Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MsENJALANKAN

PIDANA

Disusun Sebagai Sarana Pemenuhan Nilai Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana
Dosen Pengampu : Ibu Rugaya Renwarin,S.H.,M.M.

1. Muhammad Miftahul Falah 33010190167


2. Ahmad Saifi Nur Romdhoni 33010200050
3. Kasmawi 33010200210
4. Afida Ismawati 33010200212

FAKULTAS SYARIAH
HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya. Sehingga, kami
dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana
dengan tema “TINDAK PIDANA PEMILU” ini dapat tersusun sampai selesai tanpa adanya suatu
halangan apapun.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, 23 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang

b. Rumusan Masalah

c. Tujuan Penulisan

BAB II
PEMBAHASAN
a. Dasar atau Alasan Penghapusan Pidana

b. Asas Alasan Penghapusan Pidana

BAB III
PENUTUPAN
a. Kesimpulan

b. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk
tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan ke
pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan
penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada
hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi
perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari
pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti
dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.1 Alasan-alasan penghapus pidana
(strafuitsluitingsgronden) adalah alasan alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan
perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana2.

Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus
pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan
hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang
membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Jadi dalam hal ini hak melakukan
penuntutan dari Jaksa tetap ada, tidak hilang, namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh
hakim. Dengan kata lain undang-undang tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan
tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan penghapus pidana.
Oleh karena hakimlah yang menentukan apakah alasan penghapus pidana itu dapat diterapkan
kepada tersangka pelaku tindak pidana melalui vonisnya.Sedangkan dalam alasan penghapus
penuntutan, undangundang melarang sejak awal Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan/
menuntut tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan.Dalam hal ini tidak diperlukan
adanya pembuktian tentang kesalahan pelaku atau tentang terjadinya perbuatan pidana tersebut
(hakim tidak perlu memeriksa tentang pokok perkaranya).Oleh karena dalam putusan bebas atau

1
Hamdan, Hukum Pidana Materil & Formil : Alasan Penghapus Pidana, USAID, The Asia Foundation, Kemitraan-
Partnership, 2015, hlm 286
2
Sofjan Sastra widjaja, op.cit, hlm. 223
putusan lepas, pokok perkaranya sudah diperiksa oleh hakim, maka putusan itu tunduk pada
ketentuan Pasal 76 KUHP.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Dasar Atau Alasan Penghapusan Pidana?

2. Apa Saja Asas Alasan Penghapusan Pidana?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dasar alasan atau penghapusan pidana

2. Untuk mengetahui asas alasan penghapusan pidana


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana

Kata "tindak pidana" merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda "strafbaarfeit",
namun pembentuk undang-undang di Indonesia tidak menjelaskan secara rinci mengenai
"strafbaarfeit".3 Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu
kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”,
hingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari
suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan
diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan
kenyataan, perbuatan ataupun tindakan4. Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk
undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang ia maksud
dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa
sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut., misalnya perbuatan pidana, peristiwa
pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal-hal yang diancam dengan hukum dan
perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman serta tindak pidana5.

Dalam hubungan ini, Satochid Kartanegara lebih condong menggunakan istilah “delict”
yang telah lazim dipakai . R. Tresna menggunakan istilah "peristiwa pidana". Sudarto
menggunakan istilah "tindak pidana", demikian pula Wirjono Projodikoro menggunakan istilah
"tindak pidana" yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Akan
tetapi Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut. Van Hamel merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai
berikut “kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum yang patut
dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.6

3
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 5.
4
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984, hlm. 172. 18 K
5
K.Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007, hlm. 15
6
Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), Cet. 1, hlm. 96
HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA DALAM KUHP

Hapusnya Hak Penuntutan Pidana Penuntutan menurut pasal 1 ayat (7) KUHAP adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang
dalam hal menurut cara yang diatur dalam undnag-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Hak penuntutan ditentukan undang-undang hanya
ada pada penuntut umu yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh KUHAP UU No. 8 tahun 1981
pasal 13 dan 14 di lingkungan peradilan umum dan militer berdasarkan pasal 17 ayat 3 UU No. 1
tahun 1958 di lingkungan peradilan militer.

Dalam pasal 14 KUHAP tindakan penuntutan itu adalah sebagai berikut :

1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu

2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan


ketentuan pasal 110 ayat 3 dan 4 dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dasar penyidik.

3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik

4. Membuat surat dakwaan

5. Melimpahkan berkas perkara ke pengadilan

6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun saksi untuk datang pada
sidang yang telah ditentukan.

7. Melakukan penuntutan

8. Menutup perkara demi kepentingan hukum

9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum
menurut ketentuan undang-undang ini.
10. Melaksanakan penetapan hukum.

Dasar-dasar yang meniadakan penuntutan dapat dijumpai dalam KUHP antara lain :

1. Buku I Bab V yaitu dalam pasal 61 dan 62 KUHP yang menentukan bahwa penerbit dan
pencetak itu tidak dapat dituntut apabila pada benda-benda yang dicetak dan diterbitkan itu telah
mereka cantumkan nama-nama serta alamat orang yang telah menyuruh mencetak benda-benda
tersebut, atau pada kesempatan pertama setelah ditegur kemudian telah memberi julukan nama dan
alamat orang tersebut.

2. Buku I Bab VII yaitu dalam pasal 72 KUHP dan selanjutnya yang menambah bahwa tidak dapat
dilakukan suatu penuntutan apabila tidak ada pengaduan.

3. Buku I Bab VIII yaitu dalam pasal 76, 77, 78 dan pasal 82 KUHP yang mengatur tentang
hapusnya hak untuk melakukan penuntutan. Dalam hubungannya dengan hapusnya hak
penuntutan pidana, bahwa KUHP memuat 4 (empat) hal yang menyebabkan negara kehilangan
hak untuk menuntut pidana terhadap si pembuat tindak pidana, yaitu: Sebab perbuatan yang telah
diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 76)
yaitu : Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua
kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan
yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan
adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.

Hapusnya Hak Penuntutan Pidana Karena Daluwarsa

Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu pelaku tindak pidana untuk menjadi tidak dapat
dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini bergantung dari berat ringannya pidana yang diancamkan
pada tindak pidana yang diperbuat. Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), yang
menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewat waktu, yakni:

a. Untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan,
sesudah satu tahun;
b. Untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana
penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;

c. Untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun,
sesudah dua belas tahun; dan

d. Untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas
tahun.

Sedangkan untuk pelaku anak-anak yang pada saat melakukan tindak pidana umurnya
belum delapan belas tahun, menurut ayat (2) maka tenggang daluwarsa hapusnya penuntutan
pidana adalah dikurangi sepertiga dari ketentuan pada ayat pertamanya. Menetapkan lamanya
tenggang daluwarsa untuk peniadaan penuntutan pidana yang didasarkan pada berat ringannya
ancaman pidana atau berat ringannya tindak pidana yang diperbuat, adalah bertitik tolak dari
pandangan bahwa semakin berat atau besar tindak pidana yang diperbuat akan semakin lama
ingatan orang atau masyarakat terhadap kejadian itu, yang juga artinya ialah lamanya penderitaan
yang dirasakan orang dan atau masyarakat sebagai akibat dari diperbuatnya tindak pidana
bergantung dari berat ringannya macam dan jenis tindak pidana yang diperbuat orang. Semakin
berat tindak pidana diperbuat akan semakin lama rasa penderitaan yang dibawa oleh orang atau
masyarakat sebagai akibat dari diperbuatnya tindak pidana.7

Berhubung adanya pemberatan pidana (misalnya pengulangan) maupun pengurangan


pidana (misalnya pembuat belum berumur 18 tahun), maka timbul kesulitan untuk menentukan
apakah suatu kejahatan itu diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau lebih dari 3
tahun. Dengan kata lain dalam hal untuk menentukan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun
atau lebih dari 3 tahun, apakah pemberatan pidana maupun pengurangan pidana ikut
diperhitungkan ataukah tidak perlu diperhitungkan? Misalnya kejahatan pasal 380 KUHP yang
diancam pidana penjara 2 tahun 8 bulan, yang apabila terjadi pengulangan maka ancaman
pidananya ditambah dengan sepertiganya atau menjadi 3 tahun 6 bulan dan 19 hari. Kesulitannya
ialah untuk menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana pada
pengulangan pasal 380 ini, apakah berpedoman pada ancaman pidana tanpa memperhatikan

7
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 173, hlm. 176.
pemberatan karena pengulangan (2 tahun 8 bulan) ataukah memperhitungkan juga pemberatan
pada pengulangannya (ditambah sepertiganya) sehingga ancaman pidananya menjadi 3 tahun 6
bulan dan 19 hari? Dengan demikian tenggang daluwarsanya tidak sesudah 6 tahun, tetapi sesudah
12 tahun. Undang-undang tidak memberikan petunjuk mengenai persoalan ini. Mengenai
persoalan ini ada 2 pendapat yang saling bertentangan,8 yaitu:

a. Pendapat pertama, Noyon, Van Hattum dan Hazewinkel Suringa menyatakan bahwa
dalam hal menentukan suatu kejahatan diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau
lebih dari tiga tahun, tidaklah perlu memperhatikan pemberatan pidana ataupun pengurangan
pidana, yang harus diperhatikan hanyalah sanksi pidana yang diancamkan pada masing-masing
rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

b. Pendapat kedua, sebaliknya seperti Jonkers menyatakan bahwa tenggang daluwarsa itu
adalah didasarkan pada ancaman pidana maksimum tindak pidana yang pada kenyataannya
diperbuat, oleh karena itu keadaan obyektif maupun subyektif yang memberatkan pidana atau
meringankan pidana juga harus diperhitungkan dalam hal menentukan tenggang daluwarsa
hapusnya kewenangan penuntutan pidana.

B. Asas Alasan Penghapusan Pidana

Dalam ajaran alasan penghapusan pidana, terdapat tiga asas yang sangat penting, yaitu :9
1. Asas Subsidiaritas; Ada benturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum,
kepentingan hukum dan kewajiban hukum, kewajiban hukum dan kewajiban hukum.

2. Asas Proporsionalitas; Ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela atau
kewajiban hukum yang dilakukan.

3. Asas “culpa in causa”. Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang sejak semula mengambil
risiko bahwa dia akan melakukan perbuatan pidana.

8
Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, Terj. Tim Penerjemah Bina Aksara, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987, hlm.
238
9
J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, Hukum Pidana, PT. Citra aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm 57
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan

Alasan-alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) adalah alasan alasan yang


memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan
delik, tetapi tidak dipidana. Dasar atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu :

a. Alasan Pembenar (rechtsvaardigingsgrond-faits justificatifs)

b. Alasan Pemaaf (schulduitsluitingsgrond-faits d’exuce)

Dalam ajaran alasan penghapusan pidana, terdapat tiga asas yang sangat penting, yaitu

1. Asas Subsidiaritas

2. Asas Proporsionalitas

3. Asas “culpa in causa”

b. Saran

Demikianlah makalah yang bisa saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada saran dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada kami. Apabila
ada terdapat kesalaha mohon dapat dimaafkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba
Allah yang tidak luput dari salah dan luput.
DAFTAR PUSTAKA

Hamdan, Hukum Pidana Materil & Formil : Alasan Penghapus Pidana,

USAID, The Asia Foundation, Kemitraan-Partnership, 2015

Sofjan Sastra widjaja, hukum pidana 1, CV. Armico. Bandung, 1990.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan PertanggungJawaban Pidana, Aksara Baru,


Jakarta, 1983

J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, Hukum Pidana, PT. Citra aditya Bakti, Bandung, 2007

Anda mungkin juga menyukai