Anda di halaman 1dari 24

PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PIDANA

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara
Pidana

Disusun Oleh :

Rozi Gusti Rinaldi (0202171003)


Ahmad Rifai (0202172017)
Mhd Murtadha Al Arij Siregar (0202171007)

DOSEN PENGAMPU:

Zaid Alfauza Marpaung M.H

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A. 2018/2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, segala puji bagi Allah yang telah


menganugerahkan keimanan, keislaman, kesehatan dan kesempatan sehingga
kami dapat menyusun makalah ini dengan baik. Makalah dengan judul
“Pembuktian Hukum Acara Pidana” ini disusun dalam rangka menyelesaikan
tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana di Jurusan Perbandingan Mazhab,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sumatera Utara

Penyusunan makalah ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang
telah berkontribusi secara maksimal. Oleh karena itu kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.

Meski demikian, kami meyakini masih banyak yang perlu diperbaiki


dalam penyusunan makalah ini, baik dari segi sumber, tata bahasa, dan bahkan
tanda baca. Sehingga sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian
sebagai bahan evaluasi.

Demikian, besar harapan kami agar makalah ini dapat menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi pembaca.

Medan, 1 Juli 2019

Pemakalah

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembuktian.................................................................................4
B. Prinsip-Prinsip Pembuktian..........................................................................5
C. Sistem atau Teori Pembuktian......................................................................7
D. Alat-alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian...................................................12

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..................................................................................................22
Daftar Pustaka...........................................................................................23

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata


tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha
pencegahan maupun pemberantasan ataupun penindakan setelah terjadinya
pelangaran hukum atau dengan kata lain dapat dilakukan secara preventif maupun
represif. Dan apabila Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak
langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu haruslah sesuai dengan tujuan
dari falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa, maka dalam upaya penegakan
hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Tujuan dari tindak acara pidana
adalah untuk mencapai dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran-kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari
suatu peristiwa pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur dan tepat.

Apabila dikaji lebih jauh dalam Peran Pembuktian dalam Hukum Acara
Pidana maka kita harus mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Pembuktian
dan pembuktian merupakan titk sentral did lam pemeriksaan perkara di
pengadilan.Hal ini karena melalui tahap pembuktian inilah terjadi suatu proses.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembuktian

Terkait dengan pengertian pembuktian (hukum acara pidana) bahwasannya


didalam KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,
KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang
tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan
pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha
menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Pengertian Pembuktian Hukum Acara
Pidana menurut Subekti misalnya, beliau memberi pengertian pembuktian yaitu
meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu sengketa”. Sedangkan menurut Martiman Prodjohamidjojo
mengemukakan membuktikan atau pembuktian mengandung maksud dan usaha
untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal
terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Sedangkan didalam bukunya M.Yahya
Harahap, Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan
boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.1
Sedangkan pengertian hukum pembuktian merupakan sebagian dari
hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut
hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak
dan menilai suatu pembuktian.
Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam
KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan bahwasannya
penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk
mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya
kepada terdakwa dan sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak
1
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemerikasaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar
Grafika,2003), h.273

4
untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum,
sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang. Terutama bagi hakim,
harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan
pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan.2

B. Prinsip-Prinsip Pembuktian

Didalam suatu pembuktian terdapat beberapa prinsip-prinsip pembuktian


antara lain sebagai berikut:
1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-
hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut
dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
a. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau
peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya
demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari
perak. Dan yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17
Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
b. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu
mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.
Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran
tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.3
2. Menjadi saksi adalah kewajiban
Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat
(2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke
suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak
kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang
yang berlaku. Demikian pula dengan ahli.”

3. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)

2
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, ( Bandung:
Mandar Maju,2003), h.10
3
Hari Sasangka dan Lily Rosita, ( Bandung: Mandar Maju,2003), h.20

5
Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi
pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP
sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup
didukung satu alat bukti yang sah”. Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan
ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim
cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.4
4. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum
membuktikan kesalahan terdakwa
Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik”
yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut
Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.
5. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri
Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
“Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini
berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima
dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa
sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang
berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti
terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa
orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti
yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat
dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.5

4
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemerikasaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar
Grafika,2003), h.267
5
M. Yahya Harahap, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h. 321

6
C. Sistem atau teori Pembuktian

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang


didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun
hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang
didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan
alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah
maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiel berbeda
dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formel.Sejarah
perkembangan hukum acara pidana menunjukkan, bahwa ada beberapa sistem
atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori
pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara).
Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa continental yang
lalin, menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan
keyakinannya sendiri dan bukan jury seperti Amerika Serikat dan negara-negara
Anglil Saxon. Di negara-negara tersebut belakang jury yang umumnya terdiri dari
orang awam itulah yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty
seorang terdakwa. Sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan
pidana (sentencing).6
Mencari kebenaran materiel itu tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang
tersedia menurut undang-undang sangat relative. Alat-alat bukti seperti kesaksian,
menjadi kabur dan sangat relative. Kesaksian diberikan oleh manusia yang
mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi penyaksian suatu peristiwa
yang baru saja berganti oleh beberapa orang akan berbeda-beda. Oleh karena
itulah dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti yang paling tepat dapat
dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami
peristiwa tersebut. Diusahakanlah memperoleh pengakuan terdakwa tersebut
dalam pemeriksaan yang kana menenteramkan hati hakim yang meyakini
ditemukannya kebenaran materiel itu. Dalam alasan mencari kebenaran materiel
itulah maka asas akusator yamg memandang terdakwa sebagai pihak sama dengan
dalam acara perdata, ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitor yang

6
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996),
h.257

7
memandang terdakwa sevagai objek pemeriksaan, bahkan kadang-kala dipakai
alat penyiksa untuk memperoleh pengakuan terdakwa.7
a. Sistem atau Teori Pembuktian Brdasarkan Undang-undang Secara Positif
(Positief Wettelijke Bewijs Theorie)
Dalam minilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal
beberapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan melulu
kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang disbut sistem atau teori
pembuktian berdasar undang-undang secara positif, karena hanya didasarkan
kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu undang-undang,
maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori
pembuktian formel.
Menurut D.Simons sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang
secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif
hakim dan mengkat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian
yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir)
dalam acara pidana. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lago.
Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut
undang-undang. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro
untuk dianut di Indonesia, karena bagaimana mungkin hakim dapat menetapkan
kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal
kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman
mugkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.8
b. Sistem atau Teori Pembuktikan Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut
undang-undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim
melulu. Teori ini disebut juga conviction intime. Disadari bahwa alat buktu
berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran,
pemgakuanpun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah
melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu diperlukan
bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri. Bertolak pangkal pada pemikiran
itulah maka teori berdasar keyakiana hakim melulu yang didasarkan kepada
7
Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.258
8
Ibid, h.259

8
keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan
perbutan yang didakwakan. Dengan sistem ini pemindanaan dimungkinkan tanpa
didasarkan kepada alat-lat ukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh
peradilan jury di Perancis.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembiktian demikian pernah dianut
di Indonesia, yaitu pada pengadilandiskrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini
dikatakan memungkingkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar
keyakinannya, misalnya keterangan medium. Sistem ini member kebebasan
kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu terdakwa atau
penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini dapat
memidanakan terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa is telah melakukan apa
yang didakwakan. Praktek peradilan juri di Prancis membuat pertimbanagn
berdasarkanmetode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas
yang sangat aneh. Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan pengambilan
sumpah saksi, pembacaan berkas perkara terdapat pada semua perundang-
undangan acara pidana, termasuk sistem keyakinan hakim melulu (conviction
intime).9
c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan hakim Atas Alasan
yang Logis (Laconviction Raisonnee)
Sebagai jalan tengah nuncul sistem atau teori yang disebut pembuktian
yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini, hakim
dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan mana
didasar kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang
berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, pemutusan
hakim dijatuhkan debgab suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut
juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan
keyakinannya.
Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau berdasar keyakinan hakim
sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di
atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis dan yang
kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negative.10
9
Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.261
10
Ibid, h.261

9
Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama verdasar atas keyakinan
hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim
bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal
tolak padakeyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu
kesimpukan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang,
tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut
pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan
pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan
pembuktian yang ditetapkan secara limitatif. HIR maupun KUHAP, begitu pula
Ned. Sv. Yang lama dan yang baru, semuannya menganut sistem atau teori
pembuktian berdasarkan undang-undang negative. Hal tersebut dapat disimulakan
dari pasal 183 KUHAP, dahulu pasal 194 HIR. Pasal tersebut berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperileh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada
undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184
KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim diperoleh dari lat-alat bukti tersebut.
Hal tersebut dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan yang tersebut pada pasal
294 ayat (1) HIR yang berbunyi:
“Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat
keyakianan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbutana yang
dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah
melakukan perbutan itu.”
Sebenarnya sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Tentang Kekuasaan Kehakiman
(UUPKK) pasal 6 yang berbunyi :

“Tiada seorang juga pun dapat dijatuhkan pidana kecuali apabila


pengadilan karena lat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat

10
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah
bersalah atas perbuatan yang ditiduhkan atas dirinya.”11
Kelemahan rumus undang-undang ini ialah disebut alat pembuktian, bukan
alay-lat pembuktian, atau seperti dalam pasal 183 KUHAP disebut dua alat bukti.
Di negeri Belanda, pada wakti konsep Ned. Sv., dibicarakan pertama kali,
sebenarnya yang dicantumkan ialah sistem pembuktian conviction raisonnee.
Sesudah melalui perdebatan yang panjang, antara yang ingin mengadakan
perubahan seperti yang telah tercantum dalam konsep rencana itu, dan pihak lain
yang ingin mempertahankan sistem lama yaitu negatief wettelijk, akhirnya
golongan yang tersebut kedualah yang menang, tetapi dengan suatu komsesi
kepada pihak pertama conviction raisonnee, bahwa pasal-pasal yang mengikat
hakim dalam undang-undang harus dikurangi, sehingga menjadi dua saja, ayitu
yang dikenal sekarang degan pasal 341 ayat (4) dan 342 ayat (2) Ned. Sv.
Pasal 341 ayat (4) itu mengatur bahwa kesalahan terdakwa tidak dapat
dianggap terbukti atas pengakuan salah terdakwa saja, melainkan harus ditambah
dengan alat-alat bukti yang lain, sedangkan pasal 342 ayat (2) mengatakan bahwa
keterangan seorang saksi saja tidaklah cukup untuk menganggap kesalahan
terdakwa telah terbukti. Ini disebut bukti minimum. Ketentuan tersebut mirip
dengan KUHAP pasal 183 KUHAP sejajar dengan pasal 341 ayat (4) Ned. Sv.
Pasal itu mengatakan “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah….”,
selanjutnya pasal 185 ayat (2) KUHAP sama dengan pasal 342 ayat (2) Ned. Sv.
Tersebut. Pasal itu mengatakan: “keterangan orang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.”12
Dalam sistem atau teori pembuktikan yang berdasar undang-undang secara
negatif ini pemidanaan dudasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada
peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-
undang dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan undang-undang.

11
Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.263
12
Ibid, h.264

11
Hal tersebut terakhir ini sesuai dengan pasal 183 KUHAP tersebut yag
mengatakan bahwa dari dua alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim. Dalam
pasal 338 Ned. Svv. Ditegaskan sejelas mungkin bahwa keyakinan itu sendiri
hanya dapat didasarkan kepada isi alat-alat bukti yang sah (yang disebut oleh
undang-undang). Demikianlah sehingga de Bosch Kemper mengatakan bahwa
keyakinan itu, yang disyaratkan untuk memidana, tiadalah lain dari pada
pengakuan kepada kekuatan pembuktian yang sah (yang disebut oleh undang-
undang). Penjelasan pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa ketentuan ini adalah
untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang.
Ini sama bevar yabg tertulis oleh D.Simons bahwa berdasarkan undang-undang
pengakuan terhadap teori pembuktian hanya berlaku untuk keuntungan terdakwa,
tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada pidananya orang yang tidak bersalah
hanya dapat kadang-kadang memaksa dibebaskannya orang bersalah.
Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh
KUHAP, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar
undang-undang negative sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan,
pertama memang sudah layaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan
terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim
terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun
keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim
dalam melakukan peradilan.13

D. Alat-alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat
diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-alat bukti diluar KUHAP
dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.
Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut
a. Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184
KUHAP. Pada umunya tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat
13
Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.265

12
bukti keterangan saksi menurut M. Yahya Harahap bahwa hampir semua
pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemerikasaan keterangan
saksi. Sekurang-kurangnya, disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain,
masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.14
Pengertian saksi dapat kita lihat pada KUHAP yaitu saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tenyang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan
ia alami sendiri. Dalam Pasal 185 KUHAP, berbunyi:
1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
depan saksi pengadilan
2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
3) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah
apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian
atau keadaan tertentu.
5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi,
6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan :
a. Penesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. Alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu tang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya;

14
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita,2001), h.17

13
7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang
lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan dari saksi
yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang
lain.15
Pada umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi, namun
demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi.
Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi:
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undangini, maka tidak dapat
didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah
samapi derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunya hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa samapi derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa.
Selanjutnya dalam pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian
untuk memberikan kesaksiaan dibawah sumpah, yakni berbunyi :
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali.16
Dalam sudut penjelasan pasal tersebut diatas, Andi Hamzah mengatakan
bahwa:
“Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian orang yang sakit ingatan,
sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, dalam ilmu jiwa disebut
psycophaat, mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam
hukum pidana maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam

15
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita,2001), h.18
16
Hari Sasangka dan Lily Rosita, ( Bandung: Mandar Maju,2003), h.29

14
memberikan keterangan, karena itu, keterangan mereka hanya dipakai sebagai
petunjuk saja”.17
Orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya dapat
dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian, pada pasal 170 KUHAP
berbunyi sebagai berikut:
1) Mereka yang pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk
memberi keterangan sebagai saksi.
2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan
tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan saksi yang
dinyatakan dimuka sidang mengenai apa yang ia lihat, ia rasakan, ia alami adalah
keterangan sebagai alat bukti (pasal 185 ayat (1)), bagaimana terhadap keterangan
saksi yang diperoleh dari pihak ketiga? Misalnya, pihak ketiga menceritakan suatu
hal kepada saksi bahwa telah terjadi pembunuhan. Kesaksian demikian adalah
disebut testimonium de auditu.18
Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu
tidak diperkenankan sebagai alat bukti. Selaras pula dengan tujuan hukum acara
pidana yang mencari kebenaran material, dan pula untuk perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar
dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau
hearsay evidence patut tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian,
kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim. Walaupun tidak mempunyai
nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim
bersumber pada dua alat bukti yang lain. Andi Hamzah. Dalam hal lain juga
dalam KUHAP tentang prinsip minimum pembuktian. Hal ini terdapat dalam
pasal 183 yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
17
Ibid, h.30
18
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan,1998), h.35

15
Dalam pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan sebagai berikut: “Keterangan
seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya”. Menurut D. Simons: “Suatu
keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan,
tetapi satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan suatu
kejadian tersendiri”.
M. Yahya Harahap megungkapkan bahwa bertitik tolak dari ketentuan
pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dianggap sebagai suatu
alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus
testis). Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum yang terdiri
dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat
bukti yang lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti
yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya. Namun apabila disuatu pesidangan seorang
terdakwa mangaku kesalahan yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang
saksi saja sudah dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Karena selain
keterangan seorang saksi tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti keterangan
terdakwa. Akhirnya telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni
keterangan saksi dan keterangan terdakwa.19

b. Keterangan Ahli
Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut
pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mengenai pengertian dari keterangan saksi dilihat
dalam pasal 184 KUHAP yang menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa
yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal tersebut tidak mnjelaskan
siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Andi Hamzah dalam bukunya
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan
yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan diperluas
pengertianya oleh HIR yang meliputi Kriminalistik, sehingga van Bemmelen
mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari
dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan.

19
M. Yahya Harahap, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.237

16
Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap
hanya bisa didapat dengan melakukan pencarian dan menghubungkan dari
beberapa ketentuan yang terpencar dalam pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka
28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179 dengan jalan merangkai pasal-pasal
tersebut maka akan memperjelas pengertian ahli sebagai alat bukti :
1. Pasal 1 angka 28
Pasal ini memberi pengertian apa yang dimaksud dengan keterangan ahli,
yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperluakan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan. Dari pengertian yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 28,
M. Yahya Harahap (2002 : 298) membuat pengertian:
a. Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki
“keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam
suatu perkara pidana yang diperiksa.
b. Maksud keterangan Khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang
diperiksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara
yang bersangkutan.
2. Pasal 120 ayat (1) KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus. Dalam pasal ini kembali ditegaskan
yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki keahlian khusus
yang akan memberi keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.
3. Pasal 133 (1) KUHAP
Dalam hal penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
4. Pasal 179 KUHAP menyatakan:
1) Setiap orang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberi keterangan ahli demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka
yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka

17
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
Pasal 179 memberi penegasan tentang adanya dua kelompok ahli yang
terdapat pada pasal-pasal sebelumnya (Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133 ayat
(1). Seperti yang dituliskan M. Yahya Harahap (2002:300), ada dua kelompok
ahli:
1. Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam
kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban
penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.
2. Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus
dalam bidang tertentu.
Sebenarnya apabila kita hubungkan Pasal 133 dan Pasal 186 KUHAP,
maka dapat dilihat bahwa ternyata keterangan saksi tidak hanya diberikan di
depan persidangan tetapi juga diberikan dalam rangka pemeriksaan penyidikan.
Menurut M. Yahya Harahap bahwa dari ketentuan Pasal 133 dihubungkan dengan
Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat
bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut:
1. Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidik.
Pada saat penyidik demi untuk kepentingan peradilan, penyidik minta
keterangan ahli. Permintaan itu dilakukan penyidik secara tertulis dengan
menyebutkan secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan. Atas
permintan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat “laporan”. Laporan itu bisa
berupa surat keterangan yang lazim juga disebut juga dengan nama visum et
repertum. Laporan atau visum et repertum tadi dibuat oleh ahli yang bersangkutan
“mengingat sumpah” diwaktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan. Dengan tata
cara dan bentuk laporan ahli yang seperti itu, keterangan dalam laporan atau
visum et repertum sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah
menurut undang-undang.20
2. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang

20
Darwan Prinst, (Jakarta: Djambatan,1998), h.42

18
Permintaan keterangan seorang ahli dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada
diminta keterangan ahli. Akan tetapi bisa juga terjadi, sekalipun penyidik atau
penuntut umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli,
jika hakim ketua sidang atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki
dan menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, meminta
kepada ahli yang mereka tunjuk memberi keterangan di sidang pengadilan. Dalam
tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan, tidak dapat
melaksanakan hanya berdasarkan pada sumpah atau janji di sidang pengadilan
sebelum ia memberi keterangan. Dengan dipenuhi tata cara dan bentuk keterangan
yang demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli
tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dan sekaligus
keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ternyata keterangan ahli dalam
bentuk laporan menyentuh sekaligus dua sisi alat bukti yang sah. Di satu sisi,
keterangan ahli yang terbentuk laporan atau visum et repertum tetap dinilai
sebagai alat bukti keterangan ahli, akan tetapi pada sisi lain alat bukti keterangan
ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti saksi. Apakah hakim,
penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum memberikan nama pada alat
bukti tersebut tidak menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembukti? 21
M. Yahya Harahap, menegaskan bahwa keleluasaan hakim, penuntut
umum, terdakwa atau penasehat hukum dalam memberikan nama pada alat bukti
seperti yang telah disebutkan diatas, sama sekali tidak menimbulkan akibat dalam
penilaian kekuatan pembuktian. Kedua jenis alat bukti itu, baik alat bukti
keterangan ahli maupun alat bukti surat, sama-sama mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang serupa. Kedua alat bukti tersebut sama-sama mempunyai
kekuatan pembuktian yang bebas, dan tidak mengikat. Hakim bebas untuk
membenarkan atau menolaknya.22
c. Surat
Pengertian surat menurut Asser-Anema (Andi Hamzah, 2002:71) surat-
surat adalah sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti,
21
Ibid.
22
M. Yahya Harahap, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.239

19
dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. Menurut I. Rubini dan Chaidir Ali
(Taufiqul Hulam, 2002:63) bukti surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas,
kaya, daun lontar dan sejenisnya) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat
dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat). Dalam
KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat
hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 187, yang berbunyi surat sebagaimana
tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah adalah:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabatat
umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksanan yang
menjadi tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi dari padanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.23
d. Petunjuk
Dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188, yang
berbunyi sebagai berikut:

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena


persesuaiaan, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi sesuatu tindak pidana
dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. Ketrangan saksi;

23
Ibid, h.241

20
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim denga arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian
berdasarkan hati nuraninya.
Dari bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah
merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena hakim dalam mengambil
kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti
dengan alat bukti yang lainnya dan memilih yang ada persesuaiaannya satu sama
lain.
e. Keterangan Terdakwa
Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 yang
berbunyi sebagai berikut:
1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdkwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2) Keteranga terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung
oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya.
3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Menurut Andi Hamzah, (2002:273) bahwa KUHAP jelas dan sengaja
mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c.
KUHAP juga tidak menjelaskan apa perbedaan antara keterangan terdakwa
sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti. Keterangan
terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur pengakuan. Semua
keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan,
pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan.

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara
pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,
sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,
menolak dan menilai suatu pembuktian.
2. Didalam suatu pembuktian terdapat beberapa prinsip-prinsip pembuktian
antara lain sebagai berikut:
a. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
b. Menjadi saksi adalah kewajiban
c. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)
d. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum
membuktikan kesalahan terdakwa
e. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri
3. Sistem atau Teori Pembuktian
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan hakim Atas
Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee)
b. Sistem atau Teori Pembuktikan Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
c. Sistem atau Teori Pembuktian Brdasarkan Undang-undang Secara
Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie)
4. Alat-alat pembuktian
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa

22
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV Sapta


Artha Jaya.

Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan


KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali: Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana. Bandung: Mandar Maju.

Subekti. 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita.

Prinst, Darwan. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta:


Djambatan.

23

Anda mungkin juga menyukai