Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MUSYAWARAH DAN PUTUSAN

Mata Kuliah : Hukum Acara Perdata


Dosen Pengampu : Azzubaili, S.H., M.H.

Oleh:
Muhammad Akli Mu’azin (202011002)
Rahmat Muliya (202011007)
Samsudin Guntara (202011006)
Siti Nuryana Zuhra (20201103)
Syahriana (202011005)
Ummi Humairoh (202011004)

Jurusan Hukum Keluarga Islam(Ahwal Al-Syakhshiyyah)


Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe
2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
kesehatan dan kesempatan kepada saya, sehigga saya dapat menyelesaikan makalah ini sesuai
denga kemampua yang saya miliki. Shalawat beserta salam tak lupa pula kita hadiahkan kepada
Rasulullah SAW beserta seluruh keluarga beserta sahabat Beliau. Berkat jasa Beliaulah pada saat
ini kita masih dapat menghirup udara segar dari alam semesta.

Selanjutnya terima kasih kepada Bapak Mawardi S.H, selaku dosen pembimbing dalam
mata kuliah ini yang telah member saya kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “MUSYAWARAH DAN PUTUSAN”.

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena saya juga masih dalam proses
pembelajaran . Dan saya berharap kritik ataupun saran demi memperbaiki tulisan dalam makalah
ini. Saya hanya mampu mengucapkan banyak terima kasih dan berdoa semoga Allah membalas
jasa Bapak Pembimbing dan memperoleh ridha dari Allah SWT.

Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.


DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Musyawarah merupakan bentuk nilai-nilai kebiasaan yang hidup dalam masyarakat
Indonesia, oleh karenanya tidaklah heran apabila pendiri negara Indonesia memasukkan
musyawarah sebagai bagian dari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila
merupakan cermin dari kebiasaankebiasaan yang ada di masyarakat, kemudian dituangkan dalam
suatu bentuk dasar negara. Demikian juga halnya kebiasaan masyarakat Indonesia dari berbagai
suku, musyawarah tampaknya menjadi jalan bagi penyelesaian segala sengketa diantara mereka.

Sila ke-4 Pancasila menyebutkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan”. Berarti, yang dikedapankan prinsip bermusyawarah untuk
mufakat melalui wakil- wakilnya dan badan-badan perwakilan dalam memperjuangkan mandat
rakyat. Bila dicermati, arti dan makna Sila ke-4 sebagai berikut: a). Hakikat sila ini adalah
demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat; b). Pemusyawaratan,
yaitu membuat putusan secara bulat, dengan dilakukan secara bersama melalui jalan
kebikjasanaan; c). Melaksanakan keputusan berdasarkan kejujuran. Keputusan secara bulat
sehingga membawa konsekuensi kejujuran bersama. Nilai identitas adalah permusyawaratan; d).
Terkandung asas kerakyatan, yaitu rasa kecintaan terhadap rakyat, memperjuangkan cita-cita
rakyat, dan memiliki jiwa kerakyatan. Asas musyawarah untuk mufakat, yaitu yang
memperhatikan dan menghargai aspirasi seluruh rakyat melalui forum permusyawaratan,
menghargai perbedaan, mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa dan negara (Yusdiyanto,
2016).

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Musyawarah dan Putusan?
b. Bagaimana Musyawarah dan Putusan dilakukan dalam Pengadilan?

3. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui pengertian Musyawarah dan Putusan.
b. Mengetahui Musyawarah dan Putusan dalam Pengadilan.
BAB II: PEMBAHASAN
1. Musyawarah Majelis Hakim
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) musyawarah adalah pembahasan bersama dengan
maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah, perundingan, perembukan.
Kegiatan musyawarah sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia.

Musyawarah Majelis Hakim, adalah acara terakhir sebelum, Majelis Hakim, mengambil suatu
kesimpulan atau sebelum majelis Hakim mengucapkan putusan. Musyawarah majelis dilakukan dalam
sidang yang tertutup, karena dalam musyawarah itu masing-masing Hakim yang ikut memeriksa
persidangan itu akan mengemukakan pendapat hukumnya tentang perkara yang tersebut secara terrahasia
dengan arti tidak diketahui oleh yang bukan majelis hakim. 1

a. Aturan tentang Musyawarah Majelis Hakim


1) HIR. Dalam HIR pasal 178 ayat (1) pada judul Tentang Permusyawaratan dan Keputusan
Hakim‟ ditegaskan sebagai berikut,” Hakim dalam waktu bermusyawarah, karena jabatnya,
harus mencukupkan alasan-alasan hukum yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua
pihak”.
2) UU No. 7 tahun 1989 pasal 59 ayat (3) menyatakan bahwa,“ Rapat permusyawaratan
Hakim bersifat rahasia”.
3) Buku II. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama pada halaman 32
point c di bawah judul „Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim‟ diuraikan dalam empat
point sebagai berikut,
a) Rapat permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasia (pasal 19 ayat 3 UU No.4 tahun
2004). Panitera sidang dapat mengikuti rapat permusyawaratan Majelis apabila
dipandang perlu dan mendapat persetujuan oleh Majelis Hakim.
b) Ketua Majelis akan mempersilahkan Hakim Anggota II untuk mengemukakan
pendapatnya, disusul oleh Hakim Anggota I dan terakhir Ketua Majelis akan
menyampaikan pendapatnya.
c) Semua pendapat harus dikemukakan dengan jelas, dengan menunjuk dasar hukumnya,
kemudian dicatat dalam buku agenda sidang,
d) Dalam rapat permusyawaratan, setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa. 2
b. Substansi dan Teknik Musyawarah Majelis
Dalam bukunya, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Bapak
Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H, S.IP, M. Hum, menyebut bahwa, “Musyawarah Majelis
Hakim merupakan perundingan yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu
perkara yang diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan Pengadilan Agama
yang berwenang. Musyawarah Majelis Hakim dilaksanakan secara rahasia, maksudnya apa
yang dihasilkan dalam rapat Majelis Hakim tersebut hanya diketahui oleh Majelis Hakim yang

1
Musyawarah Majelis Hakim, oleh:Azhar Arfiansyah Zaini,SHI.M.Sy.(Calon Hakim Angkatan II PPC Satker
Pengadilan Agama Serang Jawa Barat).
2
Lihat, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI,
2008, hal. 32.
memeriksa perkara.sampai putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Tujuan diadakan musyawarah majelis ini adalah untuk menyamakan persepsi, agar terhadap
perkara yang sedang diadili itu dapat dijatuhkan Putusan yang seadil-adilnya, sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.”3
Pendapat ini kalau kita hubungkan dengan aturan-aturan tentang musyawarah yang dikutip di
atas, menyiratkan bahwa, substansi atau hakikat musyawarah majelis Hakim itu adalah
perundingan atau tukar pendapat, dalam mencari suatu putusan terhadap suatu perkara. Dalam
perundinganmana akan disatukan persepsi atau pemahaman terhadap kasus dan
penyelesaiannya.
Adapun teknis jalannya rapat musyawarah Majelis Hakim adalah seperti yang telah diatur
pada Buku II di atas. Ketua Majelis Hakim memimpim musyawarah. Kesempatan pertama
mengemukakan pendapat diberikan kepada Hakim Anggota II atau Hakim yang paling yunior.
Berikutnya kesempatan mengemukakan pendapat diberikan kepada Hakim Anggota I (Hakim
yang agak senior). Terakhir Ketua Majelis akan menyampaikan pendapat hukumnya.
Apabila terjadi perbedaan pendapat hukum antara majelis yang bermusyawarah, maka
perbedaan itu diselesaikan dengan voting, atau hitung suara terbanyak. Cara ini sangat logis,
dan oleh karena itu maka jumlah hakim dalam satu majelis harus ganjil, agar bisa diselesaikan.
Pendapat hakim yang kalah suara, meskipun dia sebagai Ketua Majelis, harus menyesuaikan
dengan pendapat mayoritas. Mengacu pada asas Primus Interpares, jika terjadi perbedaan
pendapat di antara anggota Majelis Hakim, maka pendapat yang terbanyaklah yang diikuti
(Demikian yang diamanatkan Buku II Revisi 2009).
Perbedaan pendapat tersebut dimuat dalam putusan, yang dalam praktek lazim disebut dengan
dissenting opinion, sebagaimana tersurat dalam Pasal 14 ayat (3) UU. No. 48/2009. Namun
demikian menurut Bagir Manan (Varia Peradilan No. 253/2006), dalam keadaan tertentu,
putusan dapat disepakati berdasarkan pendapat Ketua Majelis, sepanjang pendapatnya
argumentatif. Hal ini dapat diasumsikan, bahwa bila terjadi pendapat yang sifatnya “pelangi’
di antara Majelis Hakim maka tidak ada pendapat yang terbanyak sehingga dalam kondisi
seperti ini menyepakati pendapat Ketua Mejelis adalah langkah yang paling “aman”.
Kemudian prihal tentang dasarnya panitera yang ikut bersidang tidak dibenarkan untuk
mengikuti rapat musyawarah Majelis Hakim. Demikian simpulan yang dibuat oleh Prof.Dr. H.
Abdul Manan dan ini sesuai dengan isi Buku II seperti dikutip di atas, Alasannya adalah
karena musyawarah itu bersifat rahasia, dan ini menurut beliau sesuai dengan pasal 17 ayat 3
UU No. 14 tahun 1970. Dibalik itu, masih menurut Pak Manan, kemungkinan Panitera
pengganti ikut dalam musyawarah Majelis, bisa saja dibenarkan dengan catatan, Majelis
Hakim memandang kehadiran panitera sidang itu diperlukan.
Dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan bahwa dalam sidang
pemusyawaralan boleh atau tidak diikuti oleh panitera sidang, tetapi hanya "bersifat rahasia'.
Masalahnya bolehkah panitera sidang mengikuti persidangan yang bersifat rahasiai itu?
Dengan kata, lain, bahwa panitera sidang bisa ikut dan bisa tidak ikut dalam musyawarah
Majelis Hakim. Hal itu tergantung kepada pandangan Ketua Majelis, apakah keikutsertaan
panitera sidang itu diperlukan atau tidak. Di dalam Pasal 51 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa ihktisar rapat dibaca "sidang" permusyawaratan

3
Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H, S.IP, M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Yayasan al-Hikmah, Jakarta, 2000, hal.161
ditandatangani oleh panitera sidang, ini berarti panitera Sidang membuat ikhtisar artinya
kesimpulan musyawarah hakim tetapi tidak dijelaskan apa dihadiri oleh panitera atau tidak,
dengan begitu tidak ada larangan panitera ikut sidang. Jika diperhatikan kalimat bersifat
rahasia, sedangkan yang menjamin kerahasiaan sesuatu bila yang bersangkutan disumpah
untuk pekerjaan itu, sementara untuk pekerjaan putusan perkara hanya hakim yang di sumpah
untuk merahasiakannya dan pula fungsi panitera sidang adalah fungsi bantuan (vide Pasal 1
ayat( 3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

2. Putusan
Eksistensi putusan hakim atau lazim disebut dengan terminologi “putusan pengadilan” sangat
diperlukan untuk menyelesaikan perkara perdata. Oleh karena demikian diharapkan para pihak,
baik Penggugat/Pemohon maupun Tergugat/Termohon dapat menerima putusan sehingga orang
yang “merasa” dan “dirasa”  haknya telah dilanggar oleh orang lain mendapatkan haknya
kembali dan orang yang “merasa” dan “dirasa” telah melanggar hak orang lain harus
mengembalikan hak tersebut.4

Apabila Majelis Hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, mereka
harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Untuk mengakhiri sengketa yang diajukan,
putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
5
Apabila ditinjau dari visi hakim yang memutus perkara, putusan hakim merupakan “mahkota”
sekaligus “puncak” dan “akta penutup” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran, penguasaan
hukum dan fakta, etika serta moral dari hakim bersangkutan.

Menurut Andi Hamzah,  sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, putusan adalah ”hasil atau
kesimpulan dari perkara yang dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk
tertulis maupun lisan”. Sudikno Martokusumo, sebagaimana juga dikemukakan oleh Abdul
Manan, mendefinisikan putusan dengan ”suatu pernyataan oleh Hakim sebagai pejabat negara
yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan
tujuan untuk menyelesaikan perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara”. 6

Berdasarkan kedua definisi yang dikemukakannya tersebut, Abdul Manan menyimpulkan


bahwa putusan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang
untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang
berperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Putusan pada dasarnya merupakan proses ilmiah dengan Majelis Hakim sebagai poros
utamanya. Majelis Hakim memegang peranan sentral dalam membuat putusan atas memutus
sengketa yang sedang ditanganinya. Implementasi hukum dalam putusan Majelis Hakim

4
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia; Teori, Praktek, Ternik Membuat dan
Permasalahannya, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 147.
5
Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: “Putusan pengadilan hanya
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
6
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,( Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2008), Cet. Ke-5, hlm. 291-292.
mengacu pada kerangka pikir tertentu yang dibangun secara sistematik. Doktrin atau teori
hukum (legal theory) memegang peranan penting dalam membimbing  Majelis Hakim menyusun
putusan yang berkualitas dan mampu mengakomodir tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian
dan kemanfaatan hukum. 7Ketika Hakim memeriksa dan mengadili perkara agar dapat
melahirkan suatu putusan yang adil, yang berkepastian hukum dan bermanfaat.

Dalam suatu putusan, pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan.
Pertimbangan hukum berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari Majelis
Hakim yang memeriksa perkara. Dalam pertimbangan hukum tersebut dikemukakan analisis
yang jelas berdasarkan undang-undang pembuktian tentang:

1. Apakah alat bukti yang diajukan Penggugat dan Tergugat memenuhi syarat formil dan
materil.
2. Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian.
3. Dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti.
4. Sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak. 8

Selanjutnya diikuti dengan analisis, hukum apa yang diterapkan menyelesaikan perkara
tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu, pertimbangan melakukan argumentasi yang objektif dan
rasional, pihak mana yang mampu membuktikan dalil gugat atau dalil bantahan sesuai dengan
ketentuan hukum yang diterapkan. Dari hasil argumentasi itulah Majelis Hakim menjelaskan
pendapatnya apa saja yang terbukti dan yang tidak, dirumuskan menjadi kesimpulan hukum
sebagai dasar landasan penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan.

Apabila putusan tidak lengkap dan saksama mendeskripsikan dan mempertimbangkan alat
bukti dan nilai kekuatan pembuktian, mengakibatkan putusan dianggap tidak cukup
pertimbangan hukumnya atau onvoldoende gemotiveerd, dan putusan tersebut bertentangan
dengan Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal 189 RBG dan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Adapun Pasal 178 ayat (1) HIR, dan pasal  189 ayat (1) RBG berbunyi:

”Dalam rapat permusyawaratan, karena jabatannya hakim harus menambah dasar-dasar hukum
yang tidak dikemukakan oleh para pihak”.

Sedangkan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi:

“Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau


pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan”.

7
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.
Ke-13, hlm.213.
8
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hlm. 809.
Dalam putusan tersebut juga diharuskan menyebut pasal-pasal tertentu peraturan perundang-
undangan yang diterapkan dalam putusan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (2) HIR
yang menegaskan bahwa apabila putusan didasarkan pada aturan undang-undang yang pasti
maka aturan itu harus disebut. Demikian juga diatur dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 184 ayat (2) HIR berbunyi:

“Dalam putusan hakim yang berdasarkan peraturan undang-undang yang pasti, peraturan itu
harus disebutkan”.

Sementara Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi:

”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu
dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Majelis Hakim harus
mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum, dan harus pula memuat
alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Dalam mengambil putusan, masing-masing Hakim mempunyai hak yang sama dalam
melakukan tiga tahap yang mesti dilakukan Hakim untuk memperoleh putusan yang baik dan
benar. 9Pertama, tahap konstatir. Mengonstatir peristiwa hukum yang diajukan oleh para pihak
kepadanya dengan melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah
diajukan tersebut.

Jadi, mengkonstatir berarti bahwa Hakim melihat, mengetahui, membenarkan, telah


terjadinya peristiwa, harus pasti bukan dugaan, yang didasarkan alat bukti pembuktian.

1. Proses pembuktian dimulai meletakkan beban bukti yang tepat, kepada siapa beban bukti
ditimpakan. Menilai alat bukti yang diajukan, apakah alat bukti tersebut memenuhi syarat
formil, syarat materil, memenuhi batas minimal bukti serta mempunyai nilai kekuatan
pembuktian.
2. Menentukan terbukti atau tidak/dalil peristiwa yang diajukan. Bagi Hakim yang penting
fakta peristiwa, bukan hukumnya. Pembuktian adalah ruh bagi putusan Hakim.

Kedua, tahap kualifisir. Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak


kepadanya. Peristiwa yang telah dikonstatirnya itu sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi
harus dikualifisir. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi itu
termasuk hubungan hukum mana dan hukum apa, dengan kata lain harus ditemukan hubungan
hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir itu.

9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm.87-89.
Jadi, mengkualifisir berarti mencari/menentukan hubungan hukum terhadap dalil/peristiwa
yang telah dibuktikan. Hakim menilai terhadap dalil/peristiwa yang telah terbukti atau menilai
dalil/peristiwa yang tidak terbukti dengan peraturan perundang-undangan yang merupakan
hukum materil atau dapat dikatakan mencari penerapan hukum yang tepat terhadap
dalil/peristiwa yang telah dikonstatir.

Ketiga, tahap konstituir. Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya atau memberikan


keadilan kepada para pihak yang berperkara. 10

Berdasarkan uraian di atas, jika tahap yang harus dilalui seorang Hakim untuk membuat
putusan di atas (konstatir, kualifisir dan konstituir) dijadikan alat ukur untuk menilai
pertimbangan hukum suatu  putusan, maka dapat disimpulkan apabila  Hakim tidak melakukan
salah satu proses dari tahapan tersebut atau gagal melakukan, misalnya Hakim tidak berhasil
melakukan tahap konstatir,  karena tidak menetapkan beban pembuktian dan tidak menilai alat
bukti, atau tidak berhasil melakukan tahap kualifisir, karena tidak menyimpulkan mana fakta
hukum yang terbukti dan apa saja dasar hukum yang berkaitan dengan pokok perkara. Ketidak
berhasilan pada dua tahap sebelumnya di atas, sangat berpotensi mengakibatkan ketidak
berhasilan dalam dalam menjatuhkan amar putusan yang merupakan tahap konstituir ini.

Untuk menghasilkan putusan yang baik dan memberikan rasa keadilan, kepastian dan
manfaat kepada para pihak yang berperkara, marilah kita aplikasikan dan terapkan tahap-tahap
dalam membuat dan  menetapkan suatu putusan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.

BAB III: PENUTUP


1. Kesimpulan
a. Berdasakan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses sidang permusyawaratan
majelis hakim merupakan bagian yang terpenting dan menentukan dalam sebuah proses
perkara perdata dan karenanya harus memenuhi syarat formit dan materiil untuk
mendapat putusan yang legal justice.
b. Setiap putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim atas suatu perkara yang ditanganinya,
harus berdasarkan hasil rapat yang disepakati seluruh anggota Majelis Hakim yang
bersangkutan.
c. Syarat formil sidang permusyawaratan majelis hakim adalah:
a. Dilakukan di ruang sidang pengadilan;
b. Sidang permusyawaratan majelis hakim tertutup untuk umum; (vide pasal l4 ayat
(l) UU No. 48 Tahun 2009)
c. Dihadiri oleh majelis hakim yang bersangkutan dangan atau tanpa panitera
sidang.

10
Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 275.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, 2008, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta,


Kencana Prenada Media Group.

Achmad Ali, 2010 Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), Jakarta: Kencana

Yahya Harahap, 1975, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir Trading Co.

Lilik Mulyadi, 2009, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia; Teori, Praktek,
Teknik Membuat dan Permasalahannya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty.

Musyawarah Majelis Hakim, oleh:Azhar Arfiansyah Zaini,SHI.M.Sy.(Calon Hakim Angkatan II


PPC Satker Pengadilan Agama Serang Jawa Barat).

Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Edisi 2007, Mahkamah
Agung RI, 2008,

Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H, S.IP, M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Yayasan al-Hikmah, Jakarta, 2000,

Anda mungkin juga menyukai