Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HUKUM PERADILAN ISLAM

“AL TAHKIM”
“Pengertian,Syarat Dan Wewenang nya”
DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERADILAS ISLAM

Dosen Pembimbing : Dr. Sam’un M.Ag

OLEH :
MUCHAMMAD SAIFUL HADI ( 05040120122)
NI’MAH QOTHRUNNADA (05040120130)
YULLIA DEVIANA (05040120143)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

KATA PENGANTAR

1
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
hidayah dan karunia-Nya. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jaman jahiliyah menuju
jaman Islamiyah yakni addinul islam
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu
pembuatan makalah ini khususnya Bapak Dr. Sam’un M.Ag selaku Dosen Pengampu kami.
Dengan segala kerendahan hati kami meminta kritik dan saran yang membangun kepada
para pembaca untuk memperbaiki makalah ini yang masih banyak kekurangannya, semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Sekian dari kami mohon maaf apabila ada salah kata
dalam penulisan makalah ini karna kesempurnaan hanyalah milik Allah semata.

Surabaya,20 Maret 2021


Hormat Kami

Penulis

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Tahkim ........................................................................................ 5
2. Dasar Hukum Tahkim ................................................................................... 6
3. Syarat-syarat Tahkim .................................................................................... 6
4. Kekuatan Putusan Dalam Tahkim (abitrase) .............................................. 7
5. Klasifikasi Tahkim......................................................................................... 8
6. Bidang-bidang tahkim.................................................................................... 9

BAB III PENUTUP........................................................................................................... 10

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik adalah fenomena yang tidak dapat dihindarkan (invitable phenomenon) dalam
kehidupan manusia karena ia memang merupakan bagian yang inheren dari eksistensi manusia
sendiri. Mulai dari tingkat mikro, interpersonal sampai pada tingkat kelompok, organisasi,
komunitas dan negara.
Permulaan sengketa biasanya dari suatu situasi adanya conflic of interest yang berasal
dari berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan yang menguasai emosi para pihak.
Pada umumnya perkara perdata atau tindak pidana bahkan persengketaan diselesaikan
melalui jalur hukum (pengadilan) dan jalur kekeluargaan (perdamaian). Yang sekiranya suatu
perkara tersebut dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, maka jalur itulah yang sebaiknya
dipilih. Namun bila tidak bisa, maka jalur pengadilanlah yang dipilih dengan segala
konsekuensinya.
Selain penyelesaian perkara melalui jalur hukum dan jalur kekeluargaan tersebut maka
ada jalur penyelesaian perkara lain yang secara syar’i yang disebut dengan tahkim. Jalur tahkim
ini biasanya dipakai untuk menyelesaikan sengketa- sengketa perdata nasional dan internasional
dengan harapan dapat memberikan putusan atau setidak-tidaknya sengketa diklarifikasi dengan
mempersempit persoalan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Tahkim ?
2. Apa Landasan Hukum Tahkim ?
3. Bagaimana Kekuatan Putusan dalam Tahkim ?
4. Bagaimana Klasifikasi Tahkim (arbitrase).?
5. Apa saja Bidang-bidang Tahkim ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Tahkim.
2. Mengetahui Landasan hukum Tahkim
3. Mengetahui fungsi Tahkim.
4. Mengetahui klasifikasi Tahkim (arbitrase).

4
5. Untuk mengetahui Bidang-bidang Tahkim.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Tahkim
Tahkim dalam pengertian bahasa arab, ialah” menyerahkan putusan pada seseorang dan
menerima putusan itu” Di dalam pengertian istilah ialah: dua orang atau lebih mentahkimkan
kepada seseorang di antara mereka untuk di selesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara atas
sengketa mereka itu”maka kedudukan tahkim adalah lebih rendah daripada kedudukan peradilan.
karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam,
lantaran itu Abu Yusuf tidak membolehkan kita mengadakan sesuatu syara terhadap tahkim itu.
selain dari pada itu hakim yang diberikan oleh muhkkam hanya berlaku bagi orang-orang yang
menerima putusannya, sedangkan putusan hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh
orang yang bersangkutan.
Bentuk tahkim ini telah dikenal oleh orang arab di massa jahiliyah. Hakamlah yang harus
didengar pendapatnya. Apabila terjadi sesuatu sengket, maka para pihak pergi kepada hakim.
Kebanyakan sengketa yang terjadi di kalangan orang arab adalah tentang, Siapa yang lebih
pandai memuji golonganya dan menjelekan golongan lain1.
Sering benar anggota masyarakat apabila timbul sesuatu kejadian di antara mereka, atau
menghadapi suatu hal yang musykil, pergi kepada orang-orang yang di anggap cerdik, tanpa
tekanan undang-undang, untuk meminta pendapat. Mereka tidak mengetahui hukum agama
terhadap peristiwa yang mereka hadapi itu. Dan mereka merasa tidak perlu untuk mengadukan
perkara mereka kepada hakim yang haus mereka turuti putusannya, karena di samping peradilan
ada lagi tahkim dan ifta2.
Menurut kamus Al-munjid bahwa tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit
atau juru damai. Sedangkan Salam Madkur menyatakan dalam kitab Al-Qadha Fil Islam bahwa
tahkim secara terminologis berarti mengangkat seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru
damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan perkara yang mereka
selisihkan secara damai. Sedangkan istilah sekarang tahkim dapat diterjemahkan sebagai
arbitrase, dan orang yang bertindak sebagai wasitnya disebut arbiter atau hakam3.

2. Dasar Hukum Tahkim

1
TM.Hasby Asy Shiddieqy Peradilan dan Hukum Acara Islam. 2001. Hal : 82
2
Ibid Hal : 81
3
Arifin, Zaenal Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Majalah Himmah Vol. VII 18
Januari –April 2006
5
Dasar hukum bagi tahkim, ialah firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 35.Artinya: ”Jika kamu
khawatir ada persengketaan di antara keduanya , maka kirimlah seorang Hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang Hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri tersebut. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.
QS. Al-Hujurat: 9
Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikalah antara
keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka
perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil.( Q.S. Al-Hujurat Ayat 9)
Diriwayatkan oleh An Nasa’y bawhwa Abu syuriah menenangkan kepada Rasulullah
saw. Bahwa kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara, lalu mereka datang kepadanya dan
diapun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak mendengar itu
Nabi pun berkata: Alangkah baiknya!
Rasulullah saw, sendiri telah pernah menerima putusan sa’ad ibnu mu’adz mengenai bani
Quraidhah.Demikian juga pertengkaran antara umar dengan ubay bin ka’ab tentang suatu suatu
kebun kurma,perkaranya ditahkimkan oleh zaid bin tsabit.semua sahabat sepakat menerima
putusan hakim dan membenarkan tahkim ini4. Ini semuanya menunjukkan, bahwa islam
membenarkan lembaga tahkim ini. Di tinjau dari segi akal, dapat pula kita terima tahkim ini
karena orang-orang yang menyerahkan perkara kepada hakim mempunyai wewenang terhadap
dirinya sendiri.

3.Syarat Syarat Tahkim


Institusi Tahkim dalam Perundang-undangan di Indonesia
 cakap melakukan tindakan hukum.
 berumur minimal 35 tahun.
 tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan salah satu pihay bersengketa.
 tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase, dan.

4. Kekuatan Putusan dalam Tahkim (Arbitrase)

4
Al-Mabsuth XXI : 62

6
Sifat dan bentuk dalam penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh lembaga tahkim lebih
cenderung memilih cara kekeluargaan dan perdamaian. Dalam surah An-Nisa ayat 127
ditegaskan bahwa “berdamai itu lebih baik”. Mengajak berdamai berarti mengajak kepada suatu
kebaikan. Model penyelesaian perkara seperti itu sudah menjadi komitmen para sahabat.
Misalnya Umar Ibn Khathab, dalam setiap menyelesaikan perkara senantiasa selalu
mengingatkan untuk mengutamakan “jalan damai”.
Dalam satu dustur Risalat al-qadha ditegaskan: “perdamaian adalah boleh diantara umat
islam, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu
yang halal. Ajaklah orang-orang yang berselisih itu hingga damai”5 Dalam kaitan itu, terdapat
ungkapan yang menggambarkan tentang tingginya nilai perdamaian: Al-Shulhu Sayyid Al-
ahkam.
Apabila cara pemdekatan dengan cara kekeluargaan dan perdamaian itu senantiasa
ditawarkan dan menjadi model lembaga tahkim dalam menyelesaikan sengketa maka tidak akan
terlihat adanya kesan yang menang dan yang kalah, yang dapat mewariskan karat dihati, iri
dengki, dendam kesumat, kebencian dan permusuhan diatara mereka. Semua pihak sama-sama
menjadi pihak yang menang karena diputuskan melalui kesepakatan para pihak secara bersama-
sama. Dengan demikian, putusan lembaga arbitrase tampak lebih berasahabat, yang dapat
menentramkan dan menyejukan hati para pihak.
Berbeda dengan produk peradilan resmi yang memiliki daya ikat dan daya paksa (fiat
eksekusi), maka kekuatan produk lembaga tahkim itu menjadi isu perdebatan. Namun demikian,
kebanyakan dari para ahli hukum islam (pengikut imam Hanafi, pengikut Imam Hambali,
Pengikut Imam Maliki, dan mayoritas dari pengikut Imam Syafi’i) menganggap bahwa putusan
lembaga tahkim secara langsung adalah mengikat kepada para pihak. Pengikatan itu sendiri telah
terjadi ketika para pihak memilih dan mengangkat kuasa tahkim sebagai juru penengah untuk
menyelesaikan sengketa mereka. Sedangkan menurut sebagia kecil pengikut Imam Syafi’i,
produk lembaga tahkim itu tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, kecuali
apabila mendapat persetujuan terlebih dahulu dari para pihak, sehingga dalam pelaksanaannya
lebih mendasar pada kerelaan hati dan kesadaran hukum para pihak. Keputusan hakam tidak
sama dengan keputusan qodhi (hakim).
Putusan yang diberikan oleh hakam, harus dilaksanakan orang yang
bersangkutan,menurut ahmad dan abu hanifah dan menurut suatu riwayat dari asyafi’y. Tetapi
menurut riwayat yang lain, hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus di turuti oleh yang
bersangkutan. apabila seorang hakam telah memberikan putusan, kemudian mereka pergi lagi
mengajukan perkaranya kepada hakam lain, lalu hakam yanglain ini memberikan putsan pula
dengan tidak mengetahui adanya putusan yang pertma dan putusanya itu berlawanan dengan
putusan yang pertama,maka apabila urusan itu diajukan kepada hakim,hendaklah hakim
menerapkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya.Apabila suatu perkara sudah diputuskan
oleh seseorang hakam kemudian diajukan kepada hakim,maka hakim boleh membenarkan

5
Makalah Peradilan Islam ( Sejarah Peradilan Islam pada masa Umar Bin Khatab)
7
putuan hakam itu jika sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusanya itu jika
berlawanan dengan mazhbanya.6

5. Klasifikasi Tahkim (Arbitrase)


Ditinjau dari segi jenisnya bahwa tahkim atau arbitrase dapat terbagi menjadi tiga jenis
diantaranya adalah:
1. Arbitrase Nasional (umum)
Arbitrase nasional adalah arbitrase yang bersifat umum dan dapat digunakan untuk
menyelesaikan berbagai jenis konflik akibat semua jenis kontrak perdata dan tunduk pada hukum
nasional dalam suatu negara. Indonesia telah mensahkan atau memiliki sebuah lembaga
arbitrase nasional yang bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk
berdasarkan UU RI No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
2. Arbitrase khusus
Arbitrase khusus adalah arbitrase yang menyelesaikan konflik secara khusus dalam bidang
tertentu seperti bidang ekonomi syariah atau keuangan, industri, olahraga dan sebagainya.
Arbitrase khusus lebih spesifik pada arbitrase syariah yang menyelesaikan sengketa dalam
bidang ekonomi syariah yang meliputi kegiatan ekonomi seperti bank syariah, asuransi syariah,
reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syaria,
bisnis syariah dan sebagainya. Majelis Ulama Indonesia mendirikan sebuah badan arbitrase
muamalat indonesia (BAMUI) pada tanggal 21 oktober 1993. Kemudian berdasarkan keputusan
MUI nomor kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 BAMUI resmi dirubah menjadi
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang merupakan badan yang berada dibawah
MUI. Dan keputusan BASYARNAS tidak dilaksanakan secara sukarela melainkan berdasarkan
perintah dari Ketua Pengadilan Agama.

3. Arbitrase internasional
Arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang berdsarkan kontrak internasional dan tunduk
pada hukum internasdional. Yaitu proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase
di luar wilayah RI, dengan alasan untuk menghindari ketidak pastian yang berkaitan dengan
proses pengadilan (litigasi)di pengadilan nasional
Contoh penggunaan arbitrase internasioanl adalah kasus kontrak antara pemertintah RI
dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Ketika terjadi perselisiahan mengenai kontrak
tersebut, pemerintah meminta UNCITRAL untuk menyelesaikan konflik tersebut, arbitrer
UNCITRAL kemudian memutuskan NNT melakukan one prestasi.7

6
TM.Hasby Asy Shiddieqy Peradilan dan Hukum Acara Islam. 2001. Hal : 85
7
Arifin, Zaenal Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam
8
6. Bidang –bidang tahkim
Di dalam AL Mughni, ibnu Qudamah menerangkan,bahwa hukum yang ditetapkan oleh
hukum berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qadzaf, dan
qishash. Dalam hal-hal penguasa saja yang dapat memutuskanya. Pengikut-pengikut asy syafi’y
mempunyai dua pendapat dalam masalah ini.
Ibnu farhun dalam at tabshirah mengatakan,bahwa putusan hakim itu berlaku dalam
bidang-bidang harta,tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an,qishash,qadzaf,talak atau
menentukan keturunan .
Pihak-pihak yang mentahkimkan itu boleh menolak putusan hakim,sebelum hakim itu
mengeluarkan putusanya. Hakim itu di pandang sebagai muqolid yang dituruti oleh kedua belah
pihak karenya mereka boleh memakzulkan (memecat) mukalladnya,sebelum mukallad itu
menjatuhkan hukum.tetapi apabila muqallad sudah menggambil putusanya,maka putusanya itu
berlaku,tidak dapat dibatalkan lagi.
Sebagai ulama-ulama berpendapat,bahwa tidak perlu adanya kerelaan dari pihak sampai
pada pada ketika melaksanakan keterangan mereka masing-masing pada seorang
hakim,kemudian salah seorang ingin menarik kembali pentahkimanya sebelum memutuskan
hakim,maka hakim itu dapat terus memutuskan hukum dan saj hukumanya.
Menurut pendapat sahnun, masing-masing pihak dapat menarik pentahkimanya, selama
bulun ada putusan. Menurut pendapat yang rajih dalam mazhab Malik, tidak disyaratkan terus
menerus adanya kerelaan dari kedua belah pihak sampai kepada diberikan hukum. Tetapi apabila
kedua-duanya menarik pentahkimanya sebelum hukum ditetapkan maka penarikan itu di
benarkan dan tak dapat lagi muhkam memutuskan perkara tersebut.
Hakim boleh mendengar keterangan saksi dan dapat pula memutuskan perkara dengan
nukul,juga dengan ikrar,karena semua itu adalah hukum yang sesuai dengan syara. Apabila pihak
yang dikalahkan mengingkari adanya ikrar padahal keterangan cukup,kemudian dia menjauhkan
perkaranya kepada hakim, maka hakim boleh menerima apa yang telah ditetapkan oleh hakim
selama orang yang berperkara itu masih dalam mentahkimkan diri kepada sesuda dia tidak
berhak lagi memutuskan perkara,oleh hakim tidak harus didengar perkataan hakim itu.

BAB III
KESIMPULAN

9
Tahkim dan arbitrase digunakan secara bergantian, karena pada dasarnya kedua kata
tersebut memiliki kesamaan makna. Bilamana istilah tahkim berasal dari bahasa arab sedangkan
arbitrase dari bahasa inggris (bahasa latin).
Tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan Istilah
arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Jadi dapat dibandingkan antara pengertian tahkim menurut hukum islam dan arbitrase
menurut kacamata para ahli jelaslah bahwa tahkim dan arbitrase tidak berbeda dan hakikatnya
serta tujuannnya adalah sama. Namun secara tekstual, konsep hukum islam tentang tahkim hanya
berlaku dalam masalah keluarga yaitu dalam persegketaan suami-istri. Sedangkan konsep
arbitrase menurut hukum positif berlaku untuk berbagai bidang komersial seperti halnya
perdagangan, industri bahkan meluas hingga politik dan sebagainya.
Dasar hukum tahkim dalam Al-Qur’an untuk dijadikan landasan pelaksanaan tahkim atau
arbitrase adalah QS. An-nisa : 35, QS. Al-Hujurat: 9.
Adapun fungsinya adalah sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa sehingga
mampu menjadi solusi bagi penyelesaian sengketa perdata nasional di Indonesia atau mampu
menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-
usaha perdamaian atau islah.
Tahkim atau arbitrase dapat dibagi menjadi tiga dari segi jenisnya yaitu :
1. Arbitrase umum (nasional)
2. Arbitrase khusus (syariah)
3. Arbitrase internasional

10
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zaenal Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam, dimuat dalam Majalah Himmah Vol.
VII no. 18 Januari -April 2006
http://hndwibowo.blogspot.com/2008/06/badan-arbitrase-syariah-nasional.html
http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/arbitrasesengketaekonomiislam.pdf,
Mukhlas, Oyo Sunaryo, “Perkembangan Peradilan Islam”, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
T.M.Hasby Asy Shiddieqy Peradilan dan Hukum Acara Islam. PT. Pustaka Rizki Putra. 2001:
Semarang.
Basiq Djalil. Peradilan Islam . 2012. Amzah.: Jakarta

11

Anda mungkin juga menyukai