Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ALASAN – ALASAN YANG MENGHAPUSKAN PIDANA


DAN ALASAN YANG MENGHAPUSKAN PENUNTUTAN
Mata Kuliah : Hukum Pidana

Dosen Pengampu : Dra. Hj. Marwiah, M.Pd

Disusun Oleh :

Kelompok 8 / PPKn A 2019

1. Nur Aqidahtul Izzah 1905056003


2. Ida Resti Husaini 1905056024
3. Ariyanti 1905056028

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Perdata, dari Ibu Dra. Hj. Marwiah, M.Pd. Yang mana penulis mengambil judul
“Alasan – alasan yang menghapuskan pidana dan alasan yang menghapuskan penuntutan”.
Tujuan penulis mengambil judul tersebut untuk membantu penulis dan pembaca dalam
memahami hal tersebut dan untuk menambah wawasan.
Penulis mengucapkan terima kasih terkhusunya kepada Ibu Dra. Hj. Marwiah, M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana yang telah memberikan tugas ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu serta membagi
sebagian pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak guna perbaikan di masa yang akan datang. Harapan penulis semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Penajam , 29 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.....................................................................................................4

B. Rumusan Masalah................................................................................................5

C. Tujuan Makalah....................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Dasar Penghapus Pidana....................................................................6

B. Alasan Yang Menjadi dasar Penghapus Pidana dalam KUHP ............................7

C. Alasan Penghapus Pidana di Luar KUHP ..........................................................11

D. Alasan Penghapusan Penuntutan.........................................................................12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................................17

B. Saran....................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim
untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang
diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan
tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan
yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa
seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak
dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk
menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan
penghapus pidana.

Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan


orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi
tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan,
alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat
melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya
ketentuan undangundang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang
memaafkan pembuat. Jadi dalam hal ini hak melakukan penuntutan dari Jaksa tetap ada,
tidak hilang, namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan kata lain
undang-undang tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tersangka
pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan penghapus pidana.
Oleh karena Hakimlah yang menentukan apakah alasan penghapus pidana itu dapat
diterapkan kepada tersangka pelaku tindak pidana melalui vonisnya. Sedangkan dalam
alasan penghapus penuntutan, undangundang melarang sejak awal Jaksa Penuntut Umum
untuk mengajukan/menuntut tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan. Dalam
hal ini tidak diperlukan adanya pembuktian tentang kesalahan pelaku atau tentang
terjadinya perbuatan pidana tersebut (Hakim tidak perlu memeriksa tentang pokok
perkaranya).4 Oleh karena dalam putusan bebas atau putusan lepas, pokok perkaranya

4
sudah diperiksa oleh hakim, maka putusan itu tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP.
Meskipun KUHP yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan
tetapi KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang alasan penghapus
pidana tersebut. Pengertiannya hanya dapat ditelusuri melalui sejarah pembentukan
KUHP (WvS Belanda).

Dasar atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Dalam beberapa literatur hukum pidana, dapat
dilihat tentang pengertian dari alasan pembenar dan alasan pemaaf serta perbedaannya,
salah satunya dalam buku Roeslan Saleh bahwa: Apabila tidak dipidananya seseorang
yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-
hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka
dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai alasan-alasan pembenar. Perbuatan yang pada
umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu
dipandang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru.
Sebaliknya apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang
mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak
sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela
itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memaafkannya juga dipendeki dengan alasan –
alasan pemaaf.

B. Rumusan Masalah
1. Apa alasan terjadinya penghapusan pidana?
2. Apa alasan terjadinya penghapusan penuntutan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui alasan terjadinya penghapusan pidana
2. Untuk mengetahui alasan terjadinya penghapusan penuntutan

5
3.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dasar Penghapus Pidana
Pada dasarnya, apa yang diatur dalam aturan perundang-undangan adalah hal-hal
yang umum sifatnya. Utrech menyatakan, bahwa sifat umum tersebut membuka
kemungkinan peluang akan kemungkinan dijatuhkannya pidana yang tidak adil. Dengan
kata lain, kemungkinan bahwa dijatuhkannya hukuman kepada seseorang yang tidak
bersalah.Para pembentuk undang-undang melihat bahwa perlunya suatu pengaturan
tentang kondisi-kondisi atau keadaan-keadaan tertentu untuk meniadakan pemidanaan
bagi seseorang. Kondisi-kondisi atau keadaan – keadaan tertentu ini merupakan suatu
kondisi atau keadaan yang berkaitan dengan perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak
pidana ataupun kesalahan yang melekat pada diri seorang pelaku tindak pidana.
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada
hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi
perumusan delik sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang yang seharusnya
dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal ini, menempatkan wewenang
dalam dirinya (dalam mengadili perkara yang konkret) sebagai pelaku penentu apakah
telah terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan
penghapus pidana.Dalam hal ini sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah memenuhi
semua unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan hukum pidana. Akan tetapi,
ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan pelaku tindak pidana, atau dikecualikan
dari penjatuhan sanksi pidana sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan
perundangundangan tersebut. Dengan demikian alasan-alasan penghapus pidana ini,
adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang
sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, untuk tidak dipidana, dan ini merupakan
kewenangan yang diberikan undang-undang kepada hakim.
Di dalam KUHP meskipun mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan
tetapi KUHP tidak memberikan pengertian yang jelas tentang makna alasan penghapus
pidana tersebut. Menurut doktrin alasan penghapus pidana dapat dibagi dua yaitu alasan

6
penghapus pidana yang merupakan alasan pemaaf, dan yang kedua alasan penghapus
pidana yang merupakan alasan pembenar.
Khusus mengenai dasar penghapus pidana, KUHP merumuskan beberapa keadaan
yang dapat menjadi dasar penghapus pidana, sebagai berikut :
1. Pasal 44 KUHP tentang Kemampuan Bertanggungjawab
2. Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa dan Keadaan Terpaksa
3. Pasal 49 KUHP tentang Bela Paksa
4. Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Undang-undang
5. Pasal 51 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Atasan.

Secara umum, doktrin telah membedakan sumber dasar penghapus pidana


tersebut dalam dua bagian, yaitu sebagai berikut :

a. Dasar penghapus pidana yang sifatnya umum (straftuitsluitungsgronden yang


umum)
b. Dasar penghapus pidana yang sifatnya khusus (straftuitsluitungsgronden yang
khusus).

Utrech menyatakan, pembedaan ini didasarkan alasan yang berbeda antara dasar
penghapus pidana yang umum dan khusus. Dasar penghapus pidana yang umum ini
didasarkan ketiadaan sifat melawan hukum dari perbuatan (wederrechtelijkheid) atau
ketiadaan kesalahan dalam pengertian yang luas (schuld). Sementara, dasar penghapus
pidana yang khusus adalah pada kepentingan umum yang tidak diuntungkan dengan
adanya penuntut pidana.Oleh karena itu, disamping apa yang ditentukan dalam undang-
undang, praktik pengadilan juga menerima beberapa macam keadaan atau kondisi yang
dapat menghapuskan pemidanaan yang berkembang dan diterima sebagai suatu doktrin.

B. Alasan Yang Menjadi dasar Penghapus Pidana dalam KUHP

Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan
pemaaf. Bab ketiga dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang
menghapuskan pidana.

7
Dalam teori hukum pidana, Achmad Soema memberikan penjelasan alasan-alasan
yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi:

 Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya


perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan
yang patut dan benar.
 Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap
merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada
kesalahan.
 Alasan penghapus penuntutan, disini permasalahannya bukan ada alasan
pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya
perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah
menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat,
sebaiknya tidak diadakan penuntutan.

MvT dari KUHP Belanda dalam penjelasannya mengenai alasan penghapusan


pidana ini, mengemukakan apa yang disebut alasan-alasan tidak dapat
dipertanggungjawabkan seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang. 

Alasan-alasan tersebut masuk dalam alasan penghapus dan alasan pembenar


antara lain:

1. Kemampuan Bertanggungjawab
Pasal 44 KUHP merupakan gambaran yang jelas atas suatu kondisi, di mana
seorang pelaku tindak pidana tidak dapat mempertanggung jawabkan atas perbuatan
yang dilakukannya itu. Simons menggambarkan suatu konsep, bahwa setiap tindakan
harus dapat dipertanggungjawabkan, karena adanya kesalahan (schuld dalam arti
luas) yang melekat pada diri seseorang. Simons pun menyatakan, bahwa maksud
kesalahan dalam arti luas ini tidak bisa otomatis disamakan dengan opzet atau culpa.
Kesalahan sebagai dasar dari seorang pelaku yang memungkinkan pelaku tersebut
dapat menilai akan maksud dari tindakannya, sehingga bila yang dilakukannya
merupakan tindak pidana, maka hal ini dapat dipersalahkan kepadanya.
8
Pada Pasal 44 ayat (1) KUHP yang dimaksud dengan tidak dapat
dipertanggungjawabkan adalah sebagai berikut :
a. Adanya pertumbuhan yang tidak sempurna dari akalnya
b. Adanya kondisi kecacatan jiwa karena penyakit
2. Daya Paksa dan Keadaan Terpaksa
Daya paksa atau dikenal dengan istilah overmecht diatur dalam Pasal 48 KUHP
yang menyatakan bahwa “ Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh
daya paksa, tidak dipidana.” Menurut MvT penyebab yang datang dari luar dan
membuat suatu perbuatan itu menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pelakunya.
Menurut Jonkers overmacht itu berwajah tiga rupa yaitu sebagai berikut :
a. Overmacht yang bersifat mutlak, dalam hal ini orang yang terpaksa tidak
mungkin dapat berbuat lain. Ia tidak mungkin memilih jalan lain
b. Overmacht dalam arti sempit yang bersifat nisbi berat lawan, dalam hal ini
orang yang terpaksa masih ada kesempatan untuk memilih berbuat lain, akan
tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakan.
c. Overmacht dalam arti Noodtoestand atau keadaan darurat, keadaan darurat
ada bila kepentingan hukum seseorang berada dalam keadaan bahaya, maka
untuk mengelakkan bahaya itu, terpaksa melanggar kepentingan hukum orang
lain.
3. Bela Paksa (Noodweer)
Kata noodweer berasal dari kata nood dan weer. Nood berarti keadaan darurat
sedangkan weer berarti pembelaan.Para pakar pada umumnya memberi arti nodweer
dengan pembelaan terpaksa.
Menurut Pasal 49 KUHP untuk dapat disebut dengan noodweer harus memenuhi
beberapa syarat yaitu :
a. Harus ada serangan, yang dilakukan seketika, yang mengancam secara
langsung, dan melawan hak.
b. Ada pembelaan, yang sifatnya mendesak, pembelaan itu menunjukkan
keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilanggar dan kepentingan

9
hukum yang dibela, kepentingan hukum yang dibela hanya badan,
kehormatan, harta sendiri maupun orang lain.

Noodweer itu diperkenankan oleh undang-undang, tidak lain karena noodweer


itu semata-mata dilakukan untuk membela diri, kehormatan, dan barang terhadap
serangan yang dilakukan oleh orang lain. Dalam keadaan yang demikian alat
perlengkapan negara tidak sempat memberi pertolongan untuk mencegah kejahatan
itu sendiri. Karena itulah noodweer diperkenankan oleh undangundang.

4. Melaksanakan Perintah Undang-undang


Pada Pasal 50 KUHP dinyatakan bahwa “ barang siapa melakukan perbuatan
untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.” Apa yang
diperintahkan oleh undang-undang atau wewenang yang diberikan oleh undang-
undang untuk melakukan sesuatu hal tidak dapat dianggap seperti suatu peristiwa
pidana. Perbuatan yang dilakukan tidak merupakan peristiwa pidana dan karenanya
tidak ada dasar untuk mengenakan pidana terhadapnya.
Pelaksanaan ketentuan Pasal 50 KUHP mensyaratkan beberapa hal sebagai
berikut :
a. Adanya peraturan yang merumuskan suatu perintah kepada seorang
berdasarkan kompetensi atau jabatan tertentu
b. Orang yang melaksanakan perintah adalah orang yang ditunjuk oleh
undangundang berdasarkan kompetensi dan jabatannya. Hal ini harus
diartikan bahwa orang yang melaksanakan perintah undang-undang harus
memahami, bahwa ia hanya dapat melakukan tindakan tersebut karena
peraturan perundangundangan menentukan sebagai kewajiban baginnya untuk
melakukan tindakan seperti itu dan bukan karena orang itu mempunyai hak
untuk berindak demikian.
c. Tindakan yang dilakukan adalah tindakan yang secara jelas dirumuskan dan
berdasarkan perintah undang-undang.

Pada syarat yang terakhir, tidak setiap ketentuan perundang-undangan


merumuskan dengan jelas tindakan yang diperintahkan untuk dilaksanakan. Terhadap

10
seseorang yang diberikan kewenangan oleh undang-undang selayaknya dapat
mengukur tindakan diperintahkan oleh undang-undang.

5. Melaksanakan Perintah Jabatan


Hal ini sama dengan pembahasan tentang Pasal 50 KUHP mengenai pelaksanaan
perintah undang-undang perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang
berwenang, sebenarnya juga merupakan perintah yang ditentukan berdasarkan aturan
perundang-undangan.
Perbedaan antara ketentuan Pasal 50 dan Pasal 51 khususnya ayat (1) adalah,
dalam ketentuan Pasal 51 dipersyaratkan adanya hubungan atasan dan bawahan,
bahwa kewenangan atasan untuk memberikan perintah adalah pada kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang kepadanya. Semantara dalam Pasal 50, yang diberikan
kewenangan oleh undang-undang adalah pelaku fisik yang melaksanakan tindakan
secara langsung. Oleh karena itu, perbuatan untuk melaksanakan perintah yang
diberikan oleh pejabat berwenang tidak dipidana.
Merujuk kepada rumusan Pasal 51 KUHP tersebut, maka “perintah jabatan”
menjadi unsur yang menentukan untuk menggunakan ketentuan ini sebagai dasar
penghapus pidana. Menurut Noyon-Langemeyer dirumuskan sebagai “suatu perintah
yang telah diberikan oleh seseorang atasan, bahwa kewenangan untuk
memerintahkan hal semacam itu bersumber pada suatu posisi menurut jabatan, baik
dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah.”
C. Alasan Penghapus Pidana di Luar KUHP

Pembahasan diatas telah dijelaskan mengenai alasan penghapus pidana yang berupa
berupa alasan pembenar dan alasan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang
terdapat dalam KUHP. Di luar undang-undang pun terdapat alasan penghapus pidana,
seperti:

 Hak dari orang tua, guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya
(tuchtrecht);
 Hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker,
bidan dan penyelidik ilmiah (vivisectie);

11
 Izin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai
suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau
persetujuan (consent of the victim);
 Mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
 Tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil;
 Tidak adanya kesalahan sama sekali.
D. Alasan Penghapusan Penuntutan
Suatu contoh tentang dasar peniadaan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan
telah lewat waktu (verjaard). Dalam hal lewat waktu ini, penuntut umum tidak dapat lagi
melakukan penuntutan, seandainya penuntut umum tetap ingin melakukan penuntutan,
maka akan ditolak oleh hakim atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet
onvankelijk verklaring van het O. M.).
Hilangnya hak menuntut karna lewat waktu (verjaard) diatur dalam pasal 78
KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karna nebis in idemdiatur dalam pasal 76
KUHP. Disitu dikatakan “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah (feit)yang
baginya telah diputuskan oleh hakim Indonesia dengan keputusan yang telah tetap”.
Dua hal yang perlu dijelaskan disini ialah, pertama pengertian perbuatan (feit) dan
putusan yang telah tetap. Van Hamel menunjukkan ada tiga pengertian perbuatan (feit)
itu:
1. Perbuatan (feit), terjadinya kesalahan (delik).
Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang
dianiaya dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian,
maka tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-
perbuatan itu kemudian dari yang lain.
2. Perbuatan (feit), perbuatan yang didkwakan.
Ini terlalu sempit, diambil contoh: seseorang dituntut melakukan
perbuatan penganiayaan yang mengakibatkan kematian, kemudian ia sengaja
melakukan pembunuhan, maka berarti masih dapat dilakukan penuntutan atas
dassr “sengaja melakukan paembunuhan” karna hal ini lain dari

12
‘’penganiayaan yang mengakibatkan kematian’’. Vos tidak dapat menerima
pengertian perbuatan dalam arti yang kedua ini.
3. Perbuatan (feit)
Perbuatan materil, jadi perbuatan itu terlepas dari unsur kesalahan dan
terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini maka ketidak pantasan yang ada
pada pengertian terdahulu dapat dihindari.

Jika ada perbedaan tempat dan waktu suatu perbuatan materil terjadi masalah
pula, misalnya jika seseorang dituntut untuk melakukan suatu perbuatan yang dilakukan
di Jakarta pada tanggal 1 januari 1991 tidak dapat dituntut atas perbuatan itu juga yang
dilakukan di Bogor pada tanggal 1 januari 1990. Loge Raad dahulu selalu menerapkan
pengertian yang ketiga.

Van Bammelen dan Pompe melihat hubungan erat antara pengertian perbuatan di
dalam pasal 76 KUHP dan pasal 63 KUHP (gabungan delik/concursus). Pompe memberi
definisi tentang perbuatan yang sama antara pasal 76 dan pasal 63 KUHP “tingkah laku
konkret yang ditunjukkan pada tujuan yang sama sepanjang tujuan itu menjadi obyek
norma”. Putusan yang telah memiliki tujuan tetap berlaku sebagai keputusan yang tidak
dapat diubah lagi. Ini meliputi setiap putusan bebas dari tuntutan hukum dan pemidanaan
dan juga putusan pidana bersyarat.

Berbeda dengan peniadaan penuntutan seperti tersebut dimuka, jika suatu


perbuatan ternyata berdasarkan keadaan tertentu tidak dapat dipidana, tuntutan penuntut
umum tetap dapat diterima. Dalam hal terakhir ini putusan hakim akan menjadikan
terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (onslagen van alle rechtsver volging). Di
sinilah letak perbedaan antara dsar peniadaan penuntutan dan dasar peniadaan pidana,
yaitu pada putusan hakim. Dalam hal tersebut berakhir, karna putusan hakim adalah
putusan akhir (vonnis), sedangkan yang tersebut pertama, disebut penetapan hakim
(beschiking). Jadi upaya hukumnya pun akan berbeda dalam melawan putusan tersebut.
Dalam hal putusan lepas dari segala tuntutan hukum upaya hukum menurut penetapan
hakum berupa tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima ialah perlawanan (verzet).

13
Menurut van Bemmelen selanjutanya, kadang kala sulit untuk membedakan
apakah itu dasar peniadaan penuntutan taukah dasar paeniadaan pidana, karna istilah
yang dipakai oleh pemuat Undang-undang tidak selalu jelas. Sering disebut bahwa suatu
ketentuan pidana dalam keadaan tertentu tidak dapat diterapkan, yang menunjukkan dasar
peniadaan penuntutan, padahal maksud dari pembuat Undang – undang ialah melarang
penjatuhan pidana dalam hal itu. Hal baru jika tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima, maka dapat kembali dilakukan penuntutan yang kedua terhadap perbuatan yang
sama asalkan dasar peniadaan penuntutan telah dihapuskan sedangkan apabila terjadi
putusan lepas dari segala tuntutan hukum maka penuntutan kedua tidak dimungkinkan.

Di samping itu sulit menentukan apakah sesuatu dalam rumusan merupakan


unsur/elemen ataukah suatu dasar peniadaan pidana atau fait d’excuse. Vos memberi
contoh tentang “izin” yang dikeluarkan pemerintah apakah merupan unsur ataukah fait
d’excuse. Perbedaan ini penting sekali dalam hal pembutan surat dakwaan dalam
pembuktian, jika ia merupakan unsur/elemen maka itu harus dibuktikan sesuai dengan
ketentuan pembuktian. Juga penting untuk putusan hakim, jika pelanggaran terhadap izin
merupakan unsur, maka putusannya ialah bebas, kalau ternyata dakwaan tidak dapat
dibuktikan. Jika suatu izin merupakan dasar peniadaan pidana atau fait d’excuse,maka
putusannya ialah terbebas dari segala tuntutan hukum. Jelas menurut Vos, jika tertulis
“ini atau itu dilarang tanpa izin” dan jika terjadi pelanggaran adalah merupakan suatu
unsur. Sebaliknya suatu izin merupakan dasar peniadaan pidana jika kata-katanya
berbunyi: “peraturan tidak ditetapkan jika diberikan izin”, begitu pula “pembuat tidak dipidana
jika ada izin”. Apabila meragukan maka menurut Langemeijer pelanggaran terhadap izin
dipandang sebagai suatu unsur (element).

Di dalam KUHP terdapat empat hal yang menggugurkan penuntutan pidana yaitu: ne bis
in idem, terdakwa meninggal dunia, daluarsa dan penyelesaian perkara diluar pengadilan.

a) Ne bis in idem, ketentuan mengenai ne bis in idem atau suatu perkara tidak boleh
dituntut dua kali atas perbuatan yang hakim telah diadili dengan putusan yang
berkekuatan hukum tetap yang menjadi alasan gugurnya penuntutan pidana yang
diatur dalam pasal 76 KUHP sebagai mana yang telah disebutkan diatas. Ketentuan
pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
14
ataupun kepada setiap individu agar menghormati putusan tersebut, sedangkan yang
dimaksud dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap berupa: putusan bebas,
putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pemidanaan.

b) Terdakwa meninggal dunia, ketika terdakwa meninggal dunia itu dapat dijadikan
dasar untuk menhentikan penuntutan pidana. Penjatuhan hukuman pidana harus
ditujukan kepada pribadi orang yang melakukan perbuatan pidana. Apabila orang
yang melakukan pidana meninggal dunia, maka tidak ada lagi penuntutan pidana
baginya atas perbutan yang dilakukannya.Jika orang itu meninggal dunia
maka penuntutan pidana kepadanya menjadi gugur atau dengan kata lain
‘’kewenangan menuntut pudana gugur jika terdakwa meninggal dunia’’.

c) Daluarsa, latar belakang yang mendasari daluarsa sebagai alasan yang


menggugurkan penuntutan pidana adalah dikaitkan dengan kemampuan daya
ingat manusia dan keadaan alam yang memungkinkan petunjuk alat bukti
lenyap atau tidak memiliki nilai untuk hukum pembuktian. Daya ingat
manusia baik sebagai terdakwa maupun sebagai saksi seringkali tidak mampu
untuk menggambarkan kembali kejadian yang telah terjadi dimasa lalu. Bahan
yang diperlukan dalam perkara semakin sulit untuk dipertanggungjawabkan
yang disebabkan oleh kerusakan dan lain-lain.Atas dasar hal inilah, maka
pembentuk Undang-undang harus memilih satu kebijakan yakni kewenangan
untuk melakukan suatu penuntutan pidana menjadi gugur karna alasa daluarsa
dengan tenggang waktu tertentu. Tenggang waktu tertentu yang menjadi
alasan daluarsa penuntutan dibedakan menurut jenis atau berat ringan
perbuatan pidana.

d) Penyelesaian perkara diluar pengadilan, penyelesaian perkara diluar


pengadilan sebagai alasan yang menggugurkan penuntutan pidana diatur
didalam pasal 82 ayat 1 KUHP yang berbunyi: ‘”Kewenangan menuntut
pelanggaran yang diancam dengan denda saja menjadi hapus, kalau dengan
suka rela membayar denda maksimum dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
kalau penuntutan telah dimulai atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh
aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya”.

15
Ketentuan pasal 82 ayat 1 KUHP tersebut sering kali disebut lembaga penebus
(afkoop) atau lembaga hukum perdamaian (schikking) sebagai alasan yang
menggugurkan penuntutan pidana hanya dimungkinkan pada perkara tertentu, yaitu suatu
perkara pelanggaran yang diancam dengan denda secara tunggal, pembayaran denda
harus sebanyak maksimum ancaman pidana denda seberat pidana biaya lain yang harus
dikeluarkan, atau penebusan harga-harga tafsiran bagi barang yang terkena perampasan,
dan harus bersifat sukarela dari inisiatif terdakwa sendiri yang sudsh cukup umum.

Dalam konsep KUHP gugurnya kewenangan penuntutan pidana tidak hanya


terdapat empat hal sebagaimana yang diatur dalam KUHP, tetapi diperluas menjadi
sebelas hal, yaitu:

a. Telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;


b. Terdakwa meninggal dunia;
c. Daluarsa;
d. Penyelesaian perkara diluar pengadilan;
e. Maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori III;

f. Presiden memberi amnesti atau abolisi;

g. Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan


perjanjian; h. Tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya
ditarik kembali, dan

h. Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.


Kecuali adanya alasan pembenar yang menghilangkan sifat melawan hukumnya
perbuatan dan alasan pemaaf yang menghilangkan pertanggungjawaban pidana pelaku yang
dengan demikian menghapus pemidanaan terhadap pelaku, terdapat pula alasan yang mendahului
alasan penghapus pidana tersebut. Jika alasan ini dapat diterima maka jaksa tidak dapat

16
melakukan penuntutan. Alasan-alasan itu adalah: alasan dengan tempat berlakunya KUHP (locus
delicti). Ini kemudian menjawab pertanyaan apakah perbuatan yang dilakukan oleh tersangka
berada dalam ruang lingkup KUHP. Kita harus mengingat pasal 2-8 KUHP, jika memang
perbuatan itu dilakukan dalam pasal tersebut diatas, maka penuntutan tidak dapat dilakukan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum pidana mengenal beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim
untuk tidak menjatuhkan hukuman atau pidana kepada pelaku atau terdakwa yang
diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak atau perbuatan pidana.
Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana
adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan
berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana.
Hakim dalam hal ini, menempatkan wewenang dalam dirinya (dalam mengadili perkara
yang konkret) sebagai pelaku penentu apakah telah terdapat keadaan khusus dalam diri
pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.
B. Saran
Dalam hal ini sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah memenuhi semua unsur
tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan hukum pidana, akan tetapi ada beberapa
alasan yang dapat menyebabkan pelaku tidak dipidana, atau dikecualikan dari penjatuhan
sanksi pidana. Dengan demikian alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan
yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi
rumusan delik, untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewenangan yang diberikan
Undang-Undang kepada hakim.

17
DAFTAR PUSTAKA
https://doktorhukum.com/alasan-penghapus-pidana-dalam-kuhp-dan-luar-kuhp/#:~:text=Alasan
%20pembenar%2C%20yaitu%20alasan%20yang,alasan%20yang%20menghapuskan
%20kesalahan%20terdakwa.
https://media.neliti.com/media/publications/150974-ID-penerapan-alasan-penghapus-pidana-
dan-pe.pdf
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/4827/1/Yusrifar.pdf
http://e-journal.uajy.ac.id/5067/2/1HK09424.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/21257/4/Bab%201.pdf
https://repository.unsri.ac.id/19661/2/isi_12.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai