Disusun Oleh :
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Perdata, dari Ibu Dra. Hj. Marwiah, M.Pd. Yang mana penulis mengambil judul
“Alasan – alasan yang menghapuskan pidana dan alasan yang menghapuskan penuntutan”.
Tujuan penulis mengambil judul tersebut untuk membantu penulis dan pembaca dalam
memahami hal tersebut dan untuk menambah wawasan.
Penulis mengucapkan terima kasih terkhusunya kepada Ibu Dra. Hj. Marwiah, M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana yang telah memberikan tugas ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu serta membagi
sebagian pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak guna perbaikan di masa yang akan datang. Harapan penulis semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................5
C. Tujuan Makalah....................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan..........................................................................................................17
B. Saran....................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim
untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang
diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan
tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan
yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa
seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak
dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk
menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan
penghapus pidana.
4
sudah diperiksa oleh hakim, maka putusan itu tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP.
Meskipun KUHP yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan
tetapi KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang alasan penghapus
pidana tersebut. Pengertiannya hanya dapat ditelusuri melalui sejarah pembentukan
KUHP (WvS Belanda).
Dasar atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Dalam beberapa literatur hukum pidana, dapat
dilihat tentang pengertian dari alasan pembenar dan alasan pemaaf serta perbedaannya,
salah satunya dalam buku Roeslan Saleh bahwa: Apabila tidak dipidananya seseorang
yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-
hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka
dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai alasan-alasan pembenar. Perbuatan yang pada
umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu
dipandang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru.
Sebaliknya apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang
mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak
sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela
itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memaafkannya juga dipendeki dengan alasan –
alasan pemaaf.
B. Rumusan Masalah
1. Apa alasan terjadinya penghapusan pidana?
2. Apa alasan terjadinya penghapusan penuntutan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui alasan terjadinya penghapusan pidana
2. Untuk mengetahui alasan terjadinya penghapusan penuntutan
5
3.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dasar Penghapus Pidana
Pada dasarnya, apa yang diatur dalam aturan perundang-undangan adalah hal-hal
yang umum sifatnya. Utrech menyatakan, bahwa sifat umum tersebut membuka
kemungkinan peluang akan kemungkinan dijatuhkannya pidana yang tidak adil. Dengan
kata lain, kemungkinan bahwa dijatuhkannya hukuman kepada seseorang yang tidak
bersalah.Para pembentuk undang-undang melihat bahwa perlunya suatu pengaturan
tentang kondisi-kondisi atau keadaan-keadaan tertentu untuk meniadakan pemidanaan
bagi seseorang. Kondisi-kondisi atau keadaan – keadaan tertentu ini merupakan suatu
kondisi atau keadaan yang berkaitan dengan perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak
pidana ataupun kesalahan yang melekat pada diri seorang pelaku tindak pidana.
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada
hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi
perumusan delik sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang yang seharusnya
dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal ini, menempatkan wewenang
dalam dirinya (dalam mengadili perkara yang konkret) sebagai pelaku penentu apakah
telah terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan
penghapus pidana.Dalam hal ini sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah memenuhi
semua unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan hukum pidana. Akan tetapi,
ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan pelaku tindak pidana, atau dikecualikan
dari penjatuhan sanksi pidana sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan
perundangundangan tersebut. Dengan demikian alasan-alasan penghapus pidana ini,
adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang
sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, untuk tidak dipidana, dan ini merupakan
kewenangan yang diberikan undang-undang kepada hakim.
Di dalam KUHP meskipun mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan
tetapi KUHP tidak memberikan pengertian yang jelas tentang makna alasan penghapus
pidana tersebut. Menurut doktrin alasan penghapus pidana dapat dibagi dua yaitu alasan
6
penghapus pidana yang merupakan alasan pemaaf, dan yang kedua alasan penghapus
pidana yang merupakan alasan pembenar.
Khusus mengenai dasar penghapus pidana, KUHP merumuskan beberapa keadaan
yang dapat menjadi dasar penghapus pidana, sebagai berikut :
1. Pasal 44 KUHP tentang Kemampuan Bertanggungjawab
2. Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa dan Keadaan Terpaksa
3. Pasal 49 KUHP tentang Bela Paksa
4. Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Undang-undang
5. Pasal 51 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Atasan.
Utrech menyatakan, pembedaan ini didasarkan alasan yang berbeda antara dasar
penghapus pidana yang umum dan khusus. Dasar penghapus pidana yang umum ini
didasarkan ketiadaan sifat melawan hukum dari perbuatan (wederrechtelijkheid) atau
ketiadaan kesalahan dalam pengertian yang luas (schuld). Sementara, dasar penghapus
pidana yang khusus adalah pada kepentingan umum yang tidak diuntungkan dengan
adanya penuntut pidana.Oleh karena itu, disamping apa yang ditentukan dalam undang-
undang, praktik pengadilan juga menerima beberapa macam keadaan atau kondisi yang
dapat menghapuskan pemidanaan yang berkembang dan diterima sebagai suatu doktrin.
Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan
pemaaf. Bab ketiga dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang
menghapuskan pidana.
7
Dalam teori hukum pidana, Achmad Soema memberikan penjelasan alasan-alasan
yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi:
1. Kemampuan Bertanggungjawab
Pasal 44 KUHP merupakan gambaran yang jelas atas suatu kondisi, di mana
seorang pelaku tindak pidana tidak dapat mempertanggung jawabkan atas perbuatan
yang dilakukannya itu. Simons menggambarkan suatu konsep, bahwa setiap tindakan
harus dapat dipertanggungjawabkan, karena adanya kesalahan (schuld dalam arti
luas) yang melekat pada diri seseorang. Simons pun menyatakan, bahwa maksud
kesalahan dalam arti luas ini tidak bisa otomatis disamakan dengan opzet atau culpa.
Kesalahan sebagai dasar dari seorang pelaku yang memungkinkan pelaku tersebut
dapat menilai akan maksud dari tindakannya, sehingga bila yang dilakukannya
merupakan tindak pidana, maka hal ini dapat dipersalahkan kepadanya.
8
Pada Pasal 44 ayat (1) KUHP yang dimaksud dengan tidak dapat
dipertanggungjawabkan adalah sebagai berikut :
a. Adanya pertumbuhan yang tidak sempurna dari akalnya
b. Adanya kondisi kecacatan jiwa karena penyakit
2. Daya Paksa dan Keadaan Terpaksa
Daya paksa atau dikenal dengan istilah overmecht diatur dalam Pasal 48 KUHP
yang menyatakan bahwa “ Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh
daya paksa, tidak dipidana.” Menurut MvT penyebab yang datang dari luar dan
membuat suatu perbuatan itu menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pelakunya.
Menurut Jonkers overmacht itu berwajah tiga rupa yaitu sebagai berikut :
a. Overmacht yang bersifat mutlak, dalam hal ini orang yang terpaksa tidak
mungkin dapat berbuat lain. Ia tidak mungkin memilih jalan lain
b. Overmacht dalam arti sempit yang bersifat nisbi berat lawan, dalam hal ini
orang yang terpaksa masih ada kesempatan untuk memilih berbuat lain, akan
tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakan.
c. Overmacht dalam arti Noodtoestand atau keadaan darurat, keadaan darurat
ada bila kepentingan hukum seseorang berada dalam keadaan bahaya, maka
untuk mengelakkan bahaya itu, terpaksa melanggar kepentingan hukum orang
lain.
3. Bela Paksa (Noodweer)
Kata noodweer berasal dari kata nood dan weer. Nood berarti keadaan darurat
sedangkan weer berarti pembelaan.Para pakar pada umumnya memberi arti nodweer
dengan pembelaan terpaksa.
Menurut Pasal 49 KUHP untuk dapat disebut dengan noodweer harus memenuhi
beberapa syarat yaitu :
a. Harus ada serangan, yang dilakukan seketika, yang mengancam secara
langsung, dan melawan hak.
b. Ada pembelaan, yang sifatnya mendesak, pembelaan itu menunjukkan
keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilanggar dan kepentingan
9
hukum yang dibela, kepentingan hukum yang dibela hanya badan,
kehormatan, harta sendiri maupun orang lain.
10
seseorang yang diberikan kewenangan oleh undang-undang selayaknya dapat
mengukur tindakan diperintahkan oleh undang-undang.
Pembahasan diatas telah dijelaskan mengenai alasan penghapus pidana yang berupa
berupa alasan pembenar dan alasan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang
terdapat dalam KUHP. Di luar undang-undang pun terdapat alasan penghapus pidana,
seperti:
Hak dari orang tua, guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya
(tuchtrecht);
Hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker,
bidan dan penyelidik ilmiah (vivisectie);
11
Izin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai
suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau
persetujuan (consent of the victim);
Mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
Tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil;
Tidak adanya kesalahan sama sekali.
D. Alasan Penghapusan Penuntutan
Suatu contoh tentang dasar peniadaan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan
telah lewat waktu (verjaard). Dalam hal lewat waktu ini, penuntut umum tidak dapat lagi
melakukan penuntutan, seandainya penuntut umum tetap ingin melakukan penuntutan,
maka akan ditolak oleh hakim atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet
onvankelijk verklaring van het O. M.).
Hilangnya hak menuntut karna lewat waktu (verjaard) diatur dalam pasal 78
KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karna nebis in idemdiatur dalam pasal 76
KUHP. Disitu dikatakan “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah (feit)yang
baginya telah diputuskan oleh hakim Indonesia dengan keputusan yang telah tetap”.
Dua hal yang perlu dijelaskan disini ialah, pertama pengertian perbuatan (feit) dan
putusan yang telah tetap. Van Hamel menunjukkan ada tiga pengertian perbuatan (feit)
itu:
1. Perbuatan (feit), terjadinya kesalahan (delik).
Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang
dianiaya dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian,
maka tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-
perbuatan itu kemudian dari yang lain.
2. Perbuatan (feit), perbuatan yang didkwakan.
Ini terlalu sempit, diambil contoh: seseorang dituntut melakukan
perbuatan penganiayaan yang mengakibatkan kematian, kemudian ia sengaja
melakukan pembunuhan, maka berarti masih dapat dilakukan penuntutan atas
dassr “sengaja melakukan paembunuhan” karna hal ini lain dari
12
‘’penganiayaan yang mengakibatkan kematian’’. Vos tidak dapat menerima
pengertian perbuatan dalam arti yang kedua ini.
3. Perbuatan (feit)
Perbuatan materil, jadi perbuatan itu terlepas dari unsur kesalahan dan
terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini maka ketidak pantasan yang ada
pada pengertian terdahulu dapat dihindari.
Jika ada perbedaan tempat dan waktu suatu perbuatan materil terjadi masalah
pula, misalnya jika seseorang dituntut untuk melakukan suatu perbuatan yang dilakukan
di Jakarta pada tanggal 1 januari 1991 tidak dapat dituntut atas perbuatan itu juga yang
dilakukan di Bogor pada tanggal 1 januari 1990. Loge Raad dahulu selalu menerapkan
pengertian yang ketiga.
Van Bammelen dan Pompe melihat hubungan erat antara pengertian perbuatan di
dalam pasal 76 KUHP dan pasal 63 KUHP (gabungan delik/concursus). Pompe memberi
definisi tentang perbuatan yang sama antara pasal 76 dan pasal 63 KUHP “tingkah laku
konkret yang ditunjukkan pada tujuan yang sama sepanjang tujuan itu menjadi obyek
norma”. Putusan yang telah memiliki tujuan tetap berlaku sebagai keputusan yang tidak
dapat diubah lagi. Ini meliputi setiap putusan bebas dari tuntutan hukum dan pemidanaan
dan juga putusan pidana bersyarat.
13
Menurut van Bemmelen selanjutanya, kadang kala sulit untuk membedakan
apakah itu dasar peniadaan penuntutan taukah dasar paeniadaan pidana, karna istilah
yang dipakai oleh pemuat Undang-undang tidak selalu jelas. Sering disebut bahwa suatu
ketentuan pidana dalam keadaan tertentu tidak dapat diterapkan, yang menunjukkan dasar
peniadaan penuntutan, padahal maksud dari pembuat Undang – undang ialah melarang
penjatuhan pidana dalam hal itu. Hal baru jika tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima, maka dapat kembali dilakukan penuntutan yang kedua terhadap perbuatan yang
sama asalkan dasar peniadaan penuntutan telah dihapuskan sedangkan apabila terjadi
putusan lepas dari segala tuntutan hukum maka penuntutan kedua tidak dimungkinkan.
Di dalam KUHP terdapat empat hal yang menggugurkan penuntutan pidana yaitu: ne bis
in idem, terdakwa meninggal dunia, daluarsa dan penyelesaian perkara diluar pengadilan.
a) Ne bis in idem, ketentuan mengenai ne bis in idem atau suatu perkara tidak boleh
dituntut dua kali atas perbuatan yang hakim telah diadili dengan putusan yang
berkekuatan hukum tetap yang menjadi alasan gugurnya penuntutan pidana yang
diatur dalam pasal 76 KUHP sebagai mana yang telah disebutkan diatas. Ketentuan
pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
14
ataupun kepada setiap individu agar menghormati putusan tersebut, sedangkan yang
dimaksud dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap berupa: putusan bebas,
putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pemidanaan.
b) Terdakwa meninggal dunia, ketika terdakwa meninggal dunia itu dapat dijadikan
dasar untuk menhentikan penuntutan pidana. Penjatuhan hukuman pidana harus
ditujukan kepada pribadi orang yang melakukan perbuatan pidana. Apabila orang
yang melakukan pidana meninggal dunia, maka tidak ada lagi penuntutan pidana
baginya atas perbutan yang dilakukannya.Jika orang itu meninggal dunia
maka penuntutan pidana kepadanya menjadi gugur atau dengan kata lain
‘’kewenangan menuntut pudana gugur jika terdakwa meninggal dunia’’.
15
Ketentuan pasal 82 ayat 1 KUHP tersebut sering kali disebut lembaga penebus
(afkoop) atau lembaga hukum perdamaian (schikking) sebagai alasan yang
menggugurkan penuntutan pidana hanya dimungkinkan pada perkara tertentu, yaitu suatu
perkara pelanggaran yang diancam dengan denda secara tunggal, pembayaran denda
harus sebanyak maksimum ancaman pidana denda seberat pidana biaya lain yang harus
dikeluarkan, atau penebusan harga-harga tafsiran bagi barang yang terkena perampasan,
dan harus bersifat sukarela dari inisiatif terdakwa sendiri yang sudsh cukup umum.
16
melakukan penuntutan. Alasan-alasan itu adalah: alasan dengan tempat berlakunya KUHP (locus
delicti). Ini kemudian menjawab pertanyaan apakah perbuatan yang dilakukan oleh tersangka
berada dalam ruang lingkup KUHP. Kita harus mengingat pasal 2-8 KUHP, jika memang
perbuatan itu dilakukan dalam pasal tersebut diatas, maka penuntutan tidak dapat dilakukan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum pidana mengenal beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim
untuk tidak menjatuhkan hukuman atau pidana kepada pelaku atau terdakwa yang
diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak atau perbuatan pidana.
Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana
adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan
berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana.
Hakim dalam hal ini, menempatkan wewenang dalam dirinya (dalam mengadili perkara
yang konkret) sebagai pelaku penentu apakah telah terdapat keadaan khusus dalam diri
pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.
B. Saran
Dalam hal ini sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah memenuhi semua unsur
tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan hukum pidana, akan tetapi ada beberapa
alasan yang dapat menyebabkan pelaku tidak dipidana, atau dikecualikan dari penjatuhan
sanksi pidana. Dengan demikian alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan
yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi
rumusan delik, untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewenangan yang diberikan
Undang-Undang kepada hakim.
17
DAFTAR PUSTAKA
https://doktorhukum.com/alasan-penghapus-pidana-dalam-kuhp-dan-luar-kuhp/#:~:text=Alasan
%20pembenar%2C%20yaitu%20alasan%20yang,alasan%20yang%20menghapuskan
%20kesalahan%20terdakwa.
https://media.neliti.com/media/publications/150974-ID-penerapan-alasan-penghapus-pidana-
dan-pe.pdf
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/4827/1/Yusrifar.pdf
http://e-journal.uajy.ac.id/5067/2/1HK09424.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/21257/4/Bab%201.pdf
https://repository.unsri.ac.id/19661/2/isi_12.pdf
18