Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

Lembaga At-Tahkim (Pengertian, Syarat dan Wewenang)


Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Peradilan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Sam’un, M.Ag

Disusun oleh :
Risa Umami (05040121145)
Ulya Ramadhani (05040121153)
Yasmin Izdihar (05040121154)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SUNAN AMPEL SURABAYA

2022
KATA PENGANTAR

Rasa syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan nikmatnya yang telah
memberi kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikankan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongannya tentunya penulis tidak akan sanggup menyelesaikan makalah dengan baik.tidak
lupa, penulis mengucapkan syukur atas limpahan nikmat sehat fisik dan akal pikiran sehingga penulis
dapat menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah Peradilan di Indonesia dengan
judul “Definisi dan sejarah peradilan Islam".

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. karena itu penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca makalah
ini supaya makalah ini kedepannya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yaitu khususnya Dosen Hukum Peradilan Islam
yang telah membimbing dalam menulis makalah.
Demikian semoga makalah ini berguna untuk penulis dan pembaca serta diberkahi oleh Allah swt.

Surabaya, 22 April 2022

Penulis
Daftar Isi

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Lembaga At-Tahkim


B. Syarat Lembaga At-Tahkim
C. Wewenang Lembaga At-Tahkim

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam tradisi Islam, penyelesaian perselisihan dan persengketaan dengan mediasi dikenal
sebagai tahkim, dengan hakam sebagai juru damai atau mediatornya. Pranata tahkim itu
memiliki landasan yang kuat di dalam al-Qur’an (surat an-Nisa’: 35). Pranata tahkim itu
ditransformasikan ke dalam ketentuan pasal 76 UU Nomor 7 Tahun 1989, yang mengatur
gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan syiqaq. Munculnya penasihat perkawinan
dan pengembangan organisasi di bidang itu, misalnya Badan Penasihat Perkawinan,
Perselisihan, dan Perceraian (BP4), “dapat dipandang” sebagai perwujudan pranata tahkim
dalam bentuk organisasi, yang melibatkan berbagai tokoh masyarakat sebagai juru damai
dalam kegiatan penasihat perkawinan, perselisihan, dan perceraian bagi pasangan suami
istri yang beragama Islam.

Tahkim (menjadikan sebagai hakim) yaitu berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada
orang yang mereka sepakati dan setujui, serta rela menerima keputusannya untuk
menyelesaikan persengketaan mereka. Dapat juga dikatakan bahwa tahkim yaitu
berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka tunjuk (sebagai
penengah) untuk memutuskan/menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa pemilihan dan pengangkatan seorang juru
damai (hakam) dilakukan secara sukarela oleh kedua belah pihak yang terlibat
persengketaan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Lembaga At-Tahkim ?


2. Apa saja Syarat dan Wewenang Lembaga At-Tahkim ?

C. Tujuan

1. Memahami Pengertian Lembaga At-Tahkim


2. Mengetahui Syarat dan Wewenang Lembaga At-Tahkim
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Lembaga At-Tahkim

Istilah tahkim berasal dari bahasa Arab yang artinya menyerahkan putusan kepada
seseorang dan menerima putusan tersebut. Sedangkan menurut istilah, tahkim ialah dua
orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang untuk diselesaikan sengketanya dan
diterapkan hukum syara’ atas sengketa mereka itu1. Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikannya: perihal menjadikan hakim; mempergunakan hakim (dalam
persengketaan)2. Dalam pengertian ini yaitu menunjuk seseorang yang dianggap memiliki
kemampuan dan sifat adil dan bijaksana dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi dua
orang atau lebih.

Menurut kamus al-Munjid bahwa tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau
juru damai. Sedangkan Salam Madkur menyatakan dalam kitab Al-Qadha Fil Islam bahwa
tahkim secara terminologis berarti mengangkat seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru
damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan perkara yang
mereka selisihkan secara damai. Sedangkan istilah sekarang tahkim dapat diterjemahkan
sebagai arbitrase, dan orang yang bertindak sebagai wasitnya disebut arbiter atau hakam3.

Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan: menyerahkan diri atau urusan kepada seseorang yang
dianggap cakap dan pandai menyelesaikan sesuatu dengan menyenangkan kedua belah
pihak4. Penyelesaian sengketa tersebut terjadi di luar lembaga pengadilan. Orang yang
ditunjuk untuk memutus sengketa tersebut disebut hakam atau muhakkam.

Tahkim berasal dari kata hakkama. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama
dengan Arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai
wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka
secara damai. Orang yang menyelesaikannya disebut hakam. Lembaga tahkim juga dilakukan
oleh orang-orang Arab sebelum datangnya agama Islam. Pertikaian yang terjadi di antara
mereka biasanya diselesaikan dengan menggunakan lembaga tahkim. Pada umumnya
apabila terjadi perselisihan antar anggota suku maka kepala suku yang bersangkutan yang
mereka pilih dan mereka angkat sebagai hakamnya. Namun, jika perselisihan terjadi antar

1
Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
1997) hal. 81
2
Kamus Besar behasa Indonesia (KBBI)
3
Zaenal Arifin, “Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam”, dimuat dalam Majalah Himmah vol. VII no. 18
Januari -April 2006, hal.. 67-68
4
__________, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal.. 59
suku maka kepala suku lain yang tidak terlibat dalam perselisihan yang mereka minta untuk
menjadi hakam5.

Ahli fiqh menetapkan bahwa seorang hakam hendaklah seorang yang mempunyai sifat
hakim, yaitu dapat diajukan sebagai saksi baik laki-laki ataupun perempuan, dan benar-
benar mempunyai keahlian diwaktu dia menjatuhkan putusan. Hendaklah perkara yang
ditahkimkan kepadanya adalah perkara-perkara yang tidak masuk dalam bidang pidana dan
qishash. Karena dalam bidang ini penguasa yang berkewajiban melaksanakannya dan karena
hukum yang diberikan oleh muhakkam tidak melibatkan kepada orang-orang lain.
Mengingat hal ini maka tahkim itu dapat dilaksanakan dalam segala masalah ijtihadiyah
sepeti talak, nikah, kafalah, dan jual beli

Adapun kekuatan hukum keputusan tahkim terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah,
Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa putusan yang diberikan oleh hakam harus
dijalani oleh pihak yang bersangkutan, meskipun pihak-pihak yang berperkara boleh
menolak tahkim sebelum hakam mengeluarkan putusannya. Sedang ada pula pendapat
menyebutkan bahwa hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus dituruti oleh pihak
yang berperkara.

Apabila pihak yang berperkara sudah diputuskan perkaranya oleh seorang hakam, kemudian
mengajukan lagi perkaranya kepada hakam lain dan diberikan putusan yang berlawanan
dengan yang pertama karena hakam tersebut tidak mengetahui adanya putusan
sebelumnya, maka perkara itu harus diselesaikan oleh hakim, dan hakim hendaknya
mentanfizkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya. Hakim dapat pula membatalkan
putusan itu jika berlawanan dengan pendapatnya.

B. Syarat Lembaga At-Tahkim

Sebagaimana konsep sebagian fuqaha tentang tahkim, perkara-perkara yang


dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa ini hanya sengketa keperdataan misalnya dibidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase pada sengketa atau perkara pidana yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Guna menjamin obyektifitas dan proporsionalitas putusan arbitrase, seseorang


yang dapat diangkat menjadi arbiter harus memenuhi syarat-syarat:

1. cakap melakukan tindakan hukum


2. berumur minimal 35 tahun
3. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihaknya bersengketa

5
Abdul Azis Dahlan, et.al (ed.), Eksiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), jilid 5,
hlm. 1750.
4. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan
arbitrase, dan
5. memiliki pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya paling
sedikit 15 tahun.

Dalam kaitan ini, hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya tidak
diperkenankan diangkat sebagai arbiter. Hal ini dimaksudkan agar terjamin
adanya obyektifitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter
atau majelis arbiter.

Perlu ditambahkan, bahwa persyaratan jenis kelamin untuk dapat diangkat


arbiter tidak disebutkan dalam undang-undang arbitrase. Ini menunjukkan
bahwa wanita dan laki-laki dapat diangkat arbiter sepanjang memenuhi syarat-
syarat yang disebutkan di atas. Ketentuan tersebut berbeda dengan apa yang
disebutkan dalam pasal 617 ayat (2) Regleman Acara Perdata yang melarang
wanita sebagai arbiter.

C. Wewenang Lembaga At-Tahkim

Wewenang tahkim adalah lebih rendah dari wewenang peradilan. Karena hakim
berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam.
Lantaran itu Abu Yusuf tidak membolehkan seseorang atau lebih mengadakan suatu
syarat terhadap tahkim itu. Selain daripada itu hukum yang diberikan oleh muhakkam
hanya berlaku bagi orang-orang yang menerima putusannya. Sedangkan putusan
hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh orang yang bersangkutan.

Wewenang tahkim dibanding dengan qadha’ berada pada tingkat bawah. Mengingat
tahkim ini terjadi atas kesepakatan secara sukarela oleh pihak-pihak yang
bersengketa. Putusan seorang hakam dapat diterima oleh para pihak, dan dapat pula
menolaknya. Berbeda dengan keputusan qadha’, senang atau tidak senang kepada
keputusan qadha’ tersebut, harus diterima dan ditaati.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Lembaga tahkim adalah sebuah lembaga yang melayani dan menangani dalam menyelesaikan
sengketa yang dihadapi dua orang atau lebih dengan menunjuk seseorang yang dianggap memiliki
kemampuan dan sifat adil dan bijaksana.

Di dalam Kitab Al Mughni, Ibnu Qudamabh menerangkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh hakam
berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qadzaf, qishash. Dalam hal
ini termasuk wewenang penguasa. Pengikut-pengikut Asy Syafi’I mempunyai dua pendapat dalam
masalah ini.

Ibnu Farhun dalam Kitab At Tabshirah mengatakan bahwa putusan hakam itu berlaku dalam bidang-
bidang harta tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak, atau menetukan
keturunan. Pihak-pihak yang mentahkimkan itu boleh, menolak putusan hakam, sebelum hakam itu
mengeluarkan putusannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1970. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta. Bulan Bintang.

________. 1997. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang. PT Pustaka Rizki Putra.

Arifin, Zaenal. “Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam”, dimuat dalam Majalah Himmah vol. VII
no. 18 Januari -April 2006

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Dahlan, Abdul Azis, et.al (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2001

Anda mungkin juga menyukai