Anda di halaman 1dari 32

[Tinjauan Filosofis]

HAM secara Umum


Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, serta dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.1 Pengertian ini juga selaras dengan Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang menyatakan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat serta hak-hak yang sama. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa setiap manusia
seyogyanya mendapat pemenuhan hak yang sama tanpa memperdulikan perbedaan yang ada.
Hal tersebut sesuai dengan salah satu prinsip dari HAM, yaitu universal dan tidak
dapat dicabut. Prinsip universal berarti bahwa HAM berlaku sama bagi setiap orang.2 Prinsip
universalitas HAM merupakan landasan hukum hak asasi manusia internasional yang berarti
bahwa kita semua sama-sama berhak atas hak asasi kita.3 Sedangkan, prinsip tidak dapat
dicabut artinya HAM yang dimiliki oleh setiap manusia tidak dapat dihilangkan atau
diserahkan kepada orang lain.4 Prinsip HAM berikutnya adalah tidak terpisahkan dan saling
bergantung. Hal ini berarti bahwa setiap pemenuhan sebuah hak asasi manusia akan
berpengaruh dan bergantung pada pemenuhan hak asasi manusia lainnya sehingga apabila
salah satu hak asasi manusia dilanggar, maka akan mempengaruhi pelaksanaan hak asasi
manusia lainnya.5 Dengan demikian, sipil, budaya, ekonomi, politik dan hak-hak sosial saling
melengkapi dan sama pentingnya bagi martabat dan integritas dari setiap orang.6
Prinsip HAM selanjutnya adalah setara dan tidak diskriminatif. Prinsip ini dapat kita
maknai dari Pasal 2 (DUHAM) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan
kebebasan-kebebasan dan tidak diperbolehkan melakukan perbedaan dengan bermacam
alasan, seperti kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara, serta
daerah dari mana seseorang berasal.7 Nilai yang dapat kita ambil dari prinsip ini adalah
adanya kesetaraan dan sifat tidak membeda-bedakan sehingga nantinya kita sebagai

1
Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No.39 Tahun 1999, LN No.165 Tahun 1999,
TLN No. 3886, Ps. 1.
2
Rogier Huizenga dan Roberto Rodriguez Valencia, eds., Human Rights: Handbook for
Parliamentarians N 26, hlm. 21.
3
United Nation of Human Right, “What Are Human Rights?”
https://www.ohchr.org/en/issues/pages/whatarehumanrights.aspx, diakses pada 20 November 2021.
4
Yusril Ihza, Ayu Arwinda, Siti Ramlia, Nur Umi Sela A. A., “Hak Asasi Manusia,”
https://osf.io/preprints/inarxiv/jdmbc/, diakses 17 November 2021.
5
Ibid., hlm. 22.
6
Ibid.
7
Ibid., Ps. 2.
masyarakat dapat menghormati keberagaman yang ada dan menjaga ketertiban. Diskriminasi
dan ketidaksetaraan telah menghasilkan beberapa bentuk pelanggaran HAM. Beberapa
pelanggaran hak asasi manusia terburuk juga telah dihasilkan dari diskriminasi terhadap
kelompok tertentu. Hak atas kesetaraan dan larangan diskriminasi, secara eksplisit diatur
dalam perjanjian hak asasi manusia internasional dan regional, oleh karena itu penting untuk
perlindungan semua hak asasi manusia.8
Berdasarkan sejarahnya, HAM lahir melalui tiga generasi yang bertahap. Pada
generasi-generasi ini, pembahasan HAM mengacu pada bermacam-macam topik. Generasi
pertama HAM membahas seputar hak-hak sipil dan politik (sipol), seperti hak untuk hidup,
hak untuk menentukan nasibnya sendiri, hak untuk berekspresi dan berpendapat, serta hak
untuk berserikat dan berkumpul.9 Kemudian, generasi kedua HAM menitikberatkan fokus
pembahasan pada hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob).10 Beberapa contoh dari hak
ekosob adalah hak untuk bekerja, hak atas jaminan sosial, dan hak atas pendidikan. Generasi
HAM yang terakhir merupakan tahap dengan enam cakupan hak, yaitu hak atas penentuan
nasib sendiri di bidang sosial, ekonomi, dan budaya, hak atas pembangunan ekonomi dan
sosial, hak untuk berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari warisan bersama umat manusia
(common heritage of mankind), hak atas perdamaian, hak atas lingkungan yang sehat, dan
hak atas bantuan kemanusiaan.11
Salah satu hak ekosob yang wajib dijamin adalah hak atas perumahan.12 Menurut
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, setiap orang berhak untuk bertempat
tinggal serta berkehidupan yang layak. Artinya, seluruh masyarakat Indonesia harus dijamin
hak atas tempat tinggalnya. Dengan begitu, negara yang memiliki wewenang untuk mengatur
rakyatnya wajib memenuhi hak tersebut tanpa terkecuali. Pemenuhan hak atas tempat tinggal
ini juga dipertegas dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) berbunyi “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan”. Sebagai manusia yang memiliki HAM, seharusnya
masyarakat Indonesia dipenuhi hak-haknya, yakni hak untuk bertempat tinggal. Karena

8
Ibid., Human Rights: Handbook for Parliamentarians N 26, hlm. 23.
9
Dr. Max Boli Sabon, Hak Asasi Manusia: Bahan Pendidikan Untuk Perguruan Tinggi, cet. 2 (Jakarta:
Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2019), hlm. 31.
10
Ibid., hlm 32.
11
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1994), hlm. 61-62.
12
LBH Jakarta, “Pengantar Hak Ekosob: Di mana Negara Saat Dinanti Kehadirannya,”
https://bantuanhukum.or.id/pengantar-hak-ekosob-di-mana-negara-saat-dinanti-kehadirannya/, diakses 20
November 2021.
Indonesia merupakan negara hukum, maka negara wajib melaksanakan segala macam HAM
yang sudah ditetapkan.13

Mengapa Hak atas Tempat Tinggal Penting?


Tempat tinggal adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Sebab, tempat tinggal berkaitan erat dengan dimensi sosial dan budaya. Sebagian masyarakat
di Indonesia menganggap tempat tinggal seperti manusia yang juga harus dihargai dan
dihormati. Hal tersebut terlihat dengan adanya upacara adat saat pembuatan rumah di banyak
daerah di Jawa dan Sumatera.14 Selain erat dengan dimensi sosial dan budaya, aspek HAM
pun tak luput dari tempat tinggal. Tempat tinggal dalam pengertian ini juga mencakup makna
tempat tinggal yang memadai untuk menjamin kelangsungan hidup seseorang. Menurut
standar internasional HAM, tempat tinggal yang memadai berarti memiliki prinsip
keterjangkauan, kelayakhunian, dan aksesibilitas.15 Selain itu, tempat tinggal yang memadai
juga mempertimbangkan beberapa faktor, seperti lokasi, budaya, dan keamanan
kepemilikan.16 Oleh karena itu, hak atas tempat tinggal bukan sekadar hak untuk mempunyai
tempat tinggal, melainkan juga hak untuk memperoleh tempat tinggal yang memadai.
Hak atas tempat tinggal juga menjadi hak yang esensial dalam pemenuhan hak
ekonomi, sosial dan budaya. Sebab, hak atas tempat tinggal sangat berkaitan dengan hak-hak
lainnya, seperti hak untuk hidup, hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia dan
sejahtera, hak atas lingkungan hidup yang baik, hak atas identitas yang berkaitan dengan hak
atas pelayanan kesehatan, hak atas jaminan sosial, serta hak-hak lainnya.17 Dengan demikian,
apabila hak atas tempat tinggal dilanggar, maka hak-hak lainnya yang tidak dapat dipisahkan
dari hak atas tempat tinggal pun turut berpotensi dilanggar.

Terancamnya Hak atas Tempat Tinggal oleh Penggusuran Paksa


Meskipun hak atas tempat tinggal merupakan sesuatu yang vital, pemenuhan hak ini
tidak jarang dilanggar oleh pemerintah atas nama pembangunan. Pelanggaran hak atas tempat
tinggal tersebut kemudian dikenal dengan nama penggusuran paksa. Committee on Economic,
Social, and Cultural Rights menjelaskan dalam Poin Ketiga General Comment No. 7 on
13
Ibid., Ps. 71.uu
14
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Factsheet Penggusuran Paksa dan Hak Atas
Perumahan, (Jakarta: Yayasan Lembaga Hukum Indonesia, 2018), hlm. 1.
15
United Nations High Commissioner for Humans Rights, “The Right to Adequate Housing,” (2014),
hlm. 4.
16
Firdaus, “Pemenuhan Hak Atas Perumahan yang Layak bagi Masyarakat Miskin Kota dalam
Perspektif HAM,” Jurnal Penelitian HAM 7 (Desember 2016), hlm. 87.
17
YLBHI, Factsheet Penggusuran, hlm. 5.
article 11, paragraph 1, of the International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights, on The Right of Adequate Housing (General Comment No. 7) bahwa yang dimaksud
dengan penggusuran paksa adalah:
Forced eviction is “the permanent or temporary removal against their will of
individuals, families and/or communities from the homes and/or land which they
occupy, without the provision of, and access to, appropriate forms of legal or other
protection.18
Apabila diterjemahkan, penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga,
atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara
atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai. Beranjak dari pemaparan di
atas, sejatinya dapat disimpulkan bahwasanya penggusuran paksa dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran HAM. Hal ini juga dikuatkan dalam Poin Pertama Commission on
Human Rights Resolution 1993/77, yang bahkan menyebut bahwa penggusuran paksa adalah
“gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat. Penggusuran paksa termasuk
kedalam pelanggaran HAM berat, hal ini adalah karena hak-hak yang dikesampingkan dalam
penggusuran paksa bersifat ketergantungan dengan hak-hak lainnya ibarat fenomena bola
salju, dengan dilanggarnya suatu hak maka akan berdampak pada hak yang lainnya.19
Selain itu, dalam pelaksanaan penggusuran kerap kali ditemukan prosedur
penggusuran yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku dan lagi-lagi mengenyampingkan
HAM. Bentuk-bentuk pelanggaran tersebut, antara lain:20
1. Ketiadaan musyawarah mengenai rencana pembangunan;
2. Pelibatan aparat yang tidak berwenang (TNI dan POLRI) sebagai pelaksana
penggusuran;
3. Terlanggarnya hak warga terdampak terkait dengan kepastian hukum status tanah
mereka;
4. Tidak terpenuhinya standar hak atas perumahan yang layak bagi warga terdampak
yang dipindahkan ke rumah susun;
5. Ketiadaan akses untuk mendapatkan bantuan hukum;
6. Ketiadaan ganti rugi bagi warga terdampak; dan
7. Kerusakan atau kehilangan harta benda milik warga terdampak.

18
Perserikatan Bangsa-Bangsa, General comment No. 7, on article 11, paragraph 1,of the International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,on the right of adequate housing, para. 3.
19
Andi Muhammad Rezaldy, “Penggusuran Paksa di Kota Peduli HAM,”
https://kumparan.com/andi-muhammad-rezaldy/penggusuran-paksa-di-kota-peduli-ham-1smUOBY36hz/2,
diakses pada 21 November 2021.
20
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Seperti Puing Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI
Jakarta Tahun 2016 (Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2017), hlm. 26.
Penggusuran Paksa Sebagai Pelanggaran HAM Berat / Gross Violation of Human Rights
Pada hakikatnya, jika pemerintah melakukan penggusuran secara paksa, maka
pemerintah telah mencabut hak dasar, yaitu hak atas tempat tinggal. Pencabutan hak atas
tempat tinggal ini dapat berimplikasi pada terlanggarnya hak-hak lainnya yang berujung pada
permasalahan struktural.21 Rumah atau tempat tinggal bukan hanya sebatas tempat berlindung
dari panasnya matahari dan derasnya hujan, tetapi juga sebagai sumber penghidupan dan
kehidupan orang yang tinggal di dalamnya. Akibat penggusuran paksa, warga yang biasanya
bisa bekerja di sekitar tempat tinggalnya, kini harus kehilangan pekerjaan atau kesulitan
mengakses tempat kerjanya. Selain itu,Penggusuran paksa berpotensi membuat warga yang
tergusur menjadi kehilangan rasa aman, kehilangan hak atas jaminan sosial, kehilangan hak
atas identitas, kehilangan hak untuk akses kesehatan, kehilangan hak anak untuk mengenyam
pendidikan karena mahalnya biaya pindah rumah, kerugian ekonomi, materi dan juga
kerugian psikologis berupa trauma yang sangat mendalam.22 Bahkan, dalam beberapa kasus
menyebabkan hilangnya nyawa orang.23 Penggusuran paksa juga mengakibatkan properti
masyarakat yang terdampak hancur, aset produktif mereka juga tidak bisa digunakan lagi,
sumber mata pencaharian mereka terganggu, dan akses pemenuhan kebutuhan dasar mereka
menjadi terhambat.24 Masyarakat yang terdampak juga sering mengalami berbagai bentuk
kekerasan fisik, seperti penyerangan, pemerkosaan, dan bahkan pembunuhan.25 Semua itu
semata-mata untuk membuat mereka patuh dan tertunduk atas penggusuran yang akan
dilaksanakan.
Tidak hanya permasalahan ekonomi, sosial, dan budaya, penggusuran paksa juga
kerap diwarnai represivitas aparat dalam praktiknya. Hal ini tentu bertentangan dengan hak
untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.26 Meskipun hak ini merupakan hak yang
tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), nyatanya tindak represif

21
Human Rights Watch, “Ringkasan Laporan Human Rights Watch, ‘Masyarakat yang Tergusur:
Pengusiran Paksa di Jakarta’,” Human Rights Watch 18 (September 2006), hlm. 2.
22
YLBHI, Factsheet Penggusuran, hlm. 15.
23
Hasanudin Aco, “Kata Anies, 24 Orang Meninggal Setelah Kampung Akuarium Digusur Dua Tahun
Lalu,”
https://www.tribunnews.com/metropolitan/2018/04/14/kata-anies-24-orang-meninggal-setelah-kampung-akuariu
m-digusur-dua-tahun-lalu, diakses 20 November 2021.
24
Jean du Plessis, “The growing problem of forced evictions and the crucial importance of
community-based, locally appropriate alternatives,” Environment & Urbanization 17 (April 2005), hlm.
124-125.
25
Ibid.
26
Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Ps. 33 ayat (1)
aparat berupa kekerasan terhadap warga tergusur berpotensi melanggar hak tersebut.27 Selain
itu, perlindungan atas harta benda dan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu juga merupakan hak yang dijamin di
dalam UUD NRI 1945.28 Dengan demikian, kesewenang-wenangan eksekutor penggusuran
paksa untuk masuk ke pekarangan rumah warga, melakukan tindakan penyitaan
barang-barang, dan mengusir warga secara paksa dari rumahnya merupakan sebuah
pelanggaran HAM.) Setelah melihat pelanggaran HAM yang sangat kompleks dan
permasalahan struktural yang berpotensi untuk terjadi, maka penggusuran paksa memang
sudah seharusnya dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat (gross violation of human
rights).

[Tinjauan Yuridis]
General Comment No. 7
Sejatinya, dalam lingkup internasional, sudah terdapat peraturan yang mengatur
secara rinci mengenai penggusuran paksa. Adapun salah satu yang dapat dijadikan acuan
adalah General Comment No. 7 yang dirancang oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
General Comment berisi tentang komentar umum serta penjelasan yang berlaku seperti
panduan, cakupan, karakteristik, dan penerapan hak-hak yang terdapat dalam ICESCR.29
General Comment No. 7 mendefinisikan penggusuran paksa sebagai pemindahan individu,
keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk
sementara maupun untuk selamanya, tanpa adanya perlindungan hukum yang memadai.30
Adapun yang dimaksud dengan perlindungan hukum yang memadai adalah perlindungan
yang sejalan dengan HAM yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Internasional HAM.31

27
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 28I ayat (1). Perserikatan Bangsa-Bangsa, International
Covenant on Civil and Political Rights, 14668 (1966) Ps 4 ayat (2) jo. Ps. 7 ayat (1).
28
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 28G ayat (1).
29
ELSAM, “Komentar Umum 15 Hak Atas Air pada Komentar Umum Kovenan Internasional Hak
Ekonomi Sosial dan Budaya (ICESCR),”
https://referensi.elsam.or.id/2014/09/komentar-umum-15-hak-atas-air-pada-komentar-umum-kovenan-internasio
nal-hak-ekonomi-sosial-dan-budaya-icescr/, diakses 20 November 2021.
30
Perserikatan Bangsa-Bangsa, General Comment No. 7, on article 11, paragraph 1, of the
International Covenant of Economic, Social, and Cultural Rights, on The right to adequate housing; forced
evictions, para. 4.
31
Ibid.
Dalam praktiknya, demi terwujudnya perlindungan HAM secara komprehensif bagi
masyarakat, diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang menjamin adanya
perlindungan atas penggusuran paksa. Peraturan perundang-undangan tersebut harus
setidaknya mencakup tiga standar dasar, yaitu memberikan peluang rasa aman bagi para
pemilik rumah dan tanah, sejalan dengan Perjanjian Internasional atas Hak-hak Sipil dan
Politik, serta dirancang untuk secara ketat mengendalikan berbagai keadaan dimana
penggusuran dapat saja terjadi.32 Maka dari itu, idealnya, suatu negara harus mempunyai
peraturan perundang-undangan yang mumpuni dengan adanya tiga standar tersebut sehingga
kewajiban negara dapat berjalan dan hak masyarakat terlindungi.
Penggusuran sendiri tidak serta-merta dapat dilaksanakan kapan pun dan di mana pun
tanpa memperhatikan kondisi yang ada. Jika penggusuran adalah pilihan terakhir yang harus
ditempuh, maka beberapa persyaratan perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan kerugian
dari berbagai pihak. Perlindungan prosedural adalah salah satu persyaratannya, perlindungan
prosedural sendiri terdiri dari delapan aspek, yaitu:
1. Harus ada peluang atas pembicaraan yang tulus dengan orang-orang yang terimbas
dan hal ini dapat direalisasikan dengan melakukan sosialisasi atau musyawarah
terlebih dahulu kepada masyarakat lingkungan tersebut;33
2. Memberikan pemberitahuan yang memadai dan rasional kepada semua orang yang
terimbas mengenai jadwal pelaksanaan penggusuran.34 Pihak penggusur perlu
memberikan jadwal yang jelas agar masyarakat sekitar dapat mempersiapkan diri;
3. Informasi mengenai penggusuran-penggusuran yang diajukan, termasuk mengenai
fungsi alternatif dari tanah atau rumah yang akan tergusur harus tersedia dalam
waktu singkat bagi semua orang yang terimbas.35 Hal ini berarti pihak penggusur
harus melakukan komunikasi lanjutan terkait penyampaian informasi secara jelas
dan komprehensif, baik sebelum proses penggusuran, maupun pasca penggusuran;
4. Para pejabat pemerintah atau wakil-wakil mereka harus hadir selama pelaksanaan
penggusuran, khususnya jika melibatkan kelompok-kelompok masyarakat.36 Dengan
kehadirannya, pihak pemerintah diharapkan dapat melihat langsung kondisi yang

32
Ibid., para 10, hlm. 126.
33
Ibid., para 16, hlm. 127.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.
terjadi dan mampu menyelesaikan permasalahan yang sejalan dengan fungsi
pemerintahan, yaitu fungsi pembangunan dan perlindungan37;
5. Semua orang yang melaksanakan penggusuran itu harus dapat diidentifikasi secara
tepat.38 Hal ini bertujuan agar tidak ada pihak asing yang terlibat dan
menyalahgunakan kepentingan selama proses penggusuran;
6. Penggusuran tidak boleh dilaksanakan dalam cuaca buruk atau pada malam hari
kecuali memang dikehendaki oleh orang-orang yang terimbas.39 Penggusuran
hendaknya dilakukan dalam cuaca yang mendukung agar tidak menyulitkan warga
terimbas maupun pihak pengusir;
7. Adanya ketentuan serta solusi hukum; dan
8. Ketentuan mengenai adanya bantuan hukum bagi masyarakat terdampak yang
membutuhkan untuk melakukan proses penuntutan ganti rugi di pengadilan. Pada
proses pasca penggusuran, seharusnya pihak penggusur memberikan pemulihan dan
bantuan hukum bagi warga yang ingin menuntut kompensasi dalam mendampingi
warga tergusur sehingga warga tetap merasa aman dan nyaman.40 Pemulihan atau
prosedur hukum harus disediakan untuk mereka yang terkena dampak penggusuran,
di mana negara harus mempertimbangkan setiap individu yang terimbas mengenai
hak atas kompensasi yang layak untuk properti apa pun, baik pribadi maupun
nyata.41

Melalui berbagai aspek dalam perlindungan prosedural tersebut, diharapkan warga


terdampak memiliki payung hukum yang jelas. Pernyataan ini sesuai dengan poin 1 General
Comment Nomor 7, setiap orang harus mendapatkan hak atas rasa aman yang menjamin
adanya perlindungan hukum dari kasus penggusuran paksa, kekerasan, dan
ancaman-ancaman lainnya.42 Kasus-kasus penggusuran paksa itu sendiri adalah prima facie
yang tidak sejalan dengan ketetapan-ketetapan dalam ICESCR dan hanya dapat dibenarkan
dalam keadaan-keadaan yang paling luar-biasa.43 Prima facie sendiri diartikan sebagai
kondisi ketika satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk dilakukan dengan

37
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292 Tahun
2014, TLN No. 5601, Ps. 1.
38
PBB, General Comment No. 7 on article 11, paragraph 1of ICESCR, para.16.
39
Ibid.
40
Forum Kampung Kota, “FAQ Masalah Hukum Penggusuran,”
https://medium.com/forumkampungkota/faq-masalah-hukum-penggusuran-dda003d430ea, diakses 18
November 2021.
41
PBB, General Comment No. 7 on article 11, paragraph 1of ICESCR, para. 14.
42
Ibid., para. 1, hlm. 124.
43
Ibid., para. 18, hlm. 102.
mengorbankan prinsip yang lain.44 Pada konteks penggusuran paksa, prima facie terjadi
ketika terdapat benturan dua prinsip yang dalam hal ini adalah HAM dan pembangunan,
maka terpaksa harus mengutamakan salah satu prinsip. Padahal, penggusuran paksa harus
diselaraskan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang relevan.45
Salah satu prinsip hukum internasional tersebut tertuang dalam Kovenan Internasional
atas Hak-hak Sipil dan Politik. Perjanjian tersebut menuntut negara untuk memastikan adanya
sebuah “pemulihan yang efektif” bagi orang-orang yang haknya telah dilanggar dan
kewajiban dari otoritas yang kompeten untuk memaksakan pemulihan itu setelah
diputuskan.46 Pemulihan yang efektif tersebut dapat dilakukan dengan memberikan
rehabilitasi fisik, psikologis, dan sosial para korban tergusur.47
Pemulihan yang efektif ini sejalan dengan Deklarasi dan Program Aksi Wina, sebuah
dokumen internasional yang diterbitkan pada tahun 1993 sebagai bentuk penegasan
komitmen masyarakat internasional terhadap penerapan HAM yang menyatakan bahwa
meskipun pembangunan memfasilitasi penikmatan hak asasi manusia, minimnya
pembangunan tidak boleh dipakai sebagai pembenaran atas pelanggaran hak-hak asasi
manusia yang diakui internasional.48 Masyarakat tetap memiliki hak untuk mempunyai
tempat tinggal serta hak untuk tidak diusir secara paksa tanpa perlindungan yang layak. Maka
dari itu, penggusuran paksa tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah atau
rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya.49 Negara harus menerapkan
segala ukuran yang tepat serta memaksimalkan sumber daya tersedia untuk memastikan
bahwa perumahan, pemukiman, atau akses alternatif atas tanah yang produktif yang
tergantung pada kasusnya tersebut tersedia.50

Frasa “Penggusuran Paksa” di Indonesia dalam Berbagai Regulasi


Dalam hukum positif Indonesia, frasa "penggusuran paksa" tidak dapat ditemukan.
Bahkan, kata penggusuran itu sendiri tidak terdapat dalam regulasi di Indonesia. Pertama,
perlu dipahami bahwa kata “penggusuran” dan “penggusuran paksa” harus dimengerti
sebagai dua kata yang berbeda. Kata “penggusuran” dapat dikaitkan dengan beberapa
regulasi yang ada, seperti regulasi mengenai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
44
Jamaludin Ghafur, “Hukuman Kebiri dan Pelanggaran HAM,”
https://law.uii.ac.id/blog/tag/asas-prima-facie/, diakses 20 November 2021.
45
Ibid.
46
PBB, General Comment No. 7 on article 11, paragraph 1of ICESCR, para. 14.
47
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Vienna dan Program Aksi (1993), 25 Juni 1993, para. 59.
48
Ibid., para. 10.
49
Ibid., para 17, hlm. 127.
50
Ibid.
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah)
maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang
di dalamnya mengatur berbagai hal, salah satunya adalah pengalihfungsian lahan.
Aturan-aturan mengenai penggusuran menjadi penguat dan pedoman dalam proses
penggusuran.
Meski kata penggusuran tidak ada dalam hukum positif Indonesia, sejatinya terdapat
beberapa regulasi yang mengatur mengenai hal-hal yang memiliki kemiripan dengan
penggusuran. Contohnya adalah frasa pengadaan tanah dalam UU Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang diubah oleh UU Cipta Kerja. Pengertian dari
pengadaan tanah sendiri tertera pada Pasal 1 angka 2 yang menyatakan bahwa pengadaan
tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak
dan adil kepada pihak yang berhak.51 Lalu, Pasal 1 angka 4 mengatur mengenai objek
pengadaan tanah, yaitu tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda
yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.52 Pengadaan tanah sendiri harus
dijalankan oleh pemerintah dengan dasar untuk kepentingan umum.53 Pengertian mengenai
kepentingan umum sendiri lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6 yang menyebutkan
bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.54
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat digunakan untuk membangun fasilitas
umum yang menunjang kepentingan bangsa dan negara, seperti jalan umum, membangun
fasilitas keamanan dan pertahanan, pelabuhan, bandar udara, dan fasilitas umum lainnya yang
disebutkan dalam Pasal 10.55 Namun, pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut
tentunya memerlukan persetujuan dari warga yang akan tanahnya akan digunakan.56 Dengan
demikian, tentunya pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak bisa menjadi dasar yang
menjadikan penggusuran paksa menjadi sah dan tidak melanggar, melainkan persetujuan dari
masyarakat terdampak lah yang menjadi penentu utama apakah penggusuran tersebut sah dan
tidak melanggar HAM.
Berikutnya, frasa pengalihfungsian lahan yang terdapat dalam UU Nomor 41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU Perlindungan Lahan

51
Indonesia, Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
UU No. 2 Tahun 2012, LN No. 22 Tahun 2012, TLN No. 5280, Ps. 1.
52
Ibid.
53
Ibid., Ps. 4.
54
Ibid.
55
Ibid., Ps. 10.
56
Ibid., Ps. 1.
Pertanian Pangan Berkelanjutan) juga menjadi salah satu frasa yang kerap dikaitkan dengan
penggusuran. Padahal sebenarnya, undang-undang ini hanya berlaku untuk lahan pertanian
berkelanjutan. Namun, alih-alih untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan, dalam
pelaksanaannya hal ini sering dijadikan sebagai alasan untuk melakukan penggusuran bahkan
penggusuran secara paksa. Alih fungsi lahan pertanian pangan didefinisikan sebagai
perubahan fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi bukan lahan pertanian
pangan berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara.57 Selain itu, terdapat pula alih
fungsi lahan nonpertanian menjadi lahan pertanian dalam undang-undang ini. Alih fungsi
lahan nonpertanian ini juga memiliki syarat agar dapat dialihkan menjadi lahan pertanian,
yaitu lahan tersebut telah diberikan hak kepemilikannnya tetapi tidak digunakan, diusahakan,
dan dimanfaatkan sesuai kegunaannya dan juga tanah tersebut tidak dikelola dan
dimanfaatkan selama tiga tahun setelah pemberian hak diberikan.58 Alih fungsi lahan
pertanian menjadi nompertanian jika dikaitkan dengan pengadaan tanah memang sama
fungsinya yaitu untuk kepentingan umum. Dalam peraturan lain, yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2009 juga menegaskan bahwa alih fungsi lahan hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dan jika terjadinya bencana.59 Pengalihfungsian lahan untuk kepentingan umum ini
harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pengalihan
fungsi lahan hanya dapat dilakukan jika sudah memenuhi beberapa syarat diantaranya adalah
harus terlebih dahulu dilakukan kajian kelayakan strategis, disusun rencana alih fungsi lahan,
dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan disediakan lahan pengganti terhadap lahan
budidaya pertanian.60 Pun jika dilihat dari prosedurnya, pihak yang berwenang melakukan
alih fungsi lahan paling sedikit berasal dari unsur instansi yang bertanggung jawab di bidang
pertanian, perencanaan, pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan pertahanan.61
Selain frasa pengalihfungsian lahan dan pengadaan tanah, terdapat beberapa regulasi
yang secara tidak langsung membahas penggusuran paksa dengan penjelasan yang sedikit
berbeda. Sebagai contoh, Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak
atau Kuasanya menyebutkan bahwa penguasa daerah dapat mengambil tindakan untuk
57
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 41
Tahun 2009, LN. No. 149 Tahun 2009, TLN No. 5068, Ps. 1.
58
Ibid., Ps. 29.
59
Indonesia, Peraturan Pemerintah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No. 41
Tahun 2009, Ps. 35.
60
Ibid.
61
Indonesia, Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, Ps. 42.
menyelesaikan penggunaan lahan bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak
atau kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya masing-masing pada suatu waktu.62
Ketentuan tersebut tentunya mengindikasikan praktik penggusuran paksa oleh pemerintah, di
mana pemerintah dapat menyelesaikan penggunaan lahan dan kemudian membuat lahan
tersebut menjadi milik pemerintah. Cara penyelesaian pemakaian tanah sendiri diatur dalam
Pasal 4, di mana pemerintah daerah meminta kepada pemilik tanah untuk mengosongkan
tanah yang bersangkutan dari barang-barang serta orang yang mendapatkan hak dari tanah
tersebut.63 Lalu, pada pasal 4 ayat (2) diatur pula bahwa jika seseorang yang diminta
mengosongkan tanah tidak mengosongkan tanah tersebut sampai tenggat waktu yang telah
ditentukan, maka pemerintah daerah akan melakukan pengosongan dengan menggunakan
biaya orang yang menetap di tanah tersebut.64 Hal ini tentunya menunjukkan adanya
penggusuran paksa yang diatur dalam undang-undang, di mana tanah tersebut harus
dikosongkan sebelum tenggat waktu tertentu dan bila tidak dikosongkan, maka pemerintah
akan mengosongkannya dengan paksa.

Permasalahan Mekanisme Konsultasi Publik


Sebagaimana telah disinggung di atas, salah satu peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai penggusuran atau “pengadaan tanah” adalah UU Pengadaan Tanah itu
sendiri. Namun, terdapat beberapa ketentuan dalam UU Pengadaan Tanah yang malah
membuka ruang untuk terjadinya penggusuran paksa atau pengadaan tanah tanpa persetujuan
warga yang berhak. Pasal 13 UU Pengadaan Tanah menyatakan bahwa setidaknya terdapat
empat tahap penyelenggaraan pengadaan tanah, yakni perencanaan, persiapan, pelaksanaan,
dan penyerahan hasil.65 Pasal 16 UU Pengadaan Tanah secara spesifik menjelaskan mengenai
tahap persiapan pengadaan tanah yang melibatkan konsultasi publik dalam rencana
pembangunan.66 Konsultasi publik dimaksudkan untuk membangun komunikasi dialogis atau
musyawarah antara masyarakat yang terimbas dampak penggusuran dengan pihak-pihak yang
berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan
pembangunan untuk kepentingan umum.67 Konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan
pihak yang berhak, pengelola barang milik negara atau milik daerah, pengguna barang milik

62
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Perppu No. 51 Tahun 1960, Ps. 3.
63
Ibid., Ps. 4.
64
Ibid., Ps. 4.
65
Indonesia, Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Tanah Untuk Kepentingan
Umum, UU No. 2 Tahun 2012, Ps. 13.
66
Ibid., Ps. 16.
67
Ibid, Ps. 13.
negara atau milik daerah, masyarakat yang terkena dampak, serta dilaksanakan di lokasi
rencana pembangunan.68 Regulasi ini sejalan dengan General Comment No. 7 yang
menjelaskan mengenai pentingnya perlindungan prosedural dalam penggusuran paksa yang
salah satunya dilakukan dengan menciptakan peluang atas pembicaraan yang tulus dengan
orang-orang yang terimbas.69 Prosedur konsultasi tersebut secara lebih lanjut diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang menyatakan bahwa pemerintah harus
berkonsultasi dengan masyarakat pemilik tanah dan rumah sebelum dilaksanakannya
pembangunan proyek.70 Dalam konsultasi tersebut, masyarakat memiliki hak untuk menolak
kesepakatan yang terbentuk di dalamnya.71
Mekanisme pelaksanaan konsultasi publik ini dilaksanakan selama 60 hari kerja.72
Apabila terdapat pihak yang keberatan dengan rencana lokasi pembangunan yang telah
ditentukan, maka akan dilaksanakan konsultasi publik ulang dengan jangka waktu paling
lama 30 hari.73 Apabila masih ditemukan pihak yang berkeberatan dengan rencana lokasi
pembangunan, maka instansi yang memerlukan tanah dapat melapor kepada gubernur
setempat.74 Gubernur setempat kemudian akan membentuk tim untuk melakukan kajian atas
keberatan yang diajukan oleh instansi terkait.75 Tim kajian tersebut berwenang untuk
membuat rekomendasi terkait diterima atau ditolaknya keberatan tersebut.76 Jika keberatan
atas rencana lokasi pembangunan tersebut ditolak, maka gubernur berhak menetapkan lokasi
pembangunan.77 Hal tersebut secara implisit menyatakan bahwa konsultasi publik yang
dilaksanakan tidak cukup efektif dalam memfasilitasi dengar pendapat masyarakat dalam
proses pembangunan. Dengan demikian, meski harus melalui proses yang cukup panjang,
apabila gubernur menolak keberatan berdasarkan temuan tim kajian, penggusuran dapat tetap
dilakukan meski masyarakat menyatakan ketidaksetujuannya. Dalam hal ini, peraturan

68
Indonesia, Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
UU No. 2 Tahun 2012, Ps. 19.
69
Perserikatan Bangsa-Bangsa, General comment No. 7, on article 11, paragraph 1, of the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,on the right of adequate housing, para. 16.
70
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, PP No. 19 Tahun 2021, Ps. 29.
71
Ibid., Ps. 39.
72
Indonesia, Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Tanah Untuk Kepentingan
Umum, UU No. 2 Tahun 2012, Ps. 20.
73
Ibid.
74
Ibid., Ps. 21.
75
Ibid.
76
Ibid.
77
Ibid., Ps. 22.
perundang-undangan tersebut dapat dikatakan telah memberi ruang untuk dilakukannya
penggusuran paksa.
Selain itu, terdapat pula permasalahan pada aspek musyawarah yang terdapat pada
Pasal 37 ayat (2) UU Pengadaan Tanah yang menyebutkan bahwa “Lembaga Pertanahan
melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan untuk menetapkan bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian”. Pasal tersebut membuktikan bahwa
esensi musyawarah dalam suatu konsultasi publik adalah (1) penentuan bentuk ganti rugi
yang sesuai dengan Pasal 36 UU Pengadaan Tanah yang dapat berupa uang, tanah pengganti,
permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disepakati kedua belah
pihak; serta (2) menetapkan jumlah atau nilai ganti kerugian atas bidang tanah yang terkena
objek pengadaan.78 Pasal 37 ayat (2) UU Pengadaan Tanah tersebut kontradiktif dengan
peraturan pada Pasal 123 angka 8 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 34 UU Pengadaan
Tanah yang menyatakan bahwa musyawarah yang dilakukan hanya terbatas pada penetapan
bentuk ganti kerugian. Hal tersebut memungkinkan terciptanya konflik yang seringkali
dipengaruhi oleh absennya kesepakatan masyarakat mengenai nilai ganti kerugian sebab
pemerintah seringkali hanya menggunakan jasa Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan
masyarakat yang menolak kesepakatan tersebut langsung diminta untuk mengajukan gugatan
ke pengadilan.79 Dalam kedua pasal tersebut juga terdapat kerancuan mengenai pihak mana
yang berhak melakukan musyawarah penetapan ganti rugi sebab UU Pengadaan Tanah
menyatakan bahwa musyawarah dilakukan oleh lembaga pertanahan, sementara UU Cipta
Kerja menyatakan bahwa musyawarah dilakukan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah
bersama dengan penilai dengan para pihak yang berhak.80
Deklarasi Hak atas Pembangunan PBB menyatakan dengan tegas bahwa hak atas
pembangunan merupakan hak yang tidak dapat dicabut (an inalienable right).81 Hak atas
pembangunan yang dimaksud adalah bahwa setiap individu dan seluruh umat manusia
memiliki hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati hasil pembangunan
ekonomi, sosial, budaya, dan politik.82 Maka dari itu, strategi pembangunan yang

78
Agus Suntoro, “Tinjauan Hak Asasi Manusia terhadap Regulasi Pengadaan Tanah bagi Kepentingan
Umum,” Jurnal HAM 10 (2019), hlm. 224.
79
Ibid., hlm. 224.
80
Erizka Permatasari, “Langkah Hukum Bila Tak Sepakat Besaran Ganti Rugi Pembebasan Tanah,”
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5283c878ea908/langkah-hukum-bila-tak-sepakat-besaran-g
anti-rugi-pembebasan-tanah/, diakses 23 November 2021.
81
Muhammad Syafari Firdaus, et al., Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan
(Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2013), hlm. 7.
82
Ibid., hlm 7.
diimplementasikan harus berdasar pada HAM (right based approach) di mana masyarakat
ditempatkan sebagai “subjek pembangunan”.83 Sementara itu, pada kenyataannya,
mekanisme konsultasi publik pada UU Pengadaan Tanah menunjukkan strategi pembangunan
yang berbasis pada pemenuhan kebutuhan (need based approach) di mana masyarakat justru
ditempatkan sebagai “objek pembangunan”84 yang diharuskan untuk menerima hal-hal yang
disampaikan oleh pemerintah dengan keberatan serta penolakan yang disampaikan melalui
mekanisme pengadilan.85 Pendekatan pemenuhan kebutuhan mengakui aspirasi masyarakat
dalam pembangunan, namun negara tidak serta merta memiliki kewajiban untuk
memenuhinya sehingga strategi pembangunan yang dijalankan seringkali tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat itu sendiri.86 Konsultasi publik dalam UU Pengadaan Tanah hanya
sekadar menjadi syarat peningkatan pelayanan, bukan sebagai syarat yang menentukan arah
pembangunan.87 Oleh karena itu, model konsultasi publik yang disediakan dapat dikatakan
sebagai salah satu bentuk pelanggaran prinsip pokok HAM dalam hal partisipasi dan
kontribusi warga negara dalam proses pembangunan yang seharusnya dijamin oleh negara.88
Problematika lain dalam mekanisme konsultasi publik juga terdapat pada Pasal 32
ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa dalam hal
masyarakat terdampak pengadaan tanah telah tiga kali diundang dan tidak menghadiri
konsultasi publik yang diadakan, mereka dianggap telah menyetujui lokasi rencana
pembangunan.89 Pasal tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan General Comment No. 7
yang mengatur bahwa setiap orang harus memiliki kedudukan yang menjamin perlindungan
hukum dari pengusiran paksa.90 Prosedur yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2021 tersebut justru membuka peluang aturan hukum yang memudahkan pemerintah
untuk melakukan penggusuran paksa tanpa persetujuan dari masyarakat. Selain itu, pasal
tersebut kontraproduktif dengan Pasal 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang
menjamin hak kebebasan individu dalam “menentukan status politik mereka dan bebas
berupaya mencapai pembangunan ekonomi, sosial dan budayanya”.91 Ketidakhadiran

83
Ibid., hlm 16.
84
Ibid., hlm 16.
85
Indahwati, et al., Kajian Terhadap UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2018), hlm. 81.
86
Firdaus, et al., Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia, hlm. 16.
87
Ibid., hlm 17.
88
Indahwati, et al., Kajian Terhadap UU No. 2 Tahun 2012, hlm. 40.
89
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, PP No. 19 Tahun 2021, Ps. 32.
90
Perserikatan Bangsa-Bangsa, General comment No. 7, on article 11, paragraph 1, of the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,on the right of adequate housing, para. 1.
91
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komentar Umum Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya, (Jakarta: Komnas HAM, 2009), hlm. 18.
masyarakat dalam suatu konsultasi publik dapat menjadi simbol penolakan mereka atas
rencana pembangunan yang diusulkan.

Permasalahan Ganti Rugi


Dalam UU Pengadaan Tanah, terdapat permasalahan lainnya, yakni mengenai ganti
rugi. Secara umum, ketentuan ganti rugi menurut UU Pengadaan Tanah dimulai dengan
adanya lembaga Penilai yang ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, lalu Penilai akan melaksanakan penilaian Objek Pengadaan
Tanah.92 Penilaian besarnya Ganti Kerugian oleh Penilai akan dilakukan bidang per bidang
tanah yang meliputi: tanah itu sendiri, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman,
benda yang berkaitan dengan tanah, dan kerugian lain yang dapat dinilai.93 Lalu, pihak yang
berhak mendapatkan Ganti Kerugian dapat memperolehnya dalam bentuk: uang, tanah
pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lainnya yang disetujui oleh
kedua belah pihak.94 Dalam menetapkan Ganti Kerugian tersebut, Lembaga Pertanahan akan
melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan, dan hasil
kesepakatannya dimuat dalam berita acara kesepakatan.95
Namun, permasalahan dalam aturan ini adalah ketika masyarakat tetap dapat digusur
walaupun masyarakat yang terdampak belum menyetujui besaran dan/atau bentuk ganti rugi
yang diberikan oleh pemerintah. Pasal 38 UU Pengadaan Tanah ini menyatakan bahwa dalam
hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besaran ganti rugi, pihak yang berhak
dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama hanya
14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah Ganti Kerugian.96 Lalu, dijelaskan lebih
lanjut dalam Pasal 39 bahwa jika Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya
Ganti Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu yang telah ditentukan, maka
pihak yang akan digusur dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian.97
Ditambah lagi dengan Pasal 42 yang mengatur bahwa bila pihak yang tergusur menolak
untuk menerima ganti rugi, tetapi tidak mengajukan banding maka dianggap menerima ganti

92
Indonesia, Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
UU No. 2 Tahun 2012, Ps. 31.
93
Ibid, Ps. 33.
94
Ibid, Ps. 36.
95
Ibid, Ps. 37.
96
Ibid, Ps. 38.
97
Ibid, Ps. 39.
rugi yang ditetapkan tersebut dan ganti rugi yang tadi akan dititipkan kepada pengadilan
negeri setempat.98
Persoalan dalam pasal ini adalah bahwa pihak yang digusur ditempatkan di posisi di
mana ia hanya memiliki pilihan yang sangat sempit, serta waktu yang sangat minim dalam
bertindak soal adanya penggusuran di tempatnya. Apalagi, Pihak yang Berhak biasanya
memiliki pengetahuan yang terbatas tentang hukum yang berlaku sehingga aturan ini
memposisikan masyarakat yang terdampak di posisi yang sangat dirugikan.

Pencabutan Hak Atas Tanah


Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak
atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya (UU Pencabutan Hak atas Tanah),
dijelaskan bahwa presiden dapat mencabut hak atas tanah dalam keadaan memaksa dengan
mengatasnamakan kepentingan umum.99 Kata “keadaan memaksa” tersebut dapat diartikan
sebagai kondisi ketika tidak tercapainya kesepakatan yang diharapkan oleh pemerintah
walaupun upaya musyawarah telah dilaksanakan.100 Frasa “yang diharapkan” tersebut juga
memiliki makna yang sangat subjektif. Dengan kata lain, penggusuran dapat dilakukan tanpa
adanya persetujuan dari masyarakat terkait, selama hal itu dinilai baik oleh pemerintah. Hal
tersebut menunjukkan adanya potensi pelanggaran HAM berat oleh pemerintah sesuai dengan
Resolusi HAM PBB Nomor 77 Tahun 1993 yang menyatakan bahwa penggusuran paksa
merupakan pelanggaran HAM berat.101
Selanjutnya, dalam regulasi yang sama, Pasal 6 ayat (1) menjelaskan bahwa
pencabutan hak atas tanah dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat mendesak dan
memerlukan penguasaan tanah tanpa taksiran ganti rugi serta tidak menunggu diterimanya
pertimbangan kepala daerah.102 Dalam Penjelasan Umum, dijelaskan bahwa pencabutan hak
atas tanah dapat dilakukan melalui acara khusus yang lebih singkat ketika dalam keadaan
yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah atau bangunan dengan segera.103
Namun, penjelasan tersebut bersifat rancu sebab tidak menjelaskan secara rinci mengenai
definisi dari keadaan yang sangat mendesak. Contoh keadaan yang sangat mendesak
misalnya dalam situasi wabah atau bencana yang membutuhkan lahan atau tempat untuk
98
Ibid., Ps. 42.
99
Indonesia, Undang-Undang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya, UU
No. 20 Tahun 1961, LN No. 288 Tahun 1961, TLN No. 2324, Ps. 1.
100
Ibid, Penjelasan Umum.
101
Komisi Hak Asasi Manusia, Resolution 77 (1993), 10 Maret 1993, para. 1.
102
Indonesia, Undang-Undang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya,
Ps. 6 ayat (1)
103
Ibid, Penjelasan Umum.
menampung korban.104 Hal tersebut bukanlah solusi yang tepat bagi pemerintah untuk
membantu masyarakat sebab jika lahan tersebut dikuasai secara paksa untuk diserahkan
kepada korban bencana, justru akan timbul korban baru yang terdampak dari penguasaan atau
penggusuran lahan itu sendiri.
Ditambah lagi, pemerintah tidak memberikan taksiran ganti rugi terhadap masyarakat
terdampak. Hal tersebut memungkinkan masyarakat tidak mendapatkan kompensasi yang
sepadan dengan kerugian akibat dari penggusuran yang tentu juga bertentangan dengan
General Comment No. 7 yang mengatakan bahwa masyarakat berhak atas kompensasi yang
layak untuk segala bentuk properti yang terdampak dari penggusuran oleh pemerintah.105
Dengan demikian, Pasal 1 dan Pasal 6 ayat (1) UU Pencabutan Hak atas Tanah menunjukkan
bahwa tujuan kepastian hukum tidak terpenuhi dengan baik serta pemerintah belum mampu
untuk menjamin hak atas kehidupan yang sejahtera dan bertempat tinggal bagi setiap warga
negara yang tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.106

Perlindungan Prosedural
Pasal 140 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman (UU Perumahan dan Kawasan Permukiman) menyebutkan bahwa setiap orang
dilarang untuk membangun permukiman di tempat yang dapat berpotensi untuk menimbulkan
bahaya bagi barang ataupun orang.107 Frasa “tempat yang berpotensi dapat menimbulkan
bahaya” di sini mencakup sempadan rel kereta api, bawah jembatan, daerah Saluran Udara
Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), Daerah Sempadan Sungai (DSS), daerah rawan bencana,
dan daerah kawasan khusus.108 Sayangnya, Pasal 140 ini sering kali dijadikan sebagai tameng
untuk melakukan penggusuran dengan dalih demi keselamatan.
Selanjutnya, Pasal 142 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman memaparkan
bahwa setiap orang dilarang untuk menolak atau menghalangi kegiatan pemukiman kembali
yang dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah setelah terjadi kesepakatan dengan
masyarakat setempat.109 Pasal ini dianggap bermasalah karena contohnya pada penggusuran
paksa yang terjadi di DKI Jakarta pada tahun 2015, LBH Jakarta melaporkan bahwa di mana
tidak ada upaya musyawarah untuk mencapai kesepakatan dari pelaku pembangunan dan
104
Ibid, Penjelasan Umum.
105
Perserikatan Bangsa-Bangsa, General comment No. 7, on article 11, paragraph 1, on the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,on the right of adequate housing, para. 14.
106
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 28H ayat (1).
107
Indonesia, Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 1 Tahun 2011, LN No.
7 Tahun 2011, TLN No. 5188, Ps. 140.
108
Ibid, Penjelasan Pasal Demi Pasal.
109
Ibid, Ps. 142.
pemerintah kepada masyarakat yang terdampak.110 Hal ini berarti ketentuan mengenai
persetujuan masyarakat dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman seringkali
diabaikan di dalam kegiatan penggusuran, yang mana hal tersebut melanggar hak masyarakat
atas perlindungan terhadap penggusuran paksa.
Perihal pemukiman kembali ini lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 101 dan Pasal 102
UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pemukiman kembali dilakukan dengan
memindahkan masyarakat yang terdampak dari lokasi yang tidak memungkinkan untuk
dibangun kembali karena tidak sesuai dengan konsep tata ruang dan/atau dapat menimbulkan
bahaya ke lokasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran
masyarakat.111 Sayangnya, LBH Jakarta pada tahun 2016 menemukan serangkaian
pelanggaran standar HAM dari rumah susun yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta.112 Tidak terpenuhinya standar hak atas perumahan yang layak bagi warga terdampak
yang dipindahkan ke rumah susun antara lain disebabkan oleh keadaan rumah susun yang
tidak ramah bagi kelompok lanjut usia dan difabel, ketidakamanan bermukim karena status
sewa, lokasi rumah susun yang jauh dari tempat bekerja sehingga menghambat akses warga,
serta peningkatan pengeluaran warga akibat biaya sewa dan biaya transportasi ke tempat
bekerja.113 Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan pemukiman kembali ini belum sesuai
dengan tujuan awalnya yaitu untuk melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan
masyarakat.114
General Comment No. 7 sendiri telah mengeluarkan tata cara perlindungan prosedural
yang harus diterapkan. Tata cara perlindungan prosedural tersebut kemudian dimuat dalam
Pasal 114 PP No 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaran Perumahan dan Kawasan
Permukiman (PP 14/2016). Namun, beberapa kali perlindungan prosedural ini justru
diabaikan dalam proses penggusuran. Salah satu aspek perlindungan prosedural dalam
General Comment No. 7 yang sering diabaikan adalah mengenai ketetapan atas pemulihan
oleh hukum dan bantuan hukum untuk masyarakat terdampak.115 Berdasarkan Laporan LBH
Jakarta Tahun 2016, 77,8% warga terdampak pembangunan menyatakan pelaku pembangunan

110
LBH Jakarta, “Mengais di Pusaran Janji: Laporan Penggusuran Paksa DKI Jakarta Tahun 2017,”
https://www.bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2018/10/laporan-penggusuran-jakarta-2017.pdf, diakses
26 November 2021.
111
Indonesia, Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Ps. 101-102.
112
LBH Jakarta, “Mengais di Pusaran Janji: Laporan Penggusuran Paksa DKI Jakarta Tahun 2017,”
https://www.bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2018/10/laporan-penggusuran-jakarta-2017.pdf, diakses
26 November 2021.
113
Ibid.
114
Indonesia, Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Ps. 101 ayat (1).
115
Perserikatan Bangsa-Bangsa, General Comment No. 7, on article 11, paragraph 1, on the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, on the right of adequate housing, para. 16.
dan pemerintah tidak menjamin hak mereka atas akses untuk mendapatkan bantuan hukum.116
Selain itu, PP 14/2016 menyatakan bahwa kegiatan penggusuran harus melalui tahap
musyawarah dan diskusi penyepakatan.117 Akan tetapi, faktanya pada tahun 2015 LBH
Jakarta menemukan 84% kasus penggusuran tidak melibatkan warga untuk
bermusyawarah.118
Selain itu, dalam Pasal 150 undang-undang yang sama diatur mengenai sanksi
administratif jika melakukan pelanggaran atas Pasal 140, Pasal 142, serta beberapa pasal
lainnya dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman.119 Sanksi Administrasi yang
dimaksud dalam pasal tersebut beragam mulai dari peringatan tertulis, penyegelan,
pembekuan atau pencabutan izin mendirikan bangunan, perintah pembongkaran bangunan,
hingga penutupan lokasi.120 Hal ini dapat diartikan bahwa peraturan ini memperbolehkan
adanya penggusuran paksa terhadap permukiman yang menyalahi ketentuan Pasal 140.

[Tinjauan Sosiologis]
Intimidasi, Keterlibatan Aparat dan Preman
Seperti yang telah dipaparkan di atas, penggusuran paksa merupakan bentuk
penggusuran yang tidak mencapai mufakat antara kedua belah pihak. Alih-alih mengadakan
musyawarah untuk mencapai mufakat, para pihak penggusur lebih memilih untuk melakukan
intimidasi dan kekerasan kepada warga.121 Para pihak penggusur juga kerap kali melibatkan
beberapa subjek lain untuk menjalankan tindakan-tindakan terlarang tersebut.122 Jika melihat
pada kasus-kasus penggusuran paksa di Indonesia, terdapat dua subjek yang sering hadir di
dalam peristiwa penggusuran paksa. Kedua subjek tersebut ialah preman dan aparat. Seperti
disebutkan sebelumnya, preman dan aparat dihadirkan oleh pihak penggusur untuk

116
LBH Jakarta, “Mengais di Pusaran Janji: Laporan Penggusuran Paksa DKI Jakarta Tahun 2017,”
https://www.bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2018/10/laporan-penggusuran-jakarta-2017.pdf, diakses
26 November 2021.
117
Indonesia, Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, PP No.
14 Tahun 2016, Ps. 114.
118
LBH Jakarta, “Mengais di Pusaran Janji: Laporan Penggusuran Paksa DKI Jakarta Tahun 2017,”
https://www.bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2018/10/laporan-penggusuran-jakarta-2017.pdf, diakses
26 November 2021.
119
Indonesia, Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Ps. 150.
120
Ibid.
121
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Mengais di Pusaran Janji: Laporan Penggusuran Paksa di
Wilayah DKI Jakarta Tahun 2017 (Jakarta: Penerbit Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2017), hlm. 27.
122
Ibid., hlm. 39-41.
mengintimidasi warga dengan kekerasan.123 Tindakan ini dilakukan agar para warga
meninggalkan tempat tinggalnya dengan terpaksa.
Pertama, sebelum membahas keterlibatan preman dalam penggusuran paksa, tulisan
ini akan membahas definisi preman sebagai subjek dan tindakan yang mereka lakukan, yaitu
premanisme. Preman dapat didefinisikan sebagai kelompok masyarakat kriminal yang berada
dan tumbuh di dalam masyarakat.124 Preman menciptakan rasa takut kepada masyarakat baik
melalui penampilan fisik maupun kebiasaan dan tindakan negatif yang mereka lakukan
sehari-hari.125 Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh preman memiliki terminologinya
sendiri, yaitu premanisme. Premanisme merupakan tindakan pemaksaan kehendak yang
dilakukan oleh preman.126 Karena karakter dan perilakunya yang menakutkan masyarakat,
preman sering dijadikan alat pelancar pelaksanaan penggusuran paksa.
Secara konkret, terdapat salah satu contoh kasus penggusuran paksa yang melibatkan
preman dalam pelaksanaannya. Kasus tersebut ialah penggusuran paksa oleh PT Pertamina di
kawasan Pancoran Buntu II pada tanggal 24 Februari 2021 dan 17 Maret 2021.127 Kasus
penggusuran ini dilatarbelakangi oleh kehadiran PT Pertamina pada bulan Juli 2020 di
kawasan Pancoran Buntu II.128 Pada saat itu PT Pertamina secara tiba-tiba mengklaim
kawasan Pancoran Buntu II sebagai lahan milik perusahaan mereka.129 Pihak PT Pertamina
mengatakan bahwa tindakan yang mereka hanyalah pemulihan aset negara.130 Namun
demikian, kasus penggusuran ini dianggap tidak sah karena PT Pertamina melakukan
penggusuran paksa kepada warga sebelum adanya putusan sah dari pengadilan.131 Pengerahan

123
CNN Indonesia, “Sengketa Lahan Pertamina, Warga Pancoran Jaksel Digusur Paksa,”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210317121508-12-618554/sengketa-lahan-pertamina-warga-pancora
n-jaksel-digusur-paksa, diakses 17 November 2021.
124
Fitri Wahyuni, Siti Rahmah, Darmiwati, “Penyuluhan Hukum tentang Premanisme dan Penegakkan
Hukumnya di Desa Sungai Luar Kecamatan Batang Tuaka Kabupaten Indragiri Hilir,” Jurnal Karya Abdi 2
(Juni 2021), hlm. 15.
125
Ibid.
126
Dian Maharani, “Siapakah yang Pantas Disebut Preman?”
https://nasional.kompas.com/read/2013/04/10/14281610/siapakah.yang.pantas, diakses 17 November 2021.
127
KontraS, “Segera Hentikan Tindakan Kekerasan dan Upaya Penggusuran Paksa Terhadap Warga
Pancoran Buntu II,”
https://kontras.org/2021/03/21/segera-hentikan-tindakan-kekerasan-dan-upaya-penggusuran-paksa-terhadap-war
ga-pancoran-buntu-ii/, diakses 17 November 2021.
128
Ihsanuddin, “Kronologi Sengketa Lahan di Pancoran yang Picu Bentrokan Versi Kontras, Warga
Kerap Diintimidasi dan Dianiaya,”
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/18/15181161/kronologi-sengketa-lahan-di-pancoran-yang-picu-b
entrokan-versi-kontras?page=all, diakses 22 November 2021.
129
Ibid.
130
Ibid.
131
KontraS, “Segera Hentikan Tindakan Kekerasan dan Upaya Penggusuran Paksa Terhadap Warga
Pancoran Buntu II,”
https://kontras.org/2021/03/21/segera-hentikan-tindakan-kekerasan-dan-upaya-penggusuran-paksa-terhadap-war
ga-pancoran-buntu-ii/, diakses 17 November 2021.
kelompok preman dan organisasi masyarakat dalam tindakan penggusuran paksa ini tentunya
telah melanggar HAM warga terdampak, terutama hak dalam bidang ekosob.132 Pada tanggal
17 Maret 2021, terjadi bentrok antara kelompok preman dan ormas dengan warga Pancoran
dan massa solidaritas.133 Bentrokan ini menyebabkan 28 orang warga Pancoran dan massa
solidaritas mengalami luka.134 Luka yang dialami para korban pun beragam, mulai dari luka
lemparan batu, luka robek bagian kepala, memar, sesak napas karena gas air mata, patah
tulang, hingga terkilir.135 Selain itu, terdapat juga korban yang terluka akibat tembakan
senjata rakitan berjenis dorlop oleh Ormas.136 Tindakan intimidasi sebagai bagian dari upaya
penggusuran paksa ini telah dialami warga Pancoran sejak tahun 2020.137
Pihak selanjutnya yang sering terlibat dalam penggusuran paksa adalah aparat.138
Terlebih lagi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebutkan 59% penggusuran
paksa melibatkan aparat kepolisian.139 Aparat sendiri dapat didefinisikan sebagai alat negara.
Aparat dalam konteks penggusuran paksa terdiri dari anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).140 Sebagai aparat keamanan dan
pertahanan negara, seharusnya kedua kelompok aparat ini melindungi kepentingan rakyat.
Namun, pada realitasnya, para pihak aparat justru sering kali melakukan tindakan yang
meresahkan dan merugikan masyarakat. Tindak penekanan dan pemaksaan yang dilakukan
aparat dalam penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai represivitas aparat. Represivitas
aparat sendiri merupakan tindakan aparat untuk menekan, mengekang, atau menindas warga.
Sebenarnya tindakan represif dapat dilakukan aparat dalam batasan tertentu, seperti salah
satunya dalam menindak orang yang telah terbukti melakukan kejahatan.141 Namun, nyatanya
tindakan represif kerap kali disalahgunakan oleh aparat, terutama saat penggusuran.
LBH Jakarta mengatakan bahwa pelibatan aparat Polri dan TNI dalam penggusuran
tidak dapat dibenarkan di hadapan hukum.142 Hal ini didasarkan kepada fakta bahwa tidak ada

132
Ibid.
133
Ibid.
134
Ibid.
135
Ibid.
136
Ibid.
137
Ibid.
138
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Mengais di Pusaran Janji: Laporan Penggusuran Paksa di
Wilayah DKI Jakarta Tahun 2017 (Jakarta: Penerbit Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2017), hlm. i.
139
Ibid., hlm. 26.
140
Ibid., hlm. 3.
141
Farhan Daffa Ramadhan, “Mengapa Tindakan Represif Aparat Selalu Berkonotasi Negatif?”
https://kumparan.com/farhan-daffa/mengapa-tindakan-represif-aparat-selalu-berkonotasi-negatif-1utRSkKOJ8w
, diakses 17 November 2021.
142
Joko Panji Sasongko, “Pelibatan TNI-Polri dalam Penggusuran Melanggar Aturan,”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150826141547-12-74613/pelibatan-tni-polri-dalam-penggusuran-mel
anggar-aturan, diakses 17 November 2021.
regulasi yang memberikan kewenangan Polri ataupun TNI untuk terlibat dalam penggusuran
paksa.143 Sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, polisi justru memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga
masyarakat dari tindak kekerasan yang sering terjadi saat penggusuran paksa berlangsung.144
Selanjutnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, aparat TNI
tidak bertanggung jawab untuk mengurus permasalahan domestik masyarakat.145 Selain Polri
dan TNI, Satuan Polisi Pamong Praja ("Satpol PP”) sebagai salah satu pihak yang sering
hadir dalam penggusuran paksa, juga tidak melaksanakan tugasnya dengan benar. Karena
Satpol PP beberapa kali melakukan kekerasan dalam pelaksanaan penggusuran paksa.146
Seharusnya, Satpol PP melindungi keselamatan warga dalam setiap tindakannya. Hal ini
sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satpol PP.147
Selanjutnya, LBH Jakarta juga merilis sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa pada
tahun 2015 terdapat 30 kali penggusuran paksa di Jakarta.148 Secara lebih rinci, 19 kasus
penggusuran paksa tersebut melibatkan aparat Polri dan TNI serta 26 kasus melibatkan Satpol
PP.149 Selain itu, terdapat 25 warga yang menerima ancaman terkait pelaksanaan penggusuran
paksa.150

Studi Kasus I: Penggusuran Paksa di Ciracas


Contoh nyata dari penggusuran paksa salah satunya adalah kasus penggusuran paksa
yang terjadi di Kebun Sayur Ciracas dan Tamansari. Lahan Kebun Sayur Ciracas awalnya
hanya lapangan yang berisi semak belukar.151 Sejak 1980-an, sulitnya mencari pekerjaan dan
rumah di Kota Jakarta membuat para petani mulai mengolah lahan dan membangun
kehidupan di lahan kosong di daerah Ciracas.152 Pada tahun 2009, Perusahaan Umum
Pengangkutan Djakarta (Perum PPD) mengancam akan melakukan penggusuran paksa dan
mengakui kepemilikan berlandaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2003
tentang Penyertaan Modal Negara dalam Perum PPD.153 Lahan seluas 5,3 hektar ini

143
Ibid.
144
Ibid.
145
Ibid.
146
Ibid.
147
Ibid.
148
Ibid.
149
Ibid.
150
Ibid.
151
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, "Warga Kebun Sayur Ciracas Tagih Janji Reforma Agraria
Presiden,” https://bantuanhukum.or.id/warga-kebun-sayur-ciracas-tagih-janji-reforma-agraria-presiden/, diakses
17 November 2021.
152
Ibid.
153
Ibid.
direncanakan akan dijadikan sebagai pool bus TransJakarta.154 Namun, warga, yang diwakili
oleh Tim Sembilan dan didampingi oleh LBH Jakarta, menolak ancaman tersebut karena
pihak Perum PPD tidak dapat memberikan bukti sertifikat kepemilikan.155
Adanya permasalahan sengketa tersebut mengakibatkan hilangnya akses warga Kebun
Sayur Ciracas seperti administrasi dan listrik.156 Di tahun yang sama, 2009, warga mengalami
berbagai kesulitan, mulai dari Perum PPD yang meminta Perusahaan Listrik Negara (PLN)
untuk memutus aliran listrik warga hingga warga yang tidak dapat memperpanjang Kartu
Tanda Penduduk (KTP) untuk sementara waktu karena dianggap tidak memiliki hak oleh
kelurahan.157 Pada tahun 2012, warga bergerak dengan melakukan mediasi di Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan menghasilkan kesepakatan berupa
penetapan tanah sebagai status quo karena sertifikat tanah tidak dimiliki kedua belah pihak
serta larangan imbauan penggusuran paksa.158 Status quo berarti menetapkan keadaan yang
sama sebelum dimulainya persidangan sampai hakim telah membuat keputusan permanen.159
Kemudian pada 2017, Perum PPD mengadakan kerja sama dengan PT Adhi Karya
untuk membangun Apartemen LRT City Urban Signature yang menggunakan 5,3 hektar
tanah warga dari total keseluruhan luas proyek, yaitu 11,3 hektar.160 Sebagai respons terhadap
hal tersebut, warga melayangkan enam tuntutan dalam aksi di depan kantor Komnas HAM
pada tahun 2019.161 Tuntutan tersebut antara lain mendorong Komnas HAM menyelesaikan
konflik Kebun Sayur Ciracas berdasarkan kewenangannya, menuntut Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta menjamin tidak ada penggusuran paksa, menuntut pemerintah memenuhi hak
ekonomi, sosial, dan budaya seperti hak atas perumahan dan pelayanan administrasi
kependudukan, menuntut Perum PPD menghentikan pemasaran dan pembangunan

154
Aisyah, "Pemprov DKI Akan Maksimalkan Aset Perum PPD,"
https://news.okezone.com/read/2013/04/05/500/787014/pemprov-dki-akan-maksimalkan-aset-perum-ppd,
diakses 18 November 2021
155
Sunnaholomi Halakrispen, "Warga Kebun Sayur Ciracas Minta Kejelasan Status Tanah,"
https://www.medcom.id/nasional/metro/lKYEqlxK-warga-kebun-sayur-ciracas-minta-kejelasan-status-tanah,
diakses 20 November 2021.
156
Robi Ardianto, "Sengketa tanah kosong di Kebun Sayur,"
https://www.alinea.id/nasional/sengketa-tanah-kosong-di-kebun-sayur-b1U0B9bMl, diakses 18 November 2021.
157
Ibid.
158
Muhammad Radityo, "Tolak digusurl, warga Kebun Sayur Ciracas mengadu ke Komnas HAM,"
https://www.merdeka.com/peristiwa/tolak-digusur-warga-kebun-sayur-ciracas-mengadu-ke-komnas-ham.html,
diakses 18 November 2021.
159
Content Team, "Status Quo," https://legaldictionary.net/status-quo/, diakses 24 November 2021.
160
M Yusuf Manurung, "Sengketa Lahan dengan PPD, Warga Ciracas mengaku Diintimidasi,"
https://metro.tempo.co/read/1126915/sengketa-lahan-dengan-ppd-warga-ciracas-mengaku-diintimidasi, diakses
24 November 2021.
161
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, "Warga Kebun Sayur Desak Komnas HAM Tuntaskan Konflik
Lahan," Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Website,
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/10/2/1188/warga-kebun-sayur-desak-komnas-ham-tuntaska
n-konflik-lahan.html, diakses 18 November 2021.
Apartemen LRT City Urban Signature sebelum adanya penyelesaian sengketa, menghentikan
segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan diskriminasi terhadap warga, serta meminta
pemerintah untuk bersikap transparan dan memberikan kepastian hukum sesuai dengan
prinsip HAM.162 Pada proses pembuatan apa
Tidak berhenti di situ, pada tahun 2018, terdapat dua puluh orang oknum preman yang
mengatasnamakan Perum PPD mendatangi Kebun Sayur Ciracas dengan membawa senjata
tajam dan tanpa memberi pengetahuan terlebih dahulu didampingi oleh pihak kepolisian
sektor Ciracas.163 Mereka memasang plang yang berisi tulisan “Tanah Milik Perum PPD”.164
Namun, warga memprotes pemasangan plang tersebut karena kepemilikan tanahnya masih
belum diketahui, tetapi ajuan penolakan yang diarahkan kepada Kelurahan Ciracas ditolak
tanpa keterangan yang jelas.165
Setelah melalui lika-liku permasalahan yang menimpa Kebun Sayur Ciracas, akhirnya
warga menemui titik terang didampingi oleh Posko Perjuangan Rakyat (Pospera), yang
dibentuk oleh Persatuan Nasional Aktivis 98 dan berfokus untuk rakyat.166 Pada tahun 2021,
Pihak Kelurahan Ciracas menyatakan bahwa wilayah Kebun Sayur Ciracas sudah diakui oleh
negara dan terdaftar sebagai RT 05 RW 06.167 Pengakuan ini dapat dilihat dari mulainya
pendataan kependudukan tahap pertama yang sudah dilakukan oleh seratus dari dua ribu jiwa
penduduk yang berarti proses pencetakan data kependudukan akan dilakukan secara
bertahap.168 Sekarang, warga Kebun Sayur Ciracas sudah menerima KTP dan Kartu Keluarga
dengan alamat yang sesuai tempat tinggal mereka, tetapi masih terdapat intimidasi dari
berbagai pihak, seperti pada proses pendataan kependudukan.169

162
Ibid.
163
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, "Pemasangan Plang Kepemilikan di Kebun Sayur Oleh PPD
Lecehkan Hukum," Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Website,
https://bantuanhukum.or.id/pemasangan-plang-kepemilikan-di-kebun-sayur-oleh-ppd-lecehkan-hukum/, diakses
18 November 2021
164
Ibid.
165
Ibid.
166
Nirmala Maulana Achmad, "Jalan Panjang Warga Kebun Sayur Ciracas Dapatkan Hak atas Data
Kependudukan,"https://megapolitan.kompas.com/read/2021/09/06/07525381/jalan-panjang-warga-kebun-sayur-
ciracas-dapatkan-hak-atas-data?page=all, diakses 17 November 2021.
167
Ibid.
168
Ibid.
169
Husnul Khatimah, "Warga Kebun Sayur Mengaku Kesulitan Dapatkan Hak Administrasi
Kependudukan,"
https://jakarta.ayoindonesia.com/jakarta-timur/pr-76769402/Warga-Kebun-Sayur-Mengaku-Kesulitan-Dapatkan
-Hak-Administrasi-Kependudukan?page=all, diakses 24 November 2021.
Studi Kasus II: Penggusuran Paksa di Tamansari
Salah satu kasus penggusuran paksa lainnya yang patut disorot adalah kasus
penggusuran paksa yang terjadi pada lingkungan warga di kawasan RW 11, Kelurahan
Tamansari, Kota Bandung. Daerah Tamansari adalah sebuah lahan yang dijadikan tempat
pemukiman padat dan kumuh. Peristiwa penggusuran tersebut dipicu oleh keinginan
Pemerintah Kota Bandung (Pemkot Bandung) untuk melaksanakan Program Rumah Deret
yang menjadi objek permasalahan sengketa lahan di antara warga dengan pemerintah.170
Program Rumah Deret merupakan sebuah program yang bertujuan untuk menciptakan Kota
Bandung bebas dari lahan perumahan kumuh dan padat.171 Program ini menjadi pembenaran
perlakuan semena-mena Pemkot Bandung yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut.
Padahal, sertifikasi tanah yang dimiliki oleh Pemkot Bandung masih dalam tahap diproses
oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN), dan sejatinya kartu inventaris aset di suatu dinas
pemerintahan tidak dapat dijadikan bukti kepemilikan hak atas tanah sesuai dengan Pasal 19
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan
Pasal 27 PP Nomor 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah.172 Dengan ini, kekuasaan
Pemkot Bandung mempunyai pembenaran untuk menindas warga.
Kejadian ini bertolak belakang dengan riwayat Kota Bandung yang mendapat gelar
"Kota Peduli HAM" pada tahun 2019. Gelar tersebut memberikan ambisi bagi Pemkot
Bandung untuk mengutamakan kenyamanan dan keamanan hak asasi manusia masyarakat
Kota Bandung.173 Sayangnya, gelar tersebut tak lain tak bukan hanyalah sebuah kemunafikan
belaka dengan terjadinya penggusuran paksa terhadap warga Tamansari.174 Kejadian tersebut
dianggap melanggar HAM karena berbagai kejanggalan seperti penggusuran paksa dan
sistem ganti rugi yang tidak setara.175 Program Rumah Deret adalah bentuk tameng

170
Ali Ar-Ridho dan Ishartono, “Konflik Kepentingan Lahan Warga RW 11 Tamansari dengan
Pemerintah Kota Bandung dalam Realisasi Program Rumah Deret,” Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik 1
(2019), hlm.127.
171
Ibid.
172
Nanang Kosim, Panduan Memahami Penggusuran Tamansari: Cara Pemkot Bandung Tabrak Semua
Hukum,” https://mojok.co/esai/panduan-memahami-penggusuran-tamansari-cara-Pemkot
Bandung-bandung-tabrak-semua-hukum/, diakses 17 November 2021.
173
CNN Indonesia, “Bandung, Kota Peduli HAM yang Gusur Warga
Tamansari.”https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191213073212-12-456572/bandung-kota-peduli-ham-ya
ng-gusur-warga-tamansari, diakses 18 November 2021.
174
Ibid.
175
Erric Permana, “KOMNAS HAM : Terjadi Pelanggaran HAM saat Penggusuran Tamansari,
Bandung.”
https://www.aa.com.tr/id/nasional/komnas-ham-terjadi-pelanggaran-ham-saat-penggusuran-tamansari-bandung/
1702711, diakses 18 November 2021.
pemerintah agar tidak mengakui tindak penggusuran.176 Di saat itu juga, pemerintah
menawarkan ganti rugi berupa sewa kontrak rumah selama dua tahun, pembebasan biaya
selama lima tahun setelah pembangunan, dan uang tunai dari 20% Nilai Objek Jual Pajak
(NJOP) yang berasal dari harga rata-rata jual beli suatu objek.177
Masalah tersebut masih berupa janggal, mengingat ketidaksetaraan dalam
kepemilikan sertifikat dan mekanisme ganti rugi.178 Selain itu, poin penting yang harus ada
dalam penggusuran adalah persetujuan warga setempat yang tidak ada saat penggusuran.
Beberapa dari warga menunjukkan kepemilikan sertifikasi tanah.179 Sedangkan sebagian
besar wilayah tanah Tamansari belum bersertifikat atau dalam proses sertifikasi pada tahun
2016.180 Perihal ini menciptakan rasa kejanggalan dari masyarakat, bahwa Pemkot Bandung
tidak melaksanakan prosedur pembangunan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.181
Selain itu, proyek tersebut dinyatakan belum memiliki Analisis Dampak Lingkungan
(AMDAL). Kekosongan AMDAL tersebut dapat berpengaruh buruk karena tidak ada yang
mengatur mengenai prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan membuka peluang
pencemaran serta kerusakan lingkungan.182 Ketiadaan AMDAL juga memperkuat
pembenaran masyarakat untuk tidak mengakui keberadaan proyek Rumah Deret dan terus
memperjuangkan lahan yang sudah ditempati bertahun-tahun.183 Untuk terus
mempertahankan lahannya, warga Tamansari mengajukan bantuan melalui LBH Bandung.184
Dalam tahap mempertahankan lahan, warga Tamansari telah diberikan Surat Peringatan (SP)
sebanyak tiga kali secara bertahap pada tanggal 30 Juli 2018, 13 Agustus 2018, dan 30
Agustus 2018.185

176
Tri Ispranoto. “ Penjelasan Pemkot Bandung Soal Penggusuran di Tamansari.”
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3691035/penjelasan-Pemkot
Bandung-bandung-soal-penggusuran-di-tamansari, diakses 18 November 2021.
177
Ibid., hlm. 128.
178
Ibid.
179
Ibid.
180
Ibid., hlm. 128.
181
Pebriansyah Ariefana, Dian Rosmala, “Penggusuran Taman Sari, Warga Bandung Cium Ada
Pelanggaran HAM.”
https://www.suara.com/news/2018/08/06/182849/penggusuran-taman-sari-warga-bandung-cium-ada-pelanggara
n-ham, diakses 18 November 2021.
182
Merdeka.com, “Manfaat AMDAL Beserta Definisi, Tujuan dan Fungsinya yang Perlu
Diketahui.”manfaat-amdal-beserta-definisi-tujuan-dan-fungsinya-yang-perlu-diketahui-kln.html, diakses 20
November 2021.
183
Ibid.
184
Sania Mashabi, “LBH Bandung Sebut ada 37 Korban Luka saat Penggusuran di
Tamansari.”lbh-bandung-sebut-ada-37-korban-luka-saat-penggusuran-di-tamansari, diakses 18 November 2021.
185
CNN Indonesia, “ Kronologi Penggusuran Tamansari Versi Satpol PP Bandung,”
kronologi-penggusuran-tamansari-versi-satpol-pp-bandung, diakses 18 November 2021.
Pada akhirnya, gugatan yang telah disuarakan dimenangkan telak oleh kuasa milik
Pemkot Bandung. Tidak puas dengan hasil tersebut, warga mengajukan upaya hukum
banding dengan nomor perkara 189/B/2018/PT.TUN.JKT pada 9 Oktober 2018 karena
menganggap proyek tersebut ilegal dan tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh Wali Kota
Ridwan Kamil pada tahun 2017.186 Banding tersebut kemudian diputuskan sepihak oleh
PTUN Jakarta. Sekali lagi, putusan perkara dimenangkan atas kuasa Kepala Dinas
Perumahan dan Kawasan Pemukiman Pertanahan, dan Pertamanan Kota Bandung.187 Setelah
mengajukan kasasi, kekecewaan kembali menghujani warga karena kemenangan masih
berpihak kepada pemerintah.188 Upaya lain yang dilakukan adalah negosiasi untuk menaikkan
penggantian NJOP hingga 70%.189 Proses negosiasi ini dilakukan cukup lama sampai
akhirnya tersisa 14 kepala keluarga serta 90 rumah yang terdampak yang masih menggugat
Proyek Rumah Deret tersebut pada tahun 2019.190
Tepat pada tanggal 12 Desember 2019, penggusuran tersebut terjadi dan
menyebabkan kerusuhan seiring terjadinya penertiban pada pukul 09.00 WIB dini hari.191
Penggusuran secara paksa dilakukan oleh Satpol PP terhadap 33 keluarga menyebabkan
terjadinya kerusuhan fisik.192 Sekitar pukul 10.30 WIB, alat berat backhoe diturunkan dan
menghancurkan bangunan tanpa sisa.193 Penggusuran tersebut melibatkan kekerasan yang
dilakukan oleh aparat melalui penyemprotan gas air mata sampai pada titik pengeroyokan
warga yang menciptakan sebanyak 37 korban kekerasan mengalami luka-luka.194 Pada titik
akhirnya, warga RW 11 Tamansari kehilangan hak atas tanah dan rumahnya, menjadi warga
orang kecil yang ditindas dan kehilangan tempat tinggal. Tidak hanya itu, warga terkena

186
Bandung Kiwari, “PTUN Bandung Tolak Gugatan Warga Tamansari Tentang Rumah Deret,”
https://kumparan.com/bandungkiwari/ptun-tidak-kabulkan-gugatan-warga-tamansari-terhadap-rumah-deret/full,
diakses 18 November 2021.
187
Ibid.
188
Ibid.
189
Ibid., hlm. 129.
190
Merdeka.com, “198 Kepala Keluarga RW 11 Setuju Pembangunan Rumah Deret Tamansari
Bandung.”
https://bandung.merdeka.com/halo-bandung/198-kepala-keluarg-rw-11-setuju-pembangunan-rumah-deret-taman
sari-bandung--1803209.html, diakses 18 November 2021.
191
Agus Warsudi, “Ini Kronologi Penertiban Lahan di Tamansari Bandung”,
https://daerah.sindonews.com/artikel/jabar/12961/ini-kronologi-penertiban-lahan-di-tamansari-bandung, diakses
18 November 2021.
192
TEMPO.Co, “ Ini Kronologi Penggusuran Tamansari Berujung Kisruh.”
https://nasional.tempo.co/read/1283618/ini-kronologi-penggusuran-tamansari-berujung-kisruh, diakses 18
November 2021.
193
Ibid.
194
Sania Mashabi, “Penggusuran Tamansari dan Dugaan Pelanggaran
HAM.”.https://nasional.kompas.com/read/2020/01/15/07080911/penggusuran-tamansari-dan-dugaan-pelanggara
n-ham?page=all, diakses 18 November 2021.
kekerasan dan kehilangan pekerjaan. Semua hal ini mempengaruhi kesehatan psikologis,
khususnya pada anak-anak warga RW 11 Tamansari.195

Dampak Sosial Penggusuran Paksa


Dilihat dari kasus-kasus di atas, penggusuran paksa berdampak luas dan mendasar
bagi kehidupan masyarakat. Mulai dari retaknya hubungan bertetangga, hilangnya identitas
tanah leluhur bagi masyarakat adat, kehancuran dan kerugian harta benda pribadi,
terganggunya aktivitas ekonomi, hingga terancamnya kesejahteraan anak.196 Oleh karena itu,
penggusuran paksa bukanlah perkara yang dapat dipandang sebelah mata.
Dalam suatu pemukiman, terdapat hubungan sosial yang terbangun antar sesama
masyarakat. Hubungan sosial tersebut memiliki makna tersendiri yang tak dapat terganti.
Penggusuran paksa yang terjadi membuat retaknya sense of belonging baik antar sesama
masyarakat ataupun antara masyarakat dengan lingkungannya.197 Hal ini disebabkan,
penggusuran paksa membuat mereka harus berpencar untuk menyelamatkan diri pribadi,
keluarga, dan harta benda masing-masing. Terlebih, bagi mereka yang merupakan pendatang
ke ibukota. Mereka telah hidup berdampingan dalam suatu pemukiman, seperti yang dialami
oleh Bapak Muklis, Bapak Fawaid, dan Bapak Rafi’i, pendatang yang berasal dari Madura
sekaligus warga korban penggusuran paksa di Buaran 1, Jakarta Timur.198 Pasca penggusuran
paksa, mereka harus mencari tempat tinggal baru serta pengulangan adaptasi kembali.
Penggusuran paksa juga menyebabkan mereka harus kehilangan hubungan sosial sesuku serta
aktivitas sesama dengan para tetangga karena terputusnya komunikasi.199
Retaknya hubungan masyarakat dan lingkungan sangat terasa terutama bagi
masyarakat adat. Masyarakat adat hidup turun temurun di wilayah geografis tertentu.200
Kesamaan tempat tinggal dan budaya yang berlangsung lama membuat ikatan kuat antara
masyarakat dan tanah lahirnya. Bagi mereka, tanah adalah warisan leluhur yang harus dijaga

195
CNN Indonesia, “PTUN Bandung Tolak Gugatan Warga Tamansari.”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191219144038-12-458397/ptun-bandung-tolak-gugatan-warga-taman
sari,diakses 18 November 2021.
196
Human Rights Watch, “Masyarakat yang Tergusur: Pengusiran Paksa di Jakarta,” Human Rights
Watch 18 (September 2006), hlm. 3-12.
197
Fiqih R., “Adaptasi Warga Kampung Kota yang Bertahan dalam Konflik Penggusuran (Studi Kasus:
Penggusuran Kampung Kota Tamansari Bandung),” (Skripsi Sarjana Universitas Katolik Parahyangan, 2018),
hlm. 2.
198
Hana Nurina, “Modal Sosial Sebagai Strategi Bertahan Hidup Warga Pasca Penggusuran (Studi
Kasus: Warga Tergusur Buaran I, Klender, Jakarta Timur),” (Skripsi Sarjana Universitas Negeri Jakarta, 2015),
hlm. 94.
199
Ibid., hlm. 103.
200
Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU No.27 Tahun 2007, LN No.84 Tahun
2007, TLN No. 4739.
dan merupakan bagian dari identitas mereka, di mana tanah difungsikan tidak hanya sebagai
tempat tinggal, melainkan tempat ibadah dan kuburan para sanak saudara.201 Maka dari itu,
adanya penggusuran paksa mencederai nilai kebudayaan, spiritual, dan identitas masyarakat
adat. Penggusuran paksa pada masyarakat adat juga merupakan bentuk pelanggaran
pemerintah terhadap hak konstitusional masyarakat adat yang diatur pada Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945.202
Pada umumnya, penggusuran paksa terjadi di pemukiman kumuh di mana masyarakat
yang tinggal di daerah tersebut cenderung memiliki tingkat ekonomi yang rendah.203 Maka
dari itu, kehancuran dan kerugian harta benda pasca penggusuran paksa akan berdampak
sangat besar pada masyarakat terdampak.204 Kerusakan harta benda tersebut terjadi akibat
represifitas aparat, kerusuhan massa, ataupun alat-alat berat penghancur. Peralatan rumah
tangga, mebel hingga pakaian milik penghuni menjadi saksi bisu yang turut hancur
bersamaan dengan reruntuhan puing-puing rumah. Peristiwa penggusuran paksa selalu
menjadi memori pilu di mana terjadi penghancuran hingga perampasan terhadap semua harta
benda mereka.205 Aparat cenderung abai terhadap semua persoalan kemanusiaan yang terjadi
di depan mata mereka. Tak hanya itu, sesudah penggusuran pun, aparat juga sering kali gagal
menjaga harta benda mereka dari pemulung yang datang ke lokasi pembongkaran.206
Penggusuran paksa juga membuat perubahan struktur kehidupan masyarakat
mengarah pada penurunan tingkat kemapanan.207 Dalam hal ini, penggusuran paksa sangat
mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat di mana masyarakat yang memiliki mata
pencaharian di tempat tinggal tersebut, seperti berjualan, menjahit, ataupun membuka usaha
lain, terpaksa harus memulai ulang dari awal usaha mereka. Hal itu disebabkan karena
mereka telah kehilangan peralatan yang diambil paksa atau hancur saat bersamaan dengan
penggusuran paksa. Selain itu, mereka harus beradaptasi kembali pada lingkungan yang baru
201
I Ketut Kaler, “Arti dan Fungsi Tanah Adat Bagi Masyarakat Bali: Studi Kasus di Desa Adat
Batubulan,” Sunari Penjor 2 (Maret 2018), hlm. 29.
202
Ayomi Amindoni, “Masyarakat adat Besipae di NTT yang 'digusur' dari hutan adat Pubabu:
Anak-anak dan perempuan 'trauma' dan 'hidup di bawah pohon',”
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53839101, diakses 22 November 2021.
203
Nurwino Wajib, “Permukiman Kumuh dan Liar, Mau Diapakan?,”
http://kotaku.pu.go.id:8081/wartaprint.asp?mid=8368&catid=2&&17/10/2016, diakses 20 November 2021.
204
Yeni Anggraeni, “Spiritualitas masyarakat korban penggusuran Proyek Waduk Jatigede: Studi kasus
di RT.01 RT.02 Desa Pakualam Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang,” (Skripsi Sarjana Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, 2018), hlm. 12.
205
Charlie Albajili, “1 Tahun Pemerintahan Anies, Penggusuran Paksa Di Jakarta Masih Ada,”
https://bantuanhukum.or.id/1-tahun-pemerintahan-anies-penggusuran-paksa-di-jakarta-masih-ada/, diakses 20
November 2021.
206
Karta Raharja Ucu, “Pemulung Serbu Bekas Bangunan Pasar Ikan yang Digusur,”
https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/o5gewh282/pemulung-serbu-bekas-bangun
an-pasar-ikan-yang-digusur, diakses 20 November 2021.
207
untuk mengetahui target pasar pada lingkungan tersebut karena belum tentu usaha di tempat
B akan seramai usaha di tempat A. Terlebih lagi, mereka sering kali tidak mendapatkan ganti
rugi yang memadai.208
Selain kerugian harta benda dan ekonomi, penggusuran paksa juga mengganggu hak
anak atas akses pendidikan.209 Dalam konstitusi Indonesia, yaitu pada Pasal 31 ayat (1) UUD
1945 menyatakan bahwa negara bertanggung jawab penuh atas pemenuhan hak atas
pendidikan. Namun, adanya penggusuran paksa justru mengakibatkan terancamnya hak
pendidikan untuk anak yang telah diatur dalam konstitusi tersebut. Hal tersebut ditandai
dengan kesulitan mobilitas ke sekolah yang baru, hancurnya dan hilangnya semua peralatan
sekolah mulai dari buku hingga seragam. Pada tahun 2016 silam, terdapat sekitar dua ratus
anak sekolah dari pemukiman Masata, Kecamatan Matuari, Kota Bitung, Sulawesi Utara
yang terancam putus sekolah pasca penggusuran terjadi.210 Hilangnya mata pencaharian
mengakibatkan para orang tua kesulitan untuk melanjutkan kehidupan pasca penggusuran
karena lahan untuk bertani yang menjadi sumber mata pencaharian sudah tidak ada lagi.211
Hal ini tentunya berimbas pada sulitnya membeli peralatan sekolah dan seragam baru untuk
anak mereka. Hal inilah yang membuat anak-anak lebih memilih putus sekolah dan
membantu orang tua dalam mencari uang.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, pada hakikatnya, di dalam diri manusia terdapat
seperangkat hak yang melekat, yakni HAM. HAM terdiri atas tiga generasi, salah satu
generasinya adalah hak ekosob. Dalam hak ekosob, terdapat hak yang dinamakan dengan hak
atas tempat tinggal. Namun, hak atas tempat tinggal kerap dilanggar akibat adanya
penggusuran paksa. Pemerintah tak jarang melakukan pelanggaran tersebut, padahal
penggusuran paksa merupakan pelanggaran yang telah dikategorikan sebagai pelanggaran
HAM berat. Sebab, hak yang dilanggar bukan hanya hak atas tempat tinggal, melainkan juga
hak untuk hidup, hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia dan sejahtera, hak atas
lingkungan hidup yang baik, hak atas identitas yang berkaitan dengan hak atas pelayanan

208
Erika Sabrina S., “Konstruksi Sosial Masyarakat Tentang Penggusuran Lahan (Studi Kasus
Penggusuran Lahan di Wilayah Kelurahan Gunung Anyar),” Universitas Airlangga 6 (Maret 2017), hlm. 217.
209
Human Rights Watch, “Masyarakat yang Tergusur,” hlm. 12.
210
Redaksibm, “Pasca Penggusuran, Ratusan Anak Warga Masata Terancam Putus Sekolah,”
https://beritamanado.com/pasca-penggusuran-ratusan-anak-warga-masata-terancam-putus-sekolah/, diakses 20
November 2021.
211
Ibid.
kesehatan, hak atas jaminan sosial, serta hak-hak lainnya. Oleh karena itu, dampak yang
ditimbulkan dari penggusuran paksa sangat kompleks dan terstruktur.
Dalam dunia internasional, penggusuran telah diatur dalam General Comment Nomor
7. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penggusuran juga harus ada sebagai
instrumen yang menjamin adanya perlindungan HAM dalam skala nasional. Dengan begitu,
terdapat perlindungan prosedural yang bisa dijadikan sebagai payung hukum yang jelas bagi
warga terdampak penggusuran.
Dalam hukum positif Indonesia, sebenarnya telah terdapat regulasi yang mengatur
tentang pengalihfungsian lahan, pengadaan tanah, dan beberapa regulasi lain yang secara
tidak langsung membahas tentang penggusuran. Namun, masih terdapat beberapa ketentuan
yang malah membuka celah terjadinya penggusuran secara paksa tanpa persetujuan warga
yang berhak. Hal tersebut dapat terlihat pada mekanisme konsultasi publik yang telah diatur.
Mekanisme tersebut masih terkesan memaksa warga terdampak penggusuran untuk wajib
menghadirinya. Selain itu, ketentuan ganti rugi juga sangat tidak berpihak kepada
orang-orang yang buta hukum yang akan dianggap sepakat dengan ganti rugi yang
ditawarkan setelah 14 hari. Peraturan-peraturan yang ada pun seringkali dijadikan sebagai
suatu pembenaran dalam melakukan penggusuran paksa dengan dalih keselamatan dan
kepentingan umum.
Walaupun sudah terdapat regulasi yang mengatur, pelanggaran-pelanggaran saat
penggusuran juga masih tetap ada. Pelanggaran tersebut salah satunya adalah tindakan
represif oleh pihak penggusur. Pihak penggusur kerap kali melakukan kekerasan disertai
intimidasi terhadap warga terdampak penggusuran paksa sehingga memicu terjadinya
bentrokan antara warga dengan aparat. Selain itu, pihak penggusur sering kali menggunakan
jasa premanisme untuk meneror warga agar memberikan persetujuan untuk menggusur.
Contoh kasus penggusuran paksa di Indonesia yang pernah menjadi sorotan publik
adalah penggusuran paksa di daerah Ciracas dan Tamansari. Kedua daerah tersebut telah
mendapat diskriminasi yang berlapis-lapis akibat penggusuran paksa. Mulai dari menjadi
korban kemiskinan struktural, korban penggusuran, sampai dengan korban kekerasan telah
mereka alami. Oleh karena itu, penggusuran paksa memiliki dampak yang cukup luas
terhadap kehidupan warga yang terdampak. Dampak-dampak tersebut di antaranya, retaknya
hubungan bertetangga, hilangnya identitas tanah leluhur bagi masyarakat adat, kehancuran
dan kerugian harta benda pribadi, terganggunya aktivitas ekonomi, hingga terancamnya
kesejahteraan anak. Maka dari itu, penggusuran paksa sangat mengancam sendi-sendi
kehidupan masyarakat yang menjadi korbannya.

Anda mungkin juga menyukai