PEMBUKTIAN
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara Perdata
Dosen Pengampu : Neng Yani Nurhayani, S.H., M.H.
Disusun oleh :
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga makalah ini bisa kami selesaikan dengan baik. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah
membukakan cahaya pengetahuan dan kebaikan kepada seluruh umat manusia di
mukabumi.
Makalah yang berjudul “Pembuktian Hukum Perdata” ini di susun dan
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Hukum acara
Perdata” yang di kontrak pada semester VI Kelas B. Dalam menyusun makalah
ini tidak sedikit hambatan yang kami hadapi, namun kami sadari bahwa
kelancaran dalam menyusun makalah ini tidak lain karena kerja sama dari
kelompok kami, sehingga segala sesuatu hambatan bisa teratasi, dan dengan
mengucap syukur alhamdulillah penyusunan makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Penulis makalah ini tentu saja menyadari masih terdapat kekurangan-
kekurangan dalam menulis. Oleh karena itu, saran dan masukan untuk makalah
ini kami harapkan sebagai upaya memperbaiki kesalahan dalam penulisan
makalah kami. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan banyak manfaat
bagi semua pihak. Aamiin yaa robbal ‘alamiin.
Penyusun
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...............................................................................................................4
A. Latar Belakang..........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................6
A. Pengertian Pembuktian.............................................................................................6
BAB III..............................................................................................................................29
Penutup..............................................................................................................................29
A. Kesimpulan.............................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................33
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan.
Demikian yang sering dikatakan orang. Oleh karena itu pesan dari
pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlaj penting.
Banyak cerita ataupun sejarah hukum yang menunjukkan kepada kita
karena salah dalam menilai pembuktian, seperti karena salah dalam
menilai pembuktian, seperti karena sanksi berbohong maka pihak yang
sebenernya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena
dinyatakan bersalah oleh hakim. Sebaliknya, banyak juga karena salah
dalam menilai alat bukti, atau tidak cukup kuat bukti orang yang
sebenernya bajingan dan telah melakukan kejahatan bisa diputuskan
bebas dalam pengadilan.
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak
dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hokum
diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh
suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian
hokum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak member dasar-dasar yang
cukup kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para
pihak yang berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam
proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada
penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada
prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut
dan lebih dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata
cara beracara dalam hukum acara perdata.
Dengan demikian untuk menghindari atau setidaknya-tidaknya
meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang tersesat tersebut,
kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan yang tersesat tersebut
kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan
baik dalam pidana maupun kasus perdata.
5
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni
1. Apa dan bagaimana pengertian Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata?
2. Apa prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata?
3. Apa saja macam-macam-macam alat bukti?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam pembahasan ini adalah interpretasi terhadap rumusan
permasalahan ini yaitu :
1. Untuk mengetahui Pengertian Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata
2. Untuk mengetahui prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata
3. Untuk mengetahui macam-macam-macam alat bukti
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pembuktian
yang sangat penting didalam proses persidangan. Bahwa hukum acara perdata
hukum perdata materiil. Jadi pada intinya adalah secara formal hukum
yang terdapat dalam RBg dan HIR. Sedangkan secara materiil, hukum
pembuktian mengatur dapat atau tidaknya pembuktian itu diterima dengan alat-
alat bukti tertentu dipersidangan dan kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti
putusan harus selalu berdasarkan bukti-bukti yang ada selama proses persidangan.
Sehingga menang dan kalahnya suatu pihak dalam perkara bergantung pada
kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang dimilikinya. Baik secara tertulis
maupun lisan, tetapi harus diiringi atau disertai dengan bukti-bukti yang sah
alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu
perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
“The law of evidence is the system of rules and standards by which the
menunjukan suatu sistem hukum dan standar bagi keseluruhan aturan pembuktian.
dari beberapa pakar hukum diatas penulis dapat simpulkan mengenai arti
bukti yang sah sebagai alatnya dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran dari
Dalam Pasal 283 RBg dan Pasal 163 HIR menyatakan barang siapa
1
Ridwan Syahrani, 2004, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.83
2
Edward W. Cleary, 1972, McCormick’s Handbook of the Law of Evidence, West
Publishing Co, St. Paul Minn, h.1
meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah
bahwa :
tata cara pembuktian, macam-macam alat bukti, beban pembuktian dan kekuatan
314, RBg ini berlaku untuk diluar wilayah pulau Jawa dan Madura. HIR
(Herziene Indonesische Reglement) terdapat pada Pasal 162 sampai Pasal 177,
HIR ini berlaku untuk wilayah Pulau Jawa dan Madura. Dan KUHPerdata Buku
3
Ny. Retnowulan Sutianto dan Iskandar Oeripkartawinata, 1983, Hukum Acara perdata
dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, h.53
B. Prinsip Hukum Pembuktian
bersangkutan.
prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun para pihak yang berperkara 5,
4
Yahya Harahap, Op.Cit., h. 498
5
M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.499
a. Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif
mengenai hal-hal yang diajukan oleh penggugat dan tergugat. Oleh Karena
itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas :
bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi
dalam persidangan.
persidangan.
Para pihak diberi hak dan kesempatan menyampaikan bahan atau
alat bukti, kemudian bahan atau alat bukti tersebut diserahkan kepada
alat bukti.6
hakim dalam persidangan. Dalam hal ini hakim tidak dibenarkan untuk
surat kabar adalah fakta yang diperoleh hakim dari sumber luar, bukan
6
Ibid., h. 500
tersebut tidak dapat dinilai dalam mengambil keputusan. 27 Fakta yang
demikian disebut out of court28. Oleh karenanya fakta tersebut tidak dapat
materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat
pihak.
tidak benar. Meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan itu bohong
pengakuan itu sebagai fakta dan kebenaran. Oleh karena itu, hakim harus
7
Ibid, h. 501
8
A. Pilto, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa (terj.), Internusa, Jakarta, h.11
9
Yahya Harahap, op.cit., h. 505
a. Pengakuan yang diberikan tanpa syarat
pemeriksaan perkara.
sikap berdiam diri saja maka peristiwa tersebut tidak boleh ditafsirkan
menjadi fakta atau bukti pengakuan tanpa syarat. Oleh Karena itu sikap
barulah sah untuk dijadikan sebagai pengakuan yang murni tanpa syarat.
Sedangkan dalam keadaan diam, tidak pasti dengan jelas apa saja yang
mengakhiri perkara.
hak kepada pihak yang berdiam diri atau kepada yang mengajukan
(binding)kepada para pihak. 10 Oleh karena itu tidak dapat dicabut kembali
(irrevocable) dan juga tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi sesuai
10
M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.507
C. Macam-Macam Alat Bukti
Dalam hukum acara perdata yang menyebutkan bahwa hakim terikat pada
alat-alat bukti yang sah. Artinya dalam mengambil suatu keputusan, hakim
senantiasa terikat dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-
Undang. Macam-macam alat bukti dalam hukum acara perdata menurut RBg/HIR
Dalam hukum acara perdata, dasar hukum alat bukti tertulis atau
surat diatur dalam Pasal 164 RBg / Pasal 138 HIR, Pasal 285 RBg sampai
dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor
satu unsur yang tidak ada, maka bukanlah merupakan surat. Unsur
sebuah surat. Begitu pula dengan unsur mengandung buah pikiran dan
buah pikiran atau isi hati yang diwujudkan dengan tanda-tanda bacaan
kesimpulan mengenai pengertian alat bukti surat. Bahwa alat bukti surat
merupakan buah pikiran atau isi hati dari orang yang mebuatnya. Jadi surat
Walaupun ada sesuatu benda yang memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi
tidak menyatakan buah pikiran atau isi hati, maka hal tersebut tidak
11
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 150
12
Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung,
h. 36
Alat bukti tertulis atau surat dapat dibagi menjadi akta dan tulisan
bukan akta, kemudian akta masih dibedakan lagi menjadi dua yaitu akta
otentik dan akta dibawah tangan. Dalam hukum pembuktian, alat bukti
2. Akta
yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu
hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
seseorang untuk keperluan siapa surat itu dibuat dan harus ditanda tangani.
Oleh karena itu tidak semua surat dapat dikatakan sebagai akta. Kemudian
atau dihadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu.
akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
13
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
dihadapan pejabat umum yang berwenang dan akta harus ditanda tangani.
dalam pasal 286 ayat (1) RBg menyebutkan bahwa dipandang sebagai akta
dibawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat
yang ditanda tangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang
tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai
umum.
adalah cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh atau dihadapan
pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja.
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan tidak ditanda tangani oleh
pembuatnya. Meskipun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja
dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataannya
bisa terjadi penggugat tidak memilki alat bukti tulisan untuk membuktikan
dalil gugatannya.
Dan alat bukti tulisan yang ada tidak mencukupi batas minimal
diperkarakan tersebut.
disengketakan dipersidangan.
menjadi saksi dengan orang yang dilarang/tidak cakap untuk menjadi saksi
didengar sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 172 RBg / 145 HIR, Pasal 174 RBg /
Pasal 146 HIR serta Pasal 1909 dan Pasal 1910 KUHPerdata adalah
sebagai berikut :
b. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
14
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 168
15
Yahya Harahap, Op.Cit,. h. 633
d. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau
sehat.
a. Berumur diatas 15 tahun; (pasal 145 (1) sub 3e jo (4) HIR, pasal 1912
(1) KUHPerdata).
b. Tidak sedang terganggu jiwanya (pasal 145 (1) sub 4c HIR, pasal 1912
(1) KUHPerdata).
dari salah satu pihak (pasal 145 (1) sub 1e HIR, pasal 1910 (1)
KUHPerdata).
d. Seseorang yang melihat atau mengalami sendiri kejadian itu memang
ada yang dengan sengaja diajak untuk menyaksikannya, tetapi ada juga
haruslah tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat,
dengar dan alami sendiri serta saksi harus memberikan alasan atau dasar
tidak dapat dianggap sebagai kesaksian (Pasal 308 RBg / Pasal 171 ayat
Alat bukti persangkaan diatur didalam pasal 310 RBg / Pasal 173
HIR dan Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Pengertian
KUHPerdata dibanding dengan Pasal 310 RBg / Pasal 173 HIR, yang
berbunyi :
hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum kearah suatu
16
Teguh Samudera, Op.Cit., h.67
Dalam kamus hukum alat bukti ini disebut vermoedem yang
undang-undang atau oleh hakim dari suatu hal atau tindakan yang
diketahui, kepada hal atau tindakan yang belum diketahui. 17 Pada intinya
ditemukannya fakta atau bukti langsung dalam persidangan, dan dari fakta
Pasal 310 RBg / Pasal 173 HIR tidak mengatu klasifikasi alat bukti
2. Persangkaan Hakim
17
Fockema Andreae, 1983, Kamus Hukum Fockema Andreae (terj.), Bina Cipta,
Bandung, h. 626
persangkaan ini tidak berdasarkan undang-undang, tetapi diserahkan
pria dengan seorang wanita dewasa yang bukan suami istri yang sah tidur
bersama dalam satu kamar yang hanya punya satu tempat tidur, maka
suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal
lisan yang tegas dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara
18
Yahya Harahap, Op.Cit., h. 688
dipersidangan yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari
suatu peristiwa.”19
membenarkan seluruh dalil lawan, atau hanya satu atau lebih daripada
satu hak-hak atau hubungan yang didalilkan, atau hanya salah satu atau
pengakuan yaitu suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak
atau hubungan hukum yang didalilkan oleh pihak lawan baik seluruhnya
dijadikan alat bukti apabila pengakuan tersebut diajukan sebagai alat bukti
Alat bukti yang terakhir yaitu alat bukti sumpah diatur dalam Pasal
tetapi tidak menjelaskan arti sumpah secara jelas. Salah satu sarjana
atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar
sumpahnya. 21
Akan tetapi bagi orang yang tidak jujur, sumpah bukan
merupakan jaminan akan berkata benar, karena bagi orang seperti itu
21
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 147
kebohongan baginya merupakan suatu hal yang biasa dan tidak takut
Didalam Hukum acara Perdata sumpah sebagai alat bukti ada tiga
macam, yaitu :
1. Sumpah Pemutus
sumpah yang dilakukan oleh pihak tergugat atas perintah atau permintaan
22
Yahya Harahap, Op.Cit., h. 750
23
Subekti, Op.Cit., h. 61
2. Sumpah Penambah
Pasal 182 RBg, 155 HIR, dan 1940 KUHPerdata. Sumpah suppletoir atau
satu pihak yang berperkara baik dari pihak penggugat ataupun pihak
mencukupi dan tidak ada alat bukti lain. Jika tidak ada alat bukti sama
sekali maka hakim tidak dapat memerintahkan salah satu pihak yang
juga sama sekali tidak terbukti. Apa yang dinyatakan dalam sumpah
secara pribadi oleh orang yang bersumpah. Dan kepada pihak lawan
3. Sumpah penaksir
24
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 190
Sumpah penaksir disebut juga dengan sumpah aestimatoire yaitu
sumpah yang diucapkan untuk menetapkan jumlah ganti rugi atau harga
barang yang akan dikabulkan. Sumpah penaksir ini diatur dalam Pasal 182
RBg, Pasal 155 HIR, dan 1940 KUHPerdata. Sumpah penaksir merupakan
salah satu alat bukti sumpah yang secara khusus diterapkan untuk
menentukan berapa jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat
berapa nilai harga barang yang dituntutnya, begitu juga tergugat tidak
sebenarnya, taksiran atas ganti rugi atau harga barang itu dapat ditentukan
apabila ada halangan yang sah, contohnya pihak yang dibebankan sumpah
untuk membuat berita acara menurut ketentuan Pasal 185 RBg dan Pasal
25
Yahya Harahap, Op.Cit., h. 775
D. Kesimpulan
1. Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada
umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865
“Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu
peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
2. Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib
membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan
didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan
atau ditolak.
3. Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan
tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan
penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang
paling sempurna pembuktiannya.
Macam-macam Alat Bukti
a. Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan,
atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat
bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai
akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta
otentik dan akta dibawah tangan.
b. Alat bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-
1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim
dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
c. Alat bukti persangkaan
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh
hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa
yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.
d. Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan
KUH Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan
sepihak, karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.
e. Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan
tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut
diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan
dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
f. Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah
pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam
Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah
ada pada pasal 153 HIR
g. Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya,
perlu dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan
perkara yang bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah orang yang
memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut,
“specialized are as of knowledge”. Dari pengertian diaatas tidak semua orang
dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika dikaitkan dengan perkara yang sedang
diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ridwan Syahrani, 2004, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.83
[2] Edward W. Cleary, 1972, McCormick’s Handbook of the Law of Evidence, West
Publishing Co, St. Paul Minn, h.1
[3] Ny. Retnowulan Sutianto dan Iskandar Oeripkartawinata, 1983, Hukum Acara
perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, h.53
[4] Yahya Harahap, Op.Cit., h. 498
[5] M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.499
[7] Ibid., h. 500
7 Ibid, h. 501
[8] A. Pilto, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa (terj.), Internusa, Jakarta, h.11
[9] Yahya Harahap, op.cit., h. 505
[10] M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.507
[11] Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
[12] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 168
[13] Yahya Harahap, Op.Cit,. h. 633
[14] Teguh Samudera, Op.Cit., h.67
[15] Fockema Andreae, 1983, Kamus Hukum Fockema Andreae (terj.), Bina Cipta,
Bandung, h. 626
[16] Yahya Harahap, Op.Cit., h. 688
[17] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 183
[18] Amin S.M, 1981, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Cetakan Keempat, Pradnya
Pranata, Jakarta, h. 224
[19] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 147
[20] Yahya Harahap, Op.Cit., h. 750
[21] Subekti, Op.Cit., h. 61
[22] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 190
[23] Yahya Harahap, Op.Cit., h. 775
[24] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty.
Edisi VII ), 132- 133
[25] Yahya Harahap, Op.Cit., h. 775