Anda di halaman 1dari 21

FORCE MAJUER DALAM AKAD MURAHABAH

(Kajian Putusan MA No. 684 K/Ag/2016)

A. Pendahuluan
Manusia sejatinya makhluk sosial. Ia membutuhkan manusia lain
untuk merealisasikan keinginannya. Bahkan P.J. Bouman menyebutkan,
manusia itu baru menjadi manusia karena ia hidup bersama dengan
manusia lainnya.1 Pada wilayah merealisasikan keinginan, manusia
kemudian melalukan interaksi, termasuk di dalamnya melakukan
perjanjian atau perikatan. Dengan adanya perjanjian, maka kesepakatan itu
menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya
undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang
dalam suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka.
Dengan begitu, bukan saja menjadi kewajiban moral, tetapi juga
kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.2 Masing-masing
mereka diharuskan memenuhi prestasi sesuai dengan apa yang telah
diperjanjikan. Pasal 1234 Burgelijk Wetboek menegaskan: Tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu. Dalam merealisasikan prestasi, sesuai dengan
tiga cara yang disebutkan pada Pasal 1234, maka wujud prestasi dapat
berupa: barang, jasa, dan tidak berbuat sesuatu.3
Dalam perkembangannya, perjanjian memiliki konsekuensi yang sama
dengan akad. Akad merupakan term yang biasanya digunakan untuk pola
hubungan antara para pihak yang terlibat dalam Lembaga Keuangan
Syariah, sekaligus membedakannya dengan Lembaga Keuangan
Konvensional. Sebab, akad yang diterapkan pada perbankan syari’ah dan

1
Dudu Duswara Machmuddin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa (Bandung: Refika
Aditama, 2001), h. 9.
2
Ridwan Khairandy, Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak, Jurnal Hukum
Edisi Khusus, Vol. 18, Oktober 2011, h. 37.
3
Ahmad Miru dan Sakka Patih, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
Sampai Pasal 1456 BW (Jakarta: Rajawali Sindo, 2011), h. 4.
lembaga keuangan syariah non bank, diyakini memiliki konsekuensi
duniawi dan ukhrawi karena didasarkan pada hukum Islam. Singkatnya,
dalam hukum Islam, istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian,
keduanya identik dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini, akad
didefenisikan sebagai pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu
pihak dengan kabul dari pihak lain secara sah menurut syarak yang tampak
akibat hukumnya pada obyeknya.4
Bila di kemudian hari tidak ditaatinya akad oleh salah satu pihak,
posisinya disebut dengan wanprestasi (wanprestatie) yang berarti
kealpaan, kelalaian atau tidak memenuhi kewajiban seperti yang telah
disepakati dalam akad. Wanprestasi dalam akad dapat disebabkan dua hal:
pertama, disebabkan karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan
maupun karena kelalaian. Kedua, disebabkan karena keadaan memaksa
(force majeur) atau di luar kemampuan debitur (overmacht). Umumnya,
Overmacht atau force majeur merupakan keadaan atau kondisi tertentu
yang menyebabkan seseorang tidak wajib melakukan perbuatan yang
wajib dilakukan dalam keadaan normal.5
Salah satu akad yang biasanya mencantumkan klausul overmacht
adalah akad Murabahah. Akad Murbahah adalah pembiayaan dengan
prinsip jual beli dengan pembayaran cicil sehingga memerlukan klausul
overmacht untuk meminimalisir resiko yang melekat pada pembiayaan
tersebut. Walaupun dalam akad berprinsip jual beli ini bank syariah akan
memperoleh pendapatan secara pasti sebagai natural certainty contract,
namun resiko yang ada pada objek akad baik hancur dan hilang, dan
nasabah seperti sakit keras atau meninggal, tetap ada. Salah satu contoh
terjadinya force majeur dalam suatu akad dapat dilihat pada putusan
Mahkamah Agung No. 684 K/Ag/2016. Pihak yang berperkara yaitu:

4
Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak
Syari’ah, La Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. II, No. 1, Juli 2008, h. 94.
5
Muhammad Rifqi Hidayat dan Parman Komarudin, Klausul Overmacht Dalam Akad
Murbahah di Perbankan Syariah, Al-Iqtisadiyah Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi
Syariah, Vol. III, No. I, Desember 2017, h. 38.
Sudiro Atmaja selanjutnya disebut pihak penggugat melawan PT. Bank
BNI Syariah selanjutnya disebut pihak tergugat.
Kasus ini bermula ketika penggugat ingin membangun rumah.
Kemudian, penggugat ditawari dana kredit/pembiayaan murabahah untuk
rumah tersebut oleh pegawai-pegawai tergugat yang mendatangi langsung
rumah Penggugat. Penggugat memberitahukan bahwa Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) belum diurus di Kantor Dinas Tata Ruang dan Tata
Bangunan Kota Medan. Namun pegawai-pegawai Tergugat mengatakan
“tidak masalah kalau IMB-nya belum ada, karena rumah-rumah di
sekitarnya yang telah dibangun terlebih dahulu bisa terbit IMB-nya. Nanti
kalau diurus pasti juga terbit IMB-nya.”
Dalam keadaan IMB belum selesai diurus, pegawai Tergugat tetap
menyerahkan dana kredit pembiayaan dan menyodorkan Akad
Pembiayaan Murabahah Nomor MES/2013/198/K tertanggal 10
September 2013 untuk ditandatangani Penggugat. Penggugat kemudian
membangun rumahnya sambil mengurus IMB dan mengajukan
permohonannya pada tanggal 9 Februari 2014 kepada Kepala Dinas Tata
Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan. Namun, ternyata permohonan
Penggugat untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan ditolak, sesuai
dengan Surat Kepada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan
Nomor 648/1742, tanggal 5 Maret 2014 yang ditujukan kepada Penggugat.
Pada poin 2 Surat Kepada Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota
Medan tersebut menyatakan: “Sesuai rencana Sub-Sub Wilayah (RSSW)
lembar 6.4 peruntukan tanah lokasi adalah Rencana Taman Jalan Platina
VII A direncanakan lebar 10 Meter Garis Sempadan Bangunan (GSB) 6
meter, Gg. Muksin direncanakan lebar 6 meter GSB 4 meter. Rencana
jalan di sisi utara Persil lebar 10 meter GSB 6 meter.”
Maka demikian, jelas bahwa rumah yang dibangun tergugat terkena
Rencana Sub-Sub Wilayah (RSSW) seluruhnya. Penggugat melalui kuasa
hukumnya sesuai Surat Nomor 193/SCP/VIII/2014 tanggal 19 Agustus
2014, memberitahukan kepada Tergugat tentang terjadinya keadaan
memaksa, guna memenuhi ketentuan Pasal 17 ayat (1) Akad Pembiayaan
Murabahah Nomor MES/2013/198/K yang menyebutkan: “Para pihak
dibebaskan dari kewajiban untuk melaksanakan isi akad ini, baik sebagian
maupun keseluruhan, apabila kegagalan atau keterlambatan melaksanakan
kewajiban tersebut disebabkan keadaan memaksa atau force majeur.
Dalam Akad Pembiayaan Murabahah Nomor MES/2013/198/K Pasal
17 ayat (2) memberikan defenisi keadaan memaksa dengan menyebutkan:
“Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeur) adalah suatu
peristiwa atau keadaan yang terjadi di luar kekuasaan atau kemampuan
salah satu atau para pihak, yang mengakibatkan salah satu atau para pihak
tidak dapat melaksanakan hak-hak dan atau kewajiban-kewajiban sesuai
dengan ketentuan dalam perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas
pada kebakaran, bencana alam, peperangan, aksi militer, huru-hara,
malapetaka, pemogokan, epidemi dan kebijaksanaan maupun Peraturan
Pemerintah atau penguasa setempat yang secara langsung dapat
mempengaruhi pemenuhan pelaksanaan perjanjian.”
Tergugat kemudian memberikan jawaban atas Surat Nomor
093/SCP/VIII/2014, tanggal 19 Agustus 2014 dari Kuasa Hukum
Penggugat, perihal: Pemberitahuan terjadinya keadaan memaksa sesuai
suratnya Nomor MES/06/1488 tanggal 07 Oktober 2014, yang intinya
Penggugat tetap berkewajiban memenuhi pembayaran angsuran bulanan
sesuai dengan akad yang telah disepakati bersama. Hanya saja, Penggugat
tidak sependapat dengan Tergugat, karena dengan ditolaknya permohonan
Izin Mendirikan Bangunan dan terkena Rencana Sub-Sub Wilayah
(RSSW) seluruhnya atas rumah Penggugat, jelas timbul keadaan
memaksa.
Tergugat tetap memberikan Surat Somasi kepada Pengguat yang
menyarankan agar Penggugat berkewajiban memenuhi pembayaran
angsuran bulanan. Maka demikian, terjadi perselisihan dalam menafsirkan
ketentuan Pasal 17 mengenai keadaan memaksa tersebut. Cukup beralasan
bagi Penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama Medan
agar menyatakan telah terjadi keadaan memaksa (force majeur) dalam
pelaksanaan Akad Pembiayaan Murabahah Nomor MES/2013/198/K dan
menyatakan bahwa Penggugat dibebaskan dari kewajiban untuk
melaksanakan isi Akad Pembiayaan Murbahah tersebut.
Pengadilan Agama Medan kemudian memberikan putusan yang pada
intinya mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan
menyatakan bahwa telah terjadi keadaan memaksa (force majeur) dalam
pelaksanaan Akad Pembiayaan Murabahah Nomor MES/2013/198/K.
Karena itu, Penggugat dibebaskan dari kewajiban untuk melaksanakan isi
Akad tersebut. Pada tingkat banding, Putusan Pengadilan Agama Medan
tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Medan dengan putusan
Nomor 127/Pdt.G/2015/PTA.Mdn. tanggal 14 Januari 2016 Masehi. Inti
dari putusan Pengadilan Tinggi Agama adalah menolak gugatan penggugat
untuk seluruhnya, maka dengan demikian, keadaan memaksa tidak dapat
diterapkan pada Akad Pembiayaan Murabahah tersebut.
Lebih lanjut, Penggugat mengajukan kasasi pada Mahkamah Agung.
Namun, Majelis Hakim Mahkamah Agung menegaskan menolak
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi yaitu Tuan Sudiro Atmaja.
Majelis Hakim berpandangan, bahwa penerapan hukum Pengadilan Tinggi
Agama Medan telah sesuai, dimana tidak terbitnya Izin Mendirikan
Bangunan bukan termasuk keadaan mendesak, yang dapat dijadikan alasan
Pemohon Kasasi membebaskan diri dari kewajiban. Maka begitu, dengan
penegasan Mahkamah Agung untuk membatalkan permohonan Pemohon
Kasasi, berimbas pada tidak berlakunya keadaan mendesak pada Akad
Murabahah tersebut, serta Penggugat atau Pemohon Kasasi memiliki
kewajiban untuk melunasi angsurannya.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas pada makalah ini adalah kekuatan mengikat
akad, klasifikasi force majeur dan akibat hukum bila terjadi force majeur.
Adapun pertanyaannya antara lain: 1) Bagaimana kekuatan hukum
mengikat akad; 2) Bagaimana menentukan suatu keadaan mendesak (force
majeur); 3) Apa penafsiran Majelis Hakim terhadap makna force majeur?
C. Studi Pustaka dan Analisis
Putusan Mahkamah Agung di tingkat Kasasi membatalkan
permohonan Pemohon Kasasi untuk menetapkan telah terjadi keadaan
mendesak terhadap Pembiayaan Akad Murabahah Nomor
MES/2013/198/K. Untuk menguji Putusan tersebut, penulis menggunakan
tiga variabel, yaitu: pertama, kekuatan mengikat akad; kedua, klasifikasi
keadaan memaksa (force majeur); ketiga, penafsiran hakim terhadap force
majeur.
1. Klasifikasi Keadaan Memaksa (Force Majeur)
Istilah force majeur/ overmacht diartikan dengan keadaan memaksa.
Namun, pengertian lebih lanjut tidak diulas secara spesifik. Untuk
memperjelas maknanya, dapat didasarkan pada dua ajaran tentang
Overmacht yaitu ajaran lama yang disebut Overmach Objektif dan dan
ajaran baru Overmacht Subjektif. Overmacht objektif adalah setiap orang
yang sama sekali tidak mungkin memenuhi perikatan, yang pada tempat
lain disebut Impossibilitas. Sedangkan Overmacht subjektif adalah tidak
terpenuhinya perjanjian karena faktor difficult, sebagai lawan dari
impossibilitas.6 Overmacht subjektif dapat dicontohkan ketika debitur
ditimpa penyakit yang sangat berat sehingga tidak dapat berprestasi lagi.
Sementara Overmacht objektif, seperti rusak atau musnahnya objek
kontrak yang dimaksudkan.
Force majeur merupakan konsep hukum yang berasal dari hukum
Roma (vis motor cui resisti non potest) yang diadopsi dalam berbagai
macam sistem hukum. Doktrin dalam common law memaknai kata ini
sebagai suatu ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu prestasi terhadap
suatu kontrak dengan dianalogikan tetapi tidak identik dengan force

6
Daryl John Rasuh, Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeur) Menurut Pasal
1244 dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Lex Privatum, Vol. IV, No. 2, Februari
2016, h. 174.
majeur. Di Indonesia sendiri, force majeur diatur dalam Pasal 1244 dan
1245 KUH Perdata. Dalam Pasal 1244 disebutkan:
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga,
bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya
perikatan itu atau tidak tepat waktu dalam melaksanakan perikatan
itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk
kepadanya.”
Sementara dalam Pasal 1245 disebutkan:
“Tidaklah biaya, rugi, dan bunga harus digantinya, apabila karena
keadaan memaksa atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si
berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan
perbuatan yang terlarang.”
Tidak ada perincian lebih lanjut berkenaan dengan dua ketentuan
pasal di atas, apakah suatu yang tidak terduga atau keadaan memaksa
tersebut lebih pada makna Overmacht subjektif atau objektif. Karena itu,
maknanya beragam. Namun dari kedua ketentuan itu, beberapa prinsip
terjadinya force majeur dapat disimpulkan antara lain: pertama, Peristiwa
yang menyebabkan terjadinya Overmacht tersebut tidak diduga
sebelumnya oleh para pihak. Kedua, peristiwa yang menyebabkan
terjadinya overmacht tersebut terjadi di luar kesalahan para pihak. Ketiga,
para pihak tidak dalam keadaan beritikad buruk.7
Keadaan memaksa menurut para sarjana hukum klasik dimaknai
sebagai keadaan yang mutlak tidak dapat dihindari oleh debitur untuk
melakukan prestasi terhadap suatu kewajiban. Pikiran mereka tertuju pada
bencana alam atau kecelakaan-kecelakaan yang berada di luar kemampuan
manusia untuk menghindarinya, sehingga menyebabkan debitor tidak
mungkin untuk memenuhi janjinya.8

7
Muhammad Rifqi Hidayat dan Parman Komaruddin, Klausul Overmacht Dalam Akad
Murbahah di Perbankan Syariah, Al-Iqtisadiyah: Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi
Syariah, Vol. III, No. I, Desember 2017, h. 40.
8
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 1987), h. 41.
Adapun bila merujuk pada yurisprudensi dan Putusan Mahkamah
Agung, ruang lingkup dari peristiwa force majeur meliputi:9
a. Resiko perang, kehilangan benda objek perjanjian yang
disebabkan dari kuasa yang Maha Besar: disambar halilintar,
kebakaran, dirampas tentara Jepang dalam masa perang;
b. Act of God, tindakan administratif penguasa, perintah dari yang
berkuasa, keputusan, segala tindakan administratif yang
menentukan atau mengikat, suatu kejadian mendadak yang tidak
dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam perjanjian;
c. Peraturan-peraturan pemerintah, Baik Pengadilan Negeri maupun
Pengadilan Tinggi;
d. Kecelakaan di laut, misalnya kapal tenggelam karena ombak
besar yang menghantam lambung kapal;
e. Keadaan darurat, yaitu situasi atau keadaan yang sama sekali
tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di
luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi.

Dari permaknaan Force Majeur di atas, dapat diklasifikasikan menjadi


dua: pertama, Force Majeur dalam makna adanya pengakuan di luar
kemamampuan manusia untuk mengontrolnya. Seperti dalam pandangan
ahli hukum klasik yang mengarah pada adanya peristiwa bencana alam,
tanah longsor dan sebagainya. Ini mengandaikan bahwa klausul force
majeur harus tetap ada dalam setiap perjanjian, sebagai pengakuan adanya
kekuatan yang lebih kuat dari kehendak manusia. Permaknaan ini condong
dipertahankan dalam memaknai Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.

Kedua, permaknaan force majeur kemudian mengalami


perkembangan dengan tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan
bencana alam. Namun, juga mencakup kebijakan atau pemerintah, yaitu
keadaan memaksa yang disebabkan oleh sesuatu keadaan dimana terjadi

9 9
Daryl John Rasuh, Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeur) Menurut Pasal
1244 dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 176.
perubahan kebijakan pemerintah, yaitu keadaan yang disebabkan oleh
terjadinya perubahan-perubahan pemerintah atau dihapus atau
dikeluarkannya kebijakan yang baru, dan berdampak pada kegiatan yang
sedang berlangsung, misalnya terbitnya suatu peraturan baik pemerintah
pusat maupun daerah yang berdampak pada objek perjanjian menjadi tidak
mungkin dilaksanakan, atau bisa juga disebabkan karena kondisi politik
seperti perang.

Dalam pandangan hukum Islam, juga dikenal kaidah yang sama


dengan force majeur. Dasar hukumnya hadits Rasulullah Saw yang
artinya: “Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena
bencana, maka tidak halal bagimu mengambil sesuatu pun darinya.
Dengan imbalan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak.”10
Sementara dalam kaidah fiqh merujuk pada kaidah Musyaqqah, yaitu
keadaan yang memberatkan. Kaidahnya berbunyi: Kerugian harus
dihilangkan, dan kesukaran mendatangkan kelonggaran. Dengan
demikian, dalam literatur hukum Islam, force majeur mendapat tempatnya
secara teoritis. Bahwa dalam keadaan tertentu, terdapat keadaan mendesak.

Akibat hukum terjadinya force majeur menurut H.S Salim yaitu:11

a. Debitur tidak perlu membayar ganti rugi;


b. Beban resiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa
sementara;
c. Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus
demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra
prestasi.

Maka itu, bila suatu keadaan diklasifikasikan sebagai keadaan


memaksa, resiko yang timbul tidak dibebankan kepada pihak yang terkena
keadaan memaksa untuk merealisasikan prestasinya. Demikian juga

10
Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), h. 1190.
11
H.S Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.
183.
menurut Yahya Harahap dengan berdasar pada ketentuan Pasal 1244 dan
1245 KUHPerdata, setidaknya ada dua hal yang menjadi akibat force
majeur, yaitu: pertama, Membebaskan debitur membayar ganti rugi.
Dalam hal ini, hak kreditur untuk menuntut, gugur untuk selama-lamanya.
Kedua, membebaskan debitur dari kewajiban pemenuhan prestasi.
Pembebasan pemenuhan bersifat relatif yaitu hanya bersifat menunda,
selama keadaan memaksa masih menghalangi atau merintangi debitur
melakukan pemenuhan prestasi. Bila keadaan memaksa hilang, kreditur
kembali dapat menuntut pemenuhan prestasi. Pemenuhan prestasi tidak
gugur selama-lamanya, hanya tertunda, sementara keadaan memaksa
masih ada.12

2. Intervensi Hakim Terhadap Makna Force Majeur Dalam Akad


Murabahah
Murabahah secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu ribh yang
artinya keuntungan. Sedangkan menurut istilah, merupakan jual beli
barang pada barang dengan harga asal dengan tambahan keuntungan yang
telah disepakati.13 Menurut Syafi’i Antonio, Murabahah adalah jual beli
barang dengan harga asal dengan tambahan harga keuntungan yang
disepakati.14 Adapun menurut Sayyid Sabiq memberi defenisi Murabahah
sebagai penjualan dengan harga pembelian barang berikut keuntungan
yang diketahui.15 Dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
Murabahah merupakan salah satu cara penjualan terhadap suatu objek,
dengan ketentuan, harga asal diketahui serta keuntungan yang sudah
disepakati masing-masing pihak.

12
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Jakarta: Alumni, 1982), h. 82.
13
Ali Mutahar, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2005), h. 552.
14
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Ke Praktek (Jakarta: Gema Insani,
2001), h. 101.
15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, Penerjemah Kamaluddin A Marzuki (Bandung:
Pustaka, 1988), h. 83.
Murahabah dapat dibedakan menjadi dua:16 pertama, Murabahah
tanpa pesanan. Dalam Murabahah tanpa pesanan, penjual melakukan
pembelian harga tanpa memperhatikan terlebih dahulu ada atau tidaknya
pemesanan dari pembeli. Meski ada atau tidak adanya pesanan, bank
syari’ah tetap menyediakan barang. Pengukuran aset Murabahah tanpa
pesanan dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat
direalisasi, mana yang lebih rendah dan jika nilai bersih yang dapat
direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui
sebagai kerugian.
Kedua, Murabahah dengan pesanan. Dalam Murabahah jenis ini,
penjual melakukan pembelian barang setelah ada pesanan dari pembeli.
Dalam hal ini, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan
dari nasabah, dan bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk
membeli barang yang dipesannya. Dalam kasus jual beli biasa misalnya,
seseorang ingin membeli barang tertentu, sementara barang tersebut belum
ada. Si penjual akan mencari dan membeli barang yang sesuai dengan
spesifikasi yang diinginkan kemudian menjualnya kepada pemesan.
Dalam Akad Murabahah harus dipenuhi unsur yang ada dalam rukun
akan sehingga keabsahan akad terpenuhi. Rukun dalam Murabahah
sebagai berikut:
a. Pihak berakad yang cakap menurut hukum dan tidak terpaksa;
b. Barang atau objek;
c. Barang yang tidak terlarang oleh syara’ yaitu penyerahan barang
dapat dilakukan dan hak miliki penuh yang berakad;
d. Harga yaitu memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang
telah disepakati;
e. Ijab Kabul yang harus jelas, harga barang yang disebutkan harus
seimbang, tidak dibatasi oleh waktu.

16
Aurellia Gatta Anandya, Penggunaan Akad Murabahah Dalam Pembiayaan
Kepemilikan Rumah Dengan Sistem Musyarakah, Berkala Ilmiah Mahasiswa Akuntansi, Vol. I,
No.2, Maret 2012, h. 107.
Adapun syarat Murabahah menurut Syafi’i Antonio antara lain:
Pertama, penjual memberitahu harga pokok kepada pembeli; kedua,
kontrak harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan; ketiga, kontrak
harus bebas dari riba; keempat, penjual harus menjelaskan kepada pembeli
bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian; kelima, penjual harus
menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang.17

Pada prakteknya, pembiayaan Murabahah yang terdapat pada


perbankan syariah diterapkan dalam pembiayaan modal kerja, pengadaan
barang, pembangunan rumah dan lain sebagainya. Pembiayaan bank
syari’ah dengan prinsip Murabahah dengan tujuan pembiayaan untuk
pengadaan barang, misalnya perlengkapan alat untuk membangun rumah,
nasabah dapat datang ke bank syari’ah dan mengajukan permohonan agar
bank membelikan barang yang diinginkan. Setelah bank meneliti keadaan
nasabah, dan menganggap ia layak mendapatkan pembiayaan, bank
kemudian membeli barang yang dimaksud dan menyerahkannya kepada
pemohon atau nasabah.18 Asumsikan bila harga material sebesar Rp.
14.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan keuntungan sebesar Rp.
1.000.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka nasabah
dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 625.000,-perbulan.
Singkatnya, dalam akad Murabahah, bank memiliki kedudukan
sebagai penjual wajib menyerahkan barang atau objek akad kepada
pembeli serta berhak menerima uang pembayaran atas barang tersebut.
Sedangkan pembeli berkewajiban menerima barang dan membayar barang
tersebut dengan cara angsuran maupun tunai tergantung kesepakatan.
Ketika akad pemberian kuasa terjadi, posisi bank sebagai pemberi kuasa

17
Danang Wahyu Muhammad dan Erika Vivin Setyoningsih, Kajian Terhadap Akad
Murahabah dengan Kuasa Membeli dalam Praktek Bank Syariah, Jurnal Media Hukum, Vol. 25,
No. 1, Juni 2018, h. 96.
18
Lukmanul Hakim dan Amelia Anwar, Pembiayaan Murabahah Pada Perbankan
Syari’ah Dalam Prespektif Hukum di Indonesia, Al-Urban: Jurnal Ekonomi Syari’ah dan
Filantropi Islam, Vol. 1, No. 2, Desember 2017, h.
untuk membeli barang atau objek akad kepada pembeli. Sedangkan
pembeli sebagai penerima kuasa dari bank membeli barang sesuai dengan
objek akad. Pembeli melakukan pembelian barang untuk dan atas nama
bank. Setelah pembelian dilakukan, dan barang secara prinsip sudah
menjadi milik bank, barulah terjadi pemindahan kepemilikan dari bank
kepada nasabah dengan cara penyerahan. Otomatis, kepemilikan barang
berpindah menjadi milik nasabah.19
Pada posisi demikian, terjadi setelah penandatanganan akad, yang
berarti kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat. Hukum Islam
mengistilahkan perjanjian dengan sebutan akad, yang berarti pertemuan
ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk
melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya. Demikian ini dikatakan,
perjanjian merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk
mengikatkan diri terhadap perbuatan yang akan dilakukan dalam hal
khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan.20 Pasal 1338
KUHPerdata menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah
mengikat seperti undang-undang bagi para pihak yang mengadakannya.
Apa yang diperjanjikan yang dituangkan dalam akad, sudah semestinya
diikuti oleh masing-masing pihak.
Berkaitan dengan tidak adanya penetapan keadaan memaksa (force
majeur) oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung, yang menguatkan Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Nomor 127/Pdt.G/2015/PTA.Mdn., patut
menjadi perhatian. Sebab, Majelis Hakim menjadikan Pasal 17 ayat (2)
yang tercantum dalam Akad Pembiayaan Murabahah Nomor
MES/2013/198/K memiliki makna yang sama dengan Pasal 1244 dan 1245
KUPerdata jo. Pasal 41 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Dalam Akad Pembiayaan Murahabah Nomor MES/2013/198/K Pasal
17 ayat (2) memberikan defenisi keadaan memaksa dengan menyebutkan:

19
Danang Wahyu Muhammad dan Erika Vivin Setyoningsih, Kajian Terhadap Akad
Murahabah dengan Kuasa Membeli dalam Praktek Bank Syariah, h. 96.
20
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia; (Konsep, Regulasi dan
Implementasi) (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), h. 23.
“Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeur) adalah suatu
peristiwa atau keadaan yang terjadi di luar kekuasaan atau kemampuan
salah satu atau para pihak, yang mengakibatkan salah satu atau para pihak
tidak dapat melaksanakan hak-hak dan atau kewajiban-kewajiban sesuai
dengan ketentuan dalam perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas
pada kebakaran, bencana alam, peperangan, aksi militer, huru-hara,
malapetaka, pemogokan, epidemi dan kebijaksanaan maupun Peraturan
Pemerintah atau penguasa setempat yang secara langsung dapat
mempengaruhi pemenuhan pelaksanaan perjanjian.”
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim merujuk pada ketentuan
Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata jo. Pasal 41 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah. Di dalam ketentuan tersebut dikatakan force majeur
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeur tersebut
haruslah “tidak terduga” oleh para pihak;
b. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pihak yang harus melaksanakan prestasi (pihak debitur);
c. Peristiwa yang meyebabkan terjadinya force majeur tersebut di
luar kesalahan pihak debitur;
d. Tidak ada itikad buruk dari pihak debitur.

Dalam pandangan Majelis, Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB)


adalah syarat administratif dalam kegiatan pembangunan gedung
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, dan
IMB harus dimiliki oleh setiap orang yang akan mendirikan bangunan.
Karenanya, Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) harus diterbitkan
terlebih dahulu oleh Pejabat yang berwenang sebelum suatu gedung atau
rumah mulai dibangun. Sementara, sedari awal, kedua belah pihak telah
menyadari pentingnya IMB sebelum membangun gedung atau rumah, dan
tidak mengurusnya sejak awal. Penggugat selaku pemiliki tanah dan yang
akan melaksanakan pembangunan rumah telah lalai atau sengaja tidak
mengurus IMB terlebih dahulu sebelum menandatangani kontrak Akad
Pembiayaan Murabahah.

Maka dengan tidak terbitnya IMB untuk bangunan rumah di atas tanah
milik Penggugat atau Terbanding (SHM No. 02240 dan SHM No. 02239
tersebut), Majelis berpendapat bahwa perkara tersebut tidak memenuhi
persyaratan sebagai keadaan memaksa (force majeur) sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata jo. Pasal 41 KHES.
Dengan demikian, tidak terbitnya IMB sebagaimana didalilkan Pengguat
atau Terbanding tidak memenuhi klasifikasi sebagai force majeur
sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (2) Akad Pembiayaan Murhabah
Nomor MES/2013/198/K Tanggal 10 September 2013 tidak terpenuhi.
Oleh karena tidak adanya force mojeur, maka Penggugat atau Terbanding
selaku nasabah/kreditur tidak dapat menjadikan sebagai alasan hukum
untuk tidak melaksanakan isi akad baik sebagian atau seluruhnya.

Patut menjadi pertanyaan, bahwa makna force majeur sebagaimana


yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) Akad Pembiayaan Murhabah
Nomor MES/2013/198/K, merupakan pengertian yang memasukkan dua
klasifikasi makna, pertama dengan memasukkan keadaan memaksa
bencana alam, yang menyebabkan kondisi tidak berdayanya kreditur untuk
berprestasi, dan kedua, memasukkan keadaan dimana terdapat kebijakan
atau pemerintah, yaitu keadaan memaksa yang disebabkan oleh sesuatu
keadaan dimana terjadi perubahan kebijakan pemerintah, keadaan yang
disebabkan oleh terjadinya perubahan-perubahan pemerintah atau dihapus
atau dikeluarkannya kebijakan yang baru.

Majelis kemudian melakukan intervensi makna atas isi akad


Murahabah. Syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 1244 dan 1245
KUPerdata jo. Pasal 41 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dimaknai
sama dengan Pasal 17 ayat (2) Akad Pembiayaan Murhabah Nomor
MES/2013/198/K. Hakim berpandangan bahwa tidak adanya keadaan
memaksa yang berlaku pada kasus ini, disebabkan karena tidak
terpenuhinya syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1244 dan 1245
KUHPerdata. Syarat tersebut menekankan bahwa suatu keadaan dikatakan
dalam keadaan memaksa, bila tidak adanya unsur kesengajaan atau
kelalaian. Sementara, Tergugat yang dalam hal ini adalah pemilik tanah,
sebelumnya telah mengetahui bahwa pembangunan baru dapat dilakukan
bila telah mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan. Syarat-syarat tersebut
disamakan dengan syarat yang terkandung dalam Pasal 17 ayat (2) Akad
Pembiayaan Murabahah tersebut.

Berkenaan dengan itu, dalam ilmu hukum kontrak/perjanjian, dikenal


ada tiga metode penafsiran makna yaitu: metode penafsiran subjektif,
metode penafsiran objektif, dan metode penafsiran subjektif dan objektif.
Menurut metode penafsiran subjektif, penafsiran perjanjian dilakukan
dengan berpegang pada maksud yang sebenarnya dari para pihak, tanpa
terlalu berpegang kepada kata-kata yang ada dalam perjanjian tersebut.
Metode ini dianut dalam KUHPerdata dengan menyebutkannya dalam
Pasal 1343 KUHperdata yang menentukan bahwa penafsiran dilakukan
dengan lebih mempertimbangkan dan menyelediki maksud dan tujuan dari
kedua belah pihak dari hanya melihat kepada kata-kata secara gramatikal.

Dalam metode penafsiran objektif, lebih menekankan pada apa yang


tertulis dalam suatu kontrak, daripada melihat kepada dari para pihak,
apalagi jika bahasa yang digunakan dalam kontrak sudah cukup jelas.
Metode penafsiran objektif ini sesuai dengan doktrin “pengertian jelas”
yang menyatakan bahwa tidak diperlukan penafsiran jika bahasa dalam
kontrak sudah jelas artinya. Sementara dalam penafsiran subjektif dan
objektif, berupaya mengkombinasikan metode penafsiran objektif daengan
metode penafsiran subjektif. Dalam praktik, tidak ada prioritas dalam
penggunaan metode interpretasi. Oleh karenanya, metode interpretasi
dapat digunakan sendiri-sendiri, dapat pula disinergikan beberapa metode
interpretasi sekaligus secara bersama-sama.21

Tidak adanya halangan bagi Majelis Hakim untuk menentukan metode


interpretasi memberikan legitimasi kebolehan hakim melakukan
interpretasi makna atas Akad Pembiayaan Murabahah Nomor
MES/2013/198/K. Hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan
kehakiman diberikan kebebasan. Otonomi kebebasan tersebut mencakup:

a. Menafsirkan peraturan perundang-undangan.


b. Mencari dan menemukan asas-asas dan dasar hukum. ketiga,
mencipta hukum baru apabila menghadapi kekosongan peraturan
perundang-undangan.
c. Dibenarkan melakukan contra logem apabila ketentuan peraturan
perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan umum.
d. Memiliki otonomi yang bebas untuk mengikuti yurisprudensi.

Dalam kasus ini, Majelis menggunakan metode penafsiran Subjektif


dan Objektif dalam memaknai Force Majeur sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 17 ayat (2) dengan menyamakannya dengan makna Pasal
1244 dan 1245 KUPerdata jo. Pasal 41 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah. Apa yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memperluas
makna Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, hemat penulis, merupakan suatu
kemajuan yang berarti. Penafsiran tersebut memberi perluasan makna yang
tidak terbatas pada makna tertentu berkaitan dengan force majeur. Dengan
demikian, Hakim tidak hanya pada posisi sebagai corong Undang-Undang
tertulis yang sebenarnya seringkali ketinggalan zaman atau bahkan
memiliki dualitas makna. Artinya, proses di pengadilan bukanlah suatu
silogisme yang kaku, bahwa Undang-Undang merupakan premis mayor,

21
Bambang Sutiyoso, Penafsiran Kontrak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Maknanya Bagi Para Pihak yang Bersangkutan, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM,
No. 2, Vol. 20, April 2013, h. 214.
peristiwa konkrit merupakan premis minor, sedangkan putusan hakim
adalah konklusi atau kesimpulannya.22

Dengan kewenangan yang dimilikinya, hakim dapat melakukan


penemuan hukum. Undang-Undang memang harus dihormati, tetapi
undang-undang selalu ketinggalan zaman, sehingga hakim tidak harus
secara mutlak mematuhinya. Hakim dapat melihat undang-undang sebagai
alat atau sarana untuk membantu menemukan hukum. Di sini, hakim tidak
semata berfungsi menafsirkan undang-undang, tetapi juga berfungsi
sebagai pencipta hukum. Dalam keadaan demikian, hakim harus selalu
mengikuti perkembangan zaman dan akan memperbaharui aturan hukum
yang sudah usang.

D. Kesimpulan
Akad Murabahah merupakan perjanjian jual beli yang mayoritas
dipakai dalam dunia perbankan Islam. Dalam pelaksanaannya, masing-
masing pihak mengetahui harga asli dari suatu barang, dan menyepakati
berapa keuntungan tambahan yang diberikan. Akad Murabahah seperti
halnya perjanjian, memiliki kekuatan mengikat bagi masing-masing pihak.
Adapun yang tidak melaksanakan isi perjanjian, dikategorikan sebagai
wanprestasi, baik karena lalai, atau karena terjadi keadaan memaksa (force
majeur). Umumnya, force majeur lebih dimaknai dengan situasi yang
membuat pihak tertentu tidak mampu untuk berprestasi disebabkan karena
adanya bencana alam. Pengertian demikian tidak dapat disalahkan, sebab
dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, tidak merinci maksud dari
keadaan tersebut.
Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan seluruh permohonan
Pemohon Kasasi, adalah langkah yang tepat. Dalam putusan tersebut, MA
memberi perluasan makna force majeur, yang tidak hanya terbatas pada
makna akan adanya bencana alam sehingga situasi tersebut dikatakan

22
Ridwan Khairandy, Kewenangan Hakim untuk Melakukan Intervensi Terhadap
Kewajiban Kontraktual Berdasarkan Akad Itikad Baik, Jurnal Hukum, No. 15, Vol. 7, Desember
2000, h. 119.
sebagai keadaan memaksa. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis
Hakim menyamakan makna yang terkandung dalam Pasal 1244 dan 1245
KUHPerdata, dengan Pasal 17 ayat (2) Akad Pembiayaan Murabahah yang
pada intinya memberikan pengertian daripada force majeur. Pasal 17 ayat
(2) sejatinya telah mengakomodasi makna force majeur terbaru, yang
memasukkan unsur adanya kebijakan pemerintah atau situasi politik yang
menyebabkan terjadinya keadaan mendesak. Sementara, dalam Pasal 1244
dan 1245 KUHPerdata, sama sekali masih bersifat universal, multitafsir.
Perluasan makna force majeur oleh Majelis Hakim sama sekali tidak
membuat undang-undang kehilangan marwahnya sebagai acuan. Namun,
perluasan makna tersebut sungguh akan mendorong hadirnya suasana
keadilan yang tidak terbungkus dalam teks tertulis yang sangat rentang
ketinggalan zaman. Sebab, selama ini, hakim seakan-akan hanya sebagai
corong undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA

Anandya, Aurellia Gatta, Penggunaan Akad Murabahah Dalam Pembiayaan


Kepemilikan Rumah Dengan Sistem Musyarakah, Berkala Ilmiah
Mahasiswa Akuntansi, Vol. I, No.2, Maret 2012.

Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia; (Konsep, Regulasi


dan Implementasi), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009.

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Dari Ke Praktek, Jakarta: Gema


Insani, 2001.

Hakim, Lukmanul dan Anwar, Amelia, Pembiayaan Murabahah Pada Perbankan


Syari’ah Dalam Prespektif Hukum di Indonesia, Al-Urban: Jurnal Ekonomi
Syari’ah dan Filantropi Islam, Vol. 1, No. 2, Desember 2017.

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Jakarta: Alumni, 1982.

Hidayat, Muhammad Rifqi dan Komarudin, Parman, Klausul Overmacht Dalam


Akad Murbahah di Perbankan Syariah, Al-Iqtisadiyah Jurnal Ekonomi
Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, Vol. III, No. I, Desember 2017.

Khairandy, Ridwan, Kewenangan Hakim untuk Melakukan Intervensi Terhadap


Kewajiban Kontraktual Berdasarkan Akad Itikad Baik, Jurnal Hukum, No.
15, Vol. 7, Desember 2000.

________________, Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak, Jurnal


Hukum Edisi Khusus, Vol. 18, Oktober 2011.

Machmuddin, Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Bandung:


Refika Aditama, 2001.

Miru, Ahmad dan Patih, Sakka, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
Sampai Pasal 1456 BW, Jakarta: Rajawali Sindo, 2011.

Muhammad, Danang Wahyu dan Setyoningsih, Erika Vivin, Kajian Terhadap


Akad Murahabah dengan Kuasa Membeli dalam Praktek Bank Syariah,
Jurnal Media Hukum, Vol. 25, No. 1, Juni 2018.

Muslim, Imam, Sahih Muslim, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, 2008.

Mutahar, Ali, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2005.

Rasuh, Daryl John, Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeur) Menurut
Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Lex
Privatum, Vol. IV, No. 2, Februari 2016.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Jilid II, Penerjemah Kamaluddin A Marzuki,
Bandung: Pustaka, 1988.

Salim, H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika,
2008.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1987.

Sutiyoso, Bambang, Penafsiran Kontrak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata dan Maknanya Bagi Para Pihak yang Bersangkutan, Jurnal Hukum
IUS QUIA IUSTUM, No. 2, Vol. 20, April 2013.

Yulianti, Rahmani Timorita, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak


Syari’ah, La Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. II, No. 1, Juli 2008.

Anda mungkin juga menyukai