DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6 :
MAYASARI 210102040183
FAKULTAS SYARIAH
BANJARMASIN
2023
A. Kesimpulan Para Pihak
Setelah melalui beberapa tahapan beracara pada peradilan perdata,
mulai dari pembacaan gugatan, jawaban atas gugatan dari Tergugat, Replik,
duplik, pembuktian, akhirnya masing-masing pihak yang berperkara sampai
pada kesimpulan masing-masing atas proses pemeriksaaan perkara di
pengadilan. Untuk itu baik Penggugat maupun Tergugat membuat
kesimpulan atau diberi kesempatan oleh hakim untuk mengajukan
kesimpulan yang diserahkan kepada majelis hakim dalam satu persidangan
secara bersamaan.
Bagaimana bentuk dan isi kesimpulan biasanya diserahkan kepada
masing-masing pihak yang berperkara. Hakim hanya memberikan
kesempatan kepada para pihak, dan itu pun tidak wajib. Artinya bisa saja
masing-masing pihak tidak membuat kesimpulan dan menyerahkan kepada
hakim, tetapi umumnya masing-masing pihak berperkara mengajukan
kesimpulan.
1
Lihat, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Edisi 2007,
Mahkamah Agung RI, 2008, hal. 32.
2
Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H, S.IP, M. Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Yayasan al-Hikmah, Jakarta, 2000, hal.161
kesempatan mengemukakan pendapat diberikan kepada Hakim Anggota I
(Hakim yang agak senior). Terakhir Ketua Majelis akan menyampaikan
pendapat hukumnya.
Apabila terjadi perbedaan pendapat hukum antara majelis yang
bermusyawarah, maka perbedaan itu diselesaikan dengan voting, atau
hitung suara terbanyak. Cara ini sangat logis, dan oleh karena itu maka
jumlah hakim dalam satu majelis harus ganjil, agar bisa diselesaikan.
Pendapat hakim yang kalah suara, meskipun dia sebagai Ketua Majelis,
harus menyesuaikan dengan pendapat mayoritas. Mengacu pada asas
Primus Interpares, jika terjadi perbedaan pendapat di antara anggota
Majelis Hakim, maka pendapat yang terbanyaklah yang diikuti (Demikian
yang diamanatkan Buku II Revisi 2009). Perbedaan pendapat tersebut
dimuat dalam putusan, yang dalam praktek lazim disebut dengan dissenting
opinion, sebagaimana tersurat dalam Pasal 14 ayat (3) UU. No. 48/2009.
Namun demikian menurut Bagir Manan (Varia Peradilan No. 253/2006),
dalam keadaan tertentu, putusan dapat disepakati berdasarkan pendapat
Ketua Majelis, sepanjang pendapatnya argumentatif. Hal ini dapat
diasumsikan, bahwa bila terjadi pendapat yang sifatnya “pelangi’ di antara
Majelis Hakim maka tidak ada pendapat yang terbanyak sehingga dalam
kondisi seperti ini menyepakati pendapat Ketua Mejelis adalah langkah
yang paling “aman”.
Kemudian perihal tentang dasarnya panitera yang ikut bersidang tidak
dibenarkan untuk mengikuti rapat musyawarah Majelis Hakim. Demikian
simpulan yang dibuat oleh Prof. Dr. H. Abdul Manan dan ini sesuai dengan
isi Buku II seperti dikutip di atas, Alasannya adalah karena musyawarah itu
bersifat rahasia, dan ini menurut beliau sesuai dengan pasal 17 ayat 3 UU
No. 14 tahun 1970. Dibalik itu, masih menurut Pak Manan, kemungkinan
Panitera pengganti ikut dalam musyawarah Majelis, bisa saja dibenarkan
dengan catatan, Majelis Hakim memandang kehadiran panitera sidang itu
diperlukan.3
Dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan bahwa dalam
sidang pemusyawaralan boleh atau tidak diikuti oleh panitera sidang, tetapi
hanya bersifat ’rahasia’. Masalahnya bolehkah panitera sidang mengikuti
persidangan yang bersifat rahasia itu?
Dengan kata, lain, bahwa panitera sidang bisa ikut dan bisa tidak ikut
dalam musyawarah Majelis Hakim. Hal itu tergantung kepada pandangan
Ketua Majelis, apakah keikutsertaan panitera sidang itu diperlukan atau
tidak. Di dalam Pasal 51 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, menyebutkan bahwa ihktisar rapat dibaca "sidang"
permusyawaratan ditandatangani oleh panitera sidang, ini berarti panitera
Sidang membuat ikhtisar artinya kesimpulan musyawarah hakim tetapi
tidak dijelaskan apa dihadiri oleh panitera atau tidak, dengan begitu tidak
ada larangan panitera ikut sidang. Jika diperhatikan kalimat bersifat rahasia,
sedangkan yang menjamin kerahasiaan sesuatu bila yang bersangkutan
disumpah untuk pekerjaan itu, sementara untuk pekerjaan putusan perkara
hanya hakim yang di sumpah untuk merahasiakannya dan pula fungsi
panitera sidang adalah fungsi bantuan (vide Pasal 1 ayat (3) UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
E. Kesimpulan
1. Pada tahap kesimpulan para pihak baik penggugat maupun tergugat
diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang
merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung
menurut pandangan masing-masing. Kesimpulan yang disampaikan ini
dapat berupa lisan dan dapat pula secara tertulis.
2. Berdasakan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses sidang
permusyawaratan majelis hakim merupakan bagian yang terpenting dan
3
Ibid, Hal 168
menentukan dalam sebuah proses perkara perdata dan karenanya harus
memenuhi syarat formit dan materiil untuk mendapat putusan yang legal
justice.
3. Setiap putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim atas suatu perkara
yang ditanganinya, harus berdasarkan hasil rapat yang disepakati
seluruh anggota Majelis Hakim yang bersangkutan.
4. Syarat formil sidang permusyawaratan majelis hakim adalah:
a. Dilakukan di ruang sidang pengadilan;
b. Sidang permusyawaratan majelis hakim tertutup untuk umum; (vide
pasal l4 ayat (l) UU No. 48 Tahun 2009)
c. Dihadiri oleh majelis hakim yang bersangkutan dangan atau tanpa
panitera sidang.