Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PEMERIKSAAN SENGKETA PERKARA PERDATA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata

Dosen Pengampu : Mardalena Hanifah, S.H, M.Hum.

Disusun oleh :

Maria Dwinoverine

2109112142

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS RIAU

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
berkat, rahmat, dan karunia-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah “Pemeriksaan
Sengketa Perkara Perdata”. Saya berterima kasih kepada Ibu Mardalena Hanifah, SH,
M.Hum. selaku dosen mata kuliah Hukum Acara Perdata yang telah memberi tugas ini
kepada saya.

Saya sangat berharap tugas makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta ilmu pengetahuan mengenai Pemeriksaan Sengketa Perkara Perdata.
Saya juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, saya berharap adanya kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki
makalah ini.

Semoga makalah ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun yang membacanya,
dan juga dapat bermanfaat bagi saya yang telah menyusun tugas ini yang pada dasarnya
dapat menambah wawasan dan juga mengkoreksi kesalahan saya. Sebelumnya saya
memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan di hati
pembaca.

Pekanbaru, September 2022

Maria Dwinoverine

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................1
DAFTAR ISI....................................................................................................2
BAB 1 : PENDAHULUAN..............................................................................3
A. Latar Belakang.......................................................................................3
B. Rumusan Masalah..................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................5
BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................6
A. Penetapan Hari Sidang...........................................................................6
B. Proses Pemeriksaan Perkaara.................................................................7
C. Peranan Hakim dalam Memeriksa Perkara............................................9
D. Perdamaian...........................................................................................10
E. Acara Verstek.......................................................................................13
F. Jawaban Tergugat................................................................................16
G. Replik dan Duplik................................................................................18
H. Intervensi..............................................................................................20
BAB III : PENUTUP.....................................................................................23
A. Kesimpulan..........................................................................................23
B. Saran....................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................25

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara


bagaimana orang harus bertindak dimuka pengadilan dan bagaimana pengadilan
harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
Hukum Perdata. Sedangkan menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH.,
(1988:4) mengemukakan bahwa objek dari pada Ilmu Hukum Acara Perdata ialah
keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau
menegakkan Hukum Perdata Materiil dengan perantaraan kekuasaan negara yang
terjadi di pengadilan.

Sengketa perdata adalah perkara perdata di mana paling sedikit ada dua pihak,
yaitu penggugat dan tergugat. Salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum yang
terjadi di antara penggugat dan tergugat adalah dengan perantara kekuasaan
kehakiman. Pihak yang dirugikan atas hak dan kepentingannya dapat mengajukan
gugatan kepada orang yang dianggap merugikannya di muka pengadilan yang
berwenang.

Selanjutnya proses di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan


mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang dan dalam pemeriksaan di
persidangan, juga harus memperhatikan surat gugatan yang biasa diubah sebelum
jadwal persidangan ditentukan oleh ketua pengadilan atau oleh hakim. Apabila
dalam pengajuan gugatan ke PN dan gugatan dinyatakan diterima oleh pihak PN,
maka oleh hakim yang memeriksa perkara perdata, perdamaian selalu diusahakan
sebelum pemeriksaan perkara perdata dilakukan.

3
Tujuan para pencari keadilan mengajukan perkara di muka pengadilan adalah
untuk mendapatkan keputusan yang adil guna menyelesaikan perkaranya, sehingga
hak-hak maupun kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum materiil,
baik berupa hukum tertulis maupun tidak tertulis, dapat diwujudkan lewat
pengadilan. Tentu saja para pencari keadilan tersebut, terutama pihak yang
mengajukan gugatan (Penggugat), mempunyai keinginan agar perkaranya dapat
cepat selesai.

Penyelesaian suatu perkara, para pihak dapat menggunakan upaya yang


diberikan oleh hukum untuk mencapai suatu tujuan (upaya hukum). Salah satu
upaya hukum yang dapat dipergunakan oleh tergugat dalam sidang pemeriksaan
perkara adalah upaya melawan gugatan yang berupa eksepsi dan rekonveksi, di
samping jawaban atas pokok perkaranya (verweer ten prinsipaal). Penggugat juga
diberi hak untuk membantah atas jawaban tergugat dalam bentuk replik,
sebagaimana tergugat juga berkesempatan 4 mengajukan duplik atas jawaban yang
disampaikan oleh penggugat. Replik-duplik ini bisa terjadi berulang kali selama itu
diperlukan.

Melalui pemaparan tersebut, makalah ini akan membahas bagaimana


pemeriksaan perkara dalam hukum acara persidangan perdata, serta akan mencoba
membahas beberapa hal yang berhubungan dengan tema pemeriksaan sengketa
perkara perdata tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Berawal dari latar belakang masalah di atas, maka dapat kita simpulkan dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Penetapan Hari Sidang
b. Proses Pemeriksaan Perkara
c. Peranan Hakim dalam Memeriksa Perkara
d. Perdamaian
e. Acara Verstek
f. Jawaban Tergugat

4
g. Replik dan Duplik
h. Intervensi

C. TUJUAN PENULISAN

a. Untuk Mengetahui Penetapan Hari Sidang


b. Untuk Mengetahui Proses Pemeriksaan Perkara
c. Untuk Mengetahui Peranan Hakim dalam Memeriksa Perkara
d. Untuk Mengetahui Perdamaian
e. Untuk Mengetahui Acara Verstek
f. Untuk Mengetahui Jawaban Tergugat
g. Untuk Mengetahui Replik dan Duplik
h. Untuk Mengetahui Intervensi

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penetapan Hari Sidang

1) Panitera Muda Perdata dalam waktu 3 hari kerja wajib menyerahkan berkas
perkara yang dilampiri formulir penetapan hari sidang kepada Ketua Majelis I
Hakim yang telah ditetapkan.
2) Hakim/Majelis Hakim mempelajari berkas dan dalam waktu selambat-
lambatnya 7 hari kalender menetapkan hari sidang.
3) Penetapan hari sidang pertarna, penundaan persidangan beserta alasan
penundaan berdasarkan laporan panitera pengganti setelah persidangan, harus
dicatat dalam buku register perkara dengan tertib.
4) Setiap hakim/majelis harus mempunyai jadwal persidangan yang lengkap.
5) Penetapan hari sidang perkara gugatan, selalu dimusyawarahkan dengan
sesama anggota majelis hakim dan dicatat dalam buku agenda masing-masing.
6) Hakim/Ketua Majelis dalam menetapkan hari sidang, perlu memperhatikan
jauh/dekatnya tempat tinggal para pihak dengan letaknya tempat persidangan.
Lamanya tenggang waktu antara pemanggilan para pihak dengan hari sidang
paling sedikit 3 (tiga) hari kerja (Pasal 122 HIR I Pasal 146 RBg).

Yang menetapkan hari sidang adalah majelis yang menerima pembagian


distribusi perkara1. Hal ini berarti yang menetapkan hari sidang bukan lagi Ketua
Pengadilan Negeri, akan tetapi Majelis Hakim yang mengadili perkara. Dengan
kata lain, Ketua Pengadilan Negeri setempat hanya bertugas mendelegasikan
perkara kepada hakim-hakim yang berada di dalam lingkungan peradilannya.
Ketua Pengadilan Negeri bisa menunjuk dirinya dalam menangani suatu perkara.

1
.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M.
Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 218

6
Penetapan hari sidang, dituangkan dalam bentuk surat penetapan:2
 Menurut Pasal 121 ayat (1) HIR, penetapan hari sidang harus dilakukan segera
setelah majelis menerima berkas Perkara;
 Menurut penggarisan Mahkamah Agung, paling lambat 7 (tujuh) hari dari
tanggal penerimaan berkas perkara, majelis harus menerbitkan penetapan hari
sidang;
 Berdasarkan Pasal 121 ayat (3) HIR, penetapan hari sidang dimasukkan atau
dilampirkan dalam berkas perkara, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari berkas perkara yang bersangkutan.

B. Proses Pemeriksaan Perkara

Pemeriksaan perkara dalam sidang, menurut ketentuan sistem reglemen


Indonesia berjalan secara lisan. Hakim mendengar kedua belah pihak, dan kedua
pihak tersebut memajukan segala sesuatu secara lisan, sedangkan panitera
pengadilan mencatat segala pemeriksaan dalam suatu catatan sidang
(procesverbaal)3

Menurut pasal 132 Reglemen Indonesia, hakim akan memberikan penerangan


selayaknya kepada kedua belah pihak dan akan memperingatkan mereka tentang
syarat-syarat hukum dan alat-alat buktiyang dipergunakannya. Diantara tindakan
hakim dalam pemeriksaan perkara, yang penting ialah pemanggilan dan
pendengaran saksi. Pasal 121 Reglemen Indonesia menentukan bahwa pada waktu
kedua belah pihak dipanggil untuk menghadap, maka mereka diperintahkan untuk
membawa orang-orang yang akan mereka ajukan sebagai saksi. Pada permulaan
sidang, dimana kedua belah pihak hadir, maka hakim diwajibkan untuk berusaha
mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 130 ayat 1 Reglemen Indonesia). Apabila
perdamaian yang diusahakan oleh hakim tercapai, maka proses perkara berakhir.
Apabila usaha hakim mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, maka

2
 Ibid. Hal.: 218-219.
3
R Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta : PT. PradnyaParamita, 2005, hal. 55

7
mengacu pasal 131 Reglemen Indonesia, hakim akan membacakan surat-surat yang
dikemukakan oleh kedua belah pihak, misalnya surat gugat dan jawaban tergugat.

Proses pemeriksaan perkara perdata dilakukan melalui tahap-tahap dalam


hukum, Tahap-tahap dalam pemeriksaan perkara dalam hukum acara perdata yaitu
diantaranya sebagai berikut:
1) Pencabutan dan Perubahan Gugatan
Pencabutan dan perubahan gugatan diatur dalam RV. Pasal 127 RV bahwa
perubahan gugatan sepanjang pemeriksaan diperbolehkan asal tidak
mengubah dan menambah petitum – tuntutan pokok (onderwerp van den eis)
akan tetapi di dalam praktek pengertian onderwerp van den eis meliputi juga
dasar dari tuntutan (posita), termasuk peristiwa-peristiwa.
2) Tahap Perdamaian
Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian merupakan cara
penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBg dan putusan yang
didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan sebagai hasil pertimbangan
dan penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim.
3) Pembacaan Gugatan
Yaitu pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil
gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum
dalam surat gugat itulah yang menjadi acuan (obyek) pemeriksaan dan
pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang ternuat dalam surat
gugatan.
4) Jawaban Gugatan
Yaitu pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan
segala kepentingannya terhadap penggugat melalui hakim.
5) Replik Penggugat
Yaitu respons Penggugat atas jawaban yang diajukan tergugat untuk
meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang
dikemukakan tergugat dalam jawabannya.

8
6) Duplik Tergugat
Yaitu jawaban tergugat atas replik yang diajukan penggugat untuk
meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan
penggugat.
7) Konklusi
Kesimpulan-kesimpulan dari sidang menurut pihak yang bersangkutan yang
dibacakan oleh hakim.

C. Peranan Hakim dalam Memeriksa Perkara

Hakim berkewajiban untuk membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi


segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan. Prinsip hakim bersikap aktif dalam menyelesaikan perkara
perdata terdapat keserasian dengan prinsip-prinsip/asas-asas hukum acara perdata
yang lain, yaitu: ultra petitum partium, et aequo et bono dan hakim tidak boleh
memihak (imparsialitas) serta hakim bersikap pasif. Hakim tidak hanya
berkewajiban menegakkan hukum namun hakim senantiasa dituntut untuk
menegakkan keadilan sehingga hakim dituntut untuk memikirkan tentang keadilan
karena dengan begitu hakim telah memikirkan perihal kehidupan yaitu mengenai
cara terbaik untuk hidup.

Ditinjau dari aspek filosofis, teoritik maupun dogmatic sudah seharusnya bagi
hakim untuk bersikap aktif dalam upaya untuk menegakkan hukum dan keadilan
melalui proses persidangan pengadilan termasuk peradilan perdata. Hakim perdata
dalam keadaan tertentu harus dan bahkan wajib bersikap aktif sepanjang ketentuan
undang-undang dan hukum acara perdata membolehkan. Namun dalam keadaan
tertentu yang lain harus bersikap pasif.

Suatu kebenaran formil sekaligus kebenaran materiil hanya akan dapat dicapai
apabila hakim bersikap aktif dalam perkara perdata, mulai dari tahap pra
persidangan, tahap persidangan maupun tahap pasca persidangan. Sehingga terdapat
landasan filosofis, teoritik maupun dogmatik bahwa sesungguhnya hakim memiliki

9
sikap aktif dalam perkara perdata dengan tetap berpegang pada asas-asas hukum
acara perdata.

Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti bahwa
ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk
diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan
ditentukan oleh hakim dan para pihak secara bebas sewaktu-waktu sesuai dengan
kehendaknya dapat mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka
persidangan, bilamana sudah memutuskan untuk mengakhiri persengketaanya dan
tidak menginginkan pemeriksaan perkara yang sedang berjalan diteruskan maka
hakim tidak dapat menghalang-halanginya karena inisiatif maupun luas pokok
sengketa sepenuhnya ada pada pihak yang bersengketa dan hakim hanya mencari
kebenaran formil. Oleh karena itu maka hakim sebagai pimpinan sidang di dalam
memeriksa dan mengadili perkara berkewajiban untuk bersikap aktif agar
persidangan berjalan lancar dan cepat selesai namun tetap memperhatikan dan
berpedoman pada asas-asas umum peradilan yang baik.

D. Perdamaian

Mediasi atau perdamaian adalah suatu persetujuan di mana kedua belah pihak
dengan menyerahkan, manjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu
sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan
persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis. Apabila
pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir
dalam persidangan, maka ketua majelis hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak
yang bersengketa tersebut. Jika dapat dicapai perdamaian, maka pada hari
persidangan hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian dan kedua belah pihak
dihukum untuk mentaati persetujuan yang telah disepakati itu. Putusan perdamaian
yang dibuat di muka persidangan itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat
dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, terhadap putusan perdamaian ini tidak dapat diajukan
banding ke pengadilan tingkat banding.

10
Jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maka
hakim harus berusaha mendamaikan mereka (Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg).
Dalam rangka mengefektifkan ketentuan tersebut di atas, Mahkamah Agung
mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai
(Eks. Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg) yang kemudian diganti dengan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 11 September 2003
tentang Prosedur Mediasi. PERMA tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan
bahwa mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat
memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan
atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. Kemudian dirubah
dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi. Dan terakhir di
rubah dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Proses Mediasi, juga telah
menegaskan kewajiban untuk melakukan perdamaian. Pasal 3 ayat (1) PERMA
Nomor 1 Tahun 2016 menegaskan bahwa setiap Hakim, Mediator, Para Pihak
dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui
mediasi.

Putusan perdamaian yang dibuat oleh hakim karena adanya perdamaian antara
pihak-pihak yang berperkara tersebut kekuatannya sama dengan putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 130 ayat (2) HIR/Pasal
154 ayat 2 RBg/Pasal 185 ayat (1) KUH Perdata jo. MA tanggal 1-8-1973 Nomor
1038 K/Sip/1972). Hal ini karena putusan tersebut didasarkan pada perdamaian
yang justru dibuat oleh pihak-pihak yang berperkara, untuk menyelesaikan perkara
mereka sendiri menurut kehendak mereka sendiri, bukan sebagai hasil pertimbangan
dan penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim. Oleh sebab itu, sudah
selayaknya apabila perjanjian perdamaian tersebut dipertanggungjawabkan sendiri
oleh oleh pihak-pihak yang berperkara yang membuatnya dan tidak dapat
dimintakan banding.

Persyaratan sahnya suatu perdamaian secara limitatif seperti yang termuat dalam
Pasal 1320, 1321, 1851-1864 KUH Perdata, yaitu:

11
 Perdamaian harus atas persetujuan kedua belah pihak. Unsur-unsur persetujuan
yakni adanya kata sepakat secara sukarela (toesteming), kedua belah pihak cakap
dalam membuat persetujuan (bekwamnied), objek persetujuan mengenai pokok yang
tertentu (bepaalde onderwerp), berdasarkan alasan yang diperbolehkan
(seorrlosofde oorzaak). Dengan demikian bahwa persetujuan-persetujuan tidak
boleh terdapat cacat pada setiap unsur esensialnya suatu persetujuan.
 Perdamaian harus mengakhiri sengketa. Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg
mengatakan bahwa apabila perdamaian telah dapat dilaksanakan, maka dibuat
putusan perdamaian yang disebut dengan akta perdamaian. Akta yang dibuat ini
harus betul-betul dapat mengakhiri sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak
berperkara apabila tidak maka dianggap tidak memenuhi syarat formal, dianggap
tidak syah dan tidak mengikat para pihak-pihak yang berperkara. Putusan
perdamaian harus dibuat dalam persidangan majelis hakim, disinilah peran hakim
sangat dibutuhkan dalam akte perdamaian ini dapat diwujudkan.
 Perdamaian harus atas dasar keadaan sengketa yang telah ada. Syarat untuk dapat
dasar suatu putusan perdamaian itu hendaklah atas dasar persengketaan para pihak
yang sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud
tapi baru akan diajukan ke pengadilan. Sehingga perdamaian itu dapat mencegah
gugatan atas perkara di pengadilan. Hal ini berarti bahwa perdamaian itu dapat lahir
dari suatu perdata yang belum diajukan ke pengadilan.
 Bentuk perdamaian harus secara tertulis (akta perdamaian). Dalam Pasal 1851
KUH Perdata disebutkan bahwa persetujuan perdamaian itu sah apabila dibuat
secara tertulis dengan format yang telah ditetapkan oleh ketentuan peraturan yang
berlaku. Syarat ini sifatnya memaksa (inferatif), dengan demikian tidak ada
persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan secara lisan, meskipun dihadapan
pejabat yang berwenang. Bentuk perjanjian damai yang dapat diajukan ke depan
sidang pengadilan dapat saja dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta dibawah
tangan.

Adapun sifat akta perdamaian dalam perkara perdata adalah:

12
1. Disamakan kekuatannya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Menurut
Pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding
maupun kasasi.

2. Keputusan perdamaian langsung mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht


van gewijsde). Dalam Pasal 1851 KUHPerdata menentukan bahwa semua putusan
perdamaian yang dibuat dalam sidang majelis hakim akan mempunyai kekuatan
hukum tetap seperti putusan pengadilan lainnya dalam tingkat penghabisan. Putusan
perdamaian itu tidak bisa dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau
alasan salah satu pihak telah dirugikan oleh putusan perdamaian itu. Dalam Pasal
130 ayat (2) HIR ditentukan pula bahwa jika perdamaian dapat dicapai, maka pada
waktu itupula dalam persidangan dibuat putusan perdamaian dengan menghukum
para pihak untuk mematuhi persetujuan damai yang telah mereka buat.

E. Acara Verstek

Putusan verstek atau putusan di luar hadir atau in absentia adalah putusan tidak
hadirnya tergugat dalam suatu perkara setelah dipanggil oleh pengadilan dengan
patut tidak pernah hadir dalam persidangan dan tidak menyuruh wakilnya atau kuasa
hukumnya untuk menghadiri dalam persidangan. Istilah verstek dikenal juga dengan
hukum acara tanpa hadir/ acara luar hadir/ verstek procedure. Verstekvonnis sebagai
putusannya yaitu putusan tanpa hadirnya tergugat.

Syarat acara verstek dalam Pasal 125 ayat (1) HIR bahwa tergugat telah
dipanggil dengan sah dan patut. Dilakukan oleh juru sita dalam bentuk surat tertulis,
dan disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri atau disampaikan pada kepala
desa bila yang bersangkutan tidak diketemukan di tempat kediaman. Surat panggilan
harus sudah diterima maksimal 3 (tiga) hari sebelum hari sidang yang telah
ditentukan.

Tidak hadir tanpa alasan yang sah tergugat tidak hadir pada hari perkara itu
diperiksa, tidak menyuruh orang lain sebagai kuasa yang bertindak mewakilinya

13
padahal tergugat telah dipanggil secara patut tetapi tidak menghiraukan dan menaati
penggilan tanpa alasan yang sah, dalam kasus seperti ini hakim dapat dan
berwenang menjatuhkan putusan verstek yaitu putusan diluar hadirnya tergugat.

Berdasarkan Pasal 125 ayat (1) jo Pasal 121 HIR hukum acara memberi hak
kepada tergugat mengajukan eksepsi kompetensi (exceptie van onbevoegheid) baik
kompetensi absolut (Pasal 134 HIR) atau kompetensi relatif (Pasal 133 HIR). Jika
tergugat tidak mengajukan eksepsi seperti itu dan tergugat juga tidak memenuhi
panggilan sidang berdasarkan alasan yang sah maka hakim dapat langsung
menyelesaikan perkara berdasarkan acara verstek.

Sebaliknya, meskipun tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah tetapi dia
menyampaikan jawaban tertulis yang berisi eksepsi kompetensi yang menyatakan
pengadilan negeri tidak berwenang menghadiri perkara secara absolut dan relative,
maka, hakim tidak boleh langsung menerapkan acara verstek meskipun tergugat
tidak hadir memenuhi panggilan. Dengan adanya eksepsi tersebut, tidak perlu
dipersoalkan alasan ketidakhadiran, karena eksepsi menjadi dasar alasan
ketidakhadiran.

Jika tergugat mengajukan eksepsi kompetensi, proses pemeriksaan yang harus


dilakukan hakim menurut Pasal 125 ayat (2) HIR, yaitu wajib lebih dahulu memutus
eksepsi, yaitu bila eksepsi dikabulkan maka pemeriksaan berhenti. Bila eksepsi
ditolak maka dilanjutkan dengan acara verstek. Penerapan acara verstek tidak
imperatif, ketidakhadiran tergugat pada sidang pertama langsung memberi
wewenang kepada hakim untuk menjatuhkan putusan verstek.

Jika tergugat telah dipanggil secara patut namun tidak datang menghadiri sidang
pertama tanpa alasan yang sah, hakim langsung dapat menerapkan acara verstek,
dengan jalan menjatuhkan putusan verstek. Mengundurkan sidang dan memanggil
tergugat sekali lagi jika hakim tidak langsung menjatuhkan putusan verstek pada
sidang pertama, maka hakim memerintahkan pengunduran sidang. Bersamaan
dengan itu, memerintahkan juru sita memanggil tergugat untuk kedua kalinya
supaya datang pada tanggal yang ditentukan.

14
Batas waktu toleransi pengunduran hanya sampai 3 (tiga) kali saja, apabila
pengunduran dan pemanggilan sudah sampai 3 (tiga) kali tetapi tergugat tidak
datang menghadiri sidang tanpa alasan yang sah, maka hakim wajib menjatuhkan
putusan verstek. Penerapan verstek apabila tergugat lebih dari satu. Di dalam Pasal
127 HIR, jika pada sidang pertama semua tergugat tidak hadir, langsung dapat
diterapkan acara verstek.

Jika seluruh tergugat tidak hadir menghadap dipersidangan tanpa alasan yang
sah meskipun mereka telah dipanggil dengan patut, pengadilan negeri atau hakim
dapat melakukan tindakan alternatif, yaitu: dapat langsung menerapkan acara
verstek dengan jalan menjatuhkan putusan verstek. Tidak menjatuhkan putusan
verstek tetapi memerintahkan pengunduran sidang dan memanggil para tergugat
sekali lagi. Pada sidang berikutnya semua tergugat tetap tidak hadir, dapat
diterapkan acara verstek.

Pasal 125 ayat (1) jo. Pasal 126 dan Pasal 127 HIR memberikan pilihan bagi
hakim melakukan tindakan menerapkan acara verstek dengan jalan menjatuhkan
putusan verstek. Mengundurkan persidangan sekali lagi dan memerintahkan juru sita
memanggil para tergugat untuk yang ke tiga kalinya (terakhir).

Jika pengunduran dan pemanggilan sudah berlanjut untuk yang ke tiga kalinya,
tetapi para tergugat tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka Hakim wajib
menerapkan acara verstek dengan jalan menjatuhkan putusan verstek. Dalam kasus
seperti itu, tidak layak dan tidak beralasan lagi mengundurkan persidangan untuk
yang ke empat kalinya.

Salah seorang tergugat tidak hadir, sidang wajib diundurkan. Menurut Pasal 127
HIR, harus ditegakkan tata cara secara imperatif, pemeriksaan diundurkan
persidangan ke hari lain memerintahkan untuk memanggil tergugat yang tidak hadir,
agar hadir pada sidang berikutnya. Sedangkan kepada tergugat yang hadir,
pengunduran cukup diberitahukan pada persidangan itu. Tidak boleh memeriksa
tergugat yang hadir dan tidak boleh menjatuhkan verstek kepada yang tidak hadir.

15
Hakim dilarang/tidak diperbolehkan untuk memeriksa para tergugat yang hadir,
yang harus dilakukan hakim adalah mengudurkan sidang, memanggil sekali lagi
tergugat yang tidak hadir. Hakim juga tidak boleh menerapkan acara verstek kepada
tergugat yang tidak hadir; tetap tidak hadir pada sidang berikutnya, proses
pemeriksaan dilangsungkan secara contradictoir; melangsungkan proses
pemeriksaan terhadap para tergugat yang hadir dengan penggugat secara
kontradiktor atau exceptie van onbevoegheid.

Sedangkan terhadap tergugat yang tidak hadir pemeriksaan berlaku baginya


tanpa bantahan terhadap dalil penggugat, yang berakibat tergugat tersebut dianggap
mengakui dalil penggugat. Akan tetapi, meskipun proses pemeriksaan dianggap
berlaku kepada tergugat yang tidak hadir. Hakim wajib memerintahkan untuk
memanggilnya pada sidang berikutnya. Pada sidang berikutnya, kepadanya terbuka
kesempatan mengajukan bantahan apabila dia menghadiri persidangan.

Salah seorang atau semua tergugat yang hadir pada sidang pertama, tidak hadir
pada sidang berikutnya, tetapi tergugat yang dahulu tidak hadir, sekarang hadir.
Dalam hal ini, hakim dapat memilih alternatif, mengundurkan persidangan,
melangsungkan persidangan secara contradictor. Salah seorang tergugat terus-
menerus tidak hadir sampai putusan dijatuhkan proses pemeriksaan kontradiktor.

F. Jawaban Tergugat

Setelah upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil, maka
kepada tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban atau gugatan
yang diajukan oleh penggugat. Sebagaimana penggugat diperkenankan untuk
mengajukan gugatan secara tertulis dan lisan, maka tergugat pun diperkenankan
untuk mengajukan jawaban secara tertulis dan lisan. Jawaban tergugat dapat terdiri
dari tiga macam yaitu4:
1. Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok
perkara.
2. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale)

4
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),

16
3. Rekonvensi yaitu gugat balik atau gugat balas yang diajukan tergugat kepada
penggugat.

Perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi para pihak berperkara, maka


dalam Undang-Undang tidak ditentukan mengenai kewajiban tergugat untuk
menjawab gugatan penggugat. Dalam pasal 121 ayat 2 HIR hanya menentukan
bahwa tergugat dapat menjawab baik secara lisan maupun tertulis. Jawaban tergugat
ini dapat berupa pengakuan, referte (diam) dan dapat pula berupa bantahan atau
penyangkalan5.

Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan baik sebagian maupun seluruhnya.


Pengakuan harus dibedakan dari referte, keduanya merupakan jawaban yang
bersikap tidak membantah. Jikalau pengakuan itu merupakan jawaban yang
membenarkan isi gugatan, maka referte berarti menyerahkan segala kebenaran
gugatan kepada kebijaksanaan hakim dengan tidak membantah maupun
membenarkan isi gugatan. Sedangkan bantahan atau sangkalan berarti menolak atau
tidak membenarkan isi gugatan penggugat. Dalam pasal 113 Reglement
Rechsvordering ditentukan bahwa bantahan harus disertai alasan-alasan sehingga
duduk perkara dan inti permasalahan menjadi jelas. Bantahan yang tidak beralasan
dapat dikesampingkan oleh hakim.

Hakikatnya bantahan bertujuan agar gugatan si penggugat ditolak. Bantahan


tergugat ini dapat terdiri dari sangkalan dan tangkisan atau yang dikenal dengan
sebutan eksepsi. Eksepsi ialah suatu bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan
yang tidak langsung mengenai pokok perkara. Misalnya bantahan yang menyatakan
bahwa hakim tidak berkuasa memeriksa gugatan yang diajukan penggugat, atau
bantahan yang menyatakan bahwa perkara yang diajukan oleh penggugat telah
diputus oleh hakim6.

Tentang eksepsi atau tangkisan, HIR hanya mengenal satu macam eksepsi ialah
eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim, yaitu eksepsi yang menyangkut
kekuasaaan relatif dan eksepsi yang menyangkut kekuasaaan absolut. Kedua macam
5
Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), 68.
6
Soepomo R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: PT Pradnya Pramita, 1994), 48.

17
eksepsi ini disebut eksepsi prosesual. Eksepsi yang menyangkut kekuasaan relatif
atau kewenangan nisbi diatur dalam Pasal 133 HIR/159 RBg. Eksepsi kewenangan
absolut diatur dalam Pasal 134 HIR/160 RBg.

Menurut pasal 136 HIR/ pasal 162 RBg maka jawaban yang berupa eksepsi
kecuali eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, tidak boleh diajukan dan
dipertimbangkan secara terpisah, tapi diperiksa dan diputus bersama pokok perkara.
Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro , pasal ini hanya berarti anjuran saja
seberapa dapat tergugat mengumpulkan segala sesuatu yang ingin diajukan dalam
jawabannya saat permulaan pemeriksaan perkara. Sedangkan menurut Soepomo,
pasal ini tidak lain bertujuan untuk menghindarkan kelambatan yang tidak perlu.

Lain halnya dengan penyangkalan. Penyangkalan atau bantahan ialah pernyataan


yang tidak membenarkan atau tidak mengakui apa yang digugat terhadap tergugat.
Jika tergugat mengajukan bantahan, maka bantahan itu harus disertai dengan alasan-
alasan. Jawaban (sangkalan) tergugat yang mengenai pokok perkara, tidak harus
diajukan pada permulaan sidang, akan tetapi dapat diajukan selama proses
pemeriksaan bahkan dapat diajukan dalam tingkat banding asal tidak bertentangan
dengan jawaban saat pemeriksaan tingkat pertama.

Selanjutnya, jika suatu bantahan dibenarkan oleh hakim maka dengan sendirinya
perkara telah selesai dengan putusan akhir pada tingkat pertama dimana eksepsi
yang diajukan itu diterima dan berarti gugatan penggugat tidak dapat dikabulkan.
Jika penggugat tidak puas, maka dapat mengajukan permohonan banding. Dan
apabila eksepsi tidak dibenarkan, maka pengadilan yang bersangkutan berwenang
melanjutkan proses pemeriksaan gugatan tersebut sekaligus memuat perintah agar
pihak yang berperkara melanjutkan perkaranya.

G. Replik dan Duplik

Replik merupakan tahap yang dilakukan setelah proses pengajuan jawaban


tergugat di pengadilan. Replik adalah jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat
atas gugatannya. Diajukan secara tertulis (maupun lisan), untuk meneguhkan

18
gugatannya tersebut, dengan cara mematahkan berbagai alasan dalam penolakan
yang dikemukakan tergugat di dalam jawabannya. Replik adalah lanjutan dari suatu
pemeriksaan dalam perkara perdata di dalam pengadilan negeri setelah tergugat
mengajukan jawabannya.

Replik ini berasal dari 2 (dua) kata yakni re (kembali) dan pliek (menjawab),
jadi dapat kita simpulkan bahwa replik berarti kembali menjawab. Menurut JTC
Simoramgkir Replik ialah jawaban balasan atas jawaban tergugat di dalam perkara
perdata. Replik harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas dalam jawaban
tergugat. Oleh sebab itu, replik ialah respons penggugat atas suatu jawaban yang
diajukan tergugat. Bahkan juga tidak tertutup kemungkinan membuka peluang
kepada penggugat agar mengajukan replik. Replik penggugat ini bisa berisi
pembenaran terhadap suatu jawaban tergugat atau juga boleh jadi penggugat
menambahkan keterangan dengan maksud untuk memperjelas dalil yang diajukan
penggugat di dalam gugatannya tersebut.

Sebagaimana juga halnya jawaban, maka replik itu juga tidak di atur dalam
H.I.R/R.Bg, akan tetapi di dalam Pasal 142 Rv, replik itu biasanya berisi dalil-dalil
atau hak-hak tambahan guna dalam menguatkan dalil-dalil gugatan si penggugat.
Penggugat di dalam replik ini juga bisa mengemukakan sumber sumber pendapat
pendapat para ahli, kepustakaan, kebiasaan, doktrin, dan sebagainya. Peranan
yurisprudensi sangat penting dalam replik, mengigat kedudukanya adalah salah satu
dari sumber hukum. Untuk dalam penyusunan replik biasanya cukup sekiranya
dengan cara mengikuti poin-poin jawaban pihak tergugat.

Setelah penggugat mengajukan replik, maka tahapan pemeriksaan selanjutnya


adalah Duplik, yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat.
Diajukan secara tertulis (maupun lisan), duplik yang diajukan tergugat berisi
peneguhan jawabannya, yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan
penggugat. Dalam prakteknya acara jawab menjawab di pengadilan antara
penggugat dengan tergugat berjalan secara tertulis. Oleh karena itu, dibutuhkan
waktu yang cukup dengan menunda waktu selama satu atau dua minggu untuk tiap-

19
tiap tahap pemeriksaan.

Duplik merupakan tahapan yang dimiliki tergugat. Dalam membuat duplik


tergugat diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan dalil-dalilnya yang
dimuat dalam jawaban. Bila dalam jawaban ada eksepsi yang kemudian eksepsi
tersebut ditanggapi oleh penggugat dalam repliknya, maka tergugat dalam tahap ini
harus memuat dalil-dalil yang pada dasarnya semakin memperkuat dalilnya semula.
Kemudian dalil tersebut dapat merupakan pendapat doktrin atau yurisprudensi yang
berkaitan erat dengan apa yang dikemukakan dalam dalil tersebut.

Bila perlu dalil tersebut sekaligus juga harus dapat mematahkan atau setidaknya
melemahkan dalil yang dikemukakan penggugat dalam repliknya. Kemudian dalam
pokok perkara sama dengan replik ada dua klausul yang harus dimuat. Pertama,
berisi pernyataan agar dalil-dalil yang dikemukakan pada bagian eksepsi dianggap
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya. Kedua,
merupakan pernyaatan yang menolak dalil-dalil penggugat secara keseluruhan,
kecuali memang ada dalil yang diakui olehnya. Kemudian dalil-dalil pada replik
harus satu demi satu dibantah/ditolak atau mungkin diakui oleh tergugat.

H. Intervensi

Dalam perkara yang sedang berlangsung adakalanya ada pihak lain yang merasa
dirugikan atau ingin membantu, sehingga adakalanya pihak luar tersebut
berkeinginan untuk menggabungkan diri dalam perkara tersebut, Intervensi adalah
masuknya pihak ketiga kedalam perkara yang sedang berjalan, pihak yang
berkepentingan tersebut melibatkan diri dalam perkara yang sedang berjalan itu.

Intervensi pihak ketiga tersebut kemudian disebut intervenient, sedangkan


bentuknya disebut intervensi (Vide: Pasal 279 s/d Pasal 282 Rv), yaitu Voeging,
Tussenkomst dan Vrijwaring. Berikut penjelasannya:
 Intervensi bentuk Voeging (menyertai) yakni pihak ketiga mencampuri sengketa
yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan bersikap
memihak kepada salah satu pihak, biasanya pihak tergugat dan dimaksudkan

20
untuk melindungi kepentingan hukumnya sendiri dengan jalan membela salah
satu pihak yang bersengketa. Contoh: C sebagai pihak ketiga, berkapasitas
sebagai penanggung dari B sebagai tergugat dapat mencampuri sengketa hutang
piutang antara A (penggugat) dan B (tergugat) untuk membantu atau membela
B.
 Tussenkomst (menengahi), pihak yang mengintervensi tidak ada
keberpihakannya kepada salah satu pihak, baik tergugat maupun penggugat.
Berdasarkan aturan hukum acara perdata, mestinya pihak yang mengintervensi
dalam tussenkomst, dapat mengajukan tuntutan sendiri kepada masing-masing
pihak tanpa mencampurinya. Namun dengan penerapan Penyederhanaan perkara
dan mencegah adanya putusan yang saling bertentangan, maka pihak ketiga ini
dapat menjadi pihak yang juga melakukan tuntutan kepada kedua pihak yang
sedang berperkara itu. Contoh: A sebagai seorang ahli waris menuntut B yang
menguasai harta peninggalan agar menyerahkan harta peninggalan tersebut,
kemudian dating C mengintervensi sengketa antara A dan B dengan tuntutan
dialah yang berhak atas harta peninggalan tersebut berdasarkan testament.
 Vrijwaring juga dianggap sebagai pihak ketiga, namun keterlibatannya bukan
karena pihak ketiga itu yang berkepentingan, melainkan karena dianggap
sebagai penanggung (garantie) oleh salah satu pihak, biasanya tergugat,
sehingga dengan melibatkan pihak ketiga itu akan dibebaskan dari pihak yang
menggugatnya akibat putusan tentang pokok perkara.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan Voeging dan Tussenkomst. Pihak


ketiga di sini adalah, secara terpaksa sehingga ia terlibat dalam suatu perkara
perdata, bukan karena kehendak pihak ketiga itu sendiri. Sebagaimana yang terjadi
pada intervensi: Voeging dan Tussenkomst. Menurut Sudikno Mertokusumo,
Vrijwaring terbagi atas 2 (dua) yakni:
 Vrijwaring Formil (Garantie Formelle) terjadi jika seseorang diwajibkan untuk
menjamin orang lain menikmati suatu hak atau benda terhadap suatu yang
bersifat kebendaan, seperti penjual yang harus menanggung pembeli dari
gangguan pihak ketiga (Pasal 1492 BW). Dalam kaitannya dengan Vrijwaring,

21
jika ternyata pembeli ini (Mis A) kemudian digugat oleh C, karena B dulunya
menjual barang C kepada A, maka B dapat ditarik sebagai Vrijwaring.
 Vrijwaring Simple/ Sederhana, terjadi apabila sekiranya tergugat dikalahkan
dalam sengketa yangs sedang berlangsung, ia mempunyai hak untuk menagih
kepada pihak ketiga: penanggung dengan melunasi hutang mempunyai hak
untuk menagih kepada Debitur (Vide: Pasal 1839, dan Pasal 1840 KUH
Perdata). Artinya, dalam tuntutan itu ada tuntutan penggugat lawan tergugat
(tertanggung) dan tuntutan tergugat lawan pihak ketiga (penanggung).

Dari berbagai pemaparan di atas, Voeging sebagai pihak ketiga yang


mempunyai kepentingan terhadap para pihak dengan memihak kepada salah satu
pihak. Tussenkomst, pihak ketiga itu menjadi pihak yang mengintervensi kepada
para pihak tanpa ada keberpihakannya, dengan maksud untuk membela
kepentingannya sendiri. Vrijwaring intervensi oleh karena pihak ketiga ditarik
secara terpaksa (bukan kehendak pihak ketiga). Pihak ketiga dianggap sebagai
penanggung atas perkara yang dituntut oleh penggugat kepada tergugat.

Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging,


intervensi/tussenkomst, dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg, tetapi
dalam praktek ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman
pada Rv (Pasal 279 Rv dan Pasal 70 Rv), sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib
mengisi kekosongan, baik dalam hukum materiil maupun hukum formil.

Setelah ada permohonan vrijwaring, hakim memberi kesempatan para pihak


untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang
menolak atau mengabulkan permohonan tersebut. Apabila permohonan intervensi
ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan
banding, tetapi pengirimannya ke Pengadilan Tinggi harus Bersama-sama dengan
perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan
sendirinya permohonan banding dari intervensi tidak dapat diteruskan dan yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri.

22
Apabila permohonan dapat dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan
putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara, dan selanjutnya pemeriksaan perkara
diteruskan dengan menggabung gugatan intervensi ke dalam perkara pokok.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum acara perdata meliputi ketentuan-ketentuan tentang cara bagaimana


orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari hakim apabila
kepentingan atau haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagaimana cara
mempertahankan kebenarannya apabila ia dituntut oleh orang lain.

Sengketa perdata adalah perkara perdata di mana paling sedikit ada dua pihak,
yaitu penggugat dan tergugat. Salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum yang
terjadi di antara penggugat dan tergugat adalah dengan perantara kekuasaan
kehakiman. Pihak yang dirugikan atas hak dan kepentingannya dapat mengajukan
gugatan kepada orang yang dianggap merugikannya di muka pengadilan yang
berwenang.

23
Pemeriksaan perkara dalam sidang, menurut ketentuan sistem reglemen
Indonesia berjalan secara lisan. Hakim mendengar kedua belah pihak, dan kedua
pihak tersebut memajukan segala sesuatu secara lisan, sedang panitera pengadilan
mencatat segala pemeriksaan dalam suatu catatan sidang (procesverbaal). Menurut
pasal 132 Reglemen Indonesia, hakim akan memberikan penerangan selayaknya
kepada kedua belah pihak dan akan memperingatkan mereka tentang syarat-syarat
hukum dan alat-alat bukti yang dipergunakannya. Diantara tindakan hakim dalam
pemeriksaan perkara, yang penting ialah pemanggilan dan pendengaran saksi. Pasal
121 Reglemen Indonesia menentukan bahwa pada waktu kedua belah pihak
dipanggil untuk menghadap, maka mereka diperintahkan untuk membawa orang-
orang yang akan mereka ajukan sebagai saksi.

Pada permulaan sidang, dimana kedua belah pihak hadir, maka hakim
diwajibkan untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak (pasal 130 ayat 1
Reglemen Indonesia). Apabila perdamaian yang diusahakan oleh hakim tercapai,
maka proses perkara berakhir. Apabila usaha hakim mendamaikan kedua belah
pihak tidak berhasil, maka mengacu pasal 131 Reglemen Indonesia, hakim akan
membacakan surat-surat yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, misalnya surat
gugat dan jawaban tergugat.

Adapun tahap-tahap pemeriksaan tersebut ialah:


1) Pencabutan dan Perubahan Gugatan.
2) Tahap Perdamaian
3) Pembacaan Gugatan
4) Jawaban gugatan.
5) Replik dan Duplik
6) Gugatan Rekovensi
7) Konklusi

B. Saran

24
Untuk pengembangan lebih lanjut, saya menyarankan agar pembaca lebih
memahami tentang Proses Pemeriksaan Sengketa Perkara Perdata agar pembaca
lebih mengetahui serta dapat menerapkan asas-asas tersebut dalam hukum beracara
sehari-hari. Saya selaku penyusun menyadari masih jauh dari kata sempurna dan
tentunya banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal ini
disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan saya. Oleh karena itu, saya selaku
pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Saya juga mengharapkan semoga makalah ini bisa bermanfaat dan
menambah wawasan bagi pembaca. Saya mohon maaf apabila dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan.

DAFTAR PUSTAKA

Mertokusumo, Sudikno. 2009. Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi.


Yogyakarta: Liberty.

Soeroso, Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis ( HIR, RBG, dan Yurisprudensi).
Jakarta: Sinar Grafika 2010.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Setiani, Astin Fajar. Skripsi: Proses Pemeriksaan Perkara Perdata secara Prodeo
dalam Praktik. Semarang: Universitas Negeri Semarang. 2011.

Syahrani, Riduan. Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti. 2000.

DR. Yulia. 2018. Hukum Acara Perdata. Sulawesi: Unimal Press.

25
Sarwono. Hukum Acara Perdata, Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika. 2012.

Puri Galih Kris Endarto. 2010. “Tinjauan Yuridis Gugatan Intervensi Tussenkomst
sebagai Upaya Hukum Alternatif dalam Gugatan Hukum Acara Perdata
Biasa”. Jurnal Hukum Fakultas Hukum UNNES. No. 2 (Juli 2010)

Abdulkadir Muhammad, 2003, Hukum Acara Perdatra lndoanesia, Alumni, Bandung.


Dadan

Muttaqiem, 2008, Dasar-dasar Hukum Acara Perdata, Insania Cita Pres, Yogyakarta.

A.S, Bambang Sugeng dan Sujayadi. 2012. Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh
Dokumen Ligitimasi. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Harun, Badriyah. 2009. Prosedur Gugatan Perdata, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Abdul Hakim, Penyelesaian Perkara Perdata dengan Adanya Tiga Pihak (Intervensi)
di Pengadilan Negeri, Jurnal Ilmiah Advokasi, Vol.2., No.1, (Maret, 2014), hal. 6
Herowati Poesoko. 2015. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian
Perkara Perdata”. Jurnal ADHAPER Volume 1 Nomor 2

Maskur Hidayat, SH., MH. 2014. “Hukum Perdata Progresif : Perubahan dan
Kesinambungan Penemuan Hukum di Bidang Hukum Perdata”. Jurnal Hukum
dan Peradilan Volume 3 Nomor 3

Reza Torio Kamba dkk. 2018. “Analisis Hukum Terhadap Putusan Kasasi Mahkamah
Agung dalam Perkara Intervensi Tussenkomst Nomor: 580K/PDT/2017”.
Pactum Law Journal Volume 1 Nomor 04.

Hartanto. 2016. “Penemuan Hukum dalam Peradilan Hukum Pidana dan Peradilan
Hukum Perdata”. Jurnal Hukum Positum Volume 1 Nomor 1.

Caroline Maria M dan Harjono, Studi Kajian Tentang Gugatan Intervensi Dalam


Perkara Perdata, Jurnal Verstek, Volume 8-Nomor 1, halaman 56.

26
27

Anda mungkin juga menyukai