PENDAHULUAN
Pada prinsipnya persoalan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM)
dalam semua aspek termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) merupakan bagian
dari tujuan pendirian suatu negara, bahkan dalam perspektif Teori Locke Perlindungan hak-
hak Kodrati (hak asasi manusia) merupakan dasar pendirian suatu negara. Tujuan negara
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Tujuan tersebut menandakan Indonesia sebagai negara welfarestate. Pokok peran
pemerintah pada negara welfarestate adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan umum
bagi rakyatnya. Untuk itu pemerintah dengan berbekal freies ermessen akan menggunakan
kebebasan atau kemerdekaan tersebut untuk turut serta dalam aktivitas sosial, politik maupun
ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Negara berkewajiban mensejahterakan seluruh
warga negaranya dari kondisi kemiskinan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Masalah kemiskinan
merupakan hal yang kompleks karena menyangkut berbagai macam aspek seperti hak untuk
terpenuhinya pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Instrumen HAM
yang memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob)
adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sebagai hak positif (positive rights) cara pemenuhannya
diukur dengan seberapa jauh kehadiran tanggung jawab Negara dalam pemenuhan hak-hak
yang masuk dalam kategori Ekosob. Ratifikasi ini mempertegas tanggung jawab negara
sebagai pengemban kewajiban (duty bearer) untuk dapat memenuhi kebutuhan minimal hak-
hak ekosob yaitu kemampuan negara menyediakan prasarana dan keahlian yang minimal
dalam fasilitas penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan dan pekerjaan yang
memungkinan bagi setiap individu anggota komunitas di satu wiayah negara baik di tingkat
pusat maupun di daerah-daerah untuk hidup minimal dengan layak (right to livelihood).
Ratifikasi ini memaksa negara untuk benar-benar melaksanakan perintah konstitusi
dalam mensejahterakan rakyatnya. Kewajiban ini tercantumdalam Pasal 2 Konvensi Ekosob
dan General commment nr.3 dari Komite Pemantau Hak-hak ekosob PBB, yang
menegasakan bahwa setelah ratifikasi negara wajib merumuskan langkah-langkah konkrit
perbaikan kondisi pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekosob yang minimum kepada
rakyatnya. Hak ekosob pada kenyataannya belum banyak dipahami. Pemerintah sendiri
seringkali memandang hak ekosob lebih sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai
ketimbang sebagai hak asasi yang harus dijamin pemenuhannya.
Konvensi Eropa tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
Konvensi Eropa tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia dan kebebasan Dasar ini
biasa dikenal dengan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia atau Europen Convention
on Human Rights (ECHR). Konvensi Eropa ini merupakan konvensi internasional, yang
mana semua negara yang merupakan anggota Dewan Eropa dianggap sebagai pihak dalam
konvensi tersebut. Adapun untuk anggota baru juga diharapkan untuk secepatnya meratifikasi
konvensi Eropa ini. Hal ini karena konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia ini dianggap
memiliki peran penting dalam peningkatan dan pengembangan mengenai kesadaran hak asasi
manusia di Eropa. Yang mana perkembangan ini dapat dilihat dari dua hal, pertama pada saat
perang dunia kedua, yang mana mengambil inspirasi dari dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, yaitu dengan benar-benar mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi selama maupun setelah perang dunia kedua tersebut berlangsung,
seperti contoh kasus pemusnahan dan pembataian yang dilakukan pada saat masa Adolf
Hitler kepada kaum Yahudi, hal ini tterjadi karena Adolf Hitler yang sangat membenci kaum
Yahudi karena kaum Yahudi dianggap memiliki perbedaan ras dengan orang-orang asli
Jerman yang menyebabkan kondisi ekonomi Jerman menjadi terpuruk.. Kemudian yang
kedua konvensi ini dianggap sebagai jawaban terhadap perkembangan dan pertumbuhan dari
Stalinisme tepatnya di Eropa Tengah dan Timur.4
Konvensi Eropa ini disusun setelah terjadinya perang dunia kedua dan Kongres Den
Haag oleh Dewan Eropa. Tepatnya pada tahun 1949 di Strasbourg diadakan pertemuan
Majelis Konsultatif Dewan pertaama kalinya yang dihadiri lebih 100 anggota parlemen yang
berasal dari dua belas negara anggota Dewan Eropa, untuk menyusun piagam tentang hak
asasi manusia ini dan juga membentuk pengadilan untuk menegakkannya. Yang kemudian
pada tahun 1950 di susunlah Konvensi Eropa ini, dan mulai di berlakukan pada tanggal 3
3
Suparman Marzuki dan Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta, 2017).
4
Clare Ovey, Robin C. A. White, dan Francis Geoffrey Jacobs, Jacobs and White: the European Convention on
Human Rights, 4th ed (Oxford ; New York: Oxford University Press, 2006).
September 1953. Konvensi Eropa tentang hak asasi manusia ini bertujuan untuk melindungi
kebebasan dan hak asasi manusia di Eropa.5 Konvensi ini juga membentuk Pengadilan Hak
Asasi Manusia Eropa, yang mana ketika seseorang merasa haknya di ganggu atau bahkan di
langgar, maka menurut konvensi ini pihak tersebut dapat mengajukan kasus ini ke
pengadilan. Jadi apabila dalam suatu putusan tersebut ditemukan pelanggaran yang mengikat
negara-negara yang bersangkutan, maka negara tersebut wajib melaksanakannya. Tentu saja
hal ini di pantau oleh Menteri Dewan Eropa, khususnya memastikan agar pembayaran yang
diberikan oleh pengadilan sebagai bentuk kompensasi, sesuai dengan kerusakan atau apa
yang mereka alami.6 Untuk itu konvensi Eropa ini dianggap seperti perjanjian internasional
yang paling efektif terhadap perlindungan hak asasi manusia, karena memiliki pengaruh yang
sangat signifikan kepada hukum-hukum di negara-negara anggota Dewan Eropa.
Konvensi eropa ini dikenal memiliki beberapa Protokol, dimana pada Januari tahun 2010
terdapat lima belas protokol yang dibuka untuk ditandatangani dalam konvensi ini. Dari
beberapa protokol tersebut terbagi menjadi dua kelompok utama, yaitu yang dapat mengubah
kerangka sistem konvensi agar lebih baik lagi dan untuk memperluas beberapa hak yang
dapat dilindungi.7 Adapun protokol-protokol itu adalah:
1. Protokol 1
Protokol ini memuat tiga hak perbedaan, diantaranya adalah properti, pendidikan dan
pemilu.
2. Protokol 4-Penjara sipil, kebebasan bergerak dan pengusiran
Protokol ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1 sampai pasal 4 didalam konvensi Eropa,
diantaranya adalah melarang pemenjaraan orang karena ketidakmampuan untuk
memenuhi kontrak, memberikan hak untuk bebas bergerak didalam suatu negara
ketika berada disana secara sah dan hak untuk meninggalkan negara mana pun,
melarang pengusiran warga dan mengatur hak seseorang untuk memasuki negara
kewaregaannya, dan melarang pengusiran kolektif orang asing.
3. Protokol 6-Pembatasan hukuman mati
5
A. R. (Alastair R. ) Mowbray, Cases and Materials on the European Convention on Human Rights (Oxford ; New
York : Oxford University Press, 2007), http://archive.org/details/casesmaterialson0002mowb.
6
Stelios Andreadakis, “The European Convention on Human Rights, the EU and the UK: Confronting a Heresy: A
Reply to Andrew Williams,” European Journal of International Law 24, no. 4 (1 November 2013): 1187–93,
https://doi.org/10.1093/ejil/cht063.
7
Steven Greer, The European Convention on Human Rights: achievements, problems and prospects, Cambridge
studies in European law and policy (Cambridge, UK ; New York: Cambridge University Press, 2006).
Mengharuskan untuk para pihak agar membatasi penerapan pada hukuman mati,
terkecuali jika dalam tindakan yang dilakukan pada saat terjadi perang ataupun ketika
mendapat ancaman perang yang akan segera terjadi.
4. Protokol 7-Kejahatan dan keluarga
Protokol ini diterapkan dalam Pasal 1 sampai Pasal 5, yaitu memberikan hak untuk
prosedur yang adil untuk warga asing yang secara sah menghadapi pegusiran,
kemudian memberikan hak dalam mengajukan banding terkait masalah pidana,
selanjutnya memberikan kompensasi untuk korban yang mengalami keguguran
keadilan, melarang melakukan pengadilan ulang terhadap siapa saja yang memang
akhirnya sudah mendapatkan hukum karena kejahatan tertentu yang telah
dilakukannya atau pada akhirnya akan dibebaskan, dan yang terakhir mengaur
mengenai kesetaraan antara pasangan.
5. Protokol 11
Protokol 2,3,5,8,9, dan 10 sudah digantikan dengan protokol 11 ini, yang mana mulai
diberlakukan tanggal 1 November 1998. Dalam protokol ini menetapkan adanya
perubahan dasar didalam mekanisme konvensi Eropa ini.
6. Protokol 12-Diskriminasi
Dalam protokol ini menerapkan mengenai alasan diskriminasi yang dilarang di dalam
Pasal 14, yang mana tidak terbatas dan ekpansif .
7. Protokol 13-Penghapusan lengkap hukuman mati
Dalam protokol ini semua negara-negara anggota Dewan Eropa menandatangani,
akan tetapi terdapat dua negara yang belum meratifikasi, yaitu Armenia dan
Azerbaijan.
8. Portokol 14
Protokol ini mengikuti protokol 11 dalam hal mengsusulkan agar lebih meningkatkan
efesiensi pengadilan.
9. Protokol 15-Proseduran dan kelembagaan
Dalam konvensi Eropa ini, ketentuan yang berhubungan dengan kelembagaan dan
juga proseduran ini sudah mengalami perubahan beberapa kali.
Dalam konvensi ini juga terdiri dari tiga bagian, yaitu Bagian I yang terdiri dari Pasal 2
sampai 18 tentang Hak dan Kebebasan Utama. Kemudian pada bagian II yang terdiri dari
Pasal 19 sampai Pasal 51 mengatur tentang pengadilan dan juga aturan operasinya. Dan
Bagian III yaitu bagian yang terakhir memuat beberapa ketentuan penutup.8
10
Dra Patricia A. Taus, The Ecumenical Violence from a Gender Perspective (Lulu.com, 2014).
11
Taus.
tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat. Disahkannya piagam ini difungsikan sebagai
perjanjian hak asasi manusia pertama yang mana dapat mengikat secara hukum. Piagam
Afrika ini dibuat dalam naungan Organisasi Kesatuan Afrika, yaitu OAU (Organisation of
African Unity) yang telah digantikan Uni Afrika (African Union).12 Pada tahun 1979,
pemerintahan beserta Majelis Kepala Negara mengadopsi resolusi yang mengusulkan tentang
pembentukan komite pakar yang digunakan untuk merancang instrumen hak asasi manusia di
tingkat benua, hal ini sama dengan yang dilakukan Konvensi Eropa dan juga Konvensi
Amerika. Yang pada akhirnya pada bulan juni tahun 1981, komite ini menghasilkan
rancangan yang juga disepakati didalam Majelis OAU ke-18. Bagi negara-negara yang
termasuk dalam anggota Organisasi Persatuan Afrika, dianggap sebagai pihak-pihak yang
terlibat didalam piagam Afrika ini, sehingga memiliki tugas untuk mengakui kewajiban, hak
dan kebebasan yang sudah tercantum didalam piagam Afrika. Dalam piagam Afrika
menyatakan bahwasannya setiap orang berhak memiliki perlakuan yang sama atas
perlindungan hukum, setiap individu juga berhak memiliki kebebasan yang harus diakui dan
juga terjamin tanpa membedkan ras, agama, kelompok etnis, bahasa, jenis kelamin, asal
kebangsaan, jenis kelamin, sosial dan sebagainya.13 Perkembangan permasalahan hak asasi
manusia yang ada di Afrika ini kemudian melahirkan pengadilan HAM Afrika, yang didirikan
dengan berdasarkan pada Pasal 1 didalam Protokol Piagam Afrika mengenai hak asasi
manusia dan rakyat, yang berkaitan dengan Pembentukan Pengadilan Afrika Manusia dan
Rakyat. Hal ini diadopsi pada Juni tahun 1998 oleh negara-negara anggota dari organisasi
OAU. Yang kemudian diberlakukan pada Januari tahun 2004.
Pengadilan HAM ini memiliki wewenang untuk menigkatkan perlindungan terhadap
komisi Afrika mengenai hak asasi manusia dan hak rakyat, dengan cara memperkuat sistem
perlindungan terhadap hak asasi manusia di Afrika serta memastikan kepatuhan dan
penghormatan terhadap Piagam Afrika tentang hak asasi manusia, hak rakyat, dan instrumen
hak asasi manusia internasional lainnya, dengan melalui keputusan yudisial. Pengadilan hak
asasi manusia afika ini memiliki tanggung jawab terkait pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh beberapa negara yang ada dibawah yuridiksnya, selain itu pengadilan ini
mempunyai kekuasaan mengeluarkan putusan yang dapat mengikat secara hukum bagi
negara anggota, jadi apabila ada yang melanggar hak asasi manusia maka negara tersebut
harus memberikan restitusi atau kompensasi terhadap para korban. Berkaitan dengan hal ini
12
Rose M. D’Sa, “Human and Peoples′ Rights: Distinctive Features of the African Charter,” Journal of African
Law 29, no. 1 (ed 1985): 72–81, https://doi.org/10.1017/S0021855300005635.
13
Lawyers Committee for Human Rights (U.S.), ed., African exodus: refugee crisis, human rights and the 1969
OAU Convention: a report of the Lawyers Committee for Human Rights (New York, N.Y: The Committee, 1995).
Piagam Afrika sudah merevisi isi dalam piagam tersebut, dengan menghapuskan ketentuan
Non Intervensi. Hal tersebut karena adanya kegagalan dari OAU di masa lalu dalam hal
melindungi penegakan hak asasi manusia di wilayah afrika, yang disebabkan terbatasnya
wewenang atau mandat dan adanya prinsip non intervensi.14 Untuk itu adanya revisi terhadap
prinsip-prinsip piagam OAU sebelumnya, kerana dianggap sebagai penghalang utama dalam
perkembangan sosial, keamanan dan perdamaian untuk para negara-negara anggotanya.
14
Walter Carlsnaes Rizal (Penyunting) Thomas Risse, Beth A. Simmons; Imam Baehaqie (Penerjemah), M., HAM
Internasional: Handbook Hubungan Internasional (Nusamedia, 2021).
15
Pranoto Iskandar, Hukum Hak Asasi Manusia Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual (Institute for
Migrant Rights, t.t.).
memuat mengenai bgaimana penegakkan hak asasi manusia ini dapat diterapkan dan juga
dipromosikan dikawasan Asia Tenggara.16
Deklarasi hak asasi manusia ASEAN ini merupakan suatu dokumen yang menyatakan
persetujuan secara resmi dari 10 negara anggota Asia Tenggara yang hadir pada saat itu, yang
berisikan mengenai standart terhadap hak asasi manusia yang berlaku di wilayah ASEAN.
Didalam deklarasi ini juga berisikan beberapa hal, diantaranya terdapat 9 pasal tentang
prinsip-prinsip umum, terdapat 16 pasal tentang hak-hak sipil dan politik, terdapat 9 pasal
tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, terdapat 3 pasal tentang hak pembangunan,
terdapat 1 pasal tentang hak untuk hidup damai, dan terdiri dari 2 pasal tentang kerjasama
dalam memajukan serta melindungi hak asasi manusia. Akan tetapi seluruh pasal yang
terdapat dalam deklarasi hak asasi manusia ASEAN ini hanya mengikat secara moral, yaitu
menuntut negara-negara ASEAN untuk melindungi dan menghormati hak-hak setiap manusia
yang berada negara-negara Asia Tenggara dan belum mengikat secara yuridis, sehingga jika
ada yang tidak patuh atau bahkan melanggar pada pasal-pasal dalam deklarasi tersebut maka
tidak akan dikenakan sanksi. Karena negara-negara ASEAN ini ada kemungkinan tidak patuh
terhadap pasal-pasal yang sudah termuat dalam deklarasi tersebut. Hal ini karena, menurut
Miles Kahler, negara-negara dikawasan Asia, baik Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Timur
dan bahkan Asia Pasifik, memiliki ciri khas bahwasannya mereka lebih menyukai adanya
aturan-aturan yang bersifat longgar. Menurut Miles Kahler terdapat tiga alasan yang menjadi
penyebab negara-negara dikawasan Asia lebih condong untuk menyukai aturan-aturan yang
longgar, diantaranya:17
a. Mereka menganggap bahwasannya tersedia aturan alternatif di luar deklarasi ASEAN
ini, sehingga tuntutan agar memiliki aturan yang bersifat mengikat menjadi rendah.
b. Negara-negara Asia Tenggara ini meyakini bahwasannya mereka mampu untuk
menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan cara ASEAN, yaitu dengan cara
mengedepankan keharmonisan, kesepakatan bersama dan juga pertemuan-pertemuan
yang bertujuan untuk menyelesaikan persoalan yang muncul.
c. Adanya politik domestik negara-negara di ASEAN yang juga menjadi penyebab
sukarnya untuk membuat aturan yang lebih mengikat didalam wilayah ASEAN, selain
itu mayoritas negara ASEAN yang memiliki cerita penjajahan membuat taruma
16
Imelda Sianipar, “Legalisasi Deklarasi HAM ASEAN,” Jurnal Hubungan Internasional 3 (1 April 2014): 58–67,
https://doi.org/10.18196/hi.2014.0047.58-67.
17
Miles Kahler, “Legalization as Strategy: The Asia-Pacific Case,” International Organization 54, no. 3 (ed 2000):
549–71, https://doi.org/10.1162/002081800551325.
pemimpin ASEAN dan tidak menginginkan terdapat aturan yang terlalu membatasai
perilaku negara.
KESIMPULAN
Dalam bahasa inggris Konvenan Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya ini biasa disebut dengan ICESCR yaitu International Convenant on Economic,
Social and Cultural Rights. ICESCR merupakan perjanjian multilateral yang sudah
ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tapatnya pada tanggal 16
Desember 1966, yang kemudian diberlakukan pada tanggal 3 Januari 1976. Adapun contoh-
contoh hak yang mendapatkan jaminan adalah hak kesehatan, hak atas standart kehidupan
yang layak, hak pendidikan dan hak buruh. Dari konvenan ini menghasilkan beberapa
instrumen regional yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, yaitu Konvensi Eropa tentang
Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, Konvensi Amerika tentang Hak
Asasi Manusia, Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat dan Deklarasi ASEAN
tentang Hak Asasi Manusia.
Konvensi Eropa tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia dan kebebasan Dasar ini
biasa dikenal dengan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia atau Europen Convention
on Human Rights (ECHR). Konvensi Eropa ini merupakan konvensi internasional, yang
mana semua negara yang merupakan anggota Dewan Eropa dianggap sebagai pihak dalam
konvensi tersebut. Hal ini karena konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia ini dianggap
memiliki peran penting dalam peningkatan dan pengembangan mengenai kesadaran hak asasi
manusia di Eropa. Sedabgkan Konverensi Amerika mengenai Hak Asasi Manusia juga biasa
disebut dengan Pakta San Jose, yang mana konvensi ini juga merupapakn salah satu hak asasi
manusia taraf internasional. Konvensi Amerika ini ditetapkan pda tanggal 22 November 1969
tepatnya di Benua Amerika, yang kemudian diberlakukan pada tahun 1978. Di dalam
konvensi Amerika ini terdapat banyak gagasan yang termuat dalam Deklarasi Amerika
mengenai Hak dan Kewajiban yang dimiliki oleh setiap manusia.
Piagam Afrika mengenai hak asasi manusia dan rakyat ini biasa disebut dengan
Piagam Banjul. Piagam ini juga merupakan salah satu instrumen dari hak asasi manusia
internasional, yang mana ditunjukkan untuk melindungi hak asasi manusia dan juga
kebebasan dasar yang ada di benua Afrika. Pada tahun 1981, negara-negara anggota baru
mengesahkan adanya Piagam Afrika yang berkaitan tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat.
Disahkannya piagam ini difungsikan sebagai perjanjian hak asasi manusia pertama yang
mana dapat mengikat secara hukum. Deklarasi ini dapat dikatakan sebagai Deklarasi Hak
Asasi Manusia Perhimpunan bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Dari beberapa negara
anggota ASEAN tentu saja memiliki sistem pemerintahan, hukum dan juga kondisi hak asasi
manusia yang berbeda. Untuk itu diharapkan dengan hadirnya deklarasi ini dapat
memeperbaiki dan menyamakan persepsi terhadap perlindungan hak asasi manusia. Selain itu
diharapkan dengan adanya deklarasi ini dapat menjadi standart hak asasi manusia di negara
anggota ASEAN.
DAFTAR PUSTAKA
Andreadakis, Stelios. “The European Convention on Human Rights, the EU and the UK:
Confronting a Heresy: A Reply to Andrew Williams.” European Journal of
International Law 24, no. 4 (1 November 2013): 1187–93.
https://doi.org/10.1093/ejil/cht063.
D’Sa, Rose M. “Human and Peoples′ Rights: Distinctive Features of the African Charter.”
Journal of African Law 29, no. 1 (ed 1985): 72–81.
https://doi.org/10.1017/S0021855300005635.
Greer, Steven. The European Convention on Human Rights: achievements, problems and
prospects. Cambridge studies in European law and policy. Cambridge, UK ; New
York: Cambridge University Press, 2006.
Iskandar, Pranoto. Hukum Hak Asasi Manusia Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual.
Institute for Migrant Rights, t.t.
———. Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual. Institute for Migrant
Rights, 2012.
Kahler, Miles. “Legalization as Strategy: The Asia-Pacific Case.” International Organization
54, no. 3 (ed 2000): 549–71. https://doi.org/10.1162/002081800551325.
Kälin, Walter, dan Jörg Künzli. The Law of International Human Rights Protection. Second
edition. Oxford: Oxford University Press, 2019.
Lawyers Committee for Human Rights (U.S.), ed. African exodus: refugee crisis, human
rights and the 1969 OAU Convention: a report of the Lawyers Committee for Human
Rights. New York, N.Y: The Committee, 1995.
Manusia (PUSHAM), Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta) Pusat Studi Hak Asasi,
Rhona KM Smith, Knut D. Asplund, dan Suparman Marzuki. Hukum hak asasi
manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Indonesia
(PUSHAM UII), 2008.
Marzuki, Suparman, dan Eko Riyadi. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi
Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta, 2017.
Mowbray, A. R. (Alastair R. ). Cases and Materials on the European Convention on Human
Rights. Oxford ; New York : Oxford University Press, 2007.
http://archive.org/details/casesmaterialson0002mowb.
Ovey, Clare, Robin C. A. White, dan Francis Geoffrey Jacobs. Jacobs and White: the
European Convention on Human Rights. 4th ed. Oxford ; New York: Oxford
University Press, 2006.
Rizal (Penyunting), Walter Carlsnaes, Thomas Risse, Beth A. Simmons; Imam Baehaqie
(Penerjemah), M. HAM Internasional: Handbook Hubungan Internasional.
Nusamedia, 2021.
Saul, Ben, David Kinley, dan Jaqueline Mowbray. The international covenant on economic,
social and cultural rights: commentary, cases, and materials. OUP Oxford, 2014.
Sianipar, Imelda. “Legalisasi Deklarasi HAM ASEAN.” Jurnal Hubungan Internasional 3 (1
April 2014): 58–67. https://doi.org/10.18196/hi.2014.0047.58-67.
Taus, Dra Patricia A. The Ecumenical Violence from a Gender Perspective. Lulu.com, 2014.