Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini dengan judul "Putusan Pengadilan dalam Hukum Acara Perdata".
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam mata kuliah
Hukum Acara Perdata yang kami ikuti di bawah bimbingan Bapak Abdul Gofur,
M.H. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan,
arahan, dan pengawasan yang Bapak berikan selama proses penulisan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua
pihak yang membacanya dan dapat memberikan kontribusi nyata dalam
pengembangan ilmu hukum di Indonesia.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang……………………………………………….......
B. Rumusan Masalah………………………………………........…
C. Tujuan Penulisan……………………………………………......
BAB II PEMBAHASAN
A. Putusan Hakim..........…….…………………………………......
B. Formulasi Putusan Hakim……………………………………....
C. Asas-asas Putusan Hakim...............................................................
A. Kesimpulan ……………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistematika putusan merujuk pada struktur atau format yang harus diikuti
dalam menyusun sebuah putusan hakim. Penyusunan putusan yang baik dan
sistematis akan memastikan kejelasan, keterbacaan, dan kekuatan argumentasi
hukum yang terkandung di dalamnya. Melalui pemahaman mengenai
sistematika putusan, dapat lebih mudah untuk mengikuti dan menganalisis
putusan serta memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang alasan-alasan
yang mendasari keputusan tersebut.
Asas-asas putusan menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan
hakim. Asas-asas ini meliputi prinsip-prinsip hukum yang harus dipatuhi dalam
proses pengambilan keputusan. Beberapa hal penting yang berkaitan dengan
putusan hakim antara lain kepastian hukum, keadilan, kebenaran material,
kewenangan pengadilan, dan keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
Memahami asas-asas ini akan memberikan panduan yang jelas dalam proses
pengambilan keputusan yang objektif, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum yang berlaku.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Putusan Hakim
1
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), hal. 48.
2
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet. I, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2004), hal. 124.
3
Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuh. Yogyakarta:
Liberty.
4
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, cet. I, (Jakarta: Pustaka
Kartini, 1998), hal. 83.
Karenanya dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan,
bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam beberapa literatur yang ada, para ahli hukum mencoba untuk
memberikan definisi terhadap apa yang dinamakan dengan putusan hakim atau
lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan. Terdapat beberapa definisi
yang berbeda mengenai putusan hakim, namun bila dipahami secara seksama
diantara definisi-definisi tersebut maka kita akan mendapatkan suatu
pemahaman yang sama antara satu definisi dengan definisi lainnya.
Prof. Sudikno Mertokusumo, S.H. memberikan definisi putusan hakim
sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi
wewenang itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak. Dalam
definisi ini Prof. Sudikno mencoba untuk menekankan bahwa yang dimaksud
dengan putusan hakim itu adalah yang diucapkan di depan persidangan.
Sebenarnya putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) memang tidak
boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis).5 Namun, apabila ternyata ada
perbedaan diantara keduanya, maka yang sah adalah yang diucapkan, karena
lahirnya putusan itu sejak diucapkan. Hal ini sebagaimana yang diinstruksikan
oleh Mahkamah Agung melalui surat edarannya No. 5 Tahun 1959 tanggal 20
April 1959 dan No. 1 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962 yang antara lain
menginstruksikan agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus
sudah selesai. Sekalipun maksud surat edaran tersebut ialah untuk mencegah
hambatan dalam penyelesaian perkara, tetapi dapat dicegah pula adanya
perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang tertulis.6
Hal senada juga disampaikan oleh beberapa ahli hukum lainnya,
diantaranya Muhammad Nasir yang mendefinisikan putusan hakim sebagai
suatu pernyataan (statement) yang dibuat oleh hakim sebagai pejabat negara
yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di muka sidang dengan tujuan
5
Ibid., hal. 764.
6
Ibid.
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak yang
bersengketa.7 Dan Moh. Taufik Makarao memberikan arti putusan hakim
sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.8
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan putusan hakim adalah suatu pernyataan yang dibuat dalam bentuk
tertulis oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan
diucapkan di depan persidangan perkara perdata yang terbuka untuk umum
setelah melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada umumnya
dengan tujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara perdata guna
terciptanya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.
7
Nasir, op. Cit.
8
Makarao, op. Cit.
dengan Pasal 184 ayat (1) H.I.R. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan
dalam Putusan Mahkamah Agung No. 312K/Sip/1974.9
b) Tentang Jawaban Para Pihak
Pengertian jawaban dalam arti luas, meliputi replique dan duplique serta
kesimpulan. Sama seperti syarat sebelumnya, bahwa kelalaian
mencantumkan jawaban ini mengakibatkan putusan dapat dinyatakan
batal demi hukum, karena bertentangan dengan Pasal 184 ayat (1)
H.I.R.10
c) Tentang Uraian Singkat Ringkas dan Lingkup Pembuktian
Uraian yang dimaksud disini adalah deskripsi fakta dan alat bukti atau
pembuktian yang ringkas dan lengkap.11
d) Tentang Pertimbangan Hukum
Pertimbangan disini berisi analisis, argumentasi, pendapat atau
kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara. Biasanya
terhadap pertimbangan ini sering kali dijadikan alasan atau dasar bagi
pihak yang dikalahkan untuk melakukan upaya hukum selanjutnya,
dengan menganggap bahwa suatu putusan tidak memiliki cukup
pertimbangan, sehingga berharap putusan tersebut dapat dibatalkan.
Seperti yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 672
K/Sip/1972, bahwa putusan harus dibatalkan, karena tidak cukup
pertimbangan.12
e) Tentang Ketentuan Perundang-undangan
Keharusan menyebut pasal-pasal tertentu peraturan perundangan yang
diterapkan dalam putusan, digariskan dalam Pasal 184 ayat (2) H.I.R.
dan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa segala putusan
pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan,
9
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. V, (Bandung: P.T. Citra Aditya
Bakti, 1992), hal. 807-808
10
Ibid., hal.. 808-809.
11
Ibid., hal. 809.
12
Ibid., hal. 809-810.
harus juga memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan perundangan yang
menjadi landasan putusan, atau juga menyebut dengan jelas sumber
hukum tak tertulis yang menjadi dasar pertimbangan dalam putusan.13
f) Tentang Amar Putusan
Amar atau diktum putusan merupakan pernyataan (declaration) yang
berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan
obyek yang disengketakan. Dan juga berisi perintah atau penghukuman
(condemnatoir) yang ditimpakan kepada pihak yang berperkara.14
Untuk itu, amar putusan harus jelas dan ringkas perumusannya,
sehingga tidak menimbulkan dualisme penafsiran.
2. Mencantumkan Biaya Perkara
Pencantuman biaya perkara dalam putusan diatur dalam Pasal 184
ayat (1) H.I.R. dan Pasal 187 R.Bg. Bahkan dalam Pasal 183 ayat (1) H.I.R.
dan pasal 194 R.Bg. dinyatakan bahwa banyaknya biaya perkara yang
dijatuhkan kepada pihak yang berperkara, harus disebut dalam putusan.
Sedangkan mengenai prinsip dan komponen biaya perkara dapat dilihat
dalam Pasal 181-182 H.I.R. dan Pasal 192-194 R.Bg.
C. Asas-Asas Putusan
Asas yang mesti ditegakkan agar suatu putusan yang dijatuhkan tidak
mengandung cacat, diatur dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 Rbg dan pasal 19
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,15 antara
lain:
a. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci
Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan
yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu
dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende
gemotiveerd (insufficient judgement). Alasan-alasan hukum yang menjadi
dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan Pasal 23 Undang-Undang
13
Ibid., hal. 810
14
Ibid., hal. 811.
15
M. Yahya Harahap. 2004. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35
Tahun 1999, sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni;
1) Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan,
2) Hukum kebiasaan,
3) Yurisprudensi, atau
4) Doktrin hukum.
b. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan
Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG
dan Pasal 50 Rv. Putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan
mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa
dan memutuskan sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya.
c. Tidak boleh mengabulkan melebih tuntutan
Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG,
dan Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang
diajukan dalam gugatan. Jika hakim mengabulkan lebih dari tuntutan dalam
gugatan maka hakim dianggap telah melampaui batas wewenang dan harus
dinyatakan cacat meskipun hal ini dilakukan hakim dengan itikad baik
maupun sesuai dengan kepentingan umum.
d. Diucapkan di muka umum
1) Prinsip keterbukaan untuk umum bersifat Imperatif (memaksa)
Prinsip ini didasarkan oleh asas fair trial, menurut asas ini pemeriksaan
persidangan harus didasarkan pada proses yang jujur sejak awal sampai
akhir. Prinsip ini bertolak belakang dengan peradilan yang bersifat
rahasia (secrecy) atau confidence sebagaimana dalam proses
pemeriksaan mediasi atau arbitrase, dengan maksud untuk menjaga
kredibilitas para pihak yang bersengketa.
2) Akibat hukum atas pelanggaran asas keterbukaan
Prinsip pemeriksaan dan putusan diucapkan secara terbuka, ditegaskan
dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam
Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang berbunyi: “Semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum”. Dalam Hukum Acara Pidana, prinsip ini ditegaskan
dalam Pasal 64 KUHAP: “Terdakwa berhak untuk diadili di sidang
pengadilan yang terbuka untuk umum”. Pelanggaran terhadap prinsip
keterbukaan dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) jo Pasal 20 Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
mengakibatkan;
a) Tidak sah, atau
b) Tidak mempunyai kekuatan hukum.
3) Dalam hal pemeriksaan secara tertutup, putusan tetap diucapkan dalam
sidang terbuka.
Dalam kasus-kasus tertentu, peraturan perundang-undangan
membenarkan pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup. Akan
tetapi, pengecualian ini sangat terbatas, yang terutama dalam bidang
hukum kekeluargaan, khususnya perkara perceraian. Prinsip
pemeriksaan tertutup dalam persidangan perceraian bersifat imperatif,
namun sepanjang mengenai proses pengucapan putusan, tetap tunduk
pada ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999
sekarang dalam Pasal 20 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
4) Diucapkan di dalam sidang pengadilan
Selain persidangan harus terbuka untuk umum pemeriksaan dan
pengucapan putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
dilakukan dalam sidang pengadilan. Menyimpang dari ketentuan itu,
mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan.
5) Radio dan televisi dapat menyiarkan langsung pemeriksaan dari ruang
sidang.
Sesuai dengan perkembangan jaman, penyiaran dan penayangan radio
dan televisi, dapat dilakukan langsung dari ruang sidang, dan hal ini
sudah banyak diterapkan di berbagai Negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Putusan dalam persidangan perdata adalah puncak dari suatu proses pencarian
kebenaran hukum yang dilakukan hakim berdasarkan prinsip-prinsip dan asas-
asas hukum acara perdata. Putusan bersifat memenangkan atau mengalahkan
suatu perkara. Pihak-pihak pada awalnya disebut pihak penggugat dan pihak
tergugat, pada suatu putusan akan menjadi pihak yang dimenangkan dan pihak
yang dikalahkan. Terdapat dua pilihan bagi pihak yang merasa dikalahkan yaitu
menerima putusan tersebut atau mengajukan upaya hukum. Jika kedua belah
pihak menerima putusan tersebut maka putusan tersebut dapat segera dieksekusi
akan tetapi jika pihak yang dikalahkan tersebut mengajukan upaya hukum atau
dalam hal ini banding maka eksekusi menjadi tertunda.
Sistematika putusan merujuk pada struktur atau format yang harus diikuti dalam
menyusun sebuah putusan hakim. Penyusunan putusan yang baik dan sistematis
akan memastikan kejelasan, keterbacaan, dan kekuatan argumentasi hukum
yang terkandung di dalamnya. Melalui pemahaman mengenai sistematika
putusan, dapat lebih mudah untuk mengikuti dan menganalisis putusan serta
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang alasan-alasan yang mendasari
keputusan tersebut.
Asas-asas putusan menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan hakim.
Asas-asas ini meliputi prinsip-prinsip hukum yang harus dipatuhi dalam proses
pengambilan keputusan. Beberapa hal penting yang berkaitan dengan putusan
hakim antara lain kepastian hukum, keadilan, kebenaran material, kewenangan
pengadilan, dan keputusan yang berkekuatan hukum tetap. Memahami asas-
asas ini akan memberikan panduan yang jelas dalam proses pengambilan
keputusan yang objektif, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang
berlaku.
DAFTAR PUSTAKA