Anda di halaman 1dari 7

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Hukum Acara Perdata Di PA I Fuad Luthfi S.Ag, M.H.

KESIMPULAN PARA PIHAK DAN MUSYAWARAH MAJELIS HAKIM


(PERUMUSAN PUTUSAN)

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 6 :

KAMALIA ROHANA 210102040006

SYARIFAH NAJWA ALAWIYAH SHAHAB 210102040008

NUR AZIZAH 210102040241

MAYASARI 210102040183

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)

BANJARMASIN

2023
A. Kesimpulan Para Pihak
Setelah melalui beberapa tahapan beracara pada peradilan perdata,
mulai dari pembacaan gugatan, jawaban atas gugatan dari Tergugat, Replik,
duplik, pembuktian, akhirnya masing-masing pihak yang berperkara sampai
pada kesimpulan masing-masing atas proses pemeriksaaan perkara di
pengadilan. Untuk itu baik Penggugat maupun Tergugat membuat
kesimpulan atau diberi kesempatan oleh hakim untuk mengajukan
kesimpulan yang diserahkan kepada majelis hakim dalam satu persidangan
secara bersamaan.
Bagaimana bentuk dan isi kesimpulan biasanya diserahkan kepada
masing-masing pihak yang berperkara. Hakim hanya memberikan
kesempatan kepada para pihak, dan itu pun tidak wajib. Artinya bisa saja
masing-masing pihak tidak membuat kesimpulan dan menyerahkan kepada
hakim, tetapi umumnya masing-masing pihak berperkara mengajukan
kesimpulan.

B. Musyawarah Majelis Hakim


Musyawarah Majelis Hakim, adalah acara terakhir sebelum, Majelis
Hakim, mengambil suatu kesimpulan atau sebelum majelis Hakim
mengucapkan putusan. Musyawarah majelis dilakukan dalam sidang yang
tertutup, karena dalam musyawarah itu masing-masing Hakim yang ikut
memeriksa persidangan itu akan mengemukakan pendapat hukumnya
tentang perkara yang tersebut secara terrahasia dengan arti tidak diketahui
oleh yang bukan dari majelis hakim.
Rapat permusyawaratan majelis hakim bersifat rahasia (Pasal 19
ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004). Dalam rapat
permusyawaratan majelis hakim, semua Hakim menyampaikan
pertimbangannya atau pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Jika
terdapat perbedaan pendapat, maka diambil suara terbanyak, dan pendapat
yang berbeda tersebut dapat dimuat dalam putusan (dissenting opinion).
Permasalahan yang akan disorot di dalam musyarwarah tersebut
adalah Pertama, apakah musyawarah itu diadakan dalam suatu
persidangan, yang konsekuensinya akan dibuatkan suatu Berita Acara
Persidangan Musyawarah? Dan bagaiamana sikap majelis apabila adanya
suatu perbedaan pendapat?
Kedua, apakah wajib mengikut sertakan panitera sidang dalam
musyawarah tersebut atau tidak? Masalah ini ada juga kaitannya dengan
masalah pertama.

C. Aturan tentang Musyawarah Majelis Hakim.


1. HIR. Dalam HIR pasal 178 ayat (1) pada judul Tentang
Permusyawaratan dan Keputusan Hakim‟ ditegaskan sebagai berikut,”
Hakim dalam waktu bermusyawarah, karena jabatnya, harus
mencukupkan alasan-alasan hukum yang mungkin tidak dikemukakan
oleh kedua pihak”.
2. UU No. 7 tahun 1989 pasal 59 ayat (3) menyatakan bahwa,“ Rapat
permusyawaratan Hakim bersifat rahasia”.
3. Buku II. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama
pada halaman 32 point c di bawah judul Rapat Permusyawaratan Majelis
Hakim diuraikan dalam empat point sebagai berikut,
a. Rapat permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasia (pasal 19
ayat 3 UU No.4 tahun 2004). Panitera sidang dapat mengikuti rapat
permusyawaratan Majelis apabila dipandang perlu dan mendapat
persetujuan oleh Majelis Hakim.
b. Ketua Majelis akan mempersilahkan Hakim Anggota II untuk
mengemukakan pendapatnya, disusul oleh Hakim Anggota I dan
terakhir Ketua Majelis akan menyampaikan pendapatnya.
c. Semua pendapat harus dikemukakan dengan jelas, dengan menunjuk
dasar hukumnya, kemudian dicatat dalam buku agenda sidang,
d. Dalam rapat permusyawaratan, setiap Hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa.1

D. Substansi dan Teknik Musyawarah Majelis.


Dalam bukunya, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Bapak Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H, S.IP, M. Hum,
menyebut bahwa, “Musyawarah Majelis Hakim merupakan perundingan
yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu perkara
yang diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan
Pengadilan Agama yang berwenang. Musyawarah Majelis Hakim
dilaksanakan secara rahasia, maksudnya apa yang dihasilkan dalam rapat
Majelis Hakim tersebut hanya diketahui oleh Majelis Hakim yang
memeriksa perkara. Sampai putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka
untuk umum. Tujuan diadakan musyawarah majelis ini adalah untuk
menyamakan persepsi, agar terhadap perkara yang sedang diadili itu dapat
dijatuhkan Putusan yang seadil-adilnya, sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku”2
Pendapat ini kalau kita hubungkan dengan aturan-aturan tentang
musyawarah yang dikutip di atas, menyiratkan bahwa, substansi atau
hakikat musyawarah majelis Hakim itu adalah perundingan atau tukar
pendapat, dalam mencari suatu putusan terhadap suatu perkara. Dalam
perundinganmana akan disatukan persepsi atau pemahaman terhadap kasus
dan penyelesaiannya.
Adapun teknis jalannya rapat musyawarah Majelis Hakim adalah seperti
yang telah diatur pada Buku II di atas. Ketua Majelis Hakim memimpin
musyawarah. Kesempatan pertama mengemukakan pendapat diberikan
kepada Hakim Anggota II atau Hakim yang paling yunior. Berikutnya

1
Lihat, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Edisi 2007,
Mahkamah Agung RI, 2008, hal. 32.
2
Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H, S.IP, M. Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Yayasan al-Hikmah, Jakarta, 2000, hal.161
kesempatan mengemukakan pendapat diberikan kepada Hakim Anggota I
(Hakim yang agak senior). Terakhir Ketua Majelis akan menyampaikan
pendapat hukumnya.
Apabila terjadi perbedaan pendapat hukum antara majelis yang
bermusyawarah, maka perbedaan itu diselesaikan dengan voting, atau
hitung suara terbanyak. Cara ini sangat logis, dan oleh karena itu maka
jumlah hakim dalam satu majelis harus ganjil, agar bisa diselesaikan.
Pendapat hakim yang kalah suara, meskipun dia sebagai Ketua Majelis,
harus menyesuaikan dengan pendapat mayoritas. Mengacu pada asas
Primus Interpares, jika terjadi perbedaan pendapat di antara anggota
Majelis Hakim, maka pendapat yang terbanyaklah yang diikuti (Demikian
yang diamanatkan Buku II Revisi 2009). Perbedaan pendapat tersebut
dimuat dalam putusan, yang dalam praktek lazim disebut dengan dissenting
opinion, sebagaimana tersurat dalam Pasal 14 ayat (3) UU. No. 48/2009.
Namun demikian menurut Bagir Manan (Varia Peradilan No. 253/2006),
dalam keadaan tertentu, putusan dapat disepakati berdasarkan pendapat
Ketua Majelis, sepanjang pendapatnya argumentatif. Hal ini dapat
diasumsikan, bahwa bila terjadi pendapat yang sifatnya “pelangi’ di antara
Majelis Hakim maka tidak ada pendapat yang terbanyak sehingga dalam
kondisi seperti ini menyepakati pendapat Ketua Mejelis adalah langkah
yang paling “aman”.
Kemudian perihal tentang dasarnya panitera yang ikut bersidang tidak
dibenarkan untuk mengikuti rapat musyawarah Majelis Hakim. Demikian
simpulan yang dibuat oleh Prof. Dr. H. Abdul Manan dan ini sesuai dengan
isi Buku II seperti dikutip di atas, Alasannya adalah karena musyawarah itu
bersifat rahasia, dan ini menurut beliau sesuai dengan pasal 17 ayat 3 UU
No. 14 tahun 1970. Dibalik itu, masih menurut Pak Manan, kemungkinan
Panitera pengganti ikut dalam musyawarah Majelis, bisa saja dibenarkan
dengan catatan, Majelis Hakim memandang kehadiran panitera sidang itu
diperlukan.3
Dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan bahwa dalam
sidang pemusyawaralan boleh atau tidak diikuti oleh panitera sidang, tetapi
hanya bersifat ’rahasia’. Masalahnya bolehkah panitera sidang mengikuti
persidangan yang bersifat rahasia itu?
Dengan kata, lain, bahwa panitera sidang bisa ikut dan bisa tidak ikut
dalam musyawarah Majelis Hakim. Hal itu tergantung kepada pandangan
Ketua Majelis, apakah keikutsertaan panitera sidang itu diperlukan atau
tidak. Di dalam Pasal 51 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, menyebutkan bahwa ihktisar rapat dibaca "sidang"
permusyawaratan ditandatangani oleh panitera sidang, ini berarti panitera
Sidang membuat ikhtisar artinya kesimpulan musyawarah hakim tetapi
tidak dijelaskan apa dihadiri oleh panitera atau tidak, dengan begitu tidak
ada larangan panitera ikut sidang. Jika diperhatikan kalimat bersifat rahasia,
sedangkan yang menjamin kerahasiaan sesuatu bila yang bersangkutan
disumpah untuk pekerjaan itu, sementara untuk pekerjaan putusan perkara
hanya hakim yang di sumpah untuk merahasiakannya dan pula fungsi
panitera sidang adalah fungsi bantuan (vide Pasal 1 ayat (3) UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

E. Kesimpulan
1. Pada tahap kesimpulan para pihak baik penggugat maupun tergugat
diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang
merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung
menurut pandangan masing-masing. Kesimpulan yang disampaikan ini
dapat berupa lisan dan dapat pula secara tertulis.
2. Berdasakan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses sidang
permusyawaratan majelis hakim merupakan bagian yang terpenting dan

3
Ibid, Hal 168
menentukan dalam sebuah proses perkara perdata dan karenanya harus
memenuhi syarat formit dan materiil untuk mendapat putusan yang legal
justice.
3. Setiap putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim atas suatu perkara
yang ditanganinya, harus berdasarkan hasil rapat yang disepakati
seluruh anggota Majelis Hakim yang bersangkutan.
4. Syarat formil sidang permusyawaratan majelis hakim adalah:
a. Dilakukan di ruang sidang pengadilan;
b. Sidang permusyawaratan majelis hakim tertutup untuk umum; (vide
pasal l4 ayat (l) UU No. 48 Tahun 2009)
c. Dihadiri oleh majelis hakim yang bersangkutan dangan atau tanpa
panitera sidang.

Anda mungkin juga menyukai