Anda di halaman 1dari 52

Kriminalisasi Hak Waris

BAB I
HUKUM WARIS
A. Negara Hukum
Indonesia sebagi negara yang lahir di abad modern menyatakan
dirinya sebagai negara hukum. Konsep negara hukum yang dianut oleh
Indonesia banyak dipengaruhi paham Eropa Kontinental. Hal ini dapat
dipahami karena Indonesia adalah bekas jajahan Belanda yang membawa
pengaruh konsep negara hukum Eropa Kontinental. Karena istilah yang
digunakan adalah rechtsstaat, pertanyaannya adalah rechtsstaat atau negara
hukum bagaimana yang dianut di Indonesia?1
1. Konsep Negara Hukum Rechtsstaat
Istilah rechtsstaat yang diterjemahkan sebagai negara hukum
menurut Philipus M. Hadjon mulai populer di Eropa Sejak abad ke-19,
meski pemikiran tentang hal itu telah lama ada. 2 Cita negara hukum itu
untuk pertama kalinya di kemukakan oleh Plato dan kemudian
pemikiran tersebut dipertegas oleh Aristoteles. 3
Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu negara
bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaanlah yang
menentukan baik atau buruknya suatu hukum. 4 Menurut Aristoteles,
suatu negara yang balk ialah negara yang diperintah dengan konstitusi
dan berkedaulatan hukum. Ia menyatakan: 5
Constitutional rule in a state is closely connected, also with
the requestion whether is better to be rulied by the best men or
the best law, since a government in accordinace with law,
accordingly the supremacy of law is accepted byAristoteles as
mark of good state and not merely as an unfotunate neceesity.
(Terjemahan bebas : Aturan konstitusional dalam suatu negara
berkaitan secara erat, juga dengan mempertanyakan kembali
1

Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusional Mahkamah
Konstitusi, (Bandung: Alimni, 2008), 31-57.
2
Philipus. M. Hadjon, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Hak-hak Asasi
Manusia, Kumpulan Tulisan dalam Rangka 70 Tahun Sri Soemantri Martosoewigjo,
(Jakarta: Media Pratama, 1996), hlm 72.
3
Nimatul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta: UII
Press, 2005), hlm 1.
4
Ibid.
5
George Sabine, A History of Political Theory, (London: George G. Harrap & Co.
Ltd., 1945), hlm 92; lihat juga Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan
Konstitusi, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm 22.

Kriminalisasi Hak Waris


apakah lebih baik diatur oleh manusia yang terbaik sekalipun
atau hukum yang terbaik, selama pemerintahan menurut
hukum. Oleh sebab itu, supremasi hukum diterima oleh
Aristoteles sebagal pertanda negara yang baik dan bukan
semata-mata sebagal keperluan yang tidak layak).
Aristoteles juga mengemukakan tiga unsur dari Pemerintahan
berkonstitusi. Pertama, Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan
umum. Kedua, Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat
secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan
konstitusi. Ketiga, Pemerintahan berkonstitusi yang dilaksanakan atas
kehendak rakyat.6
Pemikiran Aristoteles tersebut diakui merupakan cita negara
hukum yang dikenal sampai sekarang. Bahkan, ketiga unsur itu hampir
ditemukan
dan
dipraktikan
oleh
semua
negara
yang
mengidentifikasikan dirinya sebagai negara hukum.
Konsep negara hukum rechtsstaat di Eropa Kontinental sejak
semula didasarkan pada filsafat liberal yang individualistik. Ciri
individualistik itu sangat menonjol dalam pemikiran negara hukum
menurut konsep Eropa Kontinental itu. Konsep rechtsstaat menurut
Philipus M. Hardjon lahir dari suatu perjuangan menentang
absolutisme, sehingga sifatnya revolusioner.7
Adapun ciri-ciri rechtsstaat adalah sebagai berikut:8
1. Adanya Undang-undang Dasar atau konstitusi yang memuat
ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
2. Adanya pembagian kekuasaan negara;
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Ciri-ciri rechtsstaat tersebut menunjukkan bahwa ide sentral
rechtsstaat adalah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya
Undang-Undang Dasar secara teorertis memberikan jaminan
konstitusional atas kebebasan dan persamaan tersebut.
Pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
penumpukan kekuasaan dalam satu tangan. Kekuasaan yang berlebihan
yang dimiliki oleh seorang penguasa cenderung bertindak mengekang
kebebasan dan persamaan yang menjadi ciri khas negara hukum.
6

Ibid.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,
(Surabaya, Bina Ilmu, 1987), hlm 72.
8
Nimatui Huda, Negara Hukum..., Op.Cit. hlm 9.
7

Kriminalisasi Hak Waris


Ciri-ciri rechtsstaat tersebut juga melekat pada Indonesia sebagai
sebuah negara hukum. Ketentuan bahwa Indonesia adalah negara
hukum tidak dapat dilepaskan, dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (disingkat UUD 1945) sebagai
cita negara hukum, kemudian ditentukan dalam batang tubuh dan
Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (sebelum diamandemen).
Alinea I Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, mengandung kata perikeadilan; dalam alinea II
terdapat kata adil; dalam alinea II terdapat kata Indonesia; dalam alinea
IV terdapat kata keadilan sosial dan kata kemanusiaan yang adil.
Semua istilah tersebut merujuk pada pengertian negara hukum, karena
salah satu tujuan negara hukum adalah untuk mencapai keadilan. 9
Pengertian keadilan yang dimaksud dalam konsep negara hukum
Indonesia adalah bukan hanya keadilan hukum (legal justice), tetapi
juga keadilan sosial (sociale justice).
Menurut Azhary, dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum amandemen), istilah
rechtsstaat merupakan suatu genus begrip, sehingga dalam kaitannya
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
adalah suatu pengertian khusus dan istilah rechtsstaat sebagai genus
begrip. Studi tentang rechtsstaat sudah sering dilakukan oleh ahli
hukum Indonesia, tetapi studi-studi mereka belum sepenuhnya dapat
menentukan bahwa Indonesia tergolong sebagai negara hukum dalam
pengertian rechtsstaat atau rule of law.10 Ada kecenderungan
interpretasi yang mengarah pada konsep rule of law, antara lain
pemikiran Sunaryati Hartono dalam bukunya, Apakah The Rule of Law
Itu?11
Bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia.
Karena Pancasila diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum,
Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum
Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam Negara Hukum Pancasila ialah
adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan
beragama.12

Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat. .., Op. Cit. hlm 25.


Azhary, Negara Hukum (Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Dilihat dan
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini),
(Jakarta: Penerbit Kencana, 2003), hlm 92.
11
Sunaryati Hartono, Apakah Rule of Law Itu?, (Bandung: Penerbit P.T. Alumni,
1982), hlm 1.
12
Azhary, Negara Hukum.., Loc.Cit.
10

Kriminalisasi Hak Waris


Hal itu berbeda dari Amerika Serikat misalnya yang memahami
konsep freedom of religion dalam arti positif maupun negatif,
sebagaiman dirumuskan oleh Denning yang dikutip Oemar Senoadji,
bahwa:
freedom of religion means that we are free to worship or not
to worship, to affirm the existence of God or to deny it, to
believe in Christian Religion or any other religion or in none,
as we choose.13

(Terjemahan bebas: kebebasan beragama berarti bahwa


kita bebas untuk menyembah atau tidak menyembah,
untuk menegaskan keberadaan Tuhan atau menyangkalNya, percaya pada Agama Kristen atau agama lain atau
tidak, selanjutnya dikembalikan pada pilihan kaum
tersebut).
Ciri berikutnya dari Negara Hukum Indonesia menurut Oemar
Senoadji ialah tiada pemisahan yang rigid dan mutlak antara agama dan
negara. Karena menurutnya, agama dan negara berada dalam hubungan
yang harmonis. Keadaan ini berbeda dengan di Amerika Serikat
misalnya yang menganut doktrin pemisahan agama dan gereja secara
ketat, sebagaimana dicerminkan oleh kasus Regents Prayer karena
berpegang pada wall of separation, doa dan praktik keagamaan di
sekolah-sekolah dipandang sebagai suatu yang inkonstitusional. 14
Padmo Wahjono menelaah Negara Hukum Pancasila dengan
bertitik tolak dan asas kekeluargaan yang tercantum dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang
diutamakan dalam asas kekeluargaan adalah rakyat banyak dan harkat
dan martabat manusia dihargai.15
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mencerminkan secara khas asas kekeluargaan ini. Pasal ini
menegaskan bahwa yang penting ialah kemakmuran masyarakat dan
bukan kemakmuran orang perorangan. Kiranya konsep Negara Hukum
Pancasila perlu ditelaah pengertiannya dilihat dari sudut pandang asas
kekeluargaan.
Padmo Wahjono memahami hukum sebagai suatu alat atau wahana
untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan
menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Pengertianinitercermin dan
13

Oemar Senoadji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1985),

hlm 24.
14

Oemar Senoadji, Op.Cit. hlm 35.


Padmo Wahjono, Konsep Yuridis Negara Hukum Republik Indonesia, (Jakarta:
Rajawali, 1982), hlm 17.
15

Kriminalisasi Hak Waris


rumusan Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (sebelum amandemen) yang dinyatakan bahwa Undangundang ini hanya memuat aturan-aturan pokok atau garis-garis besar
sebagai instruksi kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain
penyelenggaraan negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara
dan kesejahteraan sosial.
Menurut Azhary, hukum adalah wahana untuk mencapai keadaan
yang tata tenteram kerta raharja dan bukan sekadar untuk Kamtibnas
(rust en orde).16 Padmo Wahjono menjelaskan pula bahwa dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(sebelum amandemen) terdapat penjelasan bahwa bangsa Indonesia
juga mengakui kehadiran atau eksistensi hukum tidak tertulis (selain
hukum yang tertulis). Sehubungan dengan fungsi hukum, Padmo
Wahjono menegaskan tiga fungsi hukum dilihat dan cara pandang
berdasarkan asas kekeluargaan, yaitu: 17
1. Menegakkan demokrasi sesuai dengan rumusan tujuh pokok sistem
pemerintahan negara dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menegakkan perikemanusiaan yang didasarkan pada Ketuhanan
Yang Maha Esa dan dilaksanakan secara adil dan beradab.
Padmo Wahjono menamakan fungsi hukum Indonesia sebagai
suatu pengayoman. Oleh karena itu, ia berbeda dengan cara pandang
liberal yang melambangkan hukum sebagai Dewi Yustitia yang
memegang pedang dan timbangan dengan mata tertutup,
memperlihatkan citra bahwa keadilan yang tertinggi ialah suatu
ketidakadilan yang paling tinggi. Hukum di Indonesia dilambangkan
dengan pohon pengayoman.18
Berbeda dengan cara pandang liberal yang melihat negara sebagai
suatu status (state) tertentu yang dihasilkan oleh suatu perjanjian
masyarakat dan individu-individu yang bebas atau dan status naturalis
ke status civil dengan perlindungan terhadap civil rights, sehingga
dalam Negara Hukum Pancasila ada suatu anggapan bahwa manusia
dilahirkan dalam hubungannya atau keberadaannya dengan Tuhan.
Oleh karena itu, negara tidak terbentuk karena suatu perjanjian,
melainkan Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
16
17
18

Azhary, Negara Hukum..., Op. cit. hlm 95.


Padmo Wahjono, Konsep Yuridis. . ., Op.Cit. hlm 18.
Ibid., hlm 19.

Kriminalisasi Hak Waris


yang bebas Padmo Wahjono menegaskan bahwa konstruksi yang
didasarkan atas asas kekeluargaan itu bukanlah suatu vertrag,
melainkan suatu kesepakatan satu tujuan (gesamtakt).19
Berdasarkan uraian di atas, Padmo Wahjono tiba pada suatu
rumusan negara menurut bangsa Indonesia, yaitu suatu kehidupan
berkelompok bangsa Indonesia, atas berkat Rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas dalam arti merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan
makmur.
Berdasarkan dua pandangan pakar hukum tersebut dapat
disimpulkan bahwa meskipun dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum diamandemen)
digunakan istilah rechtsstaat, konsep rechtsstaat yang dianut oleh
negara Indonesia bukanlah konsep negara hukum Eropa Kontinental
dan bukan pula konsep rule of law dan Anglo-Saxon, melainkan konsep
Negara Hukum Pancasila dengan ciri-cirinya, antana lain:
1.
2.
3.
4.
5.

Adanya hubungan yang erat antara agama dan negara;


Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
Kebebasan beragama dalam arti positif;
Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; serta
Asas kekeluargaan dan kerukunan.

Adapun unsur-unsur pokok Negara Hukum Indonesia adalah (1)


Pancasila; (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Sistem Konstitusi;
(4) Persamaan; dan (5) Peradilan yang Bebas. Dari unsur-unsur yang
dikemukakan Azhary tersebut ada dua hal yang perlu diperhatikan
dalam Negara Hukum Pancasila, yaitu: 20
1. Kebebasan beragama harus mengacu pada makna yang positif
sehingga pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa (ateisme)
atau sikap yang memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan,
seperti terjadi di negara-negara komunis yang membenarkan
propaganda anti agama;
2. Ada hubungan yang erat antara negara dan agama, sehingga baik
secara rigid atau mutlak maupun secara longgar atau nisbi, negara
Republik Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama
dan negara. OIeh karena doktrin ini sangat bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

19
20

Ibid. hlm 20; Azhary, Negara Hukum. . ., Op.Cit. hlm 96.


Ibid.

Kriminalisasi Hak Waris


Lima unsur utama tersebut bertumpu pada prinsip sila pertama dan
Pancasila. Hal ini menurut Hazainin mempunyai posisi yang istimewa,
karena terletak di luar ciptaan akal budi manusia. 21
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam pandangan Azhary, Negara
Hukum Pancasila memiliki bukan hanya suatu ciri tertentu, tetapi ciri
yang paling khusus dah semua konsep negara hukum, baik konsep
hukum barat (rechtsstaat dan rule of law) maupun yang disebut sebagai
socialist legality. Sila pertama Pancasila mencerminkan konsep
monoteisme atau tauhid (unitas).22
Sila Pertama merupakan dasar kerohanian dan moral bagi bangsa
Indonesia
dalam
bernegara
dan
bermasyarakat.
Artinya,
penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat wajib
memperhatikan dan mengimplementasikart petunjuk-petunjuk Tuhan
Yang Maha Esa. OIeh karena itu, menurut Azhary dengan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa itu dan dengan empat sila lainnya, setiap
orang yang arif dan bijaksana akan melihat banyak persamaan antara
konsep nomokrasi Islam dengan konsep Negara Hukum Pancasila.
Persamaan itu antara lain tercermin dalam lima sila atau Pancasila yang
sudah menjadi asas dan sumber hukum bagi negara Indonesia. 23
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa istilah rechsstaat yang
digunakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum
amandemen) tidak identik dengan konsep negara hukum Eropa
Kontinental dan tidak pula identik dengan konsep negara hukum AngloSaxon. Bahkan, sangat berbeda dengan konsep socialist legality. Bila
mengutip uraian oleh Azhary dengan Muhammad Tahir Azhary,
walaupun Azhary menguraikan sedikit tentang unsur-unsur Negara
Hukum Indonesia tapi secara garis besarnya diperlukan komparisi
dengan negara lain, sebab pemahaman mengenai konsep-konsep Negara
yang memiliki ciri menerapkan akidah (Religious) atau negara menurut
rasio pemikiran (Raqyu), dengan landasan idiologi Pancasila seperti
yang dianut Indonesia secara hipotesa memiliki persamaan
penghormatan terhadap hak-hak setiap manusia hanya ciri-ciri negara
yang membedakan pemberlakuannya baik dari segi atauran maupun
mekanisme yang dianut tiap-tiap negara, sebagaimana berikut ini,
melalui gambaran umum komparatif ciri-cini dan unsur-unsur negara
hukum yang dikemukakan oleh Azhary.24

21
22
23
24

Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: lintamas, 1973), hlm 5.


Azhary, Negara Hukum. ., Op.Cit. hlm 98.
Ibid.
Azhary, Negara Hukum. ., Ibid. hlm 101-102.

Kriminalisasi Hak Waris


Bagan Perbandingan
Konsep-Konsep Negara Hukum
Pertama

Kedua

Sumber: Berdasarkan persamaan persepsi antara Azhary dengan Muhammad


Tahir Azhary tentang Negara Hukum, (Studi tentang prinsip-prinsip
Negara Dilihat dari Segi Hukum Islam).

Kriminalisasi Hak Waris

2. Konsep Negara Hukum Rule of Law


Berdasarkan tradisi common law atau yang lazim disebut Anglo
Saxon, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V.
Dicey yang disebut The Rule of Law. Menurutnya, ada tiga citi atau arti
penting the rule of law, yaitu:25
1. Supremasi hukum (supremacy of law) dan regular law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan
kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang
luas dari pemenintah;
2. Persamaan di hadapan hukum (Equality before the law) dari semua
golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh
ordinary court. Ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di
atas hukum, baik pejabat maupun warganegara biasa berkewajiban
menaati hukum yang sama;
3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa
hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi
dan hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh
peradilan, singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui
tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga
membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat dikemukakan bahwa rule of
law mengandung arti yang dapat ditinjau dari tiga sudut. Pertama, rule
of law (pemerintahan oleh hukum), berarti supremasi yang mutlak atau
keutamaan yang absolut daripada hukum sebagai lawan daripada
pengaruh kekuasaan yang sewenang-wenang. Kedua, rule of law berarti
ketaatan yang sama dan semua golongan kepada hukum negara, yang
diselenggarakan oleh pengadilan. Ketiga, rule of law dapat
dipergunakan sebagai formula untuk merumuskan bahwa hukum
konstitusi bukan sumber, melainkan konsekuensi (akibat) dan hak-hak
individu yang dirumuskan dan dipertahankan oleh pengadilan, sehingga
dengan demikian konstitusi merupakan hasil dati hukum biasa di
lnggris.
E.C.S. Wade dan Godfrey Phillips mengemukakan kritik tajam
terhadap pengertian the rule of law dari Dicey. Pertama,
dipermasalahkan mengenai pengertian regular law, masalah arbitrary
power. Kedua, terhadap pengertian equality before the law
dipermasalahkan mengenai penggolongan dalam masyarakat
berdasarkan pertimbangan sosial-ekonomi ataupun status hukum, juga
25

A.V. Dicey, An Introduction to Study of Law of the Constitution, Mac. Millan


& Co, London, 1959, hlm 117, lihat pula sebagaimana dikutip dalam buku Philipus M
Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Op.Cit. hlm 80.

Kriminalisasi Hak Waris


mengenai peradilan administrasi yang dewasa ini dianggap sama
baiknya dengan perlindungan hukum yang dilakukan oleh ordinary
court. Ketiga, permasalahan konstitusi sebagai akibat dari ordinary law
of the land yang didasarkan atas keyakinan bahwa common law
memberikan perlindungan hukum yang lebih bailk terhadap
warganegara daripada perlindungan oleh konstitusi tertulis. 26
Terhadap permasalahan di atas, Wade dan Phillips mengemukakan
tiga sanggahan, yaitu: Pertama, common law tunduk pada modifikasi
oleh parlemen. Dengan demikian, ada kemungkinan banyak kebebasan
fundamental diganti oleh statute. Kedua, common law tidak menjamin
keadaan sosial ekonomi warganegara. Ketiga, meskipun tetap esensil
bahwa legal remedies seyogianya efektif, pengalaman negara-negara
barat menunjukkan bahwa perlu diletakkan batas-batas terhadap
kekuasaan legislatif agar tidak melanggar HAM. 27
Wade dan Phillips mengetengahkan tiga konsep yang berkaitan
dengan the rule of law. Pertama, Rule of law mendahulukan hukum dan
ketertiban dalam masyarakat daripada anarki. Dalam pandangan ini, the
rule of law merupakan pandangan filosofis terhadap masyarakat yang
dalam tradisi Barat berkenaan dengan konsep demokrasi. Kedua, the
rule of law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan
harus dilaksanakan sesuai dengan hukum.
Ketiga, the rule of law menunjukkan suatu kerangka pikir politik
yang harus dirinci dalam peraturan-peraturan hukum, baik hukum
substantif maupun hukum acara. Misalnya, apakah pemerintah
mempunyai kekuasaan untuk membatasi kebebasan berpolitik bagi
keturunan eks Tapol tanpa melalui proses peradilan yang adil dan tidak
memihak dan menjamin persamaan setiap warganegara dalam hukum. 28
Berdasarkan pandangan Dicey, Wade dan Phillips mengenai the
rule of law, dapat dikemukakan bahwa pikiran-pikiran Dicey adalah
pikiran-pikiran murni, meskipun sifatnya terbatas karena hanya
berdasarkan pada praktik common law di lnggns, sedangkan kritik dan
konsep Wade - Phillips merupakan suatu konsep perpaduan (campuran)
yang telah dipengaruhi oleh pola pikir dari keadaan antara common law
lnggris dan civil law di Eropa pada umumnya.
Pandangan Dicey dikatakan murni dan terbatas (sempit), karena
dari tiga pengertian dasar yang dikemukakan mengenai the rule of law,
26

E.C.S. Wade dan Godfrey Phillips, Constitutional and Administrative Law,


Long-Man, London, 1977, hlm 118.
27
Ibid. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Op.cit. hlm 81.
28
E.C.S. Wade & G. Phillis, Op.cit., hlm 119; Philipus M. Hadjon, Perlindungan
Hukum Bagi Rakyat..., Op. cit. hlm 82.

Kriminalisasi Hak Waris


intinya adalah common law sebagai dasar perlindungan bagi kebebasan
individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Bahwa Dicey
menolak kehadiran peradilan administrasi adalah sesuai dengan
perkembangan hukum dan kenegaraan lnggris. Hal ini dapat dipahami
karena dilatarbelakangi pemikiran bahwa inti kekuasaan raja di lnggrls
adalah kekuasaan memutus perkara yang kemudian didelegasikan
kepada hakim-hakim peradilan umum yang memutus perkara tidak atas
nama raja, tetapi berdasarkan the common custom of England, sehingga
karakteristik dari common law adalah judicial, sedangkan civil law
adalah administratif.
Berbeda halnya dengan pandangan Wade dan Phillips, yang
pemikirannya dipengaruhi oleh pandangan civil law di Eropa yang
tampak dari konsepnya mengenai the rule of law dan kritiknya terhadap
pikiran Dicey. Dalam kritiknya mengenai equality tampak dipengaruhi
pikiran-pikiran sociale rechtsstaat tentang reele maatschappelijk
vrijheid en gelijkheid. Dalam kritiknya terhadap common law
dikemukakan kelemahan common law dan keunggulan written
constitution yang menunjukkan pengaruh pikiran-pikiran Liberaal
democratishe rechtsstaat tentang grondwet.29
Apabila hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti
peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara
hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta
belum tentu menjamin keadilan substantif. Oleh karena itu, di samping
the rule of law, Friedman juga mengembangkan istilah the rule of just
law untuk memastikan bahwa dalam pengertian tentang the rule of law
tercakup pengertian keadilan yang lebih esensial daripada sekadar
memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit.
Kalaupun istilah yang digunakan tetap the rule of law atau rechtsstaat,
pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan mencakup dua
istilah tersebut yang digunakan untuk menyebut konsep negara hukum
pada zaman modern.
Sulit kiranya kini menarik perbedaan yang hakiki antara konsep
the rule of law dan rechtsstaat, karena pada dasarnya kedua konsep
tersebut sama-sama mengarahkan perhatiannya pada kebebasan dan
perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai titik sentral untuk
menentang kesewenang-wenangan penguasa. Indonesia sejak
pendiriannya dengan jelas dan tegas menentang segala bentuk
kesewenang-wenangan atau absolutisme. Oleh karena itu, jiwa dan isi
negara hukum seyogianya tidak begitu saja mengatakan Indonesia
sebagai rechtsstaat atau the rule of law.30
29
30

Philipus M. Hadjon, Ibid. hlm 83.


Ibid.

Kriminalisasi Hak Waris


Sebagaimana telah dikemukakan, dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Penjelasannya (sebelum
diamandemen), ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum, bukan negara kekuasaan. Hal ini berarti adanya pengakuan
prinsip-prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip
pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak
yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta
menjamin keadilan bagi setiap orang, termasuk terhadap
penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.
Sebagaimana telah dikemukakan, dalam konsep negara hukum
tersebut, hukum memegang kendali tertinggi dalam penyelenggaraan
negara sesuai prinsip bahwa hukumlah yang memerintah dan bukan
orang (the Rule of Law, and not of Man). Hal ini sejalan dengan
pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan itu dijalankan oleh hukum. 31
Berdasarkan uraian di atas nyatalah bahwa penting untuk mengkaji
prinsip-prinsip pokok negara hukum Indonesia di zaman sekarang,
terutama pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang telah banyak mengalami perubahan dalam
kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Prinsip-prinsip pokok tersebut
merupakan pilar-pilar utama yang menyangkut tegaknya Indonesia
sebagai negara hukum modern, sehingga dapat disebut sebagai Negara
Hukum (the rule of law ataupun rechtsstaat) dalam arti yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, untuk membuktikan Negara Hukum
Indonesia dalam arti yang sesungguhnya sangat ditentukan oleh peran
dan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam mengawal dan tegaknya
konstitusi untuk mewujudkan perlindungan hukum dan HAM bagi
warga negara yang dijamin oleh konstitusi sebagai hakikat negara
hukum.
Merujuk pada kepustakaan Indonesia, rechtsstaat atau the rule of
law sering diterjemahkan sebagai negara hukum. Notohamidjojo
menggunakan rechtsstaat dalam pengertian negara hukum. 32 Demikian
pula halnya Muhammad Yamin menggunakan rechtsstaat, government
of law dalam pengertian negara hukum. 33 Di samping menggunakan
istilah rechtsstaat, ada juga yang menggunakan istilah the rule of law.
Mauro Cappelletti misalnya menggunakan istilah the rule of law sama
31

Azhary, Negara Hukum..., Op. Cit. hlm 84.


O. Notohamidjojo, Loc. Cit.
33
Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982), hlm 72. Lihat juga Sri Soematnri M, Lembaga-Lembaga Negara
Menurut UUD 1945, (Bandung: Penerbit P.T. Alumni, 1974), hlm 13.
32

Kriminalisasi Hak Waris


dengan rechtsstaat, . . . it has since come to be considered by many as
essential to the rule of law (rechtsstaat) anywhere.34
Sudargo Gautama menggunakan istilah negara hukum sama
dengan istilah yang digunakan di Inggris, yaitu the rule of law.35 Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dengan tegas mengatakan bahwa di
Inggris sebutan untuk negara hukum (rechtsstaat) adalah the rule of
law, sedangkan di Amerika Serikat disebut sebagai government of law,
but not man.36 Paham reschtsstaat lahir karena menentang absolutisme,
yang sifatnya revolusioner, dan bertumpu pada sistem hukum
kontinental yang disebut Common Law. Walaupun demikian, perbedaan
keduanya sekarang tidak lagi dipermasalahkan, karena mengarah pada
sasaran yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia. 37
Philipus M. Hadjon menulis bahwa menurut teori kedaulatan
hukum (leer van de rechts souvereiniteit), negara pada prinsipnya tidak
berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat), tetapi harus berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat atau the rule of law). Artinya, konsep negara hukum
(rechtsstaat atau the rule of law) senantiasa dipertentangkan dengan
konsep machtsstaat (negara yang memerintah menurut kehendaknya
sendiri, atau negara yang memerintah dengan sewenang-wenang).
Walaupun konsep negara hukum rule of law dan rechtsstaat sama-sama
lahir sebagai upaya membatasi dan mengatur kekuasaan, tetapi sejarah
perkembangannya berbeda. Gagasan negara hukum yang berkembang
dengan istilah rechtsstaat dikenal di Jerman (kawasan Eropa
Kontinental) dan the rule of law berawal di lnggris (Anglo-Saxon).
Walaupun mempunyai latar belakang sejarah dan sifat yang berbeda,
pada dasarnya mengarah pada sasaran yang sama, yaitu pengakuan dan
perlindungan atas hak-hak dasar manusia.38
Persamaan kedua konsep hukum ini, baik the rule of law maupun
rechtsstaat, diakui adanya kedaulatan hukum atau supremasi hukum,
melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan
memungkinkan kepada individu untuk menikmati hak-hak sipil dan
politiknya sebagai manusia.
Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti
sempit, bahwa negara hanya sebagai perlindungan hak-hak individual,
sedangkan kekuasaan negara diartikan secara pasif, bertugas
34
35

Mauro Cappeietti, Loc.Cit.


Sudargo Gautama, Loc. Cit.; Ismaii Sunny, Loc. Cit.; dan Sunaryati Hartono,

Loc. Cit.
36

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Loc.Cit.; A. Hamid. S. Attamimi, Loc.

37

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat ... , Op.Cit. hlm 72.
Philipus M. Hadjon, Kedaulatan Rakyat. Negara Hukum, Op. Cit., hlm 78.

Cit.
38

Kriminalisasi Hak Waris


memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Konsep negara
hukum dalam arti ini dikenal dengan sebutan nachtwakerstaat. 39
Perkembangan selanjutnya, paham negara hukum yang
dikemukakan Kant mengalami perubahan dengan munculnya paham
negara hukum kesejahteraan (welfare state). Sebagaimana dikemukakan
Friedrich Julius Stahl, ciri-ciri negara hukum itu adalah sebagai
berikut:40
1. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak
asasi manusia;
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; dan
4. Adanya peradilan administrasi negara dalam perselisihan.
Sri Soemantri mengemukakan unsur-unsur terpenting negara
hukum, yaitu:41
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
harus berdasar atas hukum atau perundang-undangan;
2. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara);
3. Adanya pembagian kekuasaan;
4. Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (Rechterlijke
Controle).
Padmo Wahyono menyatakan, dalam negara hukum terdapat suatu
pola sebagai berikut:42
1.
2.
3.
4.

Menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia;


Mekanisme kelembagaan negara yang demokratis;
Tertib hukum;
Kekuasaan kehakiman yang bebas.

International Commission of Jurist, dalam konferensinya di


Bangkok 1965 memperluas konsep the rule of law dengan menekankan
apa yang dinamakan the dynamic aspects of The Rule of Law in the
modern age. Dalam konferensi itu dikemukakan syarat-syarat dasar
39

Azhary, Negara Hukum Indonesia. .., Op.Cit. hlm 39.


S.F. Marbun dan Moh. Mahfud. MD, Pokok-pokok Hukum Adminstrasi
Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1987), hlm 44. Lihat juga Padmo Wahjono,
Pembangunan Hukum Indonesia, (Jakarta, in Hili Co., 1989), hlm 151.
41
Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung:
Penerbit P.T. Alumni, 1992), hlm 29-30.
42
Padmo Wahjono, Indonesia Negara yang Berdasarkan Atas Hukum, Pidato
pengukuhan Guru Besar FHUI, Jakarta, 17 November 1979, hlm 6. Lihat juga Sjachran
Basah, Eksitensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan . .., Op.Cit. him. 148.
40

Kriminalisasi Hak Waris


terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law
sebagai berikut: 43
1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain
menjamin hak-hak individu, harus menentukan juga cara prosedural
memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Badan Kehakiman yang bebas;
3. Pemilihan Umum yang bebas;
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan Kewarganegaraan.
Negara Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan
(Machtsstaat), di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan
terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya pemisahan
dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan
tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam
hukum, serta menjamin keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan
hukum bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan
kewenangan oleh pihak yang berkuasa.
Simposium mengenai negara hukum pada tahun 1966 di Jakarta
merumuskan sifat negara hukum dan ciri-ciri khas bagi suatu negara
hukum berikut ini:
Pertama, sifat negara hukum itu ialah yang alat perlengkapannya
hanya dapat bertindak menurut dan terikat pada aturan-aturan yang
telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang
dikuasakan untuk mengadakan aturan itu atau singkatnya disebut
prinsip rule of law.
Kedua, ciri-ciri khas suatu negara hukum adalah: (a) pengakuan
dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung persamaan
dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan; (b)
peradilan yang bebas dan tidak memihak, serta tidak dipengaruhi oleh
kekuasaan atas kekuatan apapun juga; (c) legalitas, dalam arti dalam
semua bentuknya.44
Berdasarkan uraian di atas, baik itu mengenai rechtsstaat maupun
the rule of law dapat dideskripsikan bahwa eksistensi negara hukum
yang demokratis menurut penulis, adalah negara yang berupaya
mewujudkan supremasi hukum sebagai salah satu dimensi penting
dalam kehidupan bernegara, menegakkan paham konstitutionalisme,
43
44

Azhary, Negara Hukum Indonesia...Op.Cit. hlm 45.


Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit. hlm 162.

Kriminalisasi Hak Waris


memberikan perlindungan hak asasi manusia, mengakui kebebasan
individu atau warga negara, tegaknya keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum dan masalah esensial lainnya dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Karakteristik negara hukum yang demokratis, sesungguhnya
menjelmakan kehidupan bernegara yang memiliki komitmen terhadap
tampilnya hukum sebagai pemegang kendali dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang demokratis. Landasan hukum yang merujuk
Indonesia sebagai sebuah negara hukum demokratis didasarkan pada
Pasal 1 ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Salah satu prinsip negara hukum yang demokratis menurut
Lunshof sebagaimana telah dikutip sebelumnya adalah pengakuan hak
asasi manusia. Berdasarkan prinisp ini dapat dikemukakan bahwa
karakteristik Indonesia adalah sebagal sebuah negara hukum yang
demokratis, karena selain mengakul dan melmndungi hak asasi manusia
juga mempraktikkan prinsip-prmnsip negara hukum yang lain, seperti
adanya pembagian kekuasaan, kekuasaan kehakiman yang bebas,
kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, menegakkan keadilan
dan kepastian hukum serta prinsip lainnya dalam bernegara.
Merujuk konstruksi negara hukum yang demokratis tersebut,
kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji undangundang terhadap
UUD 1945 dapat diamati atau didekati dan perspektif negara hukum
yang demokratis. Makna perpektif ini adalah sebagai sudut pandang
untuk memahami secara faktual apakah Mahmakah Konstitusi dalam
melaksanakan kewenangannya itu dapat menghasilkan putusan
bernuansa memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia,
tegaknya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum serta hal esensial
lainnya yang sesuai dengan konsep negara hukum yang demokratis.
Negara atau pemerintah (dalam arti luas) dalam konsep negara
hukum selanjutnya harus menjamin tertib hukum (rechtsorde),
menjamin tegaknya hukum, dan menjamin tercapainya tujuan hukum,
yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. A. Hamid S.
Attamimi memberi pengertian tertib hukum (rechtsordnung) sebagai
suatu kesatuan hukum objektif yang keluar tidak bergantung kepada
hukum yang lain, dan ke dalam menentukan semua pembentukan
hukum dalam kesatuan tertib hukum tersebut. Rumusan ini sangat
penting dalam menentukan ada atau tidak ada kesatuan yuridis dalam
suatu tertib hukum.45
45

A. Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum


Bangsa kidonesia, dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.) Pancasila Sebagai
Ideologi Dalam Berbagai Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP-7

Kriminalisasi Hak Waris


J.H.A. Logemann juga mengatakan bahwa tertib masyarakat yang
merupakan suatu keseluruhan yang saling berkaitan, juga hukum
positif, yang ditemukan dengan jalan mengabstraksikan suatu
keseluruhan, suatu pertalian norma-norma, ialah suatu tertib hukum. 46
Dengan demikian, dalam hukum positif tidak terdapat norma-norma
yang saling bertentangan.47
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tertib hukum
tercipta jika suatu produk peraturan perundangundangan tidak saling
bertentangan, baik secara vertikal maupun horizontal, termasuk perilaku
anggota masyarakat sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Konsep hukum lain dan negara yang berdasarkan atas hukum
adalah adanya jaminan penegakan hukum dan tercapainya tujuan
hukum. Dalam penegakan hukum terdapat tiga unsur yang harus
mendapat perhatian yang sama, yaitu keadilan, kemanfaatan atau hasil
guna (doelmatigheid), dan kepastian hukum.48
Penegakan hukum dan tercapainya keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan hukum dalam suatu sistem hukum terjamin, tidak bisa
tidak, sistem hukum menjadi materi muatan dan konstitusi. Dengan kata
lain, materi muatan suatu konstitusi adalah sistem hukum itu sendiri,
yakni substansi hukum, struktur hukum (lembaga-lembaga negara), dan
budaya hukum (mengenai warga negara).
3. Konsep Negara Hukum Pancasila
Sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, dalam
Penjelasan UUD 1945 (sebelum diamandemen) dinyatakan Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Kajian tentang rechtsstaat dan
rule of law secara teoretis telah sering dilakukan, baik melalul tulisantulisan,diskusi maupun forum seminar.
Menurut Philipus M Hadjon, jika disimpulkan Indonesia adalah
negara hukum, pertama-pertama hendaknya dirumuskan terlebih dahulu
isi konsep negara hukum (dapat membaridingkan konsep rechsstaat dan
the rule of law). Kalau tidak demikian halnya, kesimpulannya Indonesia
adalah rechsstaat atau the rule of law.49
Pusat, Jakarta, 1992, hlm 71.
46
J.H. Logemen, Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht, (terjemahan
Makkattutu dan J.C. Pangkerego), Loc.Cit.
47
Ibid.hlm61.
48
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitio, Bab-Bab Tentang Penemuan ..., Op.Cit.
hlm 1.
49
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Op.Cit. hlm 84.

Kriminalisasi Hak Waris


Terlepas dan penamaan Indonesia sebagai negara hukum dengan
sebutan rechsstaat atau the rule of law, yang jelas secara konstitusional
hasil amandemen ketiga UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. 50 Eksistensi Indonesia sebagai negara
hukum ditandai dengan beberapa unsur pokok, seperti pengakuan dan
penlindungan hak-hak asasi manusia, pemenintahan diselenggarakan
berdasarkan undang-undang, persamaan di depan hukum, adanya
peradilan administrasi dan unsur-unsur Iainnya.
Hak-hak asasi manusia akan tenlindungi karena dalam konsep the
rule of law mengedepankan prinsip equality before the law, sedangkan
konsep rechtsstaat mengedepankan prinsip wetmatigheid, kemudian
menjadi rechtmatigeheid. Indonesia yang menghendaki keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat mengedepankan asas
kerukunan.51
Berdasarkan asas kerukunan tersebut, menurut Philipus M. Hadjon
akan berkembang elemen lain dan konsep Negara Hukum Pancashta,
yaitu terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antara
kekuasaan-kekuasaan
negara,
penyelesaian
sengketa
secara
musyawarah sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir, dan
tentang hak-hak asasi manusi tldak hanya menekankan hak atau
kewajiban, tetapi terjalin suatu keseimbangan antara hak dan
kewajiban.52
Asas kerukunan dalam konsep Negara Hukum Pancasila dapat
diwmuskan maknanya, baik secara positif maupun negatif. Dalam
makna positif, kerukunan berarti terjalinnya hubungan yang serasi dan
harmonis, sedangkan dalam makna negatif berarti tidak konfrontatif,
tidak saling bermusuhan; dengan makna demikian, pemerintah dalam
segala tingkah Iakunya senantiasa berusaha menjalin hubungan yang
serasi dengan rakyat.53
Berdasarkan asas kerukunan tersebut, tidak berarti hubungan
antara pemenintah dan rakyat tidak memunculkan sengketa. Kehidupan
bermasyarakat atau bernegara pasti menimbulkan sengketa dalam
berbagai bidang kehidupan, termasuk sengketa antara pemenintah dan
rakyat. Meskipun demikian, yang dibutuhkan adalah metode atau cara
penyelesaian sengketa yang tepat dan tidak menimbulkan keretakan
atau ketidakharmonisan dan ketidakserasian hubungan pemerintah dan
rakyat dalam konteks Negara Hukum Pancasila.
50

Lihat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.


Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Op. Cit. hlm 85.
52
Ibid.
53
Ibid.
51

Kriminalisasi Hak Waris


Atas dasar keserasian hubungan yang berdasarkan asas kerukunan,
kalaupun timbul sengketa antara pemenintah dan rakyat, menurut
Phhlipus M. Hadjon, jalan penyelesaian sengketa yang pertama dan
utama adalah melalui musyawarah. Penyelesaian sengketa melalui
badan peradilan merupakan sarana terakhir.54
Mengenai hubungan fungsional yang proporsional antara
kekuasaan-kekuasaan negara, hendaknya dikembalikan kepada Ide
dasarnya, yaitu gotong-royong. Paham gotong-royong ini menurut
Philipus M. Hadjon, telah diangkat sebagail suatu konsep politik. Hal
ini dapat dilihat dari persiapan-persiapan kemerdekaan Indonesia.
Bahkan, dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan
Negara Indonesia yang bersama-sama didirikan haruslah negara
gotong-royong.55
Selain paham gotong-royong dan kekeluargaan disadari sebagai
asas yang melandasi hubungan pemerintah dan rakyat dalam
penyelenggaraan Negara Hukum Pancasila, menurut Oemar Senoadji
bahwa salah satu ciri pokok Negara Hukum Pancasila adalah adanya
jaminan kebebasan beragama (freedom of religion).56
Ciri berikutnya dari Negara Hukum Pancasila menurut Oemar
Senoadji adalah tidak ada pemisahan yang rigid dan mutlak antara
agama dan Negara, karena agama dan negara berada dalam hubungan
yang harmonis.57 Sementara Azhary berpandangan bahwa dalam Negara
Hukum Pancasila tidak boleh terjadi pemisahan agama dan negara, baik
secara mutlak maupun secara nisbi karena hal itu akan bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945.58
Negara Hukum Pancasila menjamin setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya. 59 Hal ini menunjukkan adanya
komitmen yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya untuk
mengimplementasikan kebebasan itu dalam memeluk dan beribadat
menurut agamanya, tanpa khawatir terhadap ancaman dan gangguan
dan pihak lain.
Karakterisrik Negara Hukum Pancasila yang lain, yaitu asas
kekeluargaan sebagai bagian fundamental dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Menguatnya asas kekeluargaan ini membenikan
kesempatan atau peluang kepada rakyat banyak untuk tetap survive
54

Ibid.hlm 91.
Ibid.
56
Oemar Senoadji, Op. Cit. him. 35.
57
Ibid. hlm 36.
58
Azhary, Negara Hukum ..., Op.Cit. hlm 94.
59
Lihat Pasal 28 E ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945.
55

Kriminalisasi Hak Waris


guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya, sejauh tidak
mengganggu hajat hidup orang banyak.
Di samping itu, Negara Hukum Pancasila juga mengedepankan
prinsip persamaan sebagai elemen atau unsur penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Persamaan di hadapan hukum misalnya
adalah persoalan urgensial yang harus pula mendapat perhatian pihak
penyelenggara negara. Bahkan, secara konstitusional UUD 1945
memberikan landasan untuk lebih menghargai dan menghayati
prinsip persamaan ini dalam kehidupan Negara Hukum Pancasila,
antara lain:60
1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum;
2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
penlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;

3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang


sama dalam pemerintahan.
Prinsip persamaan tersebut secara teoretis atau praktis tidak hanya
mencakup bidang politik, hukum dan sosial, tetapi juga bidang ekonomi
dan kebudayaan. Penegakan prinsip persamaan ini menjadi prasyarat
untuk
mendukung
eksistensi
Negara
Hukum
Pancasila
mengaktualisasikan
atau
mengimplementasikan
komitmennya
menyejahterakan kehidupan lapisan masyarakatnya sebagai misi
penyelenggaraan pemerintahan.
Adanya peradilan yang bebas dan intenvensi atau campur tangan
pihak lain, juga termasuk unsur atau elemen yang melekat atau
menjiwai karakteristik Negara Hukum Pancasila. Independensi
peradilan ini secara teoretis atau praktis merupakan pilar negana hukum
yang hampir dianut oleh negara-negara di berbagai belahan dunia.
Independensi peradilan tersebut menurut A. Muhammad Nasrun,
dimaksudkan sebagai tidak adanya campur tangan lembaga-lembaga di
luar pengadilan, terutama kekuasaan eksekutif dan yudikatif terhadap
pelaksanaan fungsi peradilan. 61 Meskipun demikian, independensi
peradilan ini bukanlah sesuatu yang otomatis terjadi begitu saja, karena
kekuasaan-kekuasaan di luar pengadilan memiliki potensi mencampuri
pelaksanaan fungsi peradilan.62
60

Lihat Pasal 28 D UUD 1945.


A. Muhammad Nasrun, Kasi Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2004, hlm 51.
62
Ibid. hlm 52.
61

Kriminalisasi Hak Waris


Oleh karena itu, menurut Muhammad Nasrun, peradilan yang tidak
independen sangat berbahaya, karena proses peradilan mudah
dimanipulasi untuk mencegah pengadilan mempertanyakan legalitas
tindakan-tindakan illegal atau semena-mena oleh para pelaksana
kekuasaan negara.63 Jika independensi peradilan ml tetap terjaga dengan
baik, institusi pengadilan diyakini menjadi sangat kuat dan mandiri
menjalankan fungsinya sebagai peradilan dalam Negara Hukum
Pancasila.
Independensi peradilan tersebut, menurut Muhammad Nasrun
dapat diuji melalui dua hal, yaitu: 64
Pertama, ketidakberpihakan (impartiality). Imparsilitas hakim
terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya
pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar
keterkaitan dengan salah satu pihak berperkara, balk dalam konteks
hubungan sosial maupun hubungan politik.
Kedua, keterputusan relasi dengan para aktor politik (political
insularity). Pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang
hakim agar tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan
politik atau mencegah pelaksanaan suatu keputusan politik.
Negara Hukum Pancasila seperti halnya Indonesia, disadari atau
tidak, tetap membutuhkan independensi peradilan sebagai bagian
penting dalam penyelenggaraan pemenntahan, terutama berkaitan
dengan pelaksanaan wewenang lembaga Negara, seperti halnya
Mahkamah Konstitusi melakukan uji materiil undang-undang terhadap
UUD 1945. Dengan demikian, putusan-putusan yang dihasilkan oleh
Mahkamah Konstitusi pun dapat bebas dan intervensi pihak-pihak yang
memiliki kepentingan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, seperti
lembaga eksekutif dan lembaga-lembaga sosial lamnnya.
Menarik apa yang disinyalir oleh Montesquieu, bahwa
Independensi peradilan tidak lain merupakan mulut undang-undang,
sehingga putusan hakim merupakan suatu putusan hukum, bukan
dipandang sebagai putusan politik.65 Hal ini berarti ketidakberpihakan
dan keterputusan badan peradilan, khususnya para hakim dengan pihakpihak lain, baik secara politis maupun secara ekonomis sangat
menentukan keberhasilan badan peradilan menjalankan fungsinya dan
tetap Independen dalam pengambilan keputusan hukum.
63

Ibid. hlm 53.


Ibid. hlm 54. Lihat puia Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasan, AspekAspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
2005, hlm 51-55.
65
A. Muhammad Nasrun, Loc. Cit.
64

Kriminalisasi Hak Waris


Menurut pandangan Ahmad Azhar Basymr, sila pertama Pancasila
merupakan dasar kerohanian dan dasar moral bagi bangsa Indonesia
dalam bemegara dan bermasyarakat. Artinya, penyelenggaraan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat wajib memperhatikan dan
mengimplementasikan petunjuk-petunjuk Tuhan yang Maha Esa.66
B.

Hukum Waris
1.

Sistematika Hukum Waris menurut Doktrin dan Burgerlijke


Wetboek
Hukum Perdata67 menurut doktrine ilmu pengetahuan hukurn, para
ahli hukum membagi ke dalam 4 bagian, yaitu: 68
Hukum Perdata:
1.
2.
3.
4.

Hukum Pribadi (Personenrecht)


Hukum Keluarga (Familierrecht)
Hukum Kekayaan (Vermogensrecht)
Hukum Waris (Erfrecht)

Jika dilihat menurut doktrin, bahwa hukurn waris merupakan


suatu bagian tersendiri dari hukum perdata.
Pembagian hukum perdata menurut sistematika dari Burgelijk
Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) lain sekali.
Karenanya tempat Hukum Waris di dalam sistematika itu juga berbeda.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk selanjutnya secara
ringkasnya Burgerlijke Wetboek dibagi menjadi 4 buku, yakni:
1.
2.
3.
4.

Buku I tentang persoon/pribadi;


Buku II tentang benda;
Buku III tentang perikatan; dan
Buku IV tentang bukti dan kadaluwarsa.

Hukum Waris mendapat pengaturannya di dalam Buku II tentang


Benda, khususnya di dalam:
66

Ahmad Azhar Basyir, Hubungan Agama dan Pancasila, (Yogyakarta: UII,


1985), hlm 9-10.
67
Hukum Perdata di sini adalah dalam arti sempit, lihat H.F.A. Vollmar,
Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgelijk Recht, cetakan keempat tahun.
1955, hlm 3. Ada yang menganjurkan agar dalam arti sempit tersebut di atas, digunakan
kata Burgelijkrecht untuk membedakan dan Privaatrecht (dalam arti luas), L. Van
Apeldoorn InleIding tot de studie van het Nederlandse Recbt cetakan ke 11, tahun 1952,
hlm. 170.
68
J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 1-7.

Kriminalisasi Hak Waris


Bab XII

Tentang pewarisan karena kematian.

Bab XIII

Tentang Surat Wasiat.

Bab XIV

Tentang pelaksanaan wasiat dan pengurus harta


peninggalan.

Bab XV

Tentang hak memikir dan hak istimewa untuk


mengadakan pendaftaran harta peninggalan

Bab XVI

Titel Tentang menerima dan menolak suatu warisan.

Bab XVII :

Tentang pemisahan harta peninggalan.

Bab XVIII :

Tentang harta peninggalan yang tak terurus.

2. Sistematika Hukum Waris dalam Buku II Burgerlijke Wetboek.


Jadi Hukum Waris mendapat pengaturannya di dalam Buku II,
bersama-sama dengan pembicaraan mengenai benda pada umumnya.
Hal tersebut disebabkan karen Burgerlijke Wetboek yang berlaku
di Indonesia dikenal sebagai KUHPerdata, pada asasnya sama dengan
Burgerlijke Wetboek yang berlaku di Negara Belanda69 dengan
perubahan-perubahan sedikit di sana-sini adalah jiplakan dari Code
Civil (C.C.) Prancis.
Di dalam Pasal 584 Burgerlijke Wetboek meniru Pasal 711 C.C.
ditetapkan bahwa:
Hak milik atas suatu benda tak dapat diperoleh dengan cara
lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena
daluwarsa, karena pewarisan baik menurut Undang-Undang,
maupun menurut surat wasiat,...
Ketentuan Pasal 584 Burgerlijke Wetboek mengandung makna
bahwa pewarisan merupakan salah satu cara yang secara limitatief
ditentukan untuk memperoleh hak milik dan karena benda (hak) milik
merupakan salah satu unsur pokok daripada benda merupaka benda
yang paling pokok di antara benda-benda lain, maka Hukum Waris
diatur dalam Buku II bersama-sama dengan pengaturan tentang benda
yang lain.
Pandangan cara untuk memperoleh hak milik sebenarnya terlalu
sempit dan bisa menimbulkan salah pengertian, karena yang berpindah
69

Sebelum B.W. Belanda mengalami perubahan atau pembaharuan,

Kriminalisasi Hak Waris


dalam pewarisan bukan hanya hak milik saja, tetapi juga hak-hak
kebendaan yang lain (hak kekayaan) dan selain itu, terdapat kewajibankewajiban yang termasuk dalam Hukum Kekayaan. 70
Hak mewaris yang terbentuk dalam Pasal 528 Burgerlijke Wetboek
adalah tidak benar. Untuk jelasnya Pasal 528 Burgerlijke Wetboek
menyebutkan:
Atas sesuatu kebendaan (zaak), seorang dapat mempunyai,
baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak milik ,baik hak waris,
baik hak pakai hasil, baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai
atau hypotheek.
Di sini ternyata bahwa hak mewaris disebutkan bersama-sama
dengan hak kebendaan yang lain, sehingga menimbulka pandangan
seakan-akan hak mewaris merupakan suatu hak kebendaan ini
merupakan pengaruh Hukum Romawi.
Cara berpikir sebagai tersebut di atas, sebenarnya merupakan
akibat pengaruh Hukum Romawi dan Hukum Germania pada Hukum
Perdata Belanda, dan Hukum Perdata Indonesia merupakan jiplakan
dari hukum Perdata Belanda.
Di dalam Hukum Romawi warisan dianggap suatu zaak (tak
berwujud) tersendiri, dan para ahli waris mempunyai hak kebendan
(zakelijkrecht).
Dengan meninggalnya seseorang, seakan-akan timbul suatu zaak
yang baru, yang lain dan zaak yang lama yang dipunyai pewaris, dan
kekayaan pewaris sekarang menjadi satu kesatuan yang baru, zaak
yang baru.
Atas zaak yang baru tersebut para ahli waris mempunyai hak milik
bersama yang bebas (vrije-mede eigendom, Condominium).
Sebaliknya Hukum Germania tidak memandang warisan sebagai
suatu zaak tersendiri dan para ahli waris tidak mempunyai hak
kebendaan atasnya. Antara mereka terdapat pemilikan bersama yang
terikat (gebonden mede eigendom).
Kedua ciri tersebut diambil oper oleh Hukum Waris Indonesia.
Kalau ditinjau secara keseluruhan, bentuk Hukum Waris Indonesia lebih
menunjukkan pengaruh Hukum Germania, namun jika di perhatikan
Pasal 528 Burgerlijke Wetboek, dan pasal mana dapat disimpulkan,
mengenai warisan adalah satu kesatuan yang berdiri sendiri; dan
dicantumkannya hak waris sebagai hak kebendaan di antara hak-hak
70

E.M. Meijers, Sen Asser, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands
Burgelijkreht, jilid keempat Erfrecht cetakan tahun 1915, hlm 2.

Kriminalisasi Hak Waris


kebendaan yang lain, di sini terlihat memiliki pengaruh dari Hukum
Romawi.71
Jadi peugaruh Hukum Germania kuno di dalam Burgerlijke
Wetboek nampak dalam wujud adanya suatu hak milik bersama yang
terikat antara para ahli waris terhadap warisan yang jatuh pada mereka.
Hak milik bersama yang terikat adalah pemilikan bersama, yang
merupakan salah satu akibat daripada adanya hubungan hukum anatar
mereka yang mempunyai hak bersama tersebut.
Adanya ikatan antar mereka bukan karena kehendak mereka atau
setidak-tidaknya tidak 100% (seratus persen) karena mereka
menghendaki yang demikian. Salah satu ciri yang biasanya dipakai
untuk membedakan antara hak milik bersama yang terikat dengan hak
milik bersama yang bebas adalah dapat atau tidaknya pemiik serta
sewaktu-waktu memuntut pemecahan hak milik bersama tersebut.
Dalam berbagai literatur dikemukakan tentang adanya hak milik
bersama yang bebas, tetapi kalau tidak, maka yang ada adalah hak milik
bersama yang terikat. Secara demikian sebenarnya warisan merupakan
hak milk yang bebas (lihat Pasal 1066 Burgerlijke Wetboek), tetapi
anehnya tak ada sarjana yang menganggap warisan sebagai hak milik
bersama yang bebas. 72
Pengaruh hukum Romawi dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Indonesia, dapat ditunjukkan pada adanya ketentuan Pasal 528
Burgerlijke Wetboek, dan disamping itu pasal 834 dan pasal 955
Burgerlijke Wetboek, yang mengatur tentang hereditatis petitio, yang
memberikan gambaran, bahwa hak waris merupakan sesuatu yang
berdiri sendiri, karena hak hereditatis petitio tidak diturunkan oleh
pewaris.
Dianggapnya hak waris sebagai sutau hak
menimbulkan banyak keberatan dari para ahli hukum. 73

kebendaan

Keberatan itu adalah, berkaitan dengan para ahli waris


mendapatkan seluruh aktiva dan pasiva, yang dipunyai pewaris, dan
apra ahli waris memperolehnya tanpa harus berbuat apa-apa. Semua
aksi-aksi (tuntutan) yang dapat dilancarkan oleh pewaris, sekarang
71

Pitlo, Het Eifrecht naar het Nederlands Burgelijk Wetboek, cetakan kedua,
tahun 1955 hlm. 2; lihat juga Ali Affandi dalam Hukum Waris, hlm 8, berpendapat
bahwa pengaruh Hukum Germania kuno di dalam Burgerlijk Wetboek lebih besar.
72
Pitlo, hlm 258; J. Satrio, Pendaftaran Hak Atas Tanah Dan Kewenangan
Mengambil Tindakan Pemilikan (beschikking), dimuat dalam Media Notariat No. 3
tahun II April 1987, hlm. 32 dan selanjutnya.
73
E.M. Meyers, hlm 2; A. Pitlo, hlm 2; Hartono Surjopratiknyo, Hukum Waris
Tanpa Wasiat, cetakan pertama, tahun 1982, hlm. 2.

Kriminalisasi Hak Waris


dapat dilancarkan oleh ahli waris. Para ahli waris mendapatkannya
berdasar hak saisine. Jadi, ahli waris menggantikan hak-ak dan
kewajiban pewaris, dengan perkataan lain menggantikan positie
pewaris. Kalau di samping itu ahli waris masih menupunyai hak-hak
khusus yang lain, maka mestinya hak tersebut suatu ketika akan
berakhir, tetapi ternyata tidak ada ketentuan yang menunjukkan hal
yang demikian.
Memang di samping itu masih ada hak lain daripada ahli waris,
yaitu hak herreditatis petitio, tetapi hak tuntut ex Pasal 834 Burgerlijke
Wetboek tidak mempunyai hak kebendaan sebagai dasar.
Hak Hereditatis petitio (Pasal 834) merupakan hak yang tidak
diturunkan dari pewaris. melainkan hak ahli waris dan diberikan oleh
Undang-Undang, lembaga mana berasal dari Hukum Romawi.
Jadi dimasukkannya peraturan-peraturan mengenai pewarisan di
dalam Buku II didasarkan atas anggapan, bahwa pewarisan merupakan
salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Namun hendaknya kita
ingat, bahwa yang berpindah berdasarkan pewarisan tidak hanya hak
milik, tetapi juga hak-hak erfpacht, hak tagihan, bahkan tidak hanya
hak-hak dalam lapangan hukum kekayaan saja, tetapi juga hak-hak
tertentu yang berasal dari hubungan hukum kekeluargaan, dan di
samping itu juga turut beralih semua kewajiban-kewjaiban dalam
lapangan hukum kekayaan.
3. Hukum Waris Dan Golongan Penduduk Di Indonesia
Untuk melaksanakan Hukum Perdata di Indonesia, kita terpaksa
masih harus mengikuti penggolongan-penggolongan penduduk
lndonesia menurut ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische
Straatsregeling (Kecuali Hukum Keluarga berdasarkan UndangUndang Nomor 1 tahun 1974).
Berdasarkan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Straatsregeling.
Maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek)
berlaku bagi:
1. orang-orang Belanda;
2. orang-orang Eropa yang lain;
3. orang Jepang, dan orang-orang lain yang tidak termasuk dalam
kelompok satu dan dua yang tunduk pada hukum yang mempunyai
asas-asas hukum keluarga yang sama;
4. orang-orang yang Lahir di Indonesia, yang sah ataupun diakui
secara sah dan keturunan lebih lanjut dari orang-orang yang
termasuk kelompok 2 dan 3.

Kriminalisasi Hak Waris

Selanjutnya berdasarkan Staatsblad. 1917 No. 129, seluruh


Hukum Perdata Barat (Burgerlijke Wetboek), dengan sedikit
kekecualian, berlaku bagi golongan Tionghoa.
Maka berdasarkan Staatsbiad tersebut terhitung mulai tanggal 1
Mei 1919, bagi golongan Tionghoa untuk daerah-daerah tertentu
berlaku Hukum Perdata Barat (B.W.), termasuk di dalamnya Hukum
Waris.
Kemudian dengan S. 1924 : 557 dinyatakan berlaku untuk
golongan Tionghoa di seluruh Indonesia. Ketentuan tersebut berlaku
sejak 1 Maret 1925. Sebelum itu S. 1855 : 79 menetapkan bahwa
hukum waris Testamentair berlaku bagi golongan Timur Asing, dan
semenjak 1 Mei 1919 lembaran negara ini tidak bedaku lagi bagi
golongan Tionghoa dan diganti dengan S. 1917 No. 129 tersebut di
atas.74
Untuk golongan Timur Asing sekzin golongan Tionghoa, dengan
Staatsblad. 1924: - 556, yang berlaku sejak 1 Maret 1925, Hukum
Perdata Barat (Burgerlijke Wetboek) dinyatakan berlaku, kecuali:
1. Buku I Bab 2
2. Buku I Bab 4 s/d 14
3. Buku I Bab 15 dengan perkecualian:
a. orang-orang Timur Asing adalah belum dewasa kalau mereka
belum berumur 21 tahun dan belum menikah.
b. bagian 13 (titel 15 buku 1) tentang Weeskamer mengikuti
peraturan tentang boedelmeester.
4. Buku II Bab 12 Pewarisan karena kematian; dan
5. Beberapa ketentuan lain.
Selanjutnya Pasal 3 Staatsblad. 1924 - 556 menentukan bahwa
kata wet (undang-Undang) dalam Pasal 1913, Pasal 915 dan Pasal 16
dalam Burgerlijke Wetboek harus dibaca ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku bagi pewaris, yang berkaitan erat dengan (didasarkan
atas) kebiasaan dan agama mereka dan yang dimaksud dengan
mewaris dalam pewarisan karena kematian (erven bij verstetf) adalah
mewaris berdasarkan ketentuan hukum sebagai tersebut di atas.

C. Hukum Waris Dalam Hukum Adat


1. Subjek Hukum Waris Adat
74

Supomo, Sistem Hukum di Indonesia, cetakan ketiga tahun 1957 hlm 96; lihat
juga dalam Englebrecht 1954 hlm 167.

Kriminalisasi Hak Waris


Subjek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah
seseorang yang meninggalkan harta warisan, sedangkan ahli waris
adalah seseorang atau beberapa orang yang merupakan penerima harta
warisan. Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang
bersangkutan, baik itu patrilineal murni, patrilineal beralih-alih,
matrilineal bilateral, ataupun unilateral. Prinsip-prinsip garis keturunan
terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian
harta peninggalan yang diwariskan. Hukum adat waris mengenal
adanya tiga sistem kewarisan, yaitu: 75
a. Sistem kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan
dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan, seperti di Jawa,
Batak, Sulawesi.
b. Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif
mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi
pemilikannya kepada masing-masing ahli waris, seperti di
Minangkabau.
c. Sistem kewarisan Mayorat :
1) Mayorat laki-laki, apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris
meninggal atau anak laki-laki sulung merupakan ahli waris
tunggal,seperti di Lampung.
2) Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada
saat pewaris meinggal adalah ahli waris tunggal, seperti di Tanah
Semendo.
Harta yang dapat dibagi adalah harta peninggalan setelah dikurangi
dengan biaya-biaya waktu pewaris sakit dan biaya pemakaman serta
hutang-hutang yang ditinggalkan oleh pewaris. Menurut hukum adat
untuk menentukan siapa yang mejadi ahli waris digunakan dua macam
garis pokok yaitu :76
a. Garis pokok keutamaan, yaitu garis hukum yang menentukan
urutan-urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam
keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu
lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Golongan tersebut
adalah sebagai berikut :
1) Kelompok keutamaan I
: keturunan pewaris
2) Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris
3) Kelompok keutamaan III : saudara pewaris dan keturunannya
4) Kelompok keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris
b. Garis pokok penggantian, yaitu garis hukum yang bertujuan untuk
menentukan siapa di antara orang-orang di dalam kelompok
75

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT.RajaGrafindo Indonesia


Persada, Jakarta, 2001. hlm 260.
76
Ibid., hlm 261.

Kriminalisasi Hak Waris


keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris, golongan tersebut
yaitu :
1) Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris
2) Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris
Berdasarkan pengaruh dari prinsip garis keturunan yang berlaku
pada masyarakat itu sendiri, maka yang menjadi ahli waris tiap daerah
akan berbeda. Masyarakat yang menganut prinsip patrilineal seperti
Batak, yang merupakan ahli waris hanyalah anak laki-laki, demikian
juga di Bali. Berbeda dengan masyarakat di Sumatera Selatan yang
menganut matrilineal, golongan ahli waris adalah tidak saja anak lakilaki tetapi juga anak perempuan. Masyarakat Jawa yang menganut
sistem bilateral, baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak
sama atas harta peninggalan orang tuanya.
2. Proses Peralihan Harta Waris Adat
Pewarisan pada masyarakat adat mungkin saja dialihkan saat
pewaris masih hidup, hal ini dapat dibuktikan misalnya saat orang tua
mengalihkan barang harta keluarga kepada anak-anak saat masih hidup.
Sebagai contoh, terdapat keluarga yang terdiri dari dua anak laki-laki,
serta anak perempuan. Anak laki-laki tertua telah dewasa dan cakap
bekerja, maka ayahnya memberikan sebidang sawah yang dilakukan di
hadapan kepala desa.
Pemberian tersebut bersifat mutlak dan merupakan pewarisan atau
toescheiding, sebab perbuatan tersebut bukan merupakan jual beli tetapi
pengalihan harta benda dalam lingkungan keluarga sendiri. 77 Akan
tetapi proses semacam itu sangat cenderung terjadi pada masyarakat
yang menganut sistem kewarisan individual, dan jarang terjadi.
Pemberian harta kepada ahli waris semasa masih hidup dapat berwujud
jiwa dana yakni pemberian lepas dari pewaris kepada ahli waris.
Selain itu ada juga pemberian berupa pengupah jiwa yang merupakan
pemberian yang bersifat sementara, hanya untuk dinikmati hasilnya
oleh ahli waris.
Peralihan harta waris pada masyarakat dengan sistem kewarisan
mayorat terjadi pada saat pewaris meninggal dunia. Proses peralihan
warisan pada saat pewarais masih hidup tentu akan berbeda dengan
proses pewarisan secara hibah wasiat. Pelaksanaan warisan secara
hibah wasiat pada dasarnya bertujuan untuk :
1. Untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagi harta
warisan dengan cara layak menurut anggapan pewaris
2. Untuk mencegah terjadinya perselisihan
77

Ibid., hlm 270 .

Kriminalisasi Hak Waris


3. Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan mengikat sifat-sifat dari
harta peninggalan seperti barang-barang yang disewa dan barangbarang pusaka.
3. Hak dan Kewajiban Ahli Waris Adat
Peristiwa hukum adalah peristiwa yang menimbulkan hak dan
kewajiban, maka dari itu dengan adanya pewarisan secara hukum adat
tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban pula. Sistem yang dianut
oleh masing-masing masyarakat adat juga mempengaruhi hak dan
kewajiban seperti pada pembahasan sebelumnya.
Ahli waris pada sistem masyarakat yang mayorat, seperti pada
masyarakat Lampung mempunyai hak untuk menikmati harta warisan
terutama untuk kelangsungan hidup keluarganya. Harta warisan yang
tidak terbagi-bagi itu hanya dikuasai oleh anak tertua, dan ia berkuasa
untuk mengusahakan sebagai sumber kehidupan baik untuk pribadi,
bersama keluarga atau untuk adik-adiknya. 78 Perbedaan hak ahli waris
yang lain terdapat pada masyarakat Jawa dengan sistem individual,
dimana harta peninggalan si pewaris dibagikan kepada masing-masing
ahli warisnya, sehingga ahli waris berhak memakai, mengolah dan
menikmati hasilnya. 79
Berbeda dengan sistem kewarisan yang kolektif seperti di
Minangkabau, yaitu harta warisan itu merupakan harta pusaka milik
dari suatu keluarga. Harta peninggalan hanya dapat dipakai saja oleh
segenap warga keluarga yang bersangkutan, dan tidak dapat dimiliki
oleh seluruh warga keluarga secara individual.
Selain hak atas harta warisan, terdapat juga kewajiban ahli waris
atas harta warisan yang juga berbeda tergantung daerahnya. Kewajiban
utama ahli waris di daerah Lampung adalah menjaga dan memelihara
keutuhan harta warisan, mengusahakan harta warisan untuk
kelangsungan hidupnya dan adik-adiknya. Ahli waris di daerah
Tapanuli, Kalimantan, dan Bali mempunyai kewajiban membayar
hutang pewaris asal saja penagih hutang itu memberitahukan haknya
kepada ahli waris tersebut, dan juga menyelenggarakan upacara mayat
serta menguburkan.
4. Macam-Macam Sistem Kewarisan Dalam Hukum Adat

78

Ibid., hlm 275.


Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2013. hlm 76.
79

Kriminalisasi Hak Waris


Di Indonesia ada tiga sistem kewarisan dalam hukum adat sebagai
berikut :80
a.

Sistem kewarisan individual : Cirinya harta peninggalan dapat


dibagi-bagikan di antara para ahli waris seperti dalam masyarakat
bilateral di Jawa.
b. Sistem kewarisan kolektif : Cirinya harta peninggalan itu diwarisi
oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan
semacam badan hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta
pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya di antara para ahli
waris dimaksud dan hanya boleh dibagi-bagikan pemakainya saja
kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti
dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau.
c. Sistem kewarisan mayorat : Ciri harta peninggalan diwaris
keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari
satu keluarga) oleh seorang anak saja, seerti halnya di Bali di mana
terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah
Semendo di Sumatera Selatan di mana terdapat hak mayorat anak
perempuan yang tertua.
Ketiga sistem kewarisan ini,masing-masing tidak langsung
menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu di mana
sistem kewarisan itu berlaku, sebab sesuatu sistem tersebut di atas dapat
dikemukakan juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun
dalam satu bentuk susunan masyarakat ataupun dalam satu bentuk
susunan masyarakat dapat pula dijumpai lebih dari satu sistem
kewarisan.
Sebagai Contoh misalnya :
1. Sistem kewarisan mayorat (hak anak perempuan tertua) selain
dijumpai pada masyarakat patrilineal di Tanah Semendo Sumatera
Selatan, didapat juga di Kalimantan Barat pada masyarakat bilateral
suku Dayak.
2. Sistem kewarisan kolektif,selain didapat dalam masyarakat
matrilineal di Minangkabau,dalam batas-batas tertentu dijumpai
pula di Minahasa,dalam masyarakat yang bilateral (tanah
wawakesun teranak, barang kalakeran) dan juga di Pulau Ambon
dalam masyarakat patrilineal.
5. Harta Peninggalan yang Tidak Dapat Dibagi-Bagi,

80

Suroyo Wignyodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat .Jakarta: CV


Haji Masagung, 1990. hlm. 35.

Kriminalisasi Hak Waris


Harta peningalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini berdasarkan
alasannya dapat dibeda-bedakan sebagai berikut : 81
1. Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk dibagi-bagi
(misalnya barang-barang milik suatu kerabat atau famili).
2. Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu
tempat/jabatan tetentu (contohnya misalnya barang-barang keramat
keraton Kasepuhan Cirebon seluruhnya tetap jatuh pada ahli waris
yang menjadi Sultan serta barang-barang itu tetap jatuh pada ahli
waris yang menjadi Sultan Sepuh serta barang-barang itu tetap
disimpan di Keraton Kasepuhan).
3. Karena belum bebas dari kekuasaan perseketuan hukum yang
bersangkutan, seperti tanah kasikepan di daerah Cirebon
4. Karena pembagiannya untuk sementara ditunda, seperti banyak
dijumpai di Jawa, misalnya apabila terdapat anak-anak yang
ditinggalkan masih belum dewasa, maka demi kepentingan janda
beserta anak-anaknya supaya tetap mendapat nafkah untuk hidup
terus harta peninggalan tidak dibagi-bagi. Dan tiap tuntutan untuk
membagi dari ahli waris yang menurut hakim akan mengakibatkan
terlantarnya janda beserta anak-anak tersebut selalu akan ditolak
oleh hakim.
5. Karena hanya diwaris oleh seorang saja (sistem kewarisan
mayorat), sehingga tidak perlu dibagi-bagi.
Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini di beberapa
lingkungan hukum adat disebabkan karena sifatnya yang memang tidak
memberi kemungkinan untuk tidak memiliki barang itu bersamasama,dengan ahli waris lain-lainnya, sebab harta dimaksud merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi atau barang itu merupakan
lambang persatuan serta kesatuan dari pada keluarga yang
bersangkutan.
Sebagai contoh dari pada harta peninggalan semacam ini dapat
disebut :
1.
2.

harta pusaka di Minangkabau


tanah dati di Semenanjung Hitu (Ambon)

Tiap anak yang lahir dalam keluarga itu turut serta menjadi
pemilik, sedangkan tiap-tiap suami ataupun istri yang meninggal dunia
selalu membiarkan saja barang-barang itu dalam keadaan yang semula.
Karena sifatnya tidak mungkin dibagi-bagi menimbulkan adanya sistem
kewarisan kolektif.

81

Ibid.

Kriminalisasi Hak Waris


D. Hukum Waris Sebagai Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Untuk menjelaskan arti suatu lembaga, biasanya orang mencoba
membuat suatu rumusan mengenai arti lembaga tersebut. 82
Demikian pula dengan lembaga hukum pidana, maka untuk
menjelaskan tentang arti sebenarnya dan hukum pidana itu, berbagai
penulis telah mencoba untuk membuat rumusan-rumusan hukum
pidana.
Kata-kata hukum pidana merupakan kata-kata yang mempunyai
lebih dari satu pengertian, 83 maka dapat dimengerti bahwa tidak ada
satu pun rumusan di antara rumusan-rumusan yang ada, yang dapat
dianggap sebagai rumusan yang sempurna yang dapat diberlakukan
secara umum.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini rumusan mengenai
pengertian hukum pidana yang telah dibuat oleh W.L.G. Lemaire 84 yang
berbunyi antara lain sebagai berikut:
Het strafrecht is samengesteld uit die normen welke geboden
en verboden bevatten en waaraan (door de wetgevei) als
sanctie straf, di. een bizondere leed, is gekoppeld. Men kan dus
ook zeggen dat het strafrecht het normen stelsel is, dat bepaalt
op welke gedragingen (doen of niet-doen waar handelen
verplicht is) en onder welke omstandigheden het recht met straf
reageert en waaruit deze straf bestaat.
Terjemahan bebas: Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma
yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang
(oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu
sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat
khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum
pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang
menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana
terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan,
serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi
tindakan-tindakan tersebut.
82

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, Citra


Adtya Bakti, 1997), hlm. 1-7.
83
Hazewinkel-Suringa, Inieding, hlm. 1.
84
Ibid., (P.A.F. Lamintang mengutip Lemaire, Hat recht in Indonesie, hlm. 145),
hlm 1-2.

Kriminalisasi Hak Waris


Rumusan mengenai hukum pidana menurut Lemaire di atas itu,
mungkin saja benar seandainya yang dimaksudkan oleh Lemaire itu
adalah hukum pidana material. Akan tetapi, hukum pidana itu bukan
saja terdiri dari hukum pidana material, karena di samping hukum
pidana material tersebut, kita mengenal juga apa yang disebut hukum
pidana formal ataupun yang sering disebut sebagai hukum acara pidana,
yang di negara kita dewasa ini telah diatur di dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981, yang dikenal sebagai Undang-undang tentang
Hukum Acara Pidana.
Apabila kita melihat ke dalam undang-undang tersebut, maka
segera akan kita ketahui bahwa di dalamnya tidak terdapat satu pasal
pun yang telah mengaitkan pelanggaran-pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalamnya dengan suatu
hukuman, dalam arti suatu penderitaan yang bersifat khusus
sebagaimana yang telah dikatakan oleh Lemaire di atas.
Pendapat selanjutnya W.F.C. van HATTUM85 telah merumuskan
hukum pidana positif sebagai berikut:
het samenstel van de beginselen en regelen, welke de Staat of
eenige andere openbare rechtsgemeeschap volgt, in zoover hij
als handhaver der openbare rechtsorde, onrecht verbiedt en
aan zijner voorschriften voor den overtreder een bijzonder feed
als straf verbindt.
Terjemahan bebas: suatu keseluruhan dan asas-asas dan
peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu
masyarakat hukum umum lainnya, di mana mereka itu sebagai
pemelihara dan ketertiban hukum umum telah melarang
dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar
hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturanperaturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus
berupa hukuman.
Rumusan mengenai hukum pidana positif menurut van Hattum,
yang menyadur rumusan mengenai hukum pidana positif menurut van
Hammel86 di atas, ternyata kurang lengkap, oleh karena hukum pidana
positif atau yang disebut sebagai strafrecht in objectieve zin itu bukan
hanya merupakan suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturanperaturan yang berkenaan dengan penentuan dan sanksi-sanksi dan
norma-norma saja, melainkan juga berkenaan dengan penentuan dan
syarat-syarat bagi akibat hukumannya suatu pelanggaran norma, dan
85

Ibid., (P.A.F. Lamintang mengutip Van Hattum, Hand-en Leerboek, hlm. 1),

hlm. 2-3.
86

van HAMEL, Inleiding, hlm.1 - 2.

Kriminalisasi Hak Waris


berkenaan pula dengan ketentuan-ketentuan mengenai penjatuhan dan
pelaksanaan dan hukumannya itu sendiri.87
Karena demikian sulitnya untuk membuat suatu rumusan mengenai
hukum pidana yang dapat berlaku secara umum, maka menurut W.P.J.
POMPE88 yang telah membuat suatu rumusan yang sangat singkat
mengenai hukum pidana dengan mengatakan:
Het strafrecht wordt, evenals het staatsrecht, het burgerlijk
recht en andere delen van het recht, gewoonlijk opgevat als een
geheel van mm of meer algemene, van de concrete
omstandigheden abstraherende, regels.
Terjemahan bebas: Hukum pidana itu sama halnya dengan
hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dan
hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang
diabstrahir dan keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
Menurut SIMONS, hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum
pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum
pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin.
Hukum pidana dalam anti objektif adalah hukum pidana yang
berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.
Hukum pidana dalam arti objektif tersebut, oleh SMONS 89 telah
dirumuskan sebagai:
het geheel van verboden en geboden, aari welker overtreding
door de Staat of eenige andere openbare rechtsgemeenschap
voor den overtreder een bijzonder leed straf verbonden is, van
de voorschriften, door weike de voorwaarden voor dit
rechtsgevolg worden aangewezen, en van de bepalingen,
krachtens welke de straf wordt opgelegd en toegepast.
Terjemahan bebas: keseluruhan dan larangan-larangan dan
keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh negara atau
oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan
dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu
hukuman, dan keseluruhan dan peraturan-peraturan di mana
syarat-syarat mengenai akibat-hukum itu telah diatur serta
keseluruhan dan peraturan-peraturan yang mengatur masalah
penjatuhan dan pelaksanaan dan hukumannya itu sendiri.
87

Ibid., (P.A.F. Lamintang mengutip SIMONS, Leerboek I, hlm. 1), hlm. 4


Ibid., (P.A.F. Lamintang mengutip POMPE, Handboek, hlm. 1), hlm 3
89
Op.cit., hlm. 4.
88

Kriminalisasi Hak Waris


Hukum pidana dalam arti subjektif itu mempunyai dua pengertian,
yaitu:
a. hak dan negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum,
yakni hak yang telah mereka peroleh dan peraturan-peratunan yang
telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif;
b. hak dan negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturanperaturannya dengan hukuman.
Hukum pidana dalam arti subjektif di dalam pengertian seperti
yang disebut terakhir di atas, juga disebut sebagai ius puniendi.
Di atas telah dikatakan bahwa salah satu pengertian dan hukum
pidana dalam arti subjektif itu adalah hak dan negara dan alat-alat
kekuasaannya untuk menghukum, yaitu hak yang telah mereka peroleh
dan peraturanperaturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam
arti objektif. Peraturan-peraturaninimembatasi kekuasaan dan negara
untuk menghukum.
Orang baru dapat berbicara mengenai hukum pidana dalam arti
subjektif menurut pengertian ini, apabila negara telah menggunakan
kekuasaannya untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan peraturanperaturan yang telah ditentukan terlebih dahulu.90
Telah dikatakan di atas, bahwa hukum pidana dalam arti objektif
antara lain terdiri dari seluruh peraturan yang memuat syarat-syarat
mengenai akibat hukum pelanggaran terhadap larangan-larangan atau
keharusankeharusan itu telah diatur.
Peraturan-peraturan yang mengatur akibat hukum dan
pelanggaran-pelanggaran semacam itu bukan hanya dapat datang dan
negara saja, melainkan ia juga dapat datang dari lain-lain masyarakat
hukum umum, yakni sepenti yang kita kenal dewasa ini sebagai daerahdaerah tingkat I atau daerah-daerah tingkat II.
Hukum pidana positif kita dewasa ini merupakan suatu lembaga
yang tumbuh dan berkembang dari bentuk asalnya berabad-abad yang
lalu. Memang di dalam hukum pidana itu terdapat benih-benih untuk
adanya suatu pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut, di mana
pertumbuhan dan penkembangan tersebut antara lain juga telah
mendapat dorongan dan berbagai keadaan dan berbagai kebutuhan yang
timbul sepanjang masa.91
Dalam keadaan seperti itulah, hukum pidana positif telah menjadi
objek studi dan llmu Pengetahuan Hukum Pidana ataupun yang di
dalam bahasa Belanda juga disebut sebagai rechtswetenschap.
90
91

van HAMEL, Inleiding, hlm. 3; SIMONS, ibid.


van HAMEL, Inleiding, hlm.1.

Kriminalisasi Hak Waris


Hukum pidana positif adalah hukum pidana yang berlaku di dalam
garis-garis perbatasan suatu negara atau suatu masyarakat hukum
umum tertentu pada suatu waktu yang tertentu.
Undang-undang pidana kita yang benlaku dewasa ini juga
merupakan suatu hukum pidana positif. Tentang adanya benih-benih di
dalam hukum pidana positif dan tentang adanya keadaan-keadaan serta
kebutuhan-kebutuhan
yang
mendorong
pertumbuhan
dan
perkembangan dari hukum pidana positif seperti yang telah dikatakan
di atas itu, dapat dilihat dari sebuah contoh sederhana yang menyangkut
sebagian kecil dan hukum pidana positif yang berlaku di negara kita
dewasa ini sebagai berikut ini.
Salah satu larangan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia adalah larangan untuk mencuri barang
kepunyaan orang lain.
Larangan tersebut dapat kita jumpai di dalam rumusan Pasal 362
KUHP yang berbunyi: Barangsiapa mengambil sesuatu benda yang
sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud
untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum, maka karena
bersalah telah melakukan suatu pencurian, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya lima tahun atau dengan hukuman denda
sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah.
Pada mulanya perkataan benda di dalam pasal rumusan Pasal 362
KUHP itu hanya mempunyai arti sebagai stoffelijk en roerend goed atau
Sebagai benda yang berwujud dan yang menurut sifatnya dapat
dipindahkan, seperti sebuah arloji, sebuah sepeda, uang dan lain
sebagainya. Pada waktu Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita
dibentuk, para pembentuk undang-undang kita tidak merasa perlu untuk
memasukkan juga misalnya tenaga listrik atau gas ke dalam pengertian
benda tersebut.
Pada waktu itu orang di Negeri Belanda telah mengenal listrik dan
gas. Akan tetapi penggunaan tenaga listrik dan gas oleh para konsumen
yang berlawanan dengan syarat-syarat pemakaian pada waktu itu masih
tidak berarti sama sekali, oleh karena tenaga listrik dan gas itu
penggunaannya masih sangat terbatas untuk keperluan rumah tangga
saja.
Beberapa puluh tahun kemudian setelah Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia terbentuk, keadaan menjadi berubah karena
tenaga listrik tidak lagi terbatas penggunaannya untuk keperluan rumah
tangga melainkan juga untuk keperluan industri.
Dan pada tahun 1921, Hoge Raad dalam sebuah Arrest tertanggal
23 Mei 1921 telah memasukkan tenaga listrik ke dalam pengertian

Kriminalisasi Hak Waris


benda seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 362 KUHP, walaupun
sudah jelas bahwa tenaga listrik itu bukan merupakan suatu benda yang
berwujud.
Arrest Hoge Raad tersebut dapat dijumpai dalam majalah yuridis
di Negeri Belanda yang bernama Nederlandse Jurisprudentie tahun
1921 pada halaman 564, dan dimuat dalam sebuah mingguan yuridis
yang bernama Weekblad van het Recht nomor 10728. Oleh karena
itulah maka arrest listrik dan Hoge Raad tersebut dalam kepustakaan
sering disebut sebagai Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921, N.J.
1921 halaman 564, W, 10728.92
Apabila pada tahun 1921 Hoge Raad secara implisit telah
menetapkan bahwa tenaga listrik dapat dijadikan objek kejahatan
pencurian, kemudian Hoge Raad dengan arrest tertanggal 9 November
1931, N.J. 1932 halaman 320, W. 12409,93 sekaligus telah menjadikan
gas sebagai jenis benda yang dapat dijadikan objek kejahatan pencurian
seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 362 KUHP.
Perkataan mengambil dalam Pasal 362 KUHP itu pun telah
berubah dan berkembang dan pengertiannya semula. Pada mulanya
perkataan mengambil mempunyai arti yang lazim menurut tata bahasa.
Bahkan orang berpendapat bahwa pemberian arti kepada perkataan
mengambil sebagai perbuatan memindahkan sebuah benda dan
tempatnya semula adalah sudah memadai.
Timbullah kemudian suatu permasalahan, yaitu apa yang terjadi
seandainya orang telah memindahkan suatu benda itu kemudian
mengembalikannya ke tempat semula tanpa sedikit pun terdapat
perubahan mengenai letaknya semula.
Ternyata Hoge Raad telah membantu rnemecahkan persoalannya
dengan memberikan putusan di dalam tiap-tiap Arrest masing-masing
tertanggal 12 November 1894, W. 6578 dan tanggal 4 Maret 1935, N.J.
1935 halaman 681, W. 1293294 yang mengatakan antara lain bahwa :
perbuatan mengambil itu telah selesai, apabila benda yang diambil
telah berada di dalam kekuasaan pelaku, walaupun benar bahwa pelaku
tersebut kemudian telah melepaskan kembali penguasaannya, karena
perbuatannya telah diketahui oleh orang lain.
Mengenai cara melakukan pengambilan itu pun telah berkembang
sepanjang sejarah. Yang dimaksudkan dengan perbuatan mengambil itu
pun semula hanya perbuatan mengambil sesuai dengan pengentiannya
yang lazim menurut tata bahasa. Kemudian orang baru menyadari
92

Lamintang-Samosir, Hukum Pidana Indonesia, hlm. 150.


Lamintang-Samosir, op cit, hlm. 149.
94
Lamintang-Samosir, ibid.
93

Kriminalisasi Hak Waris


bahwa perbuatan mengambil tentu dapat juga dilakukan orang dengan
mempergunakan sebuah alat, hingga timbullah suatu teori yang di
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana juga dikenal. sebagai de leer
van het instrument, yang akan dibicarakan kemudian.
Pada waktu Kitab Undang-undang Hukum Pidana mulai
diberlakukan di sebuah negara, sudah tentu orang telah mengenal
perbuatan mengambil dengan mempergunakan alat-alat yang sederhana,
seperti mengambil pakaian yang dijemur dengan mempergunakan
sebuah galah, mengambil seekor domba dengan mempergunakan seutas
tali dan lain sebagainya, akan tetapi yang pasti adalah bahwa orang
belum mengenal alat-alat yang dewasa ini kita kenal dengan nama
robot.
Di dalam abad kedua puluh ini orang telah mulai mengenal alatalat, dengan mana orang telah berhasil mengambil benda-benda tertentu
dan suatu tempat yang tertentu, dan jarak yang demikian fantastis,
diukur dan tempat di mana seseorang telah menggerakkan alat tersebut
dengan tempat di mana alat yang dipergunakan itu bekerja, hingga
mencapai suatu jarak yang sama dengan jarak antara bumi kita dengan
bulan.
Hingga saat ini memang belum terjadi suatu peristiwa yang
mendorong orang untuk menyesuaikan undang-undang pidana yang
berlaku di negaranya masing-masing dengan hasil-hasil yang telah
dicapai oleh teknologi modern. Pembentuk undang-undang kita di
Indonesia pun telah bersikap kurang peka terhadap perkembangan yang
tenjadi di negara-negara lain di dunia ini.
Dengan sikap demikian itu pembentuk undang-undang kita telah
kurang berusaha agar nyawa dan harta milik bangsa Indonesia
mendapatkan perlindungan yang cukup dan Kitab Undang-undang
Hukum Pidananya.
Oleh karena bukan tidak mungkin dapat terjadi bahwa pada suatu
waktu di kemudian hari, nyawa seorang bangsa Indonesia dapat
dirampas atau harta miliknya dapat diambil oleh orang lain dengan
mempergunakan alat-alat seperti yang dimaksudkan di atas, yang oleh
pelakunya telah digerakkan dan suatu tempat tertentu di negara lain,
atau telah digerakkan oleh pelakunya dan suatu tempat tertentu di atas
wilayah yang tidak termasuk ke dalam wilayah kekuasaan suatu negara
tertentu, misalnya di atas lautan bebas ataupun di ruang angkasa.
Demikian pula mungkin suatu saat perjalanan ke bulan itu sama
mudahnya dengan perjalanan dan suatu tempat tertentu ke tempat yang
lain di bumi, yang memungkinkan orang pergi ke bulan semata-mata
untuk melancong. Hingga sekarang tidak seorang pun bangsa Indonesia

Kriminalisasi Hak Waris


ada yang memikirkan, bagaimana caranya Kitab Undang-undang
Hukum Pidana kita itu dapat memberikan perlindungan yang cukup
bagi orang-orang Indonesia, apabila mereka di kemudian han
berkesempatan pergi ke bulan dan di sana mereka telah dibunuh
ataupun harta miliknya telah diambil oleh orang lain, mengingat bahwa
bulan itu tidak termasuk ke dalam wilayah kekuasaan suatu negara
tertentu di dunia ini, hingga kelak akan menjadi permasalahan yaitu
undang-undang pidana dan negara manakah yang dapat diberlakukan
terhadap pelakunya, seandainya penistiwaperistiwa seperti yang telah
diuraikan di atas itu benar-benar terjadi.
Tepat kiranya apa yang telah dikatakan oleh van Hattum, bahwa:
het tegenwoordige strafrecht slechts een fase is in een
otwikkelingsgang, waarvan het eindpunt zeker nog niet is
bereikt.95
Terjemahan bebas: hukum pidana dewasa ini barulah
mencapai suatu tahap tertentu di dalam sejarah
pertumbuhannya, meskipun titik akhirnya itu sudahlah jelas
belum tercapai.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke
dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat dijumpai adalah
penyebutan suatu tindakan yang dilakukan manusia, dan dengan
tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang
oleh undang-undang.96
Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu
dapat merupakan een doen atau een niet doen atau dapat
merupakan hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan
sesuatu, yang terakhir ini di dalam doktrin juga sening disebut sebagai
eeri nalaten97 yang juga berarti hal mengalpakan sesuatu yang
diwajibkan (oleh undang-undang).
Akan tetapi strafbaar feit itu oleh Hoge Raad juga pernah
diartikan bukan sebagai suatu tindakan melainkan sebagai suatu
peristiwa atau sebagai suatu keadaan, yaitu seperti yang dapat dibaca
dan Hoge Raad dalam Arrest tertanggal 19 November 1928, N.J. 1928
95

van Hattum, Hand-en Leerboeki, hlm. 1.


P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, Citra
Adtya Bakti, 1997), hlm.192-200.
97
Simons, Leerboek I, hlm.120.
96

Kriminalisasi Hak Waris


halaman 1671, W. 11915,98 di mana Hoge Raad telah menjumpai
sejumlah tindak pidana di bidang perpajakan yang terdiri dari peristiwaperistiwa atau keadaan-keadaan, di mana seseorang itu harus
dipertanggungjawabkan atas timbulnya peristiwa-peristiwa atau
keadaan-keadaan tersebut tanpa ia telah melakukan sesuatu kealpaan
atau tanpa adanya orang lain yang telah melakukan suatu kealpaan,
hingga ia harus dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.
Sungguh pun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita
jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi
menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektifdan unsur-unsur
objektif.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsurunsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang benhubungan dengan
diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya.
Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah
unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di
dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus
dilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut
Pasal 340 KUHP;
5. perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid
2. kualitas dan si pelaku, misalnya Keadaan sebagai seorang pegawai
negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan
terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
98

Cremers, Wetboek, hlm. 51.

Kriminalisasi Hak Waris


3. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Perlu diingat bahwa unsur wederrechtelijk itu selalu harus
dianggap sebagai disyaratkan di dalam Setiap rumusan delik, walaupun
unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan
secara tegas sebagai salah satu unsur dan delik yang bersangkutan.
Pada waktu kita membicarakan masalah wederrechtelijkheid telah
dijelaskan bahwa dengan membaca beberapa putusan kasasi dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia, yakni antara lain M.A. 8
Januari 1966 nomor 42 K/Kr/1965, MA. 6 Juni 1970 nomor 30
K/Kr/1969 dan M.A. 27 Mei 1972 nomor 72 K/Kr/1970 99 kita dapat
menarik satu kesimpulan bahwa dewasa ini Mahkamah Agung kita
telah mulai menganuti apa yang disebut paham materieele
wederrechtelijkheid.
Menurut paham tersebut, walaupun sesuatu tindakan itu telah
memenuhi semua unsur dan sesuatu delik dan walaupun unsur
wederrechtelijk itu telah tidak dicantumkan sebagai salah satu unsur
dari delik, akan tetapi tindakan tersebut dapat hilang sifatnya sebagai
suatu tindakan yang bersifat wederrechtelijk, bilamana hakim dapat
menemukan sesuatu dasar yang meniadakan sifatnya yang
wederrechtelijk dan tindakan tersebut, baik berdasarkan sesuatu
ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang maupun berdasarkan
asas-asas hukum yang bersifat umum dan hukum yang tidak tertulis.
Apa yang kini harus dilakukan oleh seorang hakim apabila unsur
wederrechtelijk itu ternyata tidak terbukti di dalam peradilan.
Jawabannya bergantung pada kenyataan apakah unsur wederrechtelijk
tersebut oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas
sebagai unsur dan delik atau tidak. Apabila unsur wederrechtelijk itu
oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai
unsur dan delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut akan
menyebabkan hakim harus memutuskan suatu vrijspraak atau suatu
pembebasan. Apabila unsur wederrechtelijk itu telah tidak dinyatakan
secara tegas sebagai unsur dan delik, maka tidak terbuktinya unsur
tersebut di dalam peradilan akan menyebabkan hakim harus
memutuskan suatu ontslag van alle rechtsvervolging atau suatu
pembebasan dan segala tuntutan hukum.
Apakah penuntut umum itu selalu harus mencantumkan unsur
wederrechtelijk itu di dalam surat tuduhannya? Jawabannya juga
bergantung pada kenyataan apakah unsur wederrechtelijk itu telah
dinyatakan secara tegas sebagai unsur atau bukan dan delik yang telah
99

Lamintang-Samosir, Hukum Pidana Indonesia, hlm. 235.

Kriminalisasi Hak Waris


dituduhkan terhadap tertuduh. Apabila unsur tersebut dinyatakan
secara tegas sebagai unsur dan delik yang dituduhkan, dengan
sendirinya unsur itu harus dicantumkan di dalam surat tuduhan dan
harus dibuktikan di dalam peradilan, oleh karena setiap unsur yang
dituduhkan itu pada dasarnya harus pula dibuktikan. Dan apabila unsur
wederrechtelijk itu telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai unsur
dari delik yang dituduhkan, maka unsur tersebut dengan sendirinya
juga tidak perlu dicantumkan di dalam surat tuduhan dan di dalam
peradilan yang juga tidak perlu dibuktikan, oleh karena penuntut
umum itu tentunya tidak perlu membuktikan unsurunsur dan delik
yang tidak ia tuduhkan.
Tinggallah kini tugas hakim untuk meneliti tentang kemungkinan
adanya sesuatu dasar yang. dapat menghilangkan sifat wederrechtelijk
dari tindakan yang telah dituduhkan oleh penuntut umum terhadap
tertuduh, baik berdasarkan ketentuan-ketetuan yang tendapat di dalam
undang-undang maupun berdasarkan asas-asas hukum yang bersifat
umum di dalam hukum yang tidak tertulis.
Para guru besar van Bemmelen, Vrij dan A. Mulder telah membuat
pembedaan antara apa yang biasa disebut bestanddelen van het delict
dengan yang juga biasa disebut elementen van het delict.
Perkataan bestanddeel itu sendiri oleh C.B. van Haeringen telah
diartikan sebagai samenstellend deel;100 atau bagian yang dapat
membentuk satu keselunuhan atau sebagian dan satu keseluruhan,
sedang perkataan element itu telah beliau artikan sebagai bagian
ataupun juga sebagai bestanddeel101, yang artinya telah dijelaskan di
atas.
Di dalam kuliah-kuliah Satochid Kartanegara telah semata-mata
menggunakan perkataan unsur sebagal nama kumpulan bagi apa yang
disebut bestanddeel dan element di atas dan kini kita pun akan
menggunakan perkataan unsur dalam arti luas, yakni yang meliputi
perkataan-perkataan bestanddeel dan element. Penggunaan dan
perkataan unsur di atas bukan disebabkan karena kita telah menjadi
bingung karena adanya perkataan-perkataan bestanddeel dan
element di dalam kepustakaan Belanda di mana dua perkataan
tersebut sesungguhnya juga dapat diartikan sebagai unsur, melainkan
karena pembentuk undang-undang sendiri sebenarnya telah
memberikan arti kepada perkataan element atau unsur itu di dalam
pengertiannya yang luas, yang meliputi semua bestanddelen dan tindak

100
101

van Haeringen, Kramers Nederlands Woordenboek, hlm. 76.


van Haeingen, op cit, hlm. 188.

Kriminalisasi Hak Waris


pidana dan semua persyaratan-persyaratan lainnya untuk membuat
seseorang itu menjadi dapat dihukum. 102
Sungguh pun demikian tidak ada salahnya apabila kita sebentar
mengikuti ajaran-ajaran dan para guru besar van Bemmelen, Vrij dan A.
Mulder di atas, oleh karena di dalam aaran beliau-beliau itu terdapat
banyak hal yang perlu kita ketahui.
Yang dimaksud dengan bestanddelen van het delict oleh van
Bemmelen di atas itu adalah bagian-bagian yang terdapat di dalam
rumusan delik.103
Yang dimaksud dengan elementen van het delict itu adalah
ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat di dalam rumusan delik
melainkan di dalam Buku ke-1 KUHP atau dapat dijumpai sebagai asasasas hukum yang bersifat umum yang dipandang sebagal asas-asas yang
juga harus diperhatikan oleh hakim yang terdiri dari berbagai elemen,
yakni:
1. hal dapat dipertanggungjawabkannya sesuatu tindakan atau Sesuatu
akibat terhadap pelakunya;
2. hal dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan yang
telah ia lakukan atau atas akibat yang telah ia timbulkan;
3. hal dapat dipersalahkannya sesuatu tindakan atau suatu akibat
kepada seseorang, oleh karena tindakan atau akibat tersebut telah ia
lakukan atau telah ia timbulkan berdasarkan unsur kesengajaan
ataupun unsur ketidaksengajaan;
4. sifatnya yang melanggar hukum.
Empat elemen dan delik di atas itu masing-masing oleh van Bemmelen
telah disebut secara berturut-turut sebagai: 104
1.
2.
3.
4.

toerekenbaarheid van het feit;


toerekeningsvatbaarheid van de dader;
verwijtbaarheid van het feit dan
wederrechtelijkheid.

Menurut
van
BEMMELEN,
walaupun
elemen-elemen
toerekenbaarheid van het feit dan toerekeningsvatbaarheid van de
dader itu oleh pembentuk undang-undang telah tidak pernah
dinyatakan secara tegas sebagai unsur dan delik yang mana pun di
dalam undang-undang, akan tetapi elemen-elemen tersebut haruslah
dianggap sebagai juga disyaratkan di dalam setiap rumusan delik.
102

van Bemmelen, Ons Strafrecht I, hlm. 100.


van Bemmelen, op cit, hlm.101.
104
van Bemmelen, ibid.
103

Kriminalisasi Hak Waris


Oleh karena elemen-elemen tersebut tidak pernah dicantumkan
sebagai bagian dari delik, maka dengan sendirinya penuntut umum juga
tidak perlu mencantumkannya di dalam surat tuduhan dan dengan
sendirinya juga tidak perlu dibuktikan di dalam penadilan.
Apabila hakim berpendapat bahwa tertuduh tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya, maka hakim harus
membebaskan tertuduh tersebut dari segala tuntutan hukum atau dengan
perkataan lain hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle
rechtsvervolging.105
Masalah toerekeningsvatbaarheid ini akan dibicarakan lebih
lanjut secara lebih mendalam dalam pembicaraan mengenai
strafuitsluitingsgronden atau dalam pembicaraan mengenai dasardasar yang meniadakan hukuman.
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan verwijtbaarheid van het
felt di atas itu?
Elemen verwijtbaarheid van het felt tersebut, dapat
diterjemahkan sebagai hal dapat dipersalahkannya sesuatu tindakan
atau sesuatu akibat kepada seseorang. Seseorang itu dapat dikatakan
sebagai bersalah telah melakukan sesuatu tindakan atau telah
menimbulkan sesuatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, yaitu
apabila tindakannya atau perbuatannya untuk menimbulkan sesuatu
akibat yang dilarang oleh undang-undang itu didasarkan pada suatu
kesengajaan (opzet atau dolus) ataupun didasarkan pada suatu
ketidaksengajaan (schuld atau culpa).
Untuk mengetahui apakah sesuatu tindak pidana itu harus
dilakukan dengan sengaja atau tidak ataupun harus dilakukan tidak
dengan sengaja atau sebaliknya, pada apa yang oleh undang-undang
telah disebut sebagai kejahatan masalahnya adalah sangat mudah, oleh
karena dan rumusan-rumusannya di dalam Buku ke-2 Kitab Undangundang Hukum Pidana dengan mudah kita dapat mengetahui apakah
sesuatu kejahatan itu harus dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja.
Dengan demikian maka seseorang itu dapat dikatakan bersalah
telah melakukan sesuatu kejahatan, apabila kejahatannya itu telah ia
lakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja.
Timbul kini sebuah pertanyaan yaitu bilamana seseorang itu dapat
dikatakan sebagai bersalah telah melakukan sesuatu tindak pidana yang
oleh undang-undang telah disebut sebagai pelanggaran, mengingat
bahwa di dalam rumusan-rumusannya, di dalam Buku ke-3 Kitab
105

van Bemmelen, Ons Strafrecht I, hlm. 102.

Kriminalisasi Hak Waris


Undang-undang Hukum Pidana itu tidak dapat diketahui apakah sesuatu
pelanggaran itu harus dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan
sengaja ataupun sebaliknya.
Hingga tahun 1916 HOGE RAAD menganuti suatu paham yang
juga dikenal sebagai de leer van het materieele feit atau paham
mengenai tindakan secara material di mana HOGE RAAD telah
berpendapat, bahwa adalah sudah cukup untuk menyatakan seseorang
itu sebagai dapat dihukum karena telah melakukan sesuatu pelanggaran,
apabila orang tersebut secara material atau secara nyata telah
berperilaku seperti yang dirumuskan di dalam sesuatu ketentuan pidana,
tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut
dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.
Pada tahun 1916 yaitu di dalam arrestnya tanggal 14 Februari
1916, N.J. 1916 halaman 681, W. 9958 yang juga dikenal sebagai water
en melk arrest, HOGE RAAD telah memutuskan bahwa apabila di
dalam suatu pelanggaran itu tidak terbukti tentang adanya sesuatu
schuld (dolus atau culpa), maka tertuduh tidak dapat dihukum.106
Perkataan tidak adanya sesuatu schuld di atas di dalam bahasa
Belanda juga sering disebut dengan perkataan afwezigheid van alle
schuld, yang mula-mula oleh VRIJ telah disingkat dengan singkatan
a.v.a.s. yang kemudian di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana
telah dipakai secara umum sebagai avas.
Di dalam kasus semacam itu hakim haruslah membebaskan
tertuduh dan segala tuntutan hukum atau dengan perkataan lain hakim
harus memutuskan suatu ontslag van alle rechtsvervolging.
Mengenai elemen wederrechtelijkheid itu berkatalah van
BEMMELEN, bahwa elemen tersebut oleh pembentuk undang-undang
seringkali telah disebutkan sebagai bagian atau bestanddeel dan suatu
delik. Dalam keadaan semacam ini wederrechtelijkheid itu tidak lagi
merupakan suatu elemen dan delik, melainkan ia telah menjadi suatu
bagian dan delik, hingga penuntut umum itu harus mencantumkannya di
dalam surat tuduhan dan dengan sendirinya juga harus dibuktikan di
dalam peradilan.
Apabila kini kita berusaha untuk membuat suatu ringkasan
mengenai ajaran dan Profesbr van BEMMELEN di atas dengan
membuat suatu perbandingan antara apa yang beliau sebutkan sebagai
bestanddelen van het delict dengan apa yang beliau sebutkan sebagai
elementen van het delict, maka kita akan mendapatkan hal-hal
sebagai berikut:
106

van Bemmelen, Ons Strafrecht I, hlm.102.

Kriminalisasi Hak Waris


Bestanddelen atau bagian-bagian dan delik itu:
1.
2.
3.
4.

terdapat di dalam rumusan dari delik;


oleh penuntut umum harus dicantumkan di dalam surat tuduhan;
harus dibuktikan di dalam peradilan;
bilamana satu atau lebih bagian ternyata tidak dapat dibuktikan,
maka hakim harus membebaskan tertuduh atau dengan perkataan
lain hakim harus memutuskan suatu vrijspraak.

Elementen atau elemen-elemen dan delik itu:


1. tidak terdapat di dalam rumusan dan delik;
2. terdiri
dari
toerekenbaarheid
van
het
feit,
toerekeningsvatbaarheid van de dader, verwijtbaarheid van het
feit dan wederrechtelijkheid;
3. harus dianggap sebagai juga disyaratkan di dalam setiap rumusan
delik;oleh penuntut umum tidak perlu dicantumkan di dalam surat
tuduhan dan dengan sendirinya juga tidak perlu dibuktikan di dalam
peradilan;
4. bilamana terdapat keragu-raguan mengenal salah sebuah elemen,
maka hakim harus membebaskan tertuduh dan segala tuntutan
hukum, atau dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu
ontslag van alle rechtsvervolging.
Dengan catatan bahwa apabila elemen wederrechtelijk itu oleh
pembentuk undang-undang telah disebutkan secara tegas di dalam
rumusan delik, maka wederrechtelijkheid tersebut bukan lagi
merupakan suatu elemen dan delik, melainkan Ia kini merupakan
bagian dari delik. Dengan demikian maka wederrechtelijkheid itu
oleh penuntut umum harus dicantumkan di dalam surat tuduhannya dan
dibuktikan kebenarannya di dalam peradilan. Dan apabila
wederrechtelijkheid tersebut kemudian ternyata tidak terbukti, maka
hakim harus membebaskan tertuduh atau dengan perkataan lain hakim
harus memutuskan suatu vrijspraak.
E.

Kriminalitas
Pengertian kriminalitas. Kriminalitas menurut bahasa adalah sama
dengan kejahatan (pelanggaran yang dapat dihukum) yaitu perkara
kejahatan yang dapat dihukum menurut Undang-Undang, sedangkan
pengertian kriminalitas menurut istilah diartikan sebagai suatu kejahatan
yang tergolong dalam pelanggaran hukum positif (hukum yang berlaku
dalam suatu negara).

Kriminalisasi Hak Waris


Pengertian kejahatan107 sebagai unsur dalam pengertian kriminalitas,
secara sosiologis mempunyai dua unsur-unsur yaitu: 1) Kejahatan itu ialah
perbuatan yang merugikan secara ekonomis dan merugikan secara
psikologis. 2) Melukai perasaan susila dari suatu segerombolan manusia,
di mana orang-orang itu berhak melahirkan celaan.
Dengan demikian, pengertian kriminalitas adalah segala macam
bentuk tindakan dan perbuatan yang merugikan secara ekonomis dan
psikologis yang melanggar hukum yang berlaku dalam negara Indonesia
serta norma-norma sosial dan agama.
Menurut Joko Prakoso mengutip pendapat Sudarto mengatakan
bahwa kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan orang
sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan
terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu
sanksi berupa pidana. Muladi dan Barda Nawawie Arief juga mengatakan
bahwa sebagai suatu kebijakan kriminalisasi dapat diartikan sebagai suatu
proses untuk menentukan perbuatan apa yang akan dilarang karena
membahayakan atau merugikan, dan sanksi apa yang akan dijatuhkan,
maka sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai proses penegakan.
Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Yenti Garnasih mengatakan bahwa
kriminalisasi adalah suatu perbuatan atau suatu hal menjadi suatu tindakan
yang sebelumnya bukan merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana
menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Pengertian Kriminalisasi dalam
sosiologis adalah proses sosialisasi kriminalitas yang berjalan melalui
interaksi sosial-budaya 108. Menurut Kriminalisasi juga terkait dengan
penambahan (peningkatan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang
sudah ada). Berdasarkan pengertian diatas, ruang lingkup kriminalisasi
tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang semula bukan
merupakan perbuatan yang dilarang, kemudian dilarang disertai ancaman
sanksi tertentu, tetapi juga berkaitan dengan pemberatan sanksi pidana
terhadap pidana yang sudah ada.109
Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah
suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan
pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-penimbangan
normatif (judgments) yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan
(decisions). Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai proses penetapan
suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses
ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu
107

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Keempat,


(Jakarta: Balai Pustaka, 1978), hlm. 42.
108
Budhy Munawar Rachman, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman,
Lembaga studi pers dan pembangunan, 1999. hlm. 199.
109
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
hlm. 239-240.

Kriminalisasi Hak Waris


diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Di samping itu,
pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal
ini yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang
menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan
yang tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan
yang dipandang tercela dan perlu dipidana. Dalam perspektif labeling,
kriminalisasi adalah keputusan badan pembentuk undang-undang pidana
memberi label terhadap tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau
tindak pidana.
Pengertian kriminalisasi tersebut di atas menjelaskan bahwa ruang
lingkup kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Namun menurut Paul
Cornill, pengertian kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk
penambahan (peningkatan) sanksi pidana terhadap tindak pidana yang
sudah ada.
Berikut ini merupakan contoh kriminalisasi :
1. Lahirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Penyalahgunaan Narkotika sebagaimana telah dirubah namanya
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan
diperbaharui kembali dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika termasuk lampiran yang mencabut berlakunya jenis
golongan I Psikotropika yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika, dimana berdasarkan ketentuan
regulasi narkotika ini merupkan perbuatan yang dapat dipidana.
2. Lahirnya Informasi dan Tekhnologi kemudian diatur melalui UndangUndang Nomor 11 Taun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) terhadap pencegahan kejahatan di dunia maya.
Sudarto mengatakan bahwa dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan
harus memperhatikan hal-hal berikut. Menurut Sudarto ada 4 syarat yang
harus diperhatikan di dalam melakukan kriminalisasi: 110
a. Tujuan kriminalisasi adalah menciptakan ketertiban masyarakat di
dalam rangka menciptakan Negara kesejahteraan (welfare state).
b. Perbuatan yang dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan
kerusakan meluas dan menimbulkan korban.
c. Harus mempertimbangkan faktor biaya dan hasil, berarti biaya yang
dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang.

110

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 31.

Kriminalisasi Hak Waris


d. Harus memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum. Jangan
sampai aparat penegak hukum melampaui bebannya atau melampaui
batas.

1. Asas Kriminalisasi
Asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau landasan
pembuatan suatu peraturan, kebijakan dak keputusan mengenai
aktivitas hidup manusia. Dalam konteks kriminalisasi, asas diartikan
sebagai konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis , dan prinsip-prinsip
hukum yang menuntun pembentukan hukum pidana melalui pembuatan
peraturan perundang-undangan pidana. Ada tiga asas kriminalisai yang
berlaku diperhatikan pembentuk undang-undang dalam menetapkan
suatu perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi
pidananya, yakni, Asas legalitas, Asas subsidiaritas dan Asas
persamaan atau kesamaan.111
Kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan
yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada
atau belum ditemukan, Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan
kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul
pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang
muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya
mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut.
2. Kebijakan Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana
Kebijakan kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang
semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam aturan
perundang-undangan. Pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi
merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana
hukum pidana, dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan
hukum pidana.112 Dalam rangka menanggulangi kejahatan diperlukakan
berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku
kejahatan berupa pidana. Karena, pidana masih dianggap relevan untuk
menanggulangi kejahatan, meski masih banyak reaksi lain yang berupa
non-pidana dalam menanggulangi kejahatan. Pidana sebagai sarana
pengendalian kejahatan diperlukan adanya konsepsi politik dalam
hukum pidana yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
111

Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm

86-88
112

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit


Nusa Media, 2010), hlm.133.

Kriminalisasi Hak Waris


perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 113 Konsepsi
politik hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, disamping
melalui pembuatan produk hukum berupa pembuatan undang-undang
hukum pidana tidak lepas juga dengan usaha menuju kesejahteraan
masyarakat melalui kebijakan sosial (social policy). Hal ini berarti
kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan
sanksi pidana, harus pula dipadukan dengan usaha-usaha lain yang
bersifat non-penal.
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan
menggunakan sarana penal atau hukum pidana ialah masalah
penentuan:
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada
pelanggar.
Penganalisaan terhadap dua masalah sentral diatas tidak dapat
dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan
kebijakan sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah diatas harus
pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan
sosial politik yang telah ditetapkan. 114 Sudarto berpendapat bahwa
dalam menghadapi masalah sentral diatas yang sering disebut sebagai
masalah kriminalisasi, harus memperhatikan hal-hal yang pada intinya
sebagai berikut:
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan pancasila.
Sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana untuk
menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman
masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak di
kehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil
ataupun spiritual atau warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperthitungkan prinsip
biaya dan hasil (cost benefit principle)

113

Ibid.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, cetakan keempat, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm.
35.
114

Kriminalisasi Hak Waris


4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,
yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).115
Kriminalisasi haruslah diwujudkan dalam bentuk peraturan tertulis
seperti perundang-undangan. Aturan perundang-undangan tersebut
harus tunduk pada asas-asas hukum dalam aturan perundang-undangan
dimana suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang yang lebih tinggi. Peraturan undang-undang
pidana atau yang mengandung pidana juga harus menggunakan asas
legalitas. Asas legalitas mengandung makna bahwa ketentuan dapat
dipidananya suatu perbuatan harus terjadi melalui undang-undang
dalam arti formil. Tidak diperbolehkan menciptakan sanksi pidana
selain yang ditentukan oleh undang-undang dalam arti formil. Syarat
untuk menindak suatu perbuatan yang melanggar hukum harus dengan
adanya ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan
perbuatan tercela atau kejahatan dan memberikan suatu sanksi
terhadapnya. Hal ini disebut legalitas dari negara dalam hukum pidana.
Konsep bahwa tindak pidana adalah melanggar kepentingan negara
sebagai representasi dari kepentingan publik pada umumnya yang
menjadikan dasar pemberian kewenangan negara untuk menentukan,
membuat peraturan, dan menghukum seseorang yang melanggar
peraturan yang telah dibuat oleh negara.

Sudarto. HukumPidanadanPerkembanganMasyarakatKajianTerhadap
PembaharuanHukumPidana,(Bandung:Alumni,1983),hlm.84.
115

Anda mungkin juga menyukai