Mengadili,
terdakwa

Suryadharma Ali dan penasihat hukum terdakwa tidak


dapat diterima,".
2. Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum KPK atas
nama terdakwa Suryadharma Ali adalah sah dan telah
memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b
KUHAP. Ketiga, memerintahkan penuntut umum untuk
melanjutkan pemeriksan pokok perkara."
Nota keberataan dakwaan dan nilai kerugian, perkara a
quo, Suryadharma didakwa memperkaya diri sendiri sejumlah
Rp 1,821 miliar dan memperoleh hadiah 1 lembar potongan
kain Ka'bah (kiswah).

260

Suryadharma juga dinyatakan merugikan keuangan


negara sejumlah Rp 27,283 miliar dan 17,967 juta riyal
(sekitar Rp 53,9 miliar), menurut laporan perhitungan kerugian
negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP).
Menurut jaksa, Suryadharma melakukan sejumlah
perbuatan yang melanggar hukum, yaitu:
1. Menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi
persyaratan menjadi Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah
Haji (PPIH) Arab Saudi dan mengangkat Petugas
Pendamping

Amirul

Hajj

tidak

sesuai

ketentuan.

Menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) tidak


sesuai dengan peruntukan.
2. Mengarahkan tim penyewaan Perumahan Jemaah Haji
Indonesia di Arab Saudi untuk menunjuk penyedia tempat
tinggal jemaah Indonesia tidak sesuai ketentuan, serta
memanfaatkan sisa kuota haji nasional tidak berdasarkan
prinsip keadilan dan proporsionalitas.
Dalam eksepsinya, Suryadharma membantah hal ini. Ia
beralasan bahwa kerugian negara yang didakwakan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada dirinya, sekitar Rp 53,9
miliar, hanya kebohongan belaka.

261

Sebagai
Suryadharma.

tersangka,
"Saya

terhina.

saya
(dalam

terhempas,"

kata

Pledoinya)

yang

diajukannya Apalagi kerugian disebutkan saudara (Plt Wakil


Ketua KPK) Johan Budi lebih dari Rp 1 triliun Rupiah.
Bahkan ada yang mengatakan sampai Rp 1,8 triliun. Ternyata
kerugian keuangan negara yang disebutkan di atas bohong
belaka karena tidak sesuai dengan angka-angka yang
didakwakan penuntut umum KPK pada saya, katanya.
Ditambah lagi rekening bank milik saya, istri, anak,
mantu yang diblokir KPK untuk mencari aliran korupsi,
ternyata KPK tidak menemukan aliran dana yang dimaksud
satu rupiah pun, dan kemudian rekening-rekening tersebut
blokirnya dibuka kembali," kata Suryadharma lagi.
Namun hakim memiliki pendapat berbeda dalam hal
ini. Majelis hakim berpendapat nota keberatan atau eksepsi
dari terdakwa dan penasihat hukum terhadap surat dakwaan
penuntut umum tidak beralasan hukum untuk dikabulkan
sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Terkait perhitungan kerugian negara Rp 53,9 miliar,
majelis hakim menilai bahwa BPKP berwenang melakukan
audit kerugian negara, bukan hanya Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) saja.

262

Perhitungan kerugian negara juga dapat dilakukan oleh


ahli lainnya, seperti akuntan publik, demikian juga BPKP atas
permintaan dari penyidik.
Bahkan, apabila penyidik dan penuntut umum
memiliki kemampuan untuk melakukan penghitungan, juga
dapat menghitung sendiri kerugian negara akibat perbuatan
korupsi," kata Aswijon.
Apalagi, menurut hakim, ada putusan Mahkamah
Konstitusi pada 24 Oktober 2012 yang isinya menyatakan
bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPK
dan BPKP dalam rangka pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain,
bahkan bisa membuktikan sendiri, atau mengundang ahli
lainnya.
Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali bersikukuh
dirinya

tidak

diperkaya

atau

diuntungkan

dalam

penyelenggaraan haji 2010-2013. Bahkan, dalam eksepsinya,


Suryadharma mempermasalahkan tindakan penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadikan sepotong
kiswah sebagai barang bukti untuk perkaranya.
Kiswah sendiri adalah kain penutup ka'bah yang biasa
diganti setiap tahun ketika jemaah haji berjalan ke Bukit
Arafah pada bulan Zulhijah. Dahulu, kiswah dianggap
263

berharga karena bertaburan emas dan permata. Suryadharma


berdalih kiswah yang diterimanya bisa jadi tidak asli dan
dijual toko kaki lima di Mekkah dan Madinah. Akan tetapi,
menurut penuntut umum KPK Abdul Basir, pengertian
"memperkaya" atau "menguntungkan" yang didapat dari
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak melulu diukur dengan
nilai uang, melainkan dapat dinilai dari sisi historis dan
religius. Oleh karena itu, Abdul menilai, tidak relevan jika
suatu benda hasil korupsi dimaknai semata-mata dengan nilai
uang. "Banyak benda mahal justru bernilai bukan dari nilai
intrinsiknya, tapi dari penilaian sisi lainnya, seperti faktor
historis dan religiusitas," katanya saat membacakan tanggapan
atas eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin Tanggal 14
September 2015. Dengan menganggap bahwa bantahan Surat
Dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut KPK adalah kabur
(obscuur libel), serta tidak disusun secara cermat, jelas, dan
lengkap. Menurutnya, walau dalam surat dakwaan terdapat
kesalahan ketik mengenai alamat terdakwa yang seharusnya Jl.
Jaya Mandala menjadi Jl. Mandala, tidak mengakibatkan
dakwaan menjadi kabur.
Begitu pula dengan tidak dicantumkannya titel Haji
dan gelar Suryadharma sebagaimana yang tercantum dalam
264

KTP. Dengan menilai bila tidak dicantumkannya titel Haji dan


gelar Suryadharma dalam surat dakwaan tidak menjadikan
dakwaan error in persona. Terlebih lagi, Pasal 143 KUHAP
hanya mengharuskan pencantuman nama lengkap terdakwa.
Mengenai uraian dakwaan yang dianggap penasihat
Suryadharma Ali tidak cermat, dan tidak lengkap, anggapan
Penasihat Hukum terdakwa menurut Jaksa dalam eksepsi dalildalilnya tidak beralasan secara hukum. Sebab, penuntut umum
telah

mencantumkan

tempus

dan

locus

delicti,

serta

menguraikan perbuatan sesuai unsur-unsur pasal yang


didakwakan terhadap Suryadharma Ali.
Selain itu terkait materi eksepsi, seperti pihak-pihak
lain yang menerima sisa kuota haji, keikutsertaan Isteri
Suryadharma dalam rombongan haji yang telah mendapat
persetujuan tertulis dari Presiden, serta kiswah yang bisa jadi
tiruan karena banyak dijual di toko kaki lima di Mekah dan
Madinah, kemudian adanya materi-materi yang diajukan
Penasihat Hukum sebagai eksepsi oleh terdakwa Suryadharma
Ali tersebut, tidak masuk dalam lingkup materi eksepsi yang
diatur KUHAP, melainkan sudah masuk materi pembuktian
pokok perkara. Dengan demikian, Abdul meminta majelis
hakim yang dipimpin Aswidjon untuk menolak seluruh eksepsi
Suryadharma dan pengacaranya.
265

"Memohon kepada majelis menyatakan surat dakwaan


No.Dak-28/24/08/2015 tanggal 21 Agustus 2015 yang telah
kami bacakan pada tanggal 31 Agustus 2015 telah memenuhi
syarat

sebagaimana

ditentukan

dalam

KUHAP

dan

menetapkan untuk melanjutkan persidangan ini berdasarkan


surat dakwaan penuntut umum," tuturnya.
Suryadharma merasa kecewa dengan tanggapan atas
eksepsi yang disampaikan penuntut umum. Selain karena
penuntut umum tidak menanggapi sejumlah materi eksepsi,
juga karena adanya perbedaan pandangan soal kiswah. Ia
berpendapat,

sepotong

kiswah

tidak

mempunyai

nilai

ekonomis, melainkan hanya nilai agamis dan spiritual.


Selain itu, Suryadharma merasa tindakan KPK yang
menjadikan kiswah sebagai barang bukti dalam perkara
korupsi sebagai bentuk penistaan agama. Menurutnya,
penindakan hukum tidak seharusnya menistakan agama. Ia
menduga majelis hakim akan menolak eksepsinya karena
banyak materi eksepsi yang dinilai harus dibuktikan di
persidangan.
"Kalau menurut penuntut umum (kiswah) bisa
dijadikan barang bukti, bisa riskan penyelenggaraan hukum di
Indonesia. Artinya, doa untuk pejabat bisa disebut gratifikasi.
Hukum itu harus mempertimbangkan aspek sosiologis,
266

filosofis, adat istiadat, dan agama. Kalau agama tidak lagi jadi
pertimbangan, hapus saja Pancasila," tandasnya, adapun
benang merah Pledoi yang diberikan oleh Suryadharma Ali
adalah sebagai berikut:
Perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan kawan
peserta lainnya tersebut telah memperkaya terdakwa sejumlah
Rp. 1.821.698.840. (satu miliar delapan ratus dua puluh satu
juta enam ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus
empat puluh Rupiah) dan 1 (satu) lembar potongan Kiswah.
Bahwa Akibat Perbuatan Terdakwa telah merugikan
keuangan Negara sejumlah Rp. 27.283.090.068,02 (dua puluh
tujuh miliar dua ratus delapan puluh tiga juta sembilan puluh
ribu enam puluh delapan Rupiah dan dua sen) dan SR.
17.967.405.00 (tujuh belas juta sembilan ratus enam puluh
tujuh ribu empat ratus lima Riyal Saudi) atau setidak-tidaknya
sejumlah itu sebagaimana Laporan Perhitungan Kerugian
Negara

dari

Badan

Pengawas

Keuangan

(BPK)

dan

Pembangunan Nomor SR-549/D6/I/2015 tanggal 5 Agustus


2015 (BPK Nomor SR-550/D6/I/2015 tanggal 5 Agustus
2015). Surat BPKP tentang Kerugian Negara pada tanggal 5
Agustus 2015 telah memberikan gambaran yang lebih jelas,
bahwa ketika Saya ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal
22 Mei 2014 belum ada alat bukti Kerugian Negara oleh
267

lembaga yang berwenang untuk itu. Jadi benar apa yang


dikatakan oleh Taufiqurrahman Ruki bahwa KPK yang
sekarang menetapkan tersangkanya dulu lalu kemudian alat
buktinya dicari-cari.
Alat bukti menurutnya telah ditemukan dan SDA sudah
layak diadili. Yang Mulia Majelis Hakim Disejumlah halaman
dakwaan Penuntut Umum KPK menyebutkan: untuk dapat
menunaikan ibadah haji gratis dengan menjadi petugas PPIH
Arab

Saudi Apakah

yang

dimaksud

dengan

dapat

menunaikan ibadah haji gratis dengan menjadi petugas PPIH


Arab

Saudi?

Saya

mengartikannya

dengan

(dua)

pengertian. Orang tersebut menjadi petugas haji tapi tidak


melaksanakan tugas-tugasnya, kecuali untuk menunaikan
ibadah haji dan umrah. Bila ini yang dimaksud Penuntut
Umum KPK, Saya tidak percaya ada petugas seperti itu,
kecuali Penuntut Umum bisa menunjukkan bukti-buktinya
bahwa mereka tidak bekerja sebagai petugas kecuali hanya
untuk

berhaji

saja.

Orang

tersebut

menjadi

petugas,

melaksanakan tugas-tugasnya lalu melaksanakan Haji dan


umrah. Bila itu yang dimaksud Penuntut Umum KPK, sangat
benar, semua petugas, panitia, dokter, perawat, keamanan,
sopir dan lain-lain termasuk Saya sebagai Amirul Hajj dan
anggota Amirul Hajj Melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh.
268

Siapapun yang datang ke Tanah Suci, bertugas untuk


keperluan apapun, bila ia beriman pasti dia melaksanakan Haji
dan Umrah, bila ia datang di luar waktu Haji, pasti ia
melaksanakan Umrah dan melakukan ziarah ke makam
Rasulullah SAW di Masjid Nabawi Madinah. Umroh ini
dilakukan juga oleh Penyidik KPK yang bernama Sdr. Edi
Wahyu Susilo dan Sugianto, ketika keduanya bertugas
menyelidiki Haji di tanah Suci. Hal ini mereka ungkapkan
pada Sidang praperadilan tentang kasus Suryadharma Ali.
Dan juga didakwa memberangkatkan istri dan orangorang dekat Saya untuk menunaikan ibadah haji secara gratis
pada bulan September 2012 dengan memerintahkan Sdr.
Saefudin a. Syafii untuk membentuk rombongan pendamping
Amirul Hajj yang beranggotakan Sdri. Wardatul Asriah, Sdri.
Ermalena, Sdr. Guritno Kusumo Dono, Sdr. Saefudin a.
Syafii, Sdr. Abdul Wadud k. Anwar, Sdr. Ivan Adhitira dan
Sdr. Hendri Amri M. Saud meskipun dalam komposisi petugas
Amirul Hajj tidak terdapat alokasi anggaran untuk petugas
pendamping Amirul Hajj. Yang Mulia dakwaan tersebut dapat
Saya jelaskan sebagai berikut: Terdakwa tidak pernah
memerintahkan Saefuddin A. Syafii membentuk rombongan
pendamping Amirul Hajj. Sdr. Saefuddin A. Syafii tidak
memiliki kewenangan untuk membentuk rombongan Amirul
269

Hajj dimakud. Yang disebut anggota Rombongan Amirul Hajj:


Wardatul Asriah, Istri Saya, yang kebetulan suaminya seorang
Menteri Agama, amat sangat lazim bila mendampingi
suaminya bertugas kemana saja, apalagi keberangkatan istri
Saya ke Tanah Suci mendapatkan izin tertulis dari Presiden RI
melalui Surat Menteri Sekertaris Negara yang ditandatangani
oleh Sudi Silalahi. Ermalena dan Sdr. Guritno Kusumo Dono
adalah staf khusus menteri Agama yang bertugas memantau
pelaksanaan

teknis

penyelenggaraan

Ibadah

haji.

SAEFUDDIN A. SYAFII adalah Kepala Bagian Tata Usaha


Menteri Agama merangkap Interpreter Saya dalam Bahasa
Inggris. ABDUL WADUD K. ANWAR adalah Interpretur
Saya dalam bahasa Arab. IVAN ADHITIRA adalah anggota
kepolisian yang merupakan Ajudan Saya. HENDRI AMRI M.
SAUD adalah juga Anggota kepolisian yang merupakan
Pengawal Saya. Keberangkatan mereka bukan untuk berhaji
gratis tapi untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai bidangnya.
Tidak terdapat alokasi Petugas Pendamping Amirul Hajj.
Bahwa betul tidak ada, penamaan seperti itu adalah kesalahan
administratif

yang

mereka

lakukan.

Apakah

tanggungjawabnya pantas dilemparkan ke Menteri selaku


pengguna Anggaran yang telah dikuasakan kepada Dirjend
PHU? Tidak ada alokasi anggaran untuk petugas pendamping
270

Amirul Hajj. Saya tidak tahu tentang hal itu. Semua yang
mengatur perjalanan Menteri Agama RI dan pembiayaannya
adalah tanggungjawab Sdr. SAEFUDDIN A. SYAFII. Dia
tidak boleh mempergunakan yang tidak dialokasikan. Saya
selaku Menteri memiliki anggaran perjalanan dinas sendiri
yang semestinya bisa dipergunakan. Yang Mulia, orang-orang
yang disebuut pada huruf a, c, d, e dan f secara protokoler
adalah orang-orang yang melekat pada menteri baik pada hari
kerja maupun pada hari libur, kecuali Menteri menghendaki
lain. Hal ini juga tidak tepat bila orang-orang yang disebut
pada poin a, b, c, d, e dan f telah mengakibatkan kerugian.
Mereka memang harus mendapat bayaran sesuai dengan
ketentuan.

Yang

menggelembungkan

Mulia,

Saya

harga-harga,

juga

merugikan

didakwa
Negara,

menguntungkan orang lain dan korporasi. Dalam hal


menggelembungkan harga, Menteri tidak memverifikasi
perusahaan-perusahaan penyedia pemondokan, catering dan
lain-lain, tidak melakukan negosiasi harga, tidak memutuskan
harga, tidak menandatangani kontrak-kontrak. Semua itu
dilakukan Ketua dan Anggota Tim Pemondokan, Ketua dan
Anggota Tim Catering dan lain-lain. Lalu apabila ada
penggelembungan harga, Terdakwa memberikan bantahan
yang menjadi tanggungjawabnya. Disisi lain harus diketahui
271

juga Yang Mulia, bahwa setiap Sen pengeluaran untuk Biaya


Penyelenggaraan Haji harus mendapat persetujuan Komisi
VIII DPR-RI dan Pemerintah. Jadi siapapun tidak bisa
seenaknya menetapkan harga di luar batas harga rata-rata yang
telah di tetapkan itu. Disebutkan juga ada kemahalan harga di
sini sekian, di sana sekian. Hal itu tidak ada kaitannya dengan
Saya selaku Menteri dan juga atas dasar apa mengukur
kemahalan harga itu? Pemerintah Indonesia memerlukan lebih
dari 320 (tiga ratus dua puluh) perumahan bertingkat, setingkat
apartemen atau hotel bintang 3 (tiga). Harga sewa perjamaah
pasti bervariasi dan mustahil bisa sama rata harganya,
walalupun perumahan yang disewa itu berdampingan. Sebagai
gambaran, hotel bintang 5 (lima) dan bintang 3 (tiga) di
Jakarta pasti mereka punya pricing policy sendiri. Jadi apabila
ada perbedaan harga sangat tidak tepat bila disebut ada
penggelembungan harga. Yang Mulia, Saya juga didakwa
bahwa atas dasar persetujuan Saya orang-orang yang
mendapat sisa kuota tanpa antrian telah merugikan keuangan
Negara. Hal tersebut juga tidak benar, karena seluruh
Akomodasi pemondokan catering, tenda, transportasi telah di
kontrak dan dibayar untuk kapasitas 194.000 (seratus sembilan
puluh empat ribu) jamaah haji. Jadi apabila ada penggeluaran
uang tambahan oleh KPA dan atau PPK di luar yang
272

diputuskan Komisi VIII DPR-RI dan Pemerintah, patut di


tenggarai adanya dugaan penyimpangan penggunaan anggaran
oleh KPA atau PPK atau ketua dan anggota tim atau gabungan
diantara mereka. Yang Mulia Majelis Hakim, Berkaitan
dengan dugaan korupsi yang menguntungkan orang lain atau
korporasi dari sisi dugaan korupsi dana haji, telah saya
jelaskan. Dan dugaan korupsi DOM juga telah saya jelaskan.
Dari sisi dugaan korupsi haji yang menguntungkan diri saya,
menurut Penuntut Umum KPK adalah 1 (satu) Lembar
Potongan Kiswah. (Dikutip dari Buku karangan Prof. Dr. Ali
HUsni al-Kharbuthli yang berjudul Sejarah Kabah Kisah
Rumah Suci yang Tak Lapuk Dimakan Zaman, Cetakan ke-II,
Jakarta : Turos Khazanah Pustaka Islam, 2013 pada halaman
309 s.d. 311.)
Pengakuan Terdakwa tidak pernah dikonfirmasi apakah
kiswah itu dari seseorang atau dari pemberian siapa. Untuk
memuluskan maksudnya sebagai penyedia pemondokan dan
atau katering. Kiswah itu juga tidak memiliki Nilai Ekonomis
yang dapat memperkaya diri Saya. Kiswah tersebut hanya
memiliki nilai agamis spritual. Tragis, dengan selembar
Potongan Kiswah, KPK menjebloskan saya ke penjara. Saya
dituduh mempergunakan Dana Operasional Menteri (DOM)
secara melawan Hukum sebesar Rp 1.821.698.840,- (Satu
273

miliar delapan ratus dua puluh satu juta enam ratus sembilan
puluh delapan ribu delapan ratus empat puluh Rupiah) angka
itu sangat bisa dijelaskan duduk persoalan yang sebenarnya.
Bahwa uang itu berada dalam penguasaan Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA), tidak ada pada Menteri selaku Pengguna
Anggaran (PA). Teknis penggunaan uang tersebut sepenuhnya
berada

ditangan

dan

tanggungjawab

Kuasa

Pengguna

Anggaran. Saya selaku yang dituduh mengunakan DOM


tersebut tidak pernah dikonfirmasi dalam penyidikan KPK
tanggal 14 Juli 2015 oleh penyidik Rufriyanto Maulana Yusuf.
Saya hanya ditunjukkan Buku Kas DOM Tahun 2011-2014,
dan ketika Saya tanya pada bagian mana dari catatan buku kas
tersebut yang merupakan pelanggaran hukum, Penyidik tidak
bisa menunjukkan. Penuntut Umum KPK dalam dakwaannya
kurang jelas. Jumlah rupiah digabungkan antara satu kejadian
ke kejadian yang lain, tidak seperti dalam penyidikan yang
oleh Penyidik dilihatkan satu persatu secara terperinci dan
dimaksudkan dalam BAP tanggal 14 juli 2015. Akibat itu Saya
mengalami kesulitan untuk menjelaskan secara terperinci atas
angka-angka DOM yang digabungkan oleh Penuntut Umum
KPK. Namun demikian, Saya tetap akan memberikan
bantahan dakwaan Penuntut Umum KPK sebagai berikut:

274

Membayar pengobatan anak Terdakwa sejumlah 12.435.000,(dua belas juta empat ratus tiga puluh lima ribu rupiah).
Terdakwa dalam Pledionya dahulu menjabat sebagai
Menteri Agama mengaku memperoleh asuransi kesehatan
VVIP dan istri Saya sebagai Anggota DPR RI juga memiliki
kartu asuransi VVIP, jadi tidak masuk akal bila Saya minta
dibayarkan biaya pengobatan anak Saya pakai uang DOM.
Membayar biaya pengurusan visa, membeli tiket pesawat,
pelayanan di bandara, transportasi dan akomodasi untuk
Terdakwa dan akomodasi untuk Terdakwa, keluarga dan
ajudan Terdakwa ke Australia, diantaranya untuk mengunjungi
anak Terdakwa yakni Sherlita Nabila yang sedang menempuh
pendidikan di Australia sejumlah Rp. 226.833.050,00 (dua
ratus dua puluh enam juta delapan ratus tiga puluh tiga ribu
lima puluh rupiah); Saya tidak pernah pergunakan uang DOM
untuk keperluan biaya liburan Saya dan Keluarga di dalam
maupun di luar negeri. Bukankah KPK telah menyita dan
Penuntut Umum KPK telah mengetahui dokumen pembayaran
tiket oleh Saya untuk keluarga Saya pada saat pergi haji yang
oleh media di gembar-gemborkan pakai uang Negara. Bila
Saya punya watak mengunakan uang DOM untuk biaya tiket
dan liburan Saya beserta kelurga, maka itu akan Saya lakukan
pada setiap perjalanan liburan Saya di dalam maupun luar
275

Negeri. Membayar transportasi dan akomodasi Terdakwa,


keluarga dan ajudan Terdakwa dalam rangka liburan dan
kepentingan lainnya di Singapura sejumlah Rp 95.375.830,00
(Sembilan puluh lima juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu
delapan ratus tiga puluh Rupiah).
Terdakwa mengakui tidak pernah pergunakan uang
DOM untuk liburan ke Singapura, Saya juga tidak pernah
meminta uang DOM untuk pembiayaan apapun di Singapura.
Saya menduga uang itu dititipkan oleh Sdr. Saefudin kepada
Ajudan, Saya tidak pakai, lalu dikembalikan ke Sdr. Saefudin,
namun Sdr. Saefudin tetap menulisnya sebagai uang yang
dipergunakan oleh Menteri. Diberikan kepada saudara
kandung

Terdakwa

bernama

Titin

Maryati

sejumlah

Rp.13.110.000,00 (tiga belas juta seratus sepuluh ribu


Rupiah); Uang itu berasal dari uang Saya, bukan dari uang
DOM. Membayar visa, transportasi dan akomodasi, serta uang
saku Terdakwa bersama istri Terdakwa bernama Wardatul
Asriyah, anak Terdakwa bernama Kartika dan Rendika, serta
sekertaris/staf pribadi isteri terdakwa yakni Mulyanah Acim
dalam rangka pengobatan Terdakwa ke Jerman sejumlah Rp.
86.730.250,00 (delapan puluh enam juta tujuh ratus tiga puluh
ribu dua ratus lima puluh Rupiah); Dakwaan tersebut tidak
benar, Kartika dan Rendika hingga kini belum pernah pergi ke
276

Jerman. Sangat naf bila untuk segala macam pembiayaan di


Jerman hanya Rp. 86.730.250. Sdr. Saefudin dan Sdr. Abdul
Wadut pada waktu itu ikut ke jerman mendampingi Saya. Saya
menduga Sdr. Saefudin menggunakan uang itu untuk
keperluan pribadinya selama di Jerman dan di catatnya dalam
pembukuan sebagai pengeluaran yang digunakan oleh Saya.
Sekali lagi, Sangat naf Yang Mulia. Dipakai biaya tes
kesehatan dan membeli alat tes narkoba untuk isteri, anak dan
menantu Terdakwa dalam rangka pemilihan anggota legislatif
sejumlah Rp.1.995.000,00 (satu juta sembilan ratus sembilan
puluh lima ribu Rupiah); Tidak benar, Istri Saya bayar sendiri
melalui ajudannya. Dipergunakan untuk membayar pajak
pribadi Terdakwa Tahun 2011, langganan TV kabel, Internet,
biaya perpanjangan STNK Mercedes Benz, pengurusan paspor
cucu Terdakwa, diberikan kolega Terdakwa dan untuk
kepentingan Terdakwa lainnya yang seluruhnya sejumlah Rp
936.658.658,00 (Sembilan ratus tiga puluh enam juta enam
ratus lima puluh delapan ribu enam ratus delapan puluh lima
rupiah).
Biaya langganan TV Kabel dan internet adalah untuk
di Rumah Dinas Menteri. Biaya perpanjangan STNK
Mercedesz Benz Saya bayar sendiri, sedangkan untuk
pengurusan paspor cucu dananya di berikan kepada yang
277

mengurus dan dana itu tidak dari DOM. Penggabungan angka


tersebut mengakibatkan dakwaan tersebut kurang jelas dan
Saya mengalami kesulitan untuk menjelaskan. Saya mohon
dakwaan ini diperjelas. Digunakan untuk membayar biaya
pengurusan visa, membeli tiket pesawat, pelayanan di bandara,
transportasi dan akomodasi untuk Terdakwa, keluarga
Terdakwa ke Inggris sejumlah Rp 51.976.025,00 (lima puluh
satu juta sembilan ratus tujuh puluh enam ribu dua puluh lima
rupiah). Saya bersama keluarga pergi ke Inggris, terdiri dari
istri, 3 (tiga) orang anak, ajudan istri, Sdr. Saefudin dan Sdr.
Abdul Wadud. Masuk akalkah uang sebesar itu Saya
pergunakan untuk biaya visa, membeli tiket pesawat,
pelayanan di Bandara, transportasi dan akomodasi Saya dan
keluarga ke Inggris.
Ikut mendampingi Saya pada waktu itu adalah Sdr.
Saefudin dan Sdr. Abdul Wadud. Saya menduga uang itu
dipergunakan untuk kepentingan mereka berdua, lalu dicatat
sebagai DOM yang dipergunakan untuk kepentingan pribadi
menteri. Bahwa selain itu Terdakwa juga menggunakan DOM
untuk diberikan kepada pihak lain yang tidak sesuai dengan
ketentuan penggunaan DOM, diantaranya untuk Tunjangan
Hari Raya (THR), sumbangan kepada kolega, staf dan pihak
lainnya sejumlah Rp.395.685.000,00 (tiga ratus Sembilan
278

puluh lima juta enam ratus delapan puluh lima ribu Rupiah).
Hal itu sama sekali tidak menyalahi aturan karena memang
untuk kelancaran tugas-tugas menteri. Saya tidak pernah
membaca surat yang menjabarkan, yang memberi batasan atau
kriteria atas Peraturan Menteri Keuangan No. 3/PMK.06/2006,
tentang Dana Operasional Menteri/Pejabat Setingkat Menteri.
Yang Mulia, penilaian Penuntut Umum KPK tentang adanya
kerugian negara dalam penggunaan DOM adalah merupakan
penilaian subyektif tanpa landasan hukum, yang apabila hal ini
diterapkan maka semua Menteri SBY akan bersalah dan
didakwa

korupsi.

Dakwaan

Penuntut

Umm

tentang

penyalahgunaan DOM oleh Saya terasa sangat aneh. Mengapa


Penuntut Umum tidak melihat kejanggalan Kuasa Pengguna
Anggaran

(KPA)

yang

membiarkan

Pejabat

Pembuat

Komitmen (PPK) setelah pencairan Rp.100.000.000 (seratus


juta rupiah) per bulan menyerahkan uang itu kepada Sdr.
Seafuddin A. Syafii selaku Kabag Tata Usaha pimpinan dan
Sdr. Amir Jafar selaku Kasubag Tata Usaha dan pengelolaan
secara teknis oleh Sdr. Rosandi tanpa prosedur tata cara
penggunaannya. Apakah KPA melakukan hal yang sama pada
jenis anggaran yang lainnya, Kriminalisasi Penggunaan DOM
inilah yang menjadi kekhawatiran Pemerintahan Presiden Joko
Widodo.

Akibatnya

Menteri

Keuangan

Bambang
279

Brodjonegoro telah mengganti Peraturan Menteri Keuangan


Nomor

20/PMK.06/2006

Tentang

Dana

Operasional

Menteri/Pejabat Setingkat Menteri dengan Peraturan Menteri


Keuangan Republik Indonesia Nomor 208/PMK.05/2014
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Dana Operasional
menteri atau Pimpinan Lembaga. Pada PMK baru tersebut
ditentukan sebesar 80% (delapan puluh persen) diberikan
secara Lumpsum kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga dan
20% (dua puluh persen) untuk dukungan operasional lainnya.
Paparan diatas, jelas menunjukkan bahwa dakwaan korupsi
menyalahgunaan DOM ini sangat lemah dan dipaksakan,
karena itu Yang Mulia Saya mohon Dakwaan ini ditolak.
Majelis Hakim yang Mulia, dengan segala hormat,
Saya

menyayangkan

dakwaannya

tidak

Penuntut

menyinggung

Umum
sama

KPK

dalam

sekali

apalagi

mempertimbangkan tugas, fungsi dan wewenang Menteri


sebagai Pengguna Anggaran (PA), Dirjend PHU sebagai Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA), Direktur sebagai Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) dan para Ketua dan Anggota Tim sebagai
pelaksana yang paling teknis yang berhubungan langsung
dengan rekanan. Menteri bagaikan keranjang sampah yang
menampung seluruh kesalahan, kekeliruan dan penyimpangan
mereka. Yang Mulia ini tidak adil,
280

Penuntut Umum Mohon Dakwaan Ini Ditolak. Yang


Mulia Majelis Hakim dan yang Terhormat Penuntut Umum
KPK, demikianlah Eksepsi / Nota Keberatan yang saya
sampaikan. Penyampaian Nota Keberatan ini tidak ada
maksud

sebesar

zarahpun

untuk

menyalahkan

apalagi

mengalahkan Dakwaan Penuntut Umum KPK, kecuali hanya


menyampaikan kebenaran ayat suci Al-Quran : yang artinya
Karena Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan
kebaikan. Yang Mulia Majelis Hakim, bisa jadi penyidik
KPK menerima kesaksian dan informasi yang tidak baik,
seperti yang Saya jelaskan diatas, tetapi karena tidak ada
aturan untuk menghentikan perkara, kemudian perkara ini
dipaksakan dan dilimpahkan kepada Penuntut Umum KPK
untuk selanjutnya diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Penyampaian Nota Keberatan ini juga tidak ada maksud walau
sebesar zarahpun untuk mengajari Majelis Hakim Yang Mulia,
karena Majelis Hakim Yang Mulia jauh lebih mengerti dan
jauh lebih memahami persoalan hukum dibanding saya. Saya
mohon

maaf

yang

sebesar-besarnya

apabila

dalam

menyampaikan Nota Keberatan ini ada kalimat-kalimat yang


membuat Majelis Hakim Yang Mulia dan yang terhormat
Penuntut Umum KPK tidak berkenan dan tidak nyaman.
Kasus ini membuat saya dan keluarga tertekan lahir batin,
281

karenanya bisa jadi saya kehilangan kecermatan untuk


memilih kata, menyusun kalimat yang santun dan bijak, untuk
itu saya mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim dan yang
terhormat Penuntut Umum KPK agar dapat memaafkan saya.
Yang Mulia Majelis Hakim; dan Yang Terhormat Penuntut
Umum KPK Kita adalah bangsa yang berketuhanan Yang
maha Esa, Kita beriman bahwa Tuhan itu ada. Kita juga
beriman bahwa Tuhan, Allah SWT pencipta langit dan bumi
dengan segala isinya. Diantara yang diciptakannya adalah
makhluk yang disebut malaikat, syaitan dan manusia.
Ketiganya adalah species yang berbeda dengan karakter yang
berebeda pula. Malaikat diciptakan Allah SWT dari sinar dan
perbuatannya selalu baik dan benar, tidak pernah salah.
Syaitan diciptakan Allah SWT dari api yang perbuatannya
selalu salah tidak pernah benar, lalu Allah SWT menjadikan
Syaitan sebagai mahkluk yang terkutuk. Sedangkan manusia
di ciptakan Allah SWT dari saripati tanah dan setetes air mani.
Sifat dan karakter manusia diantara keduanya, malaikat dan
syaitan, yaitu dapat berbuat baik dan dapat pula berbuat salah.
Karena itu manusia disebut juga sebagai makhluk yang tidak
luput dari perbuatan buruk dan dosa. Yang Mulia Majelis
Hakim; dan Yang Terhormat Penuntut Umum KPK Saya
menyadari sepenuhnya bahwa Saya adalah manusia biasa
282

bukanlah malaikat yang pekerjaannya benar semua tidak


pernah ada yang salah. Karena itu Saya juga berkeyakinan
bahwa tidak ada lembaga yang steril dari salah, yang
pandangan dan perbuatannya benar semua tidak pernah salah,
sepanjang lembaga itu diisi dan dikelola manusia. Demikian
halnya dengan lembaga yang disebut dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi dan lembaga-lembaga lainnya yang
ada di muka bumi ini, pasti tidak luput dari salah dan khilaf.
Atas dasar itu sebelum pengadilan Allah Yang Maha Adil dan
Maha Agung berlangsung di yaumil akhir nanti, Saya mohon
dengan segala hormat dan kerendahan hati, agar sidang
pengadilan Yang Mulia pimpin ini dapat melihat perkara
Terdakwa dengan sejernih-jernihnya dan seadil-adilnya. Dan
tetap berpegang teguh pada pandangan bahwa penolakan atas
dakwaan Penuntut Umum KPK adalah keputusan yang arif
bijaksana yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan yang
tidak menyalahkan siapapun dan lembaga manapun. Kepada
Allah SWT Saya berserah diri, kepada Allah SWT Saya
mohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan, kepada
Allah SWT Yang Maha Mengetahui isi hati dan pikiran yang
tersembunyi Saya mengadu dan mohon keadilan, kepada Allah
SWT yang tidak pernah ngantuk dan tidur saya mohon
ampunan dan hanya kepada Allah SWT-lah kelak kita akan
283

kembali dan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan


segala perbuatan kepada Allah SWT.
Setelah membaca dan menimbang adanya pledoi dan
keberatan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum KPK maka
berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan

Majelis

hakim

pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akhirnya Menolak


nota keberatan (eksepsi) yang diajukan mantan Menteri
Agama Suryadharma Ali dan pengacaranya dalam perkara
dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Agama
sepanjang 2010-2014.
"Mengadili, menyatakan eksepsi atau keberatan dari
terdakwa Suryadharma Ali dan penasihat hukum terdakwa
tidak dapat diterima. Ke dua menyatakan surat dakwaan
Penuntut Umum KPK atas nama terdakwa Suryadharma Ali
adalah sah dan telah meemnuhi ketentuan pasal 143 ayat 2
huruf a dan b KUHAP. Ke tiga, memerintahkan penuntut
umum untuk melanjutkan pemeriksan pokok perkara," kata
ketua majelis hakim Aswijon saat membacakan putusan sela di
pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/9).
Sebelumnya pada 7 September lalu Suryadharma Ali
sudah

mengajukan

nota

keberatan

yang

antara

lain

menyatakan bahwa ia sama sekali tidak melakukan tindakan


melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara
284

maupun menggunakan uang negara untuk keuntungan


pribadinya.
Namun hakim berpendapat lain. Suryadharma Ali
dalam eksepsinya beralasan bawa kerugian negara yang
didakwakan KPK kepada dirinya yaitu sekitar Rp 53,9 miliar
hanya kebohongan belaka. Terkait penghitungan kerugian
negara tersebut, majelis hakim menilai bahwa penghitungan
kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan.
Apalagi
Mahkamah

menurut

Konstitusi

hakim

pada

24

berdasarkan
Oktober

putusan

2012

yang

membenarkan KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan


BPK dan BPKP dalam rangka pembuktian Tindak Pidana
Korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi
lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar instansi BPK
dan BPKP, atau mengundang ahli lainnya.
Dalam perkara tersebut, Suryadharma Ali didakwa
memperkaya diri sendiri sejumlah Rp 1.821.698.840,- (Satu
miliar delapan ratus dua puluh satu juta enam ratus sembilan
puluh delapan ribu delapan ratus empat puluh Rupiah) dan
memperoleh hadiah 1 lembar potongan kain Kabah (kiswah)
serta merugikan keuangan negara sejumlah Rp 27,283 miliar
dan 17,967 juta riyal (sekitar Rp 53,9 miliar) atau setidak285

tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana laporan perhitungan


kerugian Negara dari Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan.
Pertimbangan Majelis menjatuhkan Hukuman adalah
karena Tindak Pidana itu (bermodus operandi) dilakukan
dengan menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi
persyaratan menjadi petugas panitia penyelenggara ibadah haji
di Arab Saudi yang memanfaatkan sisa kuota haji nasional
tidak berdasarkan prinsip keadilan. Perbuatan Suryadharma
Ali yang dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang
lain antara lain memberangkatkan 1.771 anggota jemaah haji
yang tidak sesuai urutan, 180 petugas panitia penyelenggara
ibadah haji, tujuh pendamping Amirul Hajj yang dia tunjuk tak
sesuai dengan ketentuan dan sejumlah korporasi penyedia
akomodasi di Arab Saudi.
Selain itu, Suryadharma Ali dianggap melakukan
perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dalam penggunaan Dana Operasional Menteri pad
tahun 2011 hingga tahun 2014. Uang itu justru digunakan
untuk

kepentingan

pribadi

dan

keluarganya,

termasuk

melancong ke negara lain dan berobat, alih-alih untuk


menunjang pekerjaan.
286

Akhirnya Majelis Hakim menjatuhkan Putusan kepada


Suryadharma Ali, dengan sanksi pidana selama enam tahun
hukuman penjara dan denda Rp 300.000.000,- (Tiga ratus juta
Rupiah) subsider selama tiga bulan. Pejabat Partai Persatuan
Pembangunan ini juga diminta membayar uang pengganti
kerugian negara untuk membayar uang pengganti sebesar Rp
1.821.698.840,- (Satu miliar delapan ratus dua puluh satu juta
enam ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus empat
puluh Rupiah). Jika dia tidak dapat membayarnya, maka harta
bendanya akan disita senilai dengan yang dibebankan. Apabila
tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka diganti
pidana kurungan selama 2 tahun.
b. Analisis Hukum
Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa mantan
Menteri Agama Republik Indonesia yaitu Suryadharma Ali
dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi penyalahgunaan
Pendanaan Ibadah Haji dan penyalahgunaan Dana Operasional
Menteri dalam Perkara No. 93/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst
yang dalam pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta, dilaksanakan pada hari Senin 11 Januari 2016
analisis hukum pada kajian ini mengenai penyalahgunaan yang
dilakukan mantan Menteri Agama Republik Indonesia,

287

memberi kesan buruk terhadap citra Pemerintah apalagi


sebagai dinilai berpredikat sangat kurang baik dalam
memberikan pelayanan publik.
Menyambung uraian di atas sebagaimana telah diulas
mengenai tindak pidana korupsi yang telah dikenal publik
sejak Tahun 1960, perbuatan korupsi sebenarnya tidak hanya
memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, tetapi juga
orang lain atau korporasi. Rumusan tindak pidana korupsi
yang diatur dalam berbagai peraturan sejak tahun 1960 itu
ternyata sejalan pula dengan doktrin para ahli hukum menurut
Leisle Palmer. Dalam bukunya yang berjudul "The Control of
Birocratic Corruption", Palmer menyatakan "The term of
private is to be understood as not limited to the official, but
also including a group or class with which he identifies, while
profit should be taken to cover all forms of advantages or
benefit, not merely financial".182
Berdasarkan pendapat Palmer tersebut, lanjut Abdul,
dapat disimpulkan bahwa pendapat pihak Suryadharma yang
menganggap suatu benda yang didapat oleh Terdakwa akibat
tindak pidana korupsi yang dilakukannya semata-mata diukur

182
Leslie Palmer, The control of bureaucratic corruption: case study in Asia, Delhi, Allied, 1985. p.19

288

dengan nilai uang. Pasalnya, banyak benda mahal yang


dianggap bernilai dari sisi lain.
Selain itu, Tim Penasihat Hukum dari Terdakwa
Suryadharma

yang

memaknai

secara

sempit

frasa

"memperkaya" atau "menguntungkan" dalam Pasal 2 ayat (1)


atau Pasal 3 UU Tipikor. Padahal, jika dibaca secara lengkap
frasa itu berbunyi memperkaya atau "menguntungkan" diri
sendiri, orang lain, atau korporasi.
Jadi, jika pengacara Suryadharma memaknai tindak
pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3
UU Tipikor hanya dari kapasitas besarnya uang yang dikorupsi
terdakwa. Maka dapat dianggap diskriminatif hanya mencari
keuntungan semata tanpa ada pemikiran atas dampak dan
penderitaan yang dialami publik dengan kata lain masih ada
alternatif pembelaan yang tidak harus beranggapan hanya
dengan seberapa besar uang yang telah dinikmati terdakwa
sebagai kliennya melainkan bagaimana terdakwa mengakui
perbuatan

dengan

menyadari

kesalahan-kesalahan

dan

bertanggungjawab dalam mengganti kerugian negara demi


pengembalian kepercayaan publik, dengan demikian tidak
terjadi

stagnasi

dalam

berpikir

dan

berhukum

untuk

memberantas tindak pidana korupsi.

289

"Pemikiran

seperti

itu

secara

langsung

mendiskreditkan upaya pemberantasan korupsi menjadi lemah,


karena

korupsi

hanya

dipandang

sebagai

perbuatan

memperkaya atau menguntungkan terdakwa saja, sehingga


tidak

dapat

menjangkau

tindak

pidana

korupsi

yang

memperkaya atau menguntungkan keluarga, orang terdekat,


kader dari partai terdakwa, serta pihak lainnya yang memiliki
kepentingan menyangkut balas jasa.
Dengan demikian telah tepat bila Pengadilan memutus
Suryadharma dengan ancaman sanksi sesuai tindak pidana
korupsi yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo
Pasal 18 UU PTPK (No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ) Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana
Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Pasal-pasal tuntutan di atas mengatur tentang orang
yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau
kedudukan

sehingga

dapat

merugikan

keuangan

dan

perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain


atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20
tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.

290

Relevansinya terhadap putusan Majelis Hakim yang


memberikan Putusan hakim sebagaimana diuraikan di atas
lebih ringangan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK
yakni selisih 11 tahun penjara dan denda selisih Rp
750.000.000,- (Tujuh ratus lima puluh juta Rupiah), subsider
enam bulan kurungan. Dalam pertimbanganya, hakim menilai
SDA berkelakuan sopan dan memiliki prestasi saat menjabat
sebagai Menteri Agama. Dalam kajian penilaian Vonis yang
dijatuhkan Majelis Hakim cukup kooperatif walaupun Jaksa
Penuntut Umum KPK tidak puas dengan putusan Hakim
termasuk pihak terdakwa Suryadharma Ali, yang ingin hasil
putusan

Majelis

Hakim

Tindak

Pidana

Korupsi

membebaskannya dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK,


dengan demikian Majelis Hakim cukup dirasakan memiliki
penghormatan baik terhadap hak-hak asasi manusia juga
termasuk tertib hukum dan law enforcement berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang tidak memiliki maksud
diskriminatif, apabila nanti dilakukan pengajuan banding
sebagai upaya hukum selanjutnya tidak terlepas dari hak setiap
subjek hukum dalam membela hak-haknya, namun kembali
kepada hakikat putusan a quo, Majelis Hakim yang diketuai
oleh Hakim Aswijon dapat dapat menjadi panutuan bagi
hakim-hakim lainnya dalam memberikan pertimbangan hukum
291

dan memutuskan berdasarkan pertanggungjawabannya terhada


Tuhan Yang Maha Esa.

3.2.2.2.

Proses Kasus Gubernur DKI (Ahok)183


a. Kasus Posisi
Basuki Tjahya Purrnama yang menurut panggilan
singkat (Ahok) lahir di Manggar, Belitung Timur Tanggal 29
Juni 1966 yang beralamat domilsili di Pantai Mutiara No 39,
Blok Y, Pluit, Jakarta Utara. Gubernur Daerah Khusus Ibukota
Jakarta terindikasi melakukan kerugian daerah dengan
kronologi sebagai berikut:
Tanggal 12 Mei 2014, Ahok terlibat dalam pembelian
lahan RS Sumber Waras, Ahok yang masih menjabat sebagai
Pelaksana

Tugas

(Plt)

Gubernur

itu

pertama

kali

menyampaikan niatnya membangun RS khusus kanker dan


jantung kepada media. Saat itu, Ahok ingin membangun
rumah sakit untuk membantu RS Kanker Dharmais dan
Harapan Kita yang pasiennya cukup diluar kapasitas. Bahkan,
saat

itu,

Pemerintah

Provinsi

DKI

mengaku

telah

183
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/11/24/09300481/Menelisik-Peran-Ahok-dalam-KasusPembelian-Lahan-RS-Sumber-Waras dengan tema: Menelisik Peran Ahok dalam Kasus Pembelian
Lahan RS Sumber Waras, diakses pada tanggal, 24 November 2016.

292

mempersiapkan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun untuk


pembelian lahan RS Sumber Waras.
Rencananya, lahan RS Sumber Waras akan dibeli
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan
(APBD-P) 2014. Pembangunan RS itu juga dilakukan untuk
mengubah rencana komersialisasi lahan yang dilakukan oleh
PT Ciputra Karya Utama. Perusahaan itu ingin mengubah
peruntukan lahan RS Sumber Waras menjadi mal.
Pada Tanggal 16 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras
menyatakan lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat
kerja sama dengan PT Ciputra Karya Utama. Sepuluh hari
kemudian tepatnya tanggal 26 Juni 2014, Dinas Kesehatan
DKI merekomendasi Ahok untuk tidak membangun RS di
lahan RS Sumber Waras. Adapun lahan yang sebenarnya
disediakan berada di Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat,
bersebelahan dengan Kantor Dinas Kesehatan dan di Jalan
Sunter Permai Raya, Jakarta Utara, yang kini menjadi lokasi
Gedung Ambulance Gawat Darurat.
Akan menempati lahan di Jalan Kesehatan untuk RS
jantung dan di Jalan Sunter Permai Raya untuk RS kanker.
Surat tersebut menyebut, lahan RS Sumber Waras tidak dijual.
Tanggal 27 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras
bersurat kepada Pemprov DKI dan menyatakan bersedia
293

menjual lahan tersebut. pihak penjual memasang harga nilai


jual obyek pajak (NJOP) sekitar Rp 20 juta untuk lahan
tersebut. NJOP tersebut sama dengan sebagian lahan milik RS
Sumber Waras lainnya yang dikelola oleh Yayasan Sumber
Waras yang memiliki akses ke Jalan Kyai Tapa.
Sementara itu, lahan yang ditawarkan kepada Pemprov
DKI berada di bagian belakang dekat Jalan Tomang Utara,
Jakarta Barat.
Tanggal 7 Juli 2014, pihak RS Sumber Waras kembali
bersurat kepada Pemprov DKI jakarta.hingga keesokan
harinya tanggal 8 Juli 2014, Ahok mendisposisikan surat
tersebut kepada Andi Baso Mappapoleonro yang saat itu
menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) DKI untuk mempersiapkan anggaran senilai Rp 20
juta tanpa proses negosiasi. Selang empat bulan dan tepat pada
tanggal 14 November 2014, Dinas Kesehatan DKI Jakarta
mengeluarkan kajian terhadap lahan RS Sumber Waras. Hasil
kajiannya, lahan RS Sumber Waras memenuhi beberapa syarat
kelaikan, yakni tanahnya siap pakai, bebas banjir, akses jalan
besar, jangkauan luas, dan luas lahan yang lebih dari 2.500 M 2
(Dua ribu lima ratus meter persegi).
Hingga pada tanggal 10 Desember 2014, Pemprov DKI
resmi menunjuk lokasi pembelian lahan. Selanjutnya Pada 11
294

Desember 2014, pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras


membatalkan perjanjian dengan PT Ciputra Karya Utama.
Kemudian, mereka beralih kerja sama dengan Pemprov DKI
Jakarta setelah empat hari kemudian pada tanggal 15
Desember 2014, Bendahara Umum Pemprov DKI mentransfer
uang senilai Rp 800 miliar ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta
untuk membeli lahan tersebut. hingga pada hari-hari terakhir
bulan Desember tertanggal 30 Desember 2014, Dinas
Kesehatan DKI membayar lahan kepada RS Sumber Waras
dalam bentuk cek. Yang dicairkan tanggal 31 Desember 2014,
cek tersebut pun dicairkan oleh pihak RS Sumber Waras.
Selang enam bulan ditanggal 6 Juli 2015, di dalam
sidang paripurna, BPK melaporkan laporan hasil pemeriksaan
(LHP) BPK terhadap laporan keuangan Pemprov DKI tahun
anggaran 2014. Pemprov DKI mendapat opini wajar dengan
pengecualian (WDP) terhadap laporan keuangan tahun 2014.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapatkan 70 temuan
dalam laporan keuangan daerah senilai Rp 2,16 triliun.
Temuan itu terdiri dari program yang berindikasi kerugian
daerah senilai Rp 442 miliar dan berpotensi merugikan daerah
dengan jumlah kumulasi sebanyak Rp 1,71 triliun.
Lalu, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23
miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan
295

pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. BPK lantas menyoroti


beberapa temuan yang wajib menjadi perhatian Pemprov DKI.
Salah satunya pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta
Barat yang tidak melewati proses pengadaan memadai.
Indikasi kerugiannya sebesar Rp 191 miliar. BPK juga menilai
lahan tersebut tidak memenuhi lima syarat yang dikeluarkan
Dinas Kesehatan DKI. BPK menilai lahan itu tidak siap
bangun karena banyak bangunan merupakan daerah banjir dan
tidak ada jalan besar. Menurut BPK, lahan yang dibeli
Pemprov DKI NJOP-nya sekitar Rp 7 juta. Namun,
kenyataannya DKI malah membayar NJOP sebesar Rp 20 juta.
Hal ini dinilai BPK merupakan NJOP tanah di bagian
depan, yang masih menjadi milik pihak Rumah Sakit Sumber
Waras. Tanggal 10 September 2015, Ahok mengakui awal niat
Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras karena ada
sejumlah pekerja RS tersebut yang berdemo di depan Balai
Kota. Mereka mengadu karena hendak di-PHK dan RS akan
diubah menjadi mal. Ahok geram dan berencana membeli
lahan tersebut.
Saat itu, Ahok belum bertemu pihak RS Sumber Waras,
tetapi pemberitaan sudah menyebutkan Pemprov DKI
membeli lahan RS Sumber Waras. Hingga tanggal 16
September 2015, Ahok mengungkapkan alasan pembelian
296

lahan RS Sumber Waras ketika paripurna penyampaian


pandangan fraksi atas laporan pertanggungjawaban (LPJ)
APBD 2014.
Ahok menjelaskan, pengadaan RS Sumber Waras itu
merupakan kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif
pada Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon
Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2014. Dalam pelaksanaan
program itu, Ahok menjelaskan, Pemprov DKI melakukan
pengadaan lahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 beserta turunannya dengan nilai harga tanah
sesuai NJOP tahun 2014.
Nilai transaksi sudah termasuk nilai bangunan dan
seluruh biaya administrasi, atau dengan kata lain Pemprov
DKI tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lainnya.
Penetapan NJOP berdasarkan zonasi sebagai satu hamparan
tanah (satu nomor obyek pajak menghadap Jalan Kyai Tapa)
yang ditetapkan sejak tahun 1994 sesuai database yang
diserahkan oleh Kementerian Keuangan Cq Dirjen Pajak.
Adapun total pembelian lahan yang dikeluarkan oleh Pemprov
DKI Jakarta sesuai dengan NJOP, yakni Rp 755 miliar, dengan
berbagai keuntungan karena tidak harus membayar biaya ada
administrasi lainnya. Selain itu, bukti formal sertifikat hak
guna bangunan (HGB) atas lahan tersebut menyatakan alamat
297

Jalan Kyai Tapa. Sesuai dengan hasil appraisal, nilai pasar


lahan tersebut per 15 November 2014 Rp 904 miliar. Artinya,
kata Ahok, nilai pembelian Pemprov DKI Jakarta jauh di
bawah harga pasar.
Pada

28

Oktober

2015,

Ahok

menyampaikan

perpanjangan waktu audit investigasi kasus pembelian lahan


RS Sumber Waras oleh BPK. Perpanjangan waktu audit itu
merupakan

permintaan

Komisi

Pemberantasan

Korupsi

(KPK). Dari 60 hari ditambah 20 hari, menjadi total waktu


audit investigasi selama 80 hari.
Pada Tanggal 23 November 2015, BPK memeriksa
Ahok selama sembilan jam. Ahok yang selama ini kerap
bersuara lantang dan mempertanyakan kredibilitas BPK justru
mendapat banyak pelajaran. Kini, Ahok mengakui sistem
penganggaran Pemprov DKI yang buruk. Ia menyerahkan
kasus tersebut kepada BPK dan KPK.
b. Analisis Hukum
Analisis hukum terhadap tindakan Basuki Tjahya
Purnama

(Ahok)

bila

direalisasikan

maka

menjadi

penyalahgunaan wewenang yang dapat menjurus ke arah


tindak pidana korupsi sebab jika diperhatikan dalam perspektif
hukum pidana dalam hal yang dapat disebut sebagai tindak

298

pidana korupsi dari adanya penyalah gunaan wewenang harus


dengan memperhatikan karakter berkaitan dengan unsur atau
elemen yang bersifat alternatif untuk menentukan apakah
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Ahok itu
dapat menjurus ke arah Tindak Pidana Korupsi atau hanya
berupa tindakan diskresi sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1 ayat (9) UU AP, adapun penilaiannya adalah dengan melihat
apakah ada tiga unsur yang dapat menguatkan keyakinan
tersebut, di antaranya yakni:
1. Menyalahgunakan kewenangan, berarti menyalahgunakan
kekuasaan atas hak yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan.
2. Menyalahgunakan kesempatan, berarti menyalahgunakan
waktu (mengambil manfaat) yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan.
3. Ketiga,

menyalahgunakan

sarana,

artinya

menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada


padanya karena jabatan atau kedudukan.
Bila berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan
atau Abuse of Power atau peluang untuk melakukan sesuatu
inilah yang dimaksud dengan kesempatan. Sebab stiap orang
yang memiliki jabatan atau kedudukan biasanya akan
mendapat sarana tertentu pula dalam rangka menjalankan
299

kewajiban

dan

kewenangannya.

Terminologi

mengenai

sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat


untuk mencapai maksud dan tujuan. Seseorang dengan jabatan
atau

kedudukan

tertentu

akan

memiliki

wewenang,

kesempatan dan sarana tertentu yang dapat Ahok gunakan


untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. Wewenang,
kesempatan dan sarana ini diberikan dengan rambu-rambu
tertentu. Bila kemudian rambu-rambu itu dilanggar atau bila
wewenang, kesempatan, dan sarana tersebut tidak digunakan
sebagaimana mestinya, maka telah terjadi penyalahgunaan
wewenang, kesempatan dan sarana yang dimiliki karena
jabatan atau kedudukannya.
Terdapat lima faktor yang menyebabkan pembelian
lahan bermasalah.
1. Pengadaan tanah.
2. Disposisi Pelaksana Tugas (Plt) pada lingkup Gubernur
DKI yang memerintahkan Kepala Bappeda DKI untuk
menganggarkan pembelian tanah tidak sesuai ketentuan
3. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tidak melakukan
studi kelayakan dan kajian teknis dalam penentuan lokasi.
4. Pembelian tanah masih terikat perjanjian jual-beli oleh
pihak lain. Pihak Yayasan menyerahkan fisik tanah
kepada Pemerintah Provinsi tak sesuai dengan selisih
300

harga tanah Rp 484.617.100.000, (Empat ratus delapan


puluh empat miliar enam ratus tujuh belas juta seratus ribu
Rupiah).
5. pihak

yayasan

menyerahkan

akta

pelepasan

hak

pembayaran sebelum melunasi tunggakan pajak bumi dan


bangunan.
Mengenai hal yang menimbulkan Kerugian terhadap
Negara maka perbuatan itu harus jelas terbukti berunsur
dapat merugikan keuangan negara berkaitan dengan suatu
tindak pidana korupsi adalah:
a. Dapat Merugikan Keuangan Negara. Menurut Penjelasan
Umum UU PTPK, yang dimaksud dengan keuangan
negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk
didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
yang timbul karena: Pertama, berada dalam penguasaan,
pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga
negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua,
berada

dalam

pertanggungjawaban

penguasaan,

pengurusan

BUMN/BUMD,

yayasan,

dan
badan

hukum, dan perusahaan yang mertakan modal pihak ketiga


berdasarkan perjanjian dengan negara.

301

b. Perekonomian

Negara,

yang

dimaksud

dengan

perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian


yang disususun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri
yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di
tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan
bertujuan

perundang-undangan
memberi

yang

manfaat,

berlaku

yang

kemakmuran,

dan

kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Kedua


poin dalam unsur-unsur dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara in aquo adalah bersifat
alternatif.
Jadi untuk membuktikan seseorang melakukan tindak
pidana korupsi atau tidak, berkaitan dengan unsur/elemen ini,
maka cukup hanya dibuktikan salah satu point saja. Namun,
yang harus diingat dan diperhatikan dalam pembuktian unsur
ini ialah Kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara menunjukan bahwa Pasal 2
ayat (1) UU PTPK mengamanatkan agar tindak pidana korupsi
harus dipahami sebagai delik formil dan bukannya delik
materil.
BPK

DKI

juga

merekomendasikan untuk

tidak

tegas

pembatalan

di

mana

hanya

pembelian lahan.
302

Senilai Rp 191 miliar, dapat dikatakan Komisi II DPR RI


akan memeriksa BPK DKI, Pemprov DKI dan Walikota
Jakarta Barat untuk memperjelas permasalahan pembelian
lahan Sumber Waras. Dia menegaskan DPR akan terus
mengawal kasus Sumber Waras sampai tuntas.
Apabila pembelian tersebut terlaksana maka Ahok
dapat

dikatagorikan

melakukan

tindakan

pidana

atas

pembelian lahan Sumber Waras harus diproses hukum.


Kejahatan pidananya antara lain terjadi KKN, tidak mematuhi
peraturan perundang-undangan, ada kerugian negara antara Rp
191 miliar sampai Rp 484 miliar, dan indikasi kesalahan
kebijakan yang merugikan negara sampai Rp 800 miliar.
Karena lahan RS Sumber Waras bukan untuk dijual
dan tidak ada studi kelayakan lebih dulu. Dan berdasarkan PP
Nomor 49 tahun 2008, Plt Gubernur DKI wajib memahami
posisinya, terlebih dalam situasi darurat dan tidak boleh
mengubah program Gubernur sebelumnya. Sebab yang
menjadi pertanyaan Obyek tersebut berupa tanahnya yang
ada di Tomang Utara, bukan di Jalan Kyai Tapa. harga
seharusnya sesuai NJOP adalah Rp 7 jutaan, tapi dijual Rp
20,755 juta permeter. Sehingga bila penulis menilai perbuatan
Gubernur sebagai Pejabat Pemerintah akan dapat diperoses
melalui ketentuan Pasal 2 UU PTPK sebab adanya unsur
303

menguntungkan diri sendiri sebagaimana ketentuan Pasal 3


UU PTPK, ketentuan dalam substansi baik melalui sinergitas
antara UU AP dan UU PTPK dapat menjadi regulasi yang
dapat digunakan sebagai alat rekayasa dalam terus melawan
kebijakan yang salah, untuk menciptakan tertib hukum dan
kepastian hukum dalam tujuan bagi pejabat Pemerintah dalam
memberi daya guna dalam pelayanan publik, sekaligus
memberikan citra dan kualitas baik serta kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja Pemerintah yang sesuai sebagai
penyelenggara negara dalam lingkup Hukum Administrasi
Negara.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, Diapit Media, Jakarta,
2002.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Abdul Wahi Selayan dan Ahmad Fauzi Ridwan, Pengertian Umum, Cet.I. Bab I,
Tata hukum Indonesia, Bintang, Medan, 1960.
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Edisi
Pertama, Cetakan Ke-II, Bayumedia, Malang (JATIM). 2005.
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2004.

304

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
C.F. Strong, Modern Political Constitution, The English Language Book Society
and Side Wick & Jackson Limited, London, 1965.
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.
Denny Indrayana, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011.
E. Sumaryno, Etika dan Hukum (Relevansi Teori hukum Kodrat Thomas
Aquinas), Kanisius Yogyakarta, 2002.
E. Utrecht II, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Ichtiar . Jakarta, 1987.
F.X. Adji Samekto, dkk, Hukum Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia,
Semarang: Walisonngo Research Institute (WRI), 2001.
H. A. Muin Fahmal, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, penerbit Kreasi Total Media,
Yogyakarta, 2008.
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pers, Jakarta, 2014.
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka,
Jakarta, Tanpa Tahun.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana,
Diadit Media, Jakarta, 1997.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993.
305

Inu Kencana Syafiie Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI),


Bumi Aksara, Jakarta 2010.
J Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, PT Rineka Cipta, Jakarta,
2007.
J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen: Ars
Aeguilibri, 1998.
Jean Rivero dan Waline sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji dalam
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak
Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Edisi
Pertama, Cetakan Kedua, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2009.
Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan
Cendekia, Surabaya, 2001.
Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978.
Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997.
Leslie Palmer, The control of bureaucratic corruption: case study in Asia, Delhi,
Allied, 1985.
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
Luthfi J. Kurniawan, Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum & Kebijakan Publik,
Setara Press,Malang, 2011.

306

M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum,

Cetakan Kedua

, Pradnya

Paramita, Jakarta, 1982.


Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Proses

Dinamika

Penyusunan

Hukum

Hak

Asasi

Manusia

(HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2005.


Marbun, Rocky, dkk, Kamus Hukum Lengkap, Jakarta, Transmedia Pustaka,
2012.
Maria

Farida

Indriati

Soeprapto,

Ilmu

Perundang-undangan,

Kanisius,

Yogyakarta, 1998.
Martins, Jr (ed). Professional Stan- dards and Ethics, Washington, DC: ASPA
Publisher, 1979.
Marwan Effendi, Kejaksaan RI dalam Perspektif Hukum dan Implikasinya,
Gramedia, Jakarta, 2005.
Masyhur Efendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum
Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
________

, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 2000,

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002.
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan
Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006.
307

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina


Ilmu, Surabaya, 1987.
________________

et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Pengantar Hukum


Administrasi

Indonesia

(Introduction

To

The

Indonesian

Administrative Law), Cetakan VIII, Gadjah Mada University Press,


Yogyakarta, 2002.
_______________

, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 2005.

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,


1981.
__________________

, Beberapa Pandangan Umum Pengambilan Keputusan, Decision

Making, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.


R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bandung, 1991.
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar
Maju, Bandung, 1995.
__________________

, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia,

BPHN, Jakarta, 2002.


Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan dari edisi yang
diperluas oleh Drs. Mohammad Radjab, Bhratara Karya Aksara,
Jakarta, 1982.
308

S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan Di Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1980.


Sadjijono mengutip Philipus M. Hadjon, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi, Cetakan Pertama, LaskBang PRESSindo, Yogyakarta,
2008.
Sadu Wasistiono, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good
Governance, dalam Syamsudin Haris (Ed.), Desentralisasi &
Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2005.
Samudra

Wibawa,

Reformasi

administrasi:

Bunga

Rampai

Pemikiran

Administrasi Negara atau Publik, Yogyakarta: Gaya Media, 2005.


Samuel Edward Finer, Comparative Government, Penguin Books Ltd., Harmonds
Worth, Middlesex, England 1974.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Bakti, Bandung, 2000.
_______________

, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006.

Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh
Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955.
Schaffmeister, D.et.all, 1995, Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, 1995.
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Averroes Press, 2002.
SF, Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia, Yogyakarta FH UII Press, 2011.
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1989.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Administrasi Negara, karya Ridwan HR, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2007.
309

Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis


Terhadap Pidato Newaksara, Gramedia, Jakarta, 1997.
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana
Korupsi Indonesia Lawyer Club, Cet.IV, Surabaya, 2010.
Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur Bandung, Bandung,
1960.
_________________

, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama,

Bandung, 2003.
WJ.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1983.

B. Data Lain
Asep Warlan, Materi Acara Sosialisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, Di Hotel Prima Resort Kuningan
Tanggal 22 Oktober 2015.
C.J.N. Versteden. Inleiding Algemeen Besmursrecht. Alphen aan den Rijn,
Samson, HD., Tjeenk Willink, 1984.
F.A.M. Stroink dan J.G, Steenbeek. Inleiding in het staat-en Administratief Recht.
Alphen aan den Rijn: Samson HD. Tjeenk Willink, 1985.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1971.
Philipus Mandiri Hadjon. Diktat Orasi Ilmiah dengan topik Fungsi Normatif
Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih,
Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994.
310

Purnadi Purbacaraka, Perundang-Undangan & Yurisprudensi, Alumni, Bandung,


1979.
Putusan Badan Peradilan, Varia Peradilan, No. 223 Th. XIX. April 2004.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II (Kumpulan Kuliah), Balai Lektur
Mahasiswa, Jakarta.
Sutarto, Encyclopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta.
The International Covenant on Civil and Political Rights Number 14668, Vol.
999,1-14668, on 23 March 1976.
C. Websites
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/abc5ca5c8d35b6d369744696eac4e
27b, dengan Topik: Putusan PN Bandung Nomor 146 / Pid.Sus /
TPK / 2013 / PN.Bdg Tahun 2014 Dada Rosada, diakses pada tanggal
30 Desember 2015.
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/301dc187df6faba9b96d9abde1761e
44, Putusan dengan Topik: Mahkamah Agung Nomor 1616
K/Pid.Sus/2013 Tahun 2013 Angelina Patricia Pingkan Sondakh
diakses pada tanggal 15 Januari 2015
http://www.kompasiana.com/rezaazhar/selembar-potongan-kiswah-kpkmembawa-sda-ke-penjara-eksepsi-sdaupdated_55ed6a754ef9fdb3122b1fd6

dengan

Topik:

Selembar

Potongan Kiswah Suryadharma Ali ke Penjara Eksapsi Suryadharma


Ali tidak diterima, di akses tanggal 28 Januari 2016

311

http://megapolitan.kompas.com/read/2015/11/24/09300481/Menelisik-PeranAhok-dalam-Kasus-Pembelian-Lahan-RS-Sumber-Waras

dengan

tema: Menelisik Peran Ahok dalam Kasus Pembelian Lahan RS


Sumber Waras, diakses pada tanggal, 24 November 2016.

312

Anda mungkin juga menyukai